Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan disosiasi adalah perubahan kesadaran mendadak yang

mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan

disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama

beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.

Disosiasi timbul sebagai suatu pertahanan terhadap trauma. Pertahanan disosiatif

memiliki fungsi ganda untuk menolong korban melepaskan dirinya sendiri dari

trauma sambil juga menunda menyelesaikannya.1

Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori (amnesia

psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue).2 Gangguan tersebut

cukup lazim terjadi sebagai suatu pertahanan terhadap trauma, khususnya timbul

pada orang yang masa kanak-kanaknya mengalami kekerasan fisik atau seksual

dan sering timbul dalam bentuk komorbiditas dengan depresi mayor, gangguan

somatisasi, gangguan stress pasca trauma, penyalahgunaan zat, gangguan

kepribadian ambang, gangguan konduksi dan gangguan kepribadian antisosial.3

Hal yang paling umum terlihat pada gangguan disosiatif adalah adanya

kehilangan (sebagian/seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu,

kesadaran akan identitas dan penghayatan dan kesadaran terhadap lingkungan.

Onset dan berakhirnya keadaan disosiatif sering kali berlangsung mendadak akan

tetapi jarang sekali dapat dilihat kecuali dalam interaksi atau prosedur teknik-

teknik tertentu seperti hipnosis.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan

sebagai sekumpulan gejala kejiwaan yang ditandai adanya gangguan pada

kesadaran, identitas, memori, kebiasaan motorik atau kepekaan terhadap

lingkungan. Atau dapat juga diartikan adanya kehilangan (sebagian atau seluruh)

dari integrasi normal (dibawah kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu,

kesadaran identitas.4,5

Dalam penegakan diagnosis gangguan disosiatif harus ada gangguan yang

menyebabkan kegagalan mengkordinasikan identitas, memori persepsi ataupun

kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial,

pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.

2.2 Epidemiologi

Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam

masyarakat. Tetapi juga gangguan disosiatif ini tidak jarang ada dalam kasus-

kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi.

Dalam beberapa referensi bisa terlihat bahwa ada peningkatan yang tajam dalam

kasus-kasus gangguan disosiatif yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para

ahli dalam menegakkan diagnosis, menyediakan kriteria yang spesifik, dan

2
menghindari kesalahan diagnosis antara gangguan disosiatif, schizophrenia atau

gangguan personal.

Orang-orang yang umumnya mengalami gangguan disosiatif ini sangat

mudah dihipnotis dan sangat sensitif terhadap sugesti dan lingkungan budayanya,

namun tak cukup banyak referensi yang membetulkan pernyataan tersebut.

Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini

mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiasi bisa terkena oleh orang di

belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.

2.3 Etiologi

Gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun

biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan

organik yang dialami. Pendekatan psikoanalitik menyatakan amnesia terutama

sebagai mekanisme pertahanan di mana orang mengubah kesadarannya sebagai

cara untuk menghadapi suatu konflik emosional atau stresor eksternal. Gangguan

ini dapat terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa

teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa

terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-

ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.

Dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa trauma yang terjadi berupa:

 Kepribadian yang labil


 Pelecehan seksual
 Pelecehan fisik
 Kekerasan rumah tangga ( ayah dan ibu cerai )
 Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan

3
Identitas personal terbentuk selama masa kecil dan selama itupun, anak-

anak lebih mudah melangkah keluar dari dirinya dan mengobservasi trauma

walaupun itu terjadi pada orang lain.

2.4 Patofisiologi

(a) Genetik

Hingga saat ini, tidak ada penelitian yang membuktikan adanya

keterkaitan genetik dengan gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif lebih utama

disebabkan karena peristiwa traumatik.

