Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU BEDAH MAKALAH

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET, 2018


UNIVERSITAS TADULAKO

DEHISENSI LUKA OPERASI

Disusun Oleh :
Vebryyanti (N 111 16 059)
Dayanara Rebecca (N 111 16 059)
Vera Uliana Simanjuntak (N 111 16 059)

PEMBIMBING KLINIK
dr. H. Arif Husain, Sp.B

DIBUAT DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PENDAHULUAN

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan teknik


invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani
melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Pembedahan
dilakukan karena beberapa alasan, salah satunya adalah kuratif dan menurut jenisnya
dibedakan menjadi dua jenis yaitu bedah mayor dan bedah minor. Setiap tindakan
yang termasuk bedah mayor selalu berhubungan dengan adanya insisi (sayatan).

Laparotomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga abdomen


yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen, infeksi pada
rongga abdomen, perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar
serta masa pada abdomen. Tindakan laparotomy dapat menimbulkan berbagai
komplikasi pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang
menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya dehisensi luka operasi.

Dehisensi adalah keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau


seluruhnya luka operasi yang sering pada organ kulit. Dehisensi luka post laparotomy
merupakan komplikasi utama yang serius. Kejadiannya berkisar antara 0,25% sampai
3% dari seluruh operasi laparotomy yang dilakukan, dengan angka kematian berkisar
antara 10-20%. Terjadinya dehisensi luka berkaitan dengan berbagai kondisi seperti
anemia, hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan pada kolon atau laparotomy
emergency. Dehisensi luka juga dapat terjadi karena perawatan luka yang tidak
adekuat serta faktor mekanik seperti batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif,
dan hematom serta teknik operasi yang kurang baik.

Penanganan dehisensi luka secara umum dibedakan menjadi penanganan


operatif dan penanganan non operatif. Penanganan operatif dilakukan pada sebagian
besar penderita luka operasi terbuka. Sedangkan penanganan non operatif dilakukan
pada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi.
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kulit


1. Anatomi Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian
tubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya. Seluruh
kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh. Pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg
dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5
mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis
terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan
atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,
punggung, bahu (Branon, 2007).

Gambar 1. Anatomi Kulit (Branon, 2007)


a. Lapisan Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapis yaitu epidermis sebagai lapisan yang paling
luar, dermis dan hypodermis atau subkutis yang merupakan jaringan
penyambung di bawah kulit (Branon, 2007).
1) Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler.
Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel
melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada
berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki.
Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit.
Pada epidermis terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu (Branon, 2007;
Amirlak, 2008).
Fungsi Epidermis antara lain proteksi barier, organisasi sel,
sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel,
pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans).
Epidermis terdiri atas lima lapisan : (1). Stratum Korneum, Terdiri dari
sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. (2). Stratum
Lusidum, berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal
telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. (3).
Stratum Granulosum, ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang
intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang
dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan
histidin. Terdapat sel Langerhans. (4). Stratum Spinosum, terdapat
berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-
filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan
kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat
yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum
spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum
spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. (5).
Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang
hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara
konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke
permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan
satu lapis sel yang mengandung melanosit (Branon, 2007; Amirlak,
2008).

Gambar 2. Lapisan Epidermis (Amirlak, 2008)

2) Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1). Lapisan papiler,
tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan retikuler, tebal
terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastic
yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula dan
serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat kolagen ini disebut
juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam membentuk jaringan-
jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit. Serabut-
serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan
dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit
terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput
(Branon, 2007; Amirlak, 2008).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak
tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan
duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan kulit
membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi dengan
kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan telapak tangan,
telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur
suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh.
Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan
obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar keringat yaitu Ekrin dan
Apokrin (Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada telapak
tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua bagian
tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu batang rambut
hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran
folikel rambut (Amirlak, 2008).

