Anda di halaman 1dari 34

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) melalui World Alliance for Patient
Safety menyatakan bahwa ILO (Infeksi Luka Operasi) terjadi pada 2% hingga
5% pada pasien yang melakukan pembedahan setiap tahun, dan merupakan
25% dari jumlah infeksi yang terjadi pada fasilitas pelayanan kesehatan.
Sebuah penelitian di Australia mendapatkan bahwa angka kejadian ILO pasca
bedah sesar di Royal Darwin Hospital adalah 6,9%.2 Infeksi pada luka
operasi berpotensi menimbulkan luka terbuka (wound dehiscence). Risiko
terjadinya sepsis dan kematian pada luka operasi terbuka adalah 10 35%.
Pada suatu penelitian di RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan bahwa angka
kejadian luka terbuka pada pasien pasca bedah sesar adalah 1,36%. (Yadi,
2011)
Angka seksio sesarea yang mendekati 25%, telah stabil dan mulai
menunjukkkan penurunan. Target nasional Amerika Serikat pada tahun 2000,
angka ini menjadi 15%, dengan angka yang dianjurkan 12% untuk seksio
primer dan 3% untuk seksio ulangan. (Paul, 1995; Cunningham 2001)
Indikasi-indikasi utama seksio sesarea meliputi : bekas seksio sesarea
(8%), dystocia (7%), letak sungsang (4%), fetal distress (2%-3%) dan lainlain. Area-area utama penurunan harus terjadi pada katagori bekas seksio
sesarea dan dystocia.(Paul, 1995; Cunningham 2001)
Kontributor terbesar pada tingginya angka seksio sesarea terletak pada
kategori seksio ulangan. Lebih sepertiga dari semua persalinan dengan seksio
sesarea terjadi dari hasil persalinan seksio sebelumnya. Wanita-wanita ini
sering ditatalaksana sesuai diktum once a cesarean, always a cesarean.
(Paul, 1995; Cunningham 2001)
Topik-topik bekas seksio sesarea, trial of labor dan persalinan
pervaginam pada bekas seksio sesarea telah menjadi fokus pembahasan para
praktisi, dalam usaha untuk mencoba menurunkan angka seksio sesarea.
(Paul, 1995; Cunningham 2001)
1

Terjadinya wound dehiscence berkaitan dengan berbagai kondisi seperti


anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomi
emergency. Wound dehiscence juga dapat terjadi karena perawatan luka yang
tidak adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang baik (Afzal et al,
2008).
Penanganan wound dehiscence secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif
dilakukan pada sebagian besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan
penanganan non operatif dilakukan diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi (Singh, 2009; Spiolitis et al, 2009).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami bermaksud untuk
menyusun referat dengan judul Penanganan Wound Dehiscence.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah

untuk memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RS. Moh. Ridwan
Meuraksa dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai
penanganan wound dehiscence.

C. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai penanganan wound dehiscence sehingga dapat diterapkan dalam
menangani kasus-kasus wound dehiscence di klinik ataupun rumah sakit
sesuai kompetensi dokter umum.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagian tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.
Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar
2,7 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit
bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis
kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan
kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak
tangan, telapak kaki, punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)


a. Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang
paling luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan jaringan
penyambung di bawah kulit (Branon, 2007).
1) Epidermis

Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.


Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda
pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan
kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan
kulit. Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu (Branon,
2007; Amirlak, 2008).
Fungsi Epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan : (1). Stratum Korneum, Terdiri
dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. (3).
Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng
yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik
kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung
protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. (4). Stratum
Spinosum,

terdapat

berkas-berkas

filament

yang

dinamakan

tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan


penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap
efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan
dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak
tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai
lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. (5). Stratum Basale
(Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan
satu lapis sel yang mengandung melanosit (Branon, 2007; Amirlak,
2008).

Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)


2) Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai True Skin. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1). Lapisan
papiler, tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan retikuler,
tebal terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat
elastic yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk
semula dan serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat
kolagen ini disebut juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam
membentuk jaringan-jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan
kelenturan kulit. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa
kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin
jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit
manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada
usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan
serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan
kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput (Branon,
2007; Amirlak, 2008).

Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis


juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung
banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar)
dan duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan
kulit membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi
dengan kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan
telapak tangan, telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar
keringat mengatur suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa
pencernaan dari tubuh. Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas,
latihan jasmani, emosi dan obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar
keringat yaitu Ekrin dan Apokrin (Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada
telapak tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua
bagian tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu
batang rambut hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang
bermuara pada saluran folikel rambut (Amirlak, 2008).

Gambar 3. Lapisan Dermis

Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang,


mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan
respon inflamasi (Amirlak, 2007).
3) Hypodermis tau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat
jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut
daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi
menunjang suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi. Fungsi
Subkutis / hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur
dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
b. Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu
cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat
nutrient dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit
diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus profunda
(Branon, 2007; Amirlak, 2008).
2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a.Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruhpengaruh luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).

Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang


menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh,
menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke
dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar
ultraviolet dari matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung
saraf sensasi.
c.Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf
otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5C.
Ketika terjadi perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit
mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masingmasing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar
keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan
membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang
dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi
juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan
keringat yang tidak disadari.
e.Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut
dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat
pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi
lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007;
Amirlak, 2008).
Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke
dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh
8

darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh


lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang
tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan.
Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi
seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot
penegak rambut (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
B. Luka dan Penyembuhan Luka
1. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai
organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul,
perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga,
2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka.

Namun yang umum

dipakai adalah sebagai berikut :


a.Berdasarkan waktu terjadinya
1)

Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak
terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan.
Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush
injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang
dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting
(Sinaga, 2009; Yadi, 2008).

2) Luka Kronik

Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering


timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor
dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi
dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada
ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
b. Berdasarkan kedalaman luka
1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu
luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan
luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan
yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan
yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara
klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan
otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan
yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
c.Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,
2007).
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika
diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu
luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital
10

atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu


terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu
terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya
1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang
2)

tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.


Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,

3)

perdarahan dan bengkak.


Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda

4)

lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.


Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau

5)

yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.


Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti

6)

oleh kaca atau oleh kawat.


Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada

7)

bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.


Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api,
matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).
2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena

berbagai

kegiatan

bio-seluler,

bio-kimia

terjadi

berkesinambungan.

Penggabungan respons vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan


kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan komponen yang
saling terkait pada proses penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis
melibatkan mediator cair, sel darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel
parenkim. Proses penyembuhan luka secara umum terdiri atas tiga fase yaitu

11

inflamasi, pembentukan jaringan atau proliferasi dan maturasi atau remodeling


(Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari.
Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan
karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1
(TGF b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan
mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz,
2007; Baxter, 2003).

Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat


penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).

12

Gambar 4.

Fase

Inflamasi

(Ismail,

2008)
b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan
seluler

yang

penting

pada

fase

ini

adalah

memperbaiki

dan

menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi


ini disebut juga fase fibroplasias karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan,
yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan
(Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta
mengeluarkan
hyaluronic,

beberapa

fibronectin

substansi
dan

seperti

profeoglycans

kolagen,
yang

elastin,

berperan

asam
dalam

rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).


Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan
regangan dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih
spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et
al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan
proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia.
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
13

proliferasi, migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi,


2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang
mengisi matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang
dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga.
Kolagen ini kemudian akan berada diantara luka dan akan memberikan
tekanan normal. Lamanya fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan
yang terlibat dan tekanan atau tegangan yang diberikan luka selama
periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes,
radiasi atau penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama
mengakibatkan lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada
fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Proses

selanjutnya

adalah

epitelisasi,

dimana

fibroblas

mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam


stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka
dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan
sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan
disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan
granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang
mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi

14

kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama
untuk penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika
berhasil akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al,
2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi (Ismail, 2008)


c. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi
dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini
dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya
jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu
(Sjamsudidajat, 2005).