(b) Neurobiologi

Proses neurobiologi mengenai gangguan disosiatif belum sepenuhnya

diketahui. Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara perubahan

fisiologis dengan gejala disosiatif. Menurut hipotesis yaitu semakin awal terkena

kekerasan atau trauma psikologis, maka perkembangan dari perubahan fisiologis

akan semakin cepat. Beberapa sistem neurotransmitter berkaitan dengan

perkembangan gangguan disosiatif, seperti : Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA)

Aksis, reseptor Glutamat/N-methyl-D-aspartat, Serotonin 5-HT2a, 5-HT2c,

Gama-aminobutyric acid (GABA), dan reseptor Opioid.

HPA aksis diketahui memiliki peran dalam mengatur respon stress.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa individu dengan gejala disosiatif

memiliki hiperaktivitas HPA aksis basal dengan meningkatnya kortisol dan

berkurangnya inhibisi dari feedback-negatif pituitari.


4
Menurut penelitian menggunakan neuroimaging, baik pada hewan atau

manusia, stress saat usia muda memperlihatkan hubungan dengan perubahan

struktur dari hippocampus. Volume amygdala dan hippocampal yang kecil

dilaporkan terdapat pada pasien dengan gejala disosiatif. Menurunnya volume

hippocampal dapat dijelaskan dengan pemaparan stress; hippocampus adalah

organ target utama untuk glukokortikoid, yang akan dilepaskan selama peristiwa

”stressful”, dan memperpanjang pemaparan untuk glukokortikoid terhadap

hippocampus yang dapat mengakibatkan atrofi progresif dari hippocampus.

Mekanisme yang jelas mengenai berkurangnya volume amygdala belum

diketahui. Mungkin terdapat neurotransmiter lain yang berperan dalam perubahan

ini. Berdasarkan penelitian D’Souza et al., gejala disosiatif mirip dengan psikosis,

yang berhubungan dengan menurunnya inhibitor GABA sehingga mengakibatkan

stimulasi reseptor serotonin terus menerus. Lysergic acid diethylamide (LSD),

dimethyltryptamine (DMT) bekerja sebagai agonis dari reseptor serotonin 5-HT2a

dan 5-HT2c juga mungkin berperan pada perubahan serotoin pada gejala

disosiatif.

Mekanisme serupa juga terdapat pada penggunaan obat antagonis reseptor

NMDA, ketamin, yang menyebabkan timbulnya fase disosiatif pada individu yang

sehat. Reseptor NMDA tersebar luas di korteks, juga di hippocampus dan

amygdala; berkurangnya neurotransmisi yang berkaitan dengan NMDA mungkin

berhubungan dengan fase disosiatif. Efek dari cannabinoids menjelaskan hipotesis

ini dimana cannabinoids memblok reseptor NMDA diluar antagonis non-

kompetitif NMDA dan tetap menyebabkan timbulnya gejala disosiatif.

5
6
2.5 Klasifikasi

Berdasarkan PPDGJ III, gangguan disosiatif dibedakan atau

diklasifikasikan atas beberapa pengolongan yaitu6 :

F44.0 Amnesia Disosiatif

F44.1 Fugue Disosiatif

F44.2 Stupor Disosiatif

F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan

F44.4-F44.7 Gangguan Disosiatif dari gerakan dan Penginderaan

F44.4 Gangguan motorik Disosiatif

F44.5 Konvulsi Disosiatif

F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif

7
F44.7 Gangguan Disosiatif campuran

F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya

F44.80 Sindrom Ganser

F44.9 Gangguan disosiatif YTT

Sedangkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders edisi keempat (DSM IV) ada 4 diagnostik spesifik gangguan

dissosiatif:
1. Amnesia Disosiatif
2. Fugue Disosiatif
3. Gangguan Identitas Disosiatif
4. Gangguan Depersonalisasi

1. Amnesia Disosiatif

Definisi

Berdasarkan DSM IV, ciri penting amnesia disosiatif adalah

ketidakmampuan mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya terkait

traumatik atau tekanan, yang terlalu luas untuk dijelaskan sebagai kelupaan

biasa. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

identitas disosiatif, fugue disosiatif, posttraumatic stress disorder (PTSD),

gangguan stress akut, atau gangguan somatik, dan bukan hasil dari efek

psikologi langsung dari zat atau saraf atau kondisi medis umum. Gangguan

mungkin disebabkan oleh perubahan neurobiologik di otak karena stress

traumatik.