Gambar 3. Lapisan Dermis


Fungsi Dermis antara lain sebagai struktur penunjang, mechanical
strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi
(Amirlak, 2007).
3) Hypodermis tau Subkutis
Lapisan ini merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis
yang terdiri dari lapisan lemak. Pada lapisan ini terdapat jaringan ikat
yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di
bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di
tubuh dan keadaan nutrisi individu. Subkutis berfungsi menunjang
suplai darah ke lapisan dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis /
hipodermis antara lain untuk melekatkan kulit ke struktur dasar, isolasi
panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock
absorber (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
b. Vaskularisasi Kulit
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak
antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan
jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi
papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang
vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient
dari dermis melalui membran epidermis. Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2
pleksus, yaitu pleksus superfisialis dan pleksus profunda (Branon, 2007;
Amirlak, 2008).

2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh
luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan
luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh
serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari
matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan
getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf
sensasi.
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom.
Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC. Ketika terjadi
perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan
penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar keringat
yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam,
yodium dan zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak
saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air
transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari.
e. Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam
lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim
muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada
tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam
saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke
dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang tampak
halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan. Fungsi lain
dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang seperti
kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot penegak rambut (Branon,
2007; Amirlak, 2008).

B. Luka dan Penyembuhan Luka


1. Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ
tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan
suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga, 2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum dipakai
adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi
komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan
penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Sebagai
contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush injury.
Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang dibuat oleh
ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting (Sinaga, 2009;
Yadi, 2008).
2) Luka Kronik
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering
timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses
penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari
penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh pada
waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan
mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada ulkus
dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain
sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
b. Berdasarkan kedalaman luka
1) Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2) Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka
superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister
atau lubang yang dangkal.
3) Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara
keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang
dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang
mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis, dermis
dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai
suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan
sekitarnya.
4) Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas
(Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
c. Berdasarkan tingkat kontaminasi
1) Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang
mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat,
2007).
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan
dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka
sekitar 1% – 5%.
2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka,
fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar
dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada
kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
d. Berdasarkan Mekanisme terjadinya
1) Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument
yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
2) Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
3) Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
4) Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti
pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
5) Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam
seperti oleh kaca atau oleh kawat.
6) Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi
pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
7) Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti
api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).

2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai
kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan. Penggabungan respons
vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi
mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses
penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis melibatkan mediator cair, sel
darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel parenkim. Proses penyembuhan luka
secara umum terdiri atas tiga fase yaitu inflamasi, pembentukan jaringan atau
proliferasi dan maturasi atau remodeling (Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Fase
inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan karena
kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa (Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz, 2007; Baxter, 2003).
Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat
penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).
Gambar 4. Fase Inflamasi (Ismail, 2008)

b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan seluler
yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan
ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi ini disebut juga fase
fibroplasias karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Peran
fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama
proses rekonstruksi jaringan (Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar
luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta mengeluarkan
beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam hyaluronic, fibronectin dan
profeoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan regangan
dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan
baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi
fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang
dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah: proliferasi, migrasi,
deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi, 2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi
matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga. Kolagen ini kemudian
akan berada diantara luka dan akan memberikan tekanan normal. Lamanya
fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan yang terlibat dan tekanan atau
tegangan yang diberikan luka selama periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz
et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam
luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan
luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes, radiasi atau
penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama mengakibatkan
lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan
invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan
nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada daerah luka terdapat keadaan
hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan
angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi
yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan


keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen
oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol
pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal (Tawi,
2008; Braz et al, 2007).
Kontraksi luka adalah proses yang mendorong tepi luka bersama untuk
penutupan luka. Hal ini akan mengurangi area yang terbuka dan jika berhasil
akan menghasilkan luka yang kecil. Kontraksi luka akan sangat
menguntungkan pada penutupan luka pada area-area seperti glutea dan
trokanter, tetapi akan membahayakan pada area seperti tangan atau sekitar
leher dan wajah dimana hal ini akan menyebabkan kelainan bentuk dan
jaringan parut berlebihan. Luka operasi yang ditutup secara perprimum
memiliki respon kontraksi yang minimal. Graft kulit digunakan untuk
menurunkan kontraksi pada lokasi yang tidak diinginkan (Braz et al, 2007).
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen
telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai
growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet (Tawi, 2008).