15

Ketika

deposisi

kolagen

selesai,

fibroblas

sudah

mulai

meninggalkan jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan


berangsur-angsur menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang
sehingga permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari
kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah
kolagen yang terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi
(Braz et al, 2007).
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada
minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak
fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling.
Selain pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh
enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk
pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,
yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi,
2008).
Untuk

mencapai

penyembuhan

yang

optimal

diperlukan

keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.


Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal
(Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

16

Gambar 6. Fase Remodelling


(Ismail, 2008)

Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan

tadi,

berjalan

secara

alami.

Penyembuhan

ini

disebut

penyembuhan sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama


dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka
lebar. Dalam penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka,
yaitu penyembuhan melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga,
2009).

17

a.Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat


secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan
dengan baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk
mentautkan luka, sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi
pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi
tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b.

Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka


dimana terjadi pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak
saling merapat, proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan
waktu lebih lama.

c.Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam


baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali
nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal
ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga,
2009).

Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)

18

Faktor faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka


terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor faktor eksternal
yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan

merasa

mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat nasihat


khususnya untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau
pembedahan.
b. Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila
pengetahua tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan
lukapun akan berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka
adalah keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas seharihari pasca pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi
penyembuhan luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan lama
penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga,
2009).

19

Sedangkan faktor faktor internal yang berpengaruh terhadap proses


penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi,
peripheral vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula
karena sudah ada jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya,
penutupan luka yang terlalu rapat sehingga merusak kapiler pada tepi
luka, atau regangan yang kuat sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan
cairan serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga
terjadi infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat
menyebakan kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan
iskemia lokal atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik,
iskemia kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan
pada penyembuhan luka

20

3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic
profilaksis dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi.
Selain itu tekhnik operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh
terhadap penyembuhan luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit
yang diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak
adekuat, antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 7 hari setelah
pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase,
nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan,
adanya gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi
dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda
hipovolemia tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika
perdarahan terjadi terus menerus, penambahan tekanan balutan luka steril ,
pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Ismail,
2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Sedangkan eviscerasi adalah keluarnya isi di bawah jahitan luka melalui
daerah irisan. Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor
meliputi kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang
berlebihan, muntah, dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya
dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4 5 hari setelah operasi
sebelum kolagen meluas di daerah luka (Sjamsudidajat R, 2005).

21

C. Wound Dehiscence
1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis,
2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi
yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding
perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari
sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (\
Sjamsudidajat R,2005).

3.

Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda
dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi
yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa
nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat
R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar
22

luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat,


pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al,
2009).
4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a.

Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan


semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang.

b.

Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia,


gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat
mempengaruhi proses penyembuhan luka.

c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara
klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System,
luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu
48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi
jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh
streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut
seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus,
dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al,
2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

5. Faktor Resiko
23

Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor


preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik
penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik
penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi
dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta
pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis
et al, 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka
daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik,
sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan
arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis
juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi
memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan
jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya
(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh
tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).
Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan
terjadinya dehisensi luka antara lain:
a.

Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan


retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otototot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding

24

abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan


jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya
benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga
abdomen.
b.

Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal


Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan
terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya
dehisensi luka operasi.

c.

Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak


adekuat

terutama

protein

salah

satunya

akan

menyebabkan

hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang


merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan
proses awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,
2009; Makela J, 2005).
D. Dehisensi pada Sectio Caesaria
Insisi uterus pada segmen bawah rahim yang disebut Low
Transverse Cesarean Section. Insisi ini dijahit yang akan sembuh dalam
2-6 hari. Insisi uterus juga dapat dibuat dengan potongan vertikal yang
dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus.
Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula
dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya.
Faktor risiko terjadinya dehisensi pada

irisan segmen bawah

rahim setelah operasi seksio sesarea diantaranya multiparitas, infeksi dan


irisan pada segment bawah rahim yang terlalu rendah. Terjadinya
gangguan aliran darah yang terjadi pada jaringan segmen bawah lahir
terutama pada daerah bloody angle sehingga menyebabkan terjadinya
nekrosis. Dehisensi terjadi karena adanya jaringan nekrosis pada irisan

25

segmen bawah rahim, yang dipacu karena adanya endomyometritis dan


chorioamnionitis sebelumnya. Risiko dehisensi juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor lain seperti diabetes mellitus, malnutrisi, immunosupresi
dan obesitas.(Pelage, 1999)

Perdarahan pascasalin lambat yang disebabkan karena dehisensi


luka pada SBR pasca operasi seksio sesarea merupakan kejadian
yang jarang sekali terjadi. Perdarahan pascasalin lambat pada umumnya
disebabkan

karena

faktor

infeksi

sehingga

terjadi

subinvolusi,

mengakibatkan kontraksi otot rahi tidak cukup adekuat untuk menjepit


pembuluh darah yang berjalan di dalam miometrium. Penyebab lain
adalah retensi siasa plasenta, karena pada tempat tersebut kontraksi
miometrium

terganggu.

Pada

kelahiran

secara

seksio

sesarea

kemungkinan terjadi retensi sisa plasenta adalah jarang, karena plasenta


dikeluarkan dan diobservasi secara langsung.
Perdarahan

banyak

yang

terjadi

pasca

operasi

seksio

sesarea terutama sebagai akibat dehisensi sebagian atau keseluruhan


irisan pada segmen bawah rahim. Bisa juga

terjadi akibat tidak

terjahitnya pembuluh darah besar terutama di sekitar bloody angle


sehingga perdarahan tidak teratasi dan menyebabkan dehisensi. Dehisensi
ditandai dengan rasa nyeri pada daerah bekas operasi dan perdarahan
berulang yang keluar dari jalan lahir. Kejadian perdarahan post partum
lambat setelah seksio pada beberapankasus sering terjadi setelah 7 21
hari pasca operasi seksio sesarea. (Murat, 2005)
Pemeriksaan penunjang dengan m e nggunakan ultrasonografi
dapat digunakan untuk mengetahui terdapatnya perdarahan intra-abdomen,
sisa produk konsepsi, terjadinya diskontinuitas pada segmen bawah rahim
dan untuk mungukur

dan

mengetahui

ketebalan

uterus.(Nanda,

1997)

26

Pemeriksaan angiografi juga sangat penting digunakan untuk


mengetahui sumber perdarahan tetapi tidak bisa mengetahui terjadinya
dehisensi pada segmen bawah rahim, tetapi pemeriksaan klinik sangat
penting dalam menegakkan diagnosis.
Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan
Ultrasonografi (USG) trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat
diketahui ketebalan segmen bawah rahim. Ketebalan SBR > 4,5 mm pada
usia kehamilan 37 minggu adalah pertanda parut yang sembuh sempurna.
Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR 3,5 mm.
Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai
alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea.
E. Penanganan Wound Dehiscence
Penatalaksanaan

Wound

Dehiscence

dibedakan

menjadi

penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan


operatif tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa
steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal
dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka
(Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi
yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota
bag repair (Sukumar, 2004).

27

Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering


dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan
keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena
kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al,
2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan
lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan
sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan
omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan
secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan
berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan
penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka
operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Ismail,
2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan
3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan
karet atau tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna
mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat
luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Ismail, 2008).

28

Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup


dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat
diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi
yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh
repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation
(Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di
bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag.
Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.
Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang
merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini
dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar,
2004).
Tehnik lain yang dapat digunakan yaitu dynamic parietal closure
teknik dimana putaran jahitan silikon digunakan untuk memperkuat
penutupan aponeurotic yang konvensional. Prosedur ini sederhana, cepat,
murah, dan kompatibel dengan stomas pencernaan dan drainase kompleks
peritoneal. Ia memiliki keuntungan tetapi tidak kekurangan dari
penggunaan retensi jahitan atau bedah plastik dinding perut.