Pada amnesia disosiatif, kehilangan ingatan biasanya mempengaruhi

informasi yang secara normal sebagai bagian dari keadaan sadar yang rutin,

8
yang salah satunya adalah apa yang dilakukan, kemana perginya, dengan

siapa bicara, apa yang dikatakan, berpikir dan merasa, dan sebagainya.

Kadang kala informasi tersebut lupa diingat yang selanjutnya mempengaruhi

tingkah laku orang tersebut.

Orang dengan amnesia disosiatif biasanya memiliki satu atau lebih

celah ingatan yang hilang beberapa menit sampai beberapa jam atau hari.

Meskipun begitu, celah ingatan yang hilang setahun atau bahkan sepanjang

hidup seseorang bisa terjadi. Kebanyakan orang dengan amnesia disosiatif

menyadari benar bahwa mereka telah kehilangan beberapa waktu, tetapi

beberapa orang menyadari kehilangan waktu hanya ketika mereka sadar atau

dihadapkan pada fakta bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang mereka

tidak ingat. Beberapa orang dengan amnesia disosiatif lupa pada beberapa hal

tetapi tidak semua peristiwa yang melebihi jangka waktu tertentu, yang

lainnya tidak dapat mengingat seluruh kehidupan yang telah berlalu atau lupa

hal-hal yang mereka alami.

Epidemiologi

Amnesia disosiatif dilaporkan terjadi pada sekitar 6% dari populasi.

Tidak ada perbedaan insiden yang berarti antara pria dan wanita. Kasus

umumnya mulai dilaporkan pada akhir masa remaja atau dewasa. Amnesia

disosiatif dapat sangat sulit dinilai pada anak pra remaja karena keterbatasan

kemampuan mereka dalam menggambarkan pengalaman subyektif.

9
Etiologi

1. Amnesia dan konflik intrapsikis yang ekstrim

Pada beberapa kasus amnesia disosiatif akut, lingkungan

psikososial dari perkembangan amnesia adalah konfliktual masal, pasien

dengan pengalaman rasa malu tak tertahankan, salah, putus asa, marah,

depresi. Hal ini biasanya merupakan hasil dari konflik atau impuls

mendesak yang tidak dapat diterima, seperti kegiatan seksual yang intens,

dorongan bunuh diri atau kekerasan.

2. Pengingkaran trauma

Pengingkaran trauma merupakan upaya untuk menjelaskan amnesia

karena trauma yang hebat dan karena kejadian yang negatif. Pengingkaran

diperkirakan untuk mempengaruhi jalan dimana suatu kejadian diproses

dan diingat. Informasi tentang perlakuan yang tidak pantas tidak

berhubungan dengan mekanisme mental yang mengendalikan keterikatan

dan perilaku.

Gejala Klinik
1. Gejala klasik

Gangguan klasik jelas, gangguan klinis dramatis yang sering

mengakibatkan pasien dibawa cepat untuk perhatian medis khusus untuk

gejala yang terkait gangguan disosiatif. Biasanya ditemukan pada mereka

10
yang mempunyai pengalaman trauma ekstrem akut. Pasien mungkin

menunjukkan gejala kekambuhan atau konversi somatoform, perubahan

kesadaran, depersonalisasi, derealisasi, trance states, dan bahkan amnesia

disosiatif anterograde lanjutan. Tidak ada profil kepribadian tunggal atau

latar belakang yang dilaporkan secara konsisten pada pasien, walaupun

latar belakang pribadi sebelumnya atau keluarga dari somatoform atau

gejala disosiatif menunjukkan predisposisi individu dalam perkembangan

amnesia akut selama suasana traumatik. Beberapa pasien pernah mandapat

pelecehan atau trauma di masa anak-anak atau remaja. Dalam kasus

perang, seperti bentuk lain dari perseteruan yang berhubungan dengan

gangguan pasca trauma, variable paling penting dalam perkembangan

gejala disosiatif, namun, tampaknya intensitas meningkat.