Gambar 5. Fase Proliferasi (Ismail, 2008)


c. Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi dan
akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dimulai
pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12
bulan. Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu (Sjamsudidajat,
2005).
Ketika deposisi kolagen selesai, fibroblas sudah mulai meninggalkan
jaringan garunalasi, pembuluh darah pada luka akan berangsur-angsur
menurun dan kemerahan dari jaringan mulai berkurang sehingga
permukaannya akan menjadi lebih pucat dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Jumlah kolagen yang
terbentuk bergantung pada volume awal jaringan granulasi (Braz et al, 2007).
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu
ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase
proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi atau remodelling. Selain
pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim
kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase
proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat
dan struktur yang lebih baik pada fase remodeling (Tawi, 2008).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan
antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang
berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,
sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan
parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi
kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit mampu atau tidak
mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal (Tawi, 2008; Braz et al,
2007).

Gambar 6. Fase Remodelling (Ismail,


2008)
Gambar 7. penyembuhan luka (Braz et al, 2007)

Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama dan meninggalkan
parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar. Dalam
penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka, yaitu penyembuhan
melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga, 2009).
a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat
secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan dengan
baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk mentautkan luka,
sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka
sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan
pembentukan jaringan parut minimal.
b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana terjadi
pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling merapat,
proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.
c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali nantinya,
dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini
mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga, 2009).

Gambar 8. Jenis Penyembuhan Luka (Sinaga, 2009)


Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor – faktor eksternal yang
mempengaruhi penyembuhan luka antara lain :
a. Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana pasien akan merasa
mendapatkan perlindungan dan dukungan serta nasihat – nasihat khususnya
untuk merawat kebersihan pasca terjadinya luka atau pembedahan.
b. Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca
bedah atau penyembuhan luka masih banyak digunakan, meskipun oleh
kalangan masyarakat modern.
c. Pengetahuan
Pengetahuan pasien dan keluarga tentang perawatan pasca bedah atau
perlukaan sangat menentukan lama penyembuhan luka. Apabila pengetahua
tentang masalah kebersihan kurang maka penyembuhan lukapun akan
berlangsung lama.
d. Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi dengan lama penyembuhan luka adalah
keadaan fisik dan mental pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca
pembedahan. Jika tingkat sosial ekonomi rendah, bisa jadi penyembuhan
luka berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam merawat diri.
e. Penanganan petugas
Pada terjadinya luka atau pasca pembedahan, pembersihannya harus
dilakukan dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini merupakan
salah satu penyebab yang dapat menentukan lama penyembuhan luka.
f. Gizi
Asupan gizi yang cukup dan baik Makanan yang bergizi dan sesuai porsi
akan mempercepat masa penyembuhan luka (Hidyat, 2007; Sinaga, 2009).
Sedangkan faktor – faktor internal yang berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu faktor lokal,
faktor sistemik dan faktor tekhnik (Yadi, 2005).
1. Faktor Lokal
a. Iskemia : kurangnya suplai darah ke jaringan luka dapat berupa tidak
adekuatnya aliran darah ke jaringan luka misalnya akibat ligasi, peripheral
vascular disease, atau hipotensi generalisata, dapat pula karena sudah ada
jaringan nekrotik pada tepi luka sebelumnya, penutupan luka yang terlalu
rapat sehingga merusak kapiler pada tepi luka, atau regangan yang kuat
sehingga mengganggu merapatnya kontraksi luka.
b. Ketegangan luka : Ketegangan dalam penjahitan juga hendaknya
diperhatikan, terlalu tegang dapat menyebabkan iskemia. Jika terlalu
longgar juga dapat menyebabkan terjadinya dead space .
c. Infeksi : adanya dead space menyebabkan terkumpulnya darah dan cairan
serous lainnya menjadi media yang baik untuk bakteri sehingga terjadi
infeksi.
d. Trauma lokal : adanya trauma lokal misalnya benturan dapat menyebakan
kerusakan jaringan pada bekas operasi dan menyebabkan iskemia lokal
atau total.
e. Penyakit kronik jaringan : keadaan seperti limfadenopati kronik, iskemia
kronik, hipertensi dan jaringan parut yang luas dapat menyebabkan
penyembuhan luka yang buruk.
f. Radiasi : radiasi sebelum atau sesudah operasi dapat menyebaban
buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Anonim, 2008; Baxter, 2003; Yadi, 2005).
2. Faktor sistemik
Faktor-faktor sistemik seperti usia, diabetes, gagal ginjal, anemia,
hipoksia atau syok hipovolemia, kekurangan nutrisi, keganasan dan
penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan sintesis
kolagen dan terganggunya fungsi imun sehingga menimbulkan gangguan pada
penyembuhan luka (Anonim, 2008).
3. Faktor teknik
Tindakan asepsis sebelum operasi dan pemberian antibiotic profilaksis
dapat berpengaruh pada penyembuhan luka pasca operasi. Selain itu tekhnik
operasi dan perawatan luka juga sangat berpengaruh terhadap penyembuhan
luka operasi (Yadi, 2005).
Sejumlah komplikasi dapat terjadi selama proses penyembuhan luka.
Komplikasi tersebut dapat disebabkan oleh proses yang mendasari, penyakit yang
diderita, kondisi gizi dan kesalahan teknik operasi atau terapi yang tidak adekuat,
antara lain:
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala muncul 2 – 7 hari setelah
pembedahan, antara lain adanya sekret purulent, peningkatan drainase, nyeri,
kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan
peningkatan jumlah sel darah putih (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan adanya suatu pelepasan jahitan, adanya
gangguan faktor pembekuan pada daerah jahitan, infeksi, atau erosi dari
pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Tanda-tanda hipovolemia
tidak langsung terlihat saat terjadi perdarahan. Jika perdarahan terjadi terus
menerus, penambahan tekanan balutan luka steril , pemberian cairan dan
intervensi pembedahan mungkin diperlukan (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.
Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Sedangkan
eviscerasi adalah keluarnya isidi bawah jahitan luka melalui daerah irisan.
Biasanya didahului oleh infeksi, selain itu sejumlah faktor meliputi
kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, batuk yang berlebihan, muntah,
dan dehidrasi mempertinggi resiko terjadinya dehisensi luka. Dehisensi luka
dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka
(Sjamsudidajat R, 2005).
C. Laparatomi
Laparatomi merupakan suatu prosedur tindakan pembedahan dengan
melibatkan suatu insisi pada dinding abdomen. Kata Laparatomi terbentuk dari
dua kata Yunani, “lapara” dan “tome”. Kata “lapara” berarti bagian lunak dari
tubuh yg terletak di antara tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti
pemotongan (Sjamsudidajat, 2005). Laparatomi dilakukan dengan berbagai
macam sayatan, yaitu :
1. Midline incision
Metode ini merupakan insisi yang paling sering digunakan, karena
sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup,
serta tidak memotong ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis
insisi ini adalah terjadinya hernia sikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi
gaster, pankreas, hepar, dan lien serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi
ginekologis, rektosigmoid, dan organ dalam pelvis (Anita, 2009; Anonim,
2009).
2. Paramedian incision
Insisi paramedian yaitu insisi abdomen dengan sedikit ke tepi dari
garis tengah (± 2,5 cm), dengan panjang insisi ± 12,5 cm. Terbagi atas 2 yaitu
paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis operasi lambung,
eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah, serta
plenoktomi. Insisi paramedian memiliki keuntungan antara lain : merupakan
bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan saraf, dan
insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah (Anita, 2009; Anonim, 2009).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah
±4cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy
(Anonim, 2009).