29

Gambar 9. Teknik Dynamic Parietal Closure


A, Elastic silicone loop screwed on the noncutting end of a needle (the locking
system is yellow). B, The needle was passed transfascially across the wound 4 cm
from the edge. The bowel was protected by a malleable blade. C, Description of
the operative technique in 5 steps: (1) the needle was inserted 4 cm back from the
wound edge on the right; (2) the needle was inserted on the wound edge on the
left; (3) the needle was inserted again on the wound edge on the left (2 cm apart);
(4) the needle was inserted at the initial wound edge, and a U-shaped suture was
obtained; and (5) the system was maintained with the locking system, and
compresses protected the skin. D, Once the system was in order, tension was
adjusted to close the abdominal wall

Manajemen konservatif dan manajemen aktif digunakan pada


kasus dehisensi pasca operasi seksio sesarea. Manajemen konservatif
dapat dilakukan dengan cara pemberian antibiotika dosis tinggi,
pemberian protein dan pemberian transfusi darah. Menejemen aktif yaitu
secara operasi, dapat dilakukan dengan cara histerorafi yaitu dengan cara
membersihkan
penjahitan

jaringan yang

kembali

atau

nekrosis

kemudian

dilakukan

dengan mengangkat rahim bila fertilitas

tidak diperlukan lagi atau tepi luka yang jelek dan nekrotis sehingga
konservasi rahim justru merupakan sumber infeksi. (Nanda, 1997)

30

III. KESIMPULAN
Diagnosis dehisensi SBR pada sectio caesaria tidak bisa langsung ditegakkan.
Adanya perdarahan pasca salin lambat setelah operasi seksio sesarea perlu
dipikirkan kemungkinan adanya dehisensi luka SBR. Manajemen dehisensi pada
luka operasi tergantung dari umur, parietas dan kondisi luka SBR. Histerorafi
merupakan terapi yang dianjurkan tetapi bila terdapat kesulitan dalam
penangananya, histerktomi menjadi pilihan.
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non
operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan
umum penderita

31

DAFTAR PUSTAKA

A Murat, A Olus and Y Murat, 2005. Fertility after B-Lynch suture


and hypogastric artery ligation. Fertility and Sterility :84 (2): 509.e5-9.

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal


Surgery in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King
Edward Medical University Lahore . Annals 14:3
Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today
Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com
Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9
Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy.

Diakses Agustus 2015 dari: http://

dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html
Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The
Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Agustus 2015 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm
Cunningham

FG, Gant NF, Loveno KJ : Cesarean Section and Postpartum

Hysterectomy. In Williams Obstetrics, 21 st Ed. The Mc Graw-Hill Companies,


New York 2001 : 537-563.

Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.


Diakses

Agustus

2015

dari

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf
http://archsurg.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=1032128

32

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387390
Muhammad Yadi. Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar Pada Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang. Jurnal Health and Sport 2011; 3(1): 199-206
Nanda S, Singhal S, Sharma D, Sood M, Singhal SK, 1997. Nonunion of uterine
incision: a rare cause of secondary postpartum haemorrhage: a report of 2 cases.
Paul RH, Miller DA : Cesarean Birth : How To Reduce The Rate. In American
Journal of Obstetrics and Gynecology, June 1995, Volume 172, Number 6 : 1-14
Pelage

J,

Soyer

P,

Repiquet

D.

1999.Secondary

postpartum

hemorrhage treatment with selective arterial embolization. Radiology, :


212:385-9.
Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired
bladder rupture in a 5 yr old girl a case study. Resident Medical Officer, Max
Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363
Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a
problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency
Surgery 4:12
Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of
Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2
Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Agustus 2015 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

33

Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal


wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130137
Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK
UNDIP : Semarang

34

Anda mungkin juga menyukai