2. Gejala non klasik

Pasien sering datang untuk terapi dengan gejala bervariasi, seperti

depresi atau perubahan mood, penyalahgunaan zat, gangguan tidur, gejala

somatoform, cemas dan panik, impuls bunuh diri atau mutilasi diri dan

tindakannya, kekerasan, gangguan makan, dan masalah interpersonal.

Lima pola yang berbeda dari kehilangan daya ingat telah

dilaporkan pada pasien dengan amnesia disosiatif :

1. Lokal
Pasien tidak dapat mengingat peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu

terbatas (biasanya beberapa jam atau 1-2 hari) setelah peristiwa traumatis.

Sebagai contoh, beberapa korban serangan World Trade Center tidak ingat

11
bagaimana mereka keluar dari bangunan yang rusak atau apa jalan yang

mereka ambil untuk pergi dari daerah tersebut.


2. Selektif
Pasien dapat mengingat beberapa, tetapi tidak semua peristiwa yang terjadi

selama periode waktu yang terbatas. Sebagai contoh, seorang pejuang

mungkin ingat beberapa detail, seperti mengambil tahanan, tetapi tidak

yang lain (melihat teman terbunuh, kehilangan komandan).


3. Umum
Orang tidak ingat sesuatu dalam hidupnya atau sepanjang hidupnya. Orang

dengan amnesia umum biasanya ditemukan oleh polisi atau diambil orang

lain dan dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit.


4. Terus menerus
Amnesia ini mencakup seluruh periode tanpa gangguan dari peristiwa

traumatis di masa lalu untuk saat ini.


5. Sistematis
Amnesia hanya mencakup kategori informasi tertentu, seperti semua

kenangan yang berhubungan dengan lokasi tertentu atau orang tertentu.

Faktor Resiko

Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual

ataupun emosional semasa kecil sangat beresiko besar mengalami

gangguan amnesia disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki

pengalaman kejadian yang traumatik, misalnya perang, bencana,

penculikan, dan prosedur medis yang invasif juga dapat menjadi faktor

resiko terjadinya gangguan amnesia disosiatif.

Diagnosis

12
Kriteria diagnosis amnesia disosiatif berdasarkan DSM IV antara lain1 :

1. Gangguan dominan adalah satu atau lebih episode ketidakmampuan

mengingat kembali informasi pribadi penting, biasanya pada trauma atau

stress alami yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh lupa biasa.
2. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

identitas disosiatif, fugue disosiatif, gangguan stress post trauma,

gangguan stress akut, atau gangguan somatic dan tidak disebabkan oleh

efek psikologi secara langsung dari zat (seperti penyalahgunaan obat,

pengobatan), atau kondisi neurologic atau kondisi medis secara umum

(seperti gangguan amnesia karena trauma kepala).


3. Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang

sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.

2. Fugue Disosiatif

Definisi

Fugue disosiatif merupakan kondisi ketika seseorang yang

mengalami amnesia disosiatif tiba-tiba melakukan perjalanan yang jauh

dari rumah atau tempat kerjanya tanpa direncanakan. Pada pasien fugue

terdapat ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting identitas

sebelumnya (nama, keluarga, pekerjaan) dan terkadang pasien fugue

mengadopsi sebagian atau lengkap identitas baru. Selain itu, ingatan

terhadap peristiwa traumatik terakhir atau keadaan yang penuh tekanan

juga hilang.1

Epidemiologi

13
Data epidemiologi untuk semua gangguan disosiatif terbatas dan

fugue disosiatif sendiri jarang ditemukan9. Fugue disosiatif biasanya

disebabkan oleh peristiwa traumatik atau penuh tekanan sehingga

insidennya mungkin meningkat atau paling sering terjadi selama perang,

setelah bencana alam, dan krisis pribadi dengan konflik internal yang

berat1. Angka prevalensi fugue dissosiatif menurut DSM-IV-TR pada

populasi umum sekitar 0,2 persen.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien rawat inap

