Disusun Oleh :
Vebryyanti (N 111 16 059)
Dayanara Rebecca (N 111 16 059)
Vera Uliana Simanjuntak (N 111 16 059)
PEMBIMBING KLINIK
dr. H. Arif Husain, Sp.B
2) Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering
dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang
menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal terdapat pada telapak
kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : (1). Lapisan papiler,
tipis mengandung jaringan ikat jarang. (2). Lapisan retikuler, tebal
terdiri dari jaringan ikat padat (Amirlak, 2008).
Pada dasarnya dermis terdiri atas sekumpulan serat-serat elastic
yang dapat membuat kulit berkerut akan kembali ke bentuk semula dan
serat protein ini yang disebut kolagen. Serat-serat kolagen ini disebut
juga jaringan penunjang, karena fungsinya dalam membentuk jaringan-
jaringan kulit yang menjaga kekeringan dan kelenturan kulit. Serabut-
serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan
dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit
terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput
(Branon, 2007; Amirlak, 2008).
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis
juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak
tidaknya derivat epidermis di dalam dermis (Branon, 2007).
Kelenjar keringat terdiri dari fundus (bagian yang melingkar) dan
duet yaitu saluran semacam pipa yang bermuara pada permukaan kulit
membentuk pori-pori keringat. Semua bagian tubuh dilengkapi dengan
kelenjar keringat dan lebih banyak terdapat dipermukaan telapak tangan,
telapak kaki, kening dan di bawah ketiak. Kelenjar keringat mengatur
suhu badan dan membantu membuang sisa-sisa pencernaan dari tubuh.
Kegiatannya terutama dirangsang oleh panas, latihan jasmani, emosi dan
obat-obat tertentu. Ada dua jenis kelenjar keringat yaitu Ekrin dan
Apokrin (Branon, 2007).
Kelenjar sebasea terletak pada bagian atas dermis berdekatan
dengan folikel rambut terdiri dari gelembung-gelembung kecil yang
bermuara ke dalam kandung rambut (folikel). Folikel rambut
mengeluarkan lemak yang meminyaki kulit dan menjaga kelunakan
rambut. Kelenjar sebasea membentuk sebum. Terkecuali pada telapak
tangan dan telapak kaki, kelenjar sebasea terdapat di semua bagian
tubuh terutama pada bagian muka. Pada umumnya, satu batang rambut
hanya mempunyai satu kelenjar sebasea yang bermuara pada saluran
folikel rambut (Amirlak, 2008).
2. Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme (Branon, 2007).
a. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringan
tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh
luar seperti luka dan serangan kuman (Branon, 2007).
Lapisan paling luar epidermis diselubungi lapisan tipis lemak yang
menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan
luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh
serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari
matahari.
b. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang
berhubungan dengan nyeri, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan
getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf
sensasi.
c. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh
kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom.
Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap sekitar 36,5ºC. Ketika terjadi
perubahan suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan
penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing.
d. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar keringat
yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam,
yodium dan zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak
saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air
transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari.
e. Penyimpanan : Kulit menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam
lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim
muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada
tingkatan yang sangat tipis (Branon, 2007; Amirlak, 2008).
Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam
saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke
dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.
g. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang tampak
halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan. Fungsi lain
dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang seperti
kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot penegak rambut (Branon,
2007; Amirlak, 2008).
2. Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena berbagai
kegiatan bio-seluler, bio-kimia terjadi berkesinambungan. Penggabungan respons
vaskuler, aktivitas seluler dan terbentuknya bahan kimia sebagai substansi
mediator di daerah luka merupakan komponen yang saling terkait pada proses
penyembuhan luka. Proses ini berlangsung dinamis melibatkan mediator cair, sel
darah, matriks ekstraseluler, serta sel-sel parenkim. Proses penyembuhan luka
secara umum terdiri atas tiga fase yaitu inflamasi, pembentukan jaringan atau
proliferasi dan maturasi atau remodeling (Tawi, 2008; Yadi, 2005).
a. Inflamasi
Inflamasi merupakan tahap pertama penyembuhan luka. Fase ini
dimulai sejak terjadinya luka dan berlangsung selama 3 sampai 7 hari. Fase
inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: kemerahan karena
kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan
pembengkakan (tumor) serta function laesa (Anonim, 2008).
Setelah terjadinya luka jaringan pembuluh darah segera mengalami
vasikonstriksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang
bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang
berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan
akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan
mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF
b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF b1 akan mengaktivasi
fibroblas untuk mensintesis kolagen (Yadi, 2005; Braz, 2007; Baxter, 2003).
Faktor apapun yang mengganggu proses ini akan memperlambat
penyembuhan luka. Selama fase inflamasi akut, jaringan tidak akan
memperoleh kekuatan regangan yang cukup tetapi tergantung pada
pendekatan tepi luka (Braz et al, 2007).
Gambar 4. Fase Inflamasi (Ismail, 2008)
b. Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah
terjadinya luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Proses kegiatan seluler
yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan
ditandai dengan proliferasi sel. Tahap proliferasi ini disebut juga fase
fibroplasias karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Peran
fibroblas sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama
proses rekonstruksi jaringan (Sjamsudidajat, 2005; Tawi, 2008).
Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar
luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang serta mengeluarkan
beberapa substansi seperti kolagen, elastin, asam hyaluronic, fibronectin dan
profeoglycans yang berperan dalam rekonstruksi jaringan baru (Tawi, 2008).
Kolagen yang merupakan substansi protein adalah konstituen utama
dari jaringan ikat. Pembentukan serat kolagen menentukan kekuatan regangan
dan kelenturan penyembuhan luka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah
membentuk cikal bakal jaringan baru (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan
baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi
fibroblas dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Respons yang
dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah: proliferasi, migrasi,
deposit jaringan matriks dan kontraksi luka (Tawi, 2008).
Ketika serat kolagen terisi dengan pembuluh darah baru, jaringan
granulasi akan menjadi terang dan merah. Bantalan kapiler tebal yang mengisi
matriks akan memberikan suplai nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk
penyembuhan luka. Fase ini terjadi setelah hari ketiga. Kolagen ini kemudian
akan berada diantara luka dan akan memberikan tekanan normal. Lamanya
fase ini bervariasi berdasarkan tipe jaringan yang terlibat dan tekanan atau
tegangan yang diberikan luka selama periode ini (Sjamsudidajat, 2005; Braz
et al, 2007).
Angiogenesis atau proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam
luka juga mempunyai arti penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan
luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit misalnya diabetes, radiasi atau
penggunaan preparat steroid dalam jangka waktuyang lama mengakibatkan
lambatnya proses penyembuhan luka. Jaringan vaskuler yang melakukan
invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan
nutrisi yang cukup di daerah luka karena pada daerah luka terdapat keadaan
hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan
angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi
yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (Tawi, 2008; Braz et al, 2007).
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar seperti yang telah
diterangkan tadi, berjalan secara alami. Penyembuhan ini disebut penyembuhan
sekunder. Cara ini biasanya membutuhkan waktu yang lama dan meninggalkan
parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar. Dalam
penatalaksanaan bedah terdapat 3 bentuk penyembuhan luka, yaitu penyembuhan
melalui intensi pertama, kedua, atau ketiga (Sinaga, 2009).
a. Penyembuhan melalui Intensi Pertama (Penyatuan Primer). Luka dibuat
secara aseptik, dengan perusakan jaringan minimum, dan penutupan dengan
baik, seperti dengan suture atau proses penjahitan untuk mentautkan luka,
sembuh dengan sedikit reaksi jaringan melalui intensi pertama. Ketika luka
sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan
pembentukan jaringan parut minimal.
b. Penyembuhan melalui Instensi Kedua (Granulasi). Pada luka dimana terjadi
pembentukan pus (supurasi) atau dimana tepi luka tidak saling merapat,
proses perbaikannya kurang sederhana dan membutuhkan waktu lebih lama.
c. Penyembuhan melalui Instensi Ketiga (Suture Sekunder). Jika luka dalam
baik yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali nantinya,
dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini
mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas (Sinaga, 2009).
4. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah Staphylokokus aureus yang
merupakan organisme gram positif. Bakteri ini mengakibatkan pernanahan
atau abses (Kate, 2009).
5. Dehisensi luka dan Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya kembali tepi-tepi luka,
sedangkan eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam tubuh melalui
insisi yang terbuka kembali. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah
infeksi luka, kesalahan menutup luka saat pembedahan, dan peningkatan
tekanan intraabdominal akibat dari batuk atau muntah (Anonim, 2009; Kate,
2009).
D. Dehisensi Luka
1. Definisi
Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses
penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya
kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat
kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Baxter, 2003; Spiolitis, 2009)
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang
tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai
12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Anonim, 2008;
Sjamsudidajat R,2005).
3. Manifestasi Klinik
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita
sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar
disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85%
kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat
pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan
hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah
yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat R,2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka
operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan,
nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
4. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
kerjanya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan
semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor
mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif
dan hematom serta teknik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi
proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi
Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis
biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan
yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka
operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi,
terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai
dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48
jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika
infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B
haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai
peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan
oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al, 2003; Afzal,2008; Spioloitis et
al, 2009).
5. Faktor Resiko
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor
preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita,
faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan,
serta faktor pascaoperasi (Webster et al, 2003).
Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan
dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas,
diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan
kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian
preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada
transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah
kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga
akan mereganggkan jahitan operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga
berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki
keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan,
namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008;
Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman
daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi
suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh
sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009;
Makela J, 2005).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi
penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif
tergantung atas keadaan umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak
stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita
berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau
pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk
mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang
memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail,
2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka
yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang
terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag
repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan
hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil,
dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik
penjahitan (Sukumar, 2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen
terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan
jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium
lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan
debridement pada luka (Spiloitis et al, 2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi
dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di
tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama
dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus.
Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan
usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam,
yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan
mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka.
Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka
intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali
jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan
pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008; Spiloitis,
2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik
pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atau
tabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi
pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat
setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis
yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai
pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh.
Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi.
Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami
komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation (Sukumar, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http:// emedicine.
medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009. Asuhan
Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang
Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http://
dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html
Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The
Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari :
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm
Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung.
Diakses Desember 2011 dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf
Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember 2011 dari :
http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/
Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari.
Akademi Keperawatan UPN: Jakarta
Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal
wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2):
130-137
Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar. FK UNDIP :
Semarang