Bedah laparatomi dilakuakan atas berbagai indikasi, terutama indikasi


dalam bidang digestif dan kandungan, antara lain : Trauma abdomen baik tumpul
maupun tajam, peritonitis, appendicitis, perdarahan saluran cerna, obstruksi usus,
kehamilan ektopik, mioma uteri, adhesi atau perlengketan jaringan abdomen,
pancreatitis dan sebagainya (Kate, 2009; Wain,2009).
Laparotomi terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: adrenalektomi,
appendiktomi, gastrektomi, histerektomi, kolektomi, nefrektomi, pankreatektomi,
prostatektomi, seksio sesarea, sistektomi, salpingo oofarektomi dan vagotomi.
(Wain, 2009)
Seperti halnya jenis pembedahan yang lain, laparatomi juga dapat
menimbulkan beberapa komplikasi pasca pembedahan, antara lain :
1. Syok
Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang disertai
dengan ketidakmampuan tubuh untuk mengekspresikan produk metabolisme.
Manifestasi klinisnya antara lain : anemis, akral dingin, takipnea, sianosis
pada bibir, gusi dan lidah, takikardi dengan penurunan tekanan nadi serta
tekanan darah rendah dan urine pekat (Anita, 2009).
2. Hemorhagi
Hemoragi post laparotomi bisa terjadi primer, intermidiet maupun
sekunder. Hemoragi primer terjadi pada waktu pembedahan, hemoragi
intermediet terjadi beberapa jam setelah pembedahan, sedangkan hemoragi
sekunder terjadi beberapa waktu setelah pembedahan karena pembuluh darah
tidak terikat dengan baik atau menjadi terinfeksi atau mengalami erosi oleh
selang drainase.
3. Tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,
dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi dan
ambulatif dini (Kate, 2009).

4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus aureus yang
merupakan organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan pernanahan
atau abses (Kate, 2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka,
sedangkan eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui
insisi yang terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah
infeksi luka, kesalahan menutup luka saat pembedahan, dan peningkatan
tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau muntah (Anonim, 2009; Kate,
2009).

D. Dehisensi Luka

1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis, 2009)

2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang
tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai
12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).

3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita
sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar
disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85%
kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat
pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan
hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah
yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka
operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan,
nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).

4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor
mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif
dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi
proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis
biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan
yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka
operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48
jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika
infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B
haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai
peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan
oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al, 2003; Afzal,2008; Spioloitis et
al, 2009).

5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita,
faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan,
serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan
dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas,
diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan
kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian
preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada
transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah
kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga
akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga
berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan,
namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008;
Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh
sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela J, 2005).

Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan


terjadinya dehisensi luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan
retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot
dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding
abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan
bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang pada
jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal
Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan terjadinya
infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi luka
operasi.
c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak
adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan
hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang
merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan
mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses
awal penyembuhan luka.
e. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi
dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena
terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela J, 2005).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi
penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif
tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak
stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita
berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau
pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk
mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang
memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail,
2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang
terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag
repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan
hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil,
dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik
penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen
terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan
jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium
lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan
debridement pada luka (Spiloitis et al, 2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama
dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus.
Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan
usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam,
yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan
mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka.
Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka
intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali
jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan
pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008; Spiloitis,
2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik
pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau
tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi
pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat
setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis
yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai
pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh.
Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi.
Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami
komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation (Sukumar, 2004).

Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan


sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu
ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian
bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini
dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah
kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi
genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka
operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau fascia pada
dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal Surgery


in Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King Edward
Medical University Lahore . Annals 14:3

Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http:// emedicine.
medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009. Asuhan
Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang

Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today


Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com

Baxter, H. 2003. Management of surgical wound. Nur Time 99(13) ;1-9

Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html

Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The
Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm
Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.
Diakses Desember 2011 dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Kate, Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses Desember 2011 dari:


http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound


dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4):
387-390

Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing. Diakses Desember 2011 dari :


http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASAR-
MANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired


bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max
Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a problem


in the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery
4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al. Bogota Bag in the Treatment of Abdominal


Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2

Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/

Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta
Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal
wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137

Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK UNDIP :
Semarang

Anda mungkin juga menyukai