psikiatri di Dayton, Ohio Wright Patterson Air Force Medical Center pada

tahun 1973, fugue disosiatif ditemukan di hanya 0,3% dari prajurit dan

keluarga perempuan yang ditinggalkan. Pada sebuah penelitian lebih baru

yang dilakukan di Winnipeg, Kanada, tidak ditemukan kasus fugue

disosiatif pada 502 anggota dari populasi umum.2 Fugue disosiatif banyak

dialami oleh dewasa terutama pada tahun kedua dekade ke empat dan

distribusinya hampir sama antara laki-laki dan perempuan.1

Etiologi

Berbagai stressor dan faktor pribadi menjadi predisposisi seseorang

untuk mengalami fugue disosiatif. Fugue disosiatif memiliki faktor

motivasi yang penting berupa keinginan menarik diri dari pengalaman

yang menyakitkan secara emosi. Pasien dengan gangguan mood dan

kepribadian tertentu (misalnya skizoid) juga memiliki predisposisi

mengalami fugue disosiatif.9

14
Faktor-faktor lain yang juga merupakan predisposisi seseorang

menderita fugue disosiatif antara lain faktor psikososial meliputi stresor

perkawinan, keuangan, pekerjaan dan stresor akibat perang. Adapun ciri

predisposisi terkait fugue disosiatif lainnya, seperti depresi, upaya bunuh

diri, riwayat trauma kepala, dan riwayat penyalahgunaan zat.9

Gejala Klinik

Sama halnya dengan amnesia disosiatif, pada pasien fugue

disosiatif ditemukan amnesia yaitu ketidakmampuan mengingat kembali

informasi identitas personal namun individu masih dapat belajar sesuatu

yang baru. Pasien fugue disosiatif berkelana bertujuan, biasanya jauh dari

rumah, selama beberapa hari tiap kalinya, sangat jarang terjadi hingga

berbulan-bulan1.

Selama berkelana pasien akan mengalami amnesia secara

menyeluruh terhadap kehidupan masa lalunya. Lupa akan idetitas, seperti

nama, keluarga dan tempat dia tinggal sebelumnya. Pada saat onset fugue

terjadi, pasien tidak akan menyadari dirinya terkena amnesia. Jika pasien

kembali ke dirinya sebelumnya, pasien dapat mengingat hal-hal sebelum

onset fugue terjadi, namun pasien tetap lupa pada apa yang terjadi selama

periode fuguenya.1

Pada awalnya, pasien dengan fugue disosiatif mungkin terlihat

normal sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, kebingungan mulai

tampak terlihat. Kebingungan ini mungkin hasil dari realisasi bahwa

pasien tidak mampu mengingat masa lalunya. Pasien kemudian menyadari

15
ada sesuatu yang salah tidak lama setelah mereka melarikan diri dalam

beberapa jam sampai beberapa hari. Pada beberapa kasus, pasien mungkin

menelepon ke rumah atau meminta bantuan polisi setelah mengalami

kesukaran saat menemukan diri mereka berada di tempat yang tak dikenal

dan dalam keadaan yang tidak dapat mereka jelaskan.9

Pasien dengan fugue disosiatif tidak menunjukkan kelakuan

patologis atau memperlihatkan adanya ingatan tertentu dari kejadian yang

traumatik, mereka biasanya tenang, biasa, bekerja dengan pekerjaan

sederhana, hidup sederhana, dan umumnya tidak melakukan hal-hal yang

dapat menarik perhatian ke arahnya.2,5

Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk fugue disosiatif bedasarkan DSM IV antara

lain1 :

1) Gangguan yang predominan adalah terjadinya perjalanan mendadak yang

tidak diharapkan berupa meninggalkan rumah, tempat, pekerjaan dan ia

tidak mampu mengingat masa lalunya.


2) Kebingungan tentrang indetitas persoanal atau perkiraan dari indetitas baru

(sebagian atau utuh).


3) Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

indetitas dan tidak disebabkan efek fisiologis langsung dari penggunaan

zat (misalnya penyalahgunaan zat, pengobatan) atau kondisi medik

umum (misalnya epilepsi lobus temporalis).


4) Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang

sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.

16
3. Gangguan Identitas Disosiatif
Definisi
Gangguan identitas disosiatif adalah nama yang digunakan DSM-IV-TR

untuk gangguan yang biasanya dikenal sebagai gangguan kepribadian

multiple/majemuk. Gangguan identitas disosiatif adalah gangguan

disosiatif kronis, dan penyebabnya terutama melibatkan peristiwa

traumatic, biasanya penyiksaan seksual atau fisik di masa kanak-kanak.

Gangguan identitas disosiatif biasanya dianggap sebagai gangguan

disosiatif yang paling serius walaupun beberapa klinisi yang mendiagnosis

berbagai pasien dengan gangguan ini telah memberi kesan bahwa mungkin

terdapat keparahan dalam rentang yang lebih luas daripada sebelumnya

dianggap

Epidemiologi
Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi menurut laporan riset

maupun laporan tidak resmi mengenai gangguan identitas disosiatif. Pada

suatu titik, sejumlah peneliti yakin bahwa gangguan identitas disosiatif

sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti yakin bahwa gangguan

identitas disosiatif sangat banyak yang tidak dikenali.


Pasien yang didiagnosis gangguan identitas disosiatif sebagian

besar adalah perempuan. Gangguan ini paling lazim ditemukan pada masa

remaja akhir dan dewasa muda, dengan usia diagnostik rerata adalah 30

tahun. Gangguan identitas disosiatif sering terjadi bersamaan dengan

gangguan jiwa lain, termasuk gangguan ansietas, gangguan mood,

gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan terkait zat, gangguan

makan, gangguan tidur dan gangguan stress pasca trauma.

17
Etiologi
Penyebab gangguan identitas disosiatif tidak diketahui walaupun riwayat

pasien hampir semua (mendekati 100 persen) melibatkan peristiwa

traumatik, paling sering di masa kanak-kanak. Umumnya empat tipe faktor

penyebab telah diidentifikasi; peristiwa hidup traumatik, kerentanan

terhadap gangguan, faktor lingkungan, serta tidak adanya dukungan

eksternal.

Diagnosis dan Gambaran Klinis


Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Identitas Disosiatif:
1. Adanya dua atau lebih identitas atau keadaan kepribadian yang

berbeda (masing-masing dengan pola penerimaan, berkaitan dengan,

dan berpikir mengenai lingkungan dan diri sendiri- masing-masing

relatif berlangsung lama)


2. Sedikitnya dua dari identitas atau keadaan kepribadian ini mengambil

kendali perilaku seseorang secara berulang


3. Ketidakmampuan mengingat kembali informasi pribadi yang penting

dan terlalu luas untuk dijelaskan dengan keadaan lupa yang biasa
4. Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth,

hilang kesadaran atau perilaku kacau selama intoksikasi alkohol) atau

keadaan medis umum (cth, bangkitan parsial kompleks). Catatan: pada

anak, gejalanya tidak dikaitkan dengan teman main khayalan atau

permainan khayalan lain

4. Gangguan depersonalisasi
Definisi
DSM-IV-TR menandai gangguan depersonalisasi sebagai

perubahan menetap atau berulang dalam persepsi diri bahwa perasaan

18
seseorang akan realitasnya secara sementara hilang. Pasien dengan

gangguan depersonalisasi dapat merasakan bahwa mereka adalah mekanis,

dalam mimpi, atau terlepas dari tubuh tertentu. Episode ini bersifat ego-

distonik dan pasien menyadari kenyataan gejala ini. Depersonalisasi

adalah perasaan bahwa tubuh atau pribadi adalah asing dan tidak nyata.

Epidemiologi
Sebagai pengalaman terpisah dari kehidupan banyak orang,

depersonalisasi adalah fenomena yang lazim dan tidak selalu bersifat

patologis. Sejumlah studi menunjukkan bahwa depersonalisasi singkat

dapat terjadi pada sebanyak 70 persen populasi tertentu tanpa perbedaan

siginifikan antara laki-laki dan perempuan. Anak sering mengalami

depersonalisasi ketika mereka mengembangkan kapasitas kesadaran diri

dan orang dewasa sering mengalami rasa tidak nyata sementara ketika

mereka bepergian ke daerah baru dan asing.


Informasi mengenai epidemiologi depersonalisasi patologis hanya

sedikit. Pada sejumlah kecil studi terkini, depersonalisasi ditemukan

terdapat pada perempuan sedikitnya dua kali lebih sering dibandingkan

laki-laki; gangguan ini jarang ditemukan pada orang berusia di atas 40

tahun. Awitan usia rerata kira-kira 16 tahun.

Etiologi
Depersonalisasi dapat disebabkan oleh penyakit psikologis,

neurologis, atau sistemik. Penyebab sistemik mencakup gangguan

endokrin pada tiroid dan pankreas. Pengalaman depersonalisasi telah

diamati pada pasien epilepsy, tumor otak, gangguan sensorik, dan trauma

emosional; dan fenomena depersonalisasi disebabkan oleh stimulasi listrik

19
pada korteks lobus temporalis selama bedah saraf. Depersonalisasi dapat

disebabkan oleh serangkaian zat termasuk alkohol, barbiturat,

benzodiazepine, scopolamine, marijuana dan hampir setiap zat fensiklidin

(PCP) atau halusinogenik. Ansietas dan depresi adalah faktor predisposisi

seperti halnya stress berat yang dialami contohnya dalam peperangan atau

kecelakaan mobil. Depersonalisasi adalah gejala yang sering terjadi pada

gangguan ansietas, gangguan depresif dan skizofrenia.

Diagnosis
Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Depersonalisasi:
1. Pengalaman berulang atau menetap mengenai rasa terlepas dari, dan

seolah-olah seseorang adalah seorang pengamat luar dari proses mental

atau tubuh seseorang (cth, rasa seperti ia berada dalam mimpi)


2. Selama pengalaman depersonalisasi, uji realitas tetap baik
3. Depersonalisasi menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna

atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lainnya
Pengalaman depersonalisasi tidak hanya terjadi selama perjalanan

gangguan jiwa lain, seperti skizofrenia, gangguan panic, gangguan

stress akut, atau gangguan disosiatif lain, dan tidak disebabkan efek

fisiologis dari suatu zat (cth, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau

keadaan medis umum (cth, epilepsi lobus temporalis

5. Gangguan Disosiatif yang Tidak tergolongkan


Diagnosis gangguan disosiatif yang tidak tergolongkan diterapkan untuk

gangguan dengan gambaran disosiatif tetapi tidak memenuhi kriteria

diagnostik amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan identitas

disosiatif dan gangguan depersonalisasi. Kriterianya menurut DSM-IV-TR

adalah sebagai berikut:

20
Kategori ini dimasukkan untuk gangguan yang gambaran dominannya

adalah gejala disosiatif (y.i., gangguan fungsi kesadaran, daya ingat,

identitas, atau persepsi lingkungan yang biasanya terintegrasi) yang tidak

memenuhi kriteria diagnostik gangguan disosiatif spesifik. Contohnya

mencakup:
1. Gambaran klinis serupa dengan gangguan identitas disosiatif tetpai

tidak memenuhi kriteria diagnostic gangguan ini. Contohnya

mencakup tampilan yang (1) tidak terdapat dua atau lebih keadaan

kepribadian yang berbeda atau (2) tidak terdapat amnesia untuk

informasi pribadi
2. Derealisasi yang tidak disertai depersonalisasi pada orang dewasa
3. Keadaan disosiasi yang terjadi pada seseorang yang mengalami

periode persuasi yang panjang dan sangat memaksa (cth., pencucian

otak, pembentukan kembali pikiran, atau indoktrinasi saat ditahan)


4. Gangguan trance disosiatif; gangguan tunggal atau episodik keadaan

kesadaran, identitas, atau daya ingat yang khas pada lokasi atau

kebudayaan tertentu. Trance disosiatif melibatkan penyempitan

kesadaran di sekeliling atau perilaku atau gerakan stereotipik yang

dialami yaitu berada di luar kendali seseorang. Trance “kemasukan”

melibatkan penggantian rasa identitas pribadi yang biasanya oleh

identitas baru, dikaitkan dengan pengaruh roh, kekuatan, dewa, atau

orang lain dan disertai gerakan “involuntar” stereotipik atau amnesia

dan mungkin merupakan gangguan yang paling lazim ditemukan di

Asia. Contohnya mencakup amok (Indonesia), bebainan (Indonesia),

latah (Malaysia), piblokto (artic), ataque de nervios (amerika latin),

21
dan kemasukan (India). Gangguan disosiatif atau trance bukan

merupakan bagian dari normal praktik religious atau budaya kolekif

yang diterima luas.


5. Hilang kesadaran, stupor, atau koma yang tidak disebabkan oleh

keadaan medis umum


6. Sindrom Genser : pemberian jawaban yang tidak akurat terhadap

pertanyaan-pertanyaan (cth., 2 ditambah 2 sama dengan 5) yang tidak

disebabkan oleh amnesia disosiatif atau fugue disosiatif.


Gangguan Trance disosiatif
Kriteria Diagnostik :
A. Baik (1) atau (2)
1. Trance, y.i., perubahan sementara yang jelas pada keadaan kesadaran

dan hilangnya rasa identitas pribadi yang biasa tanpa penggantian

oleh identitas pribadi yang biasa tanpa penggantian oleh identitas

pengganti, disertai sedikitnya salah satu berikut ini:


a) Penyempitan kesadaran akan sekeliling, atau fokus selektif dan

sangat sempit yang tidak biasa terhadap stimulus lingkungan


b) Perilaku atau gerakan stereotipik yang dialami seolah-olah

berada di luar kendali seseorang


2. Trance “kemasukan”, perubahan tunggal atau episodik keadaan

kesadaran yang ditandai dengan penggantian rasa identitas pribadi

biasa oleh identitas baru. Hal ini dikaitkan dengan pengaruh roh,

kekuatan, dewa, atau orang lain, seperti yang dibuktikan oleh satu

(atau lebih) keadaan dibawah ini:


a) Perilaku atau gerakan stereotipik dan ditentukan oleh budaya

yang dialami seolah-olah dikendalikan oleh agen yang

“memasuki”
b) Amnesia penuh atau sebagian untuk peristiwa tersebut

22
B. Keadaan trance atau trance “kemasukan” tidak diterima sebagai praktik

budaya kolektif atau praktik religius


C. Keadaan trance atau trance “kemasukan” menimbulkan penderitaan yang

secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan dan area

fungsi penting lain


D. Keadaan Trance atau trance “kemasukan” tidak hanya terjadi selama

periode psikotik (termasuk gangguan mood dengan ciri psikotik dan

gangguan psikotik singkat) atau gangguan identitas disosiatif dan tidak

disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau keadaan medis umum

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila

tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan

pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.

Masuk rumah sakit diindikasikan bagi pasien yang memiliki

kecenderungan untuk membahayakan dirinya atau orang lain, ketika efek dari

penggunaan terapi obatnya harus dipantau atau ketika diagnosis sementara belum

dapat ditentukan. Perawatan di rumah sakit memungkinkan pasien untuk

memisahkan diri dari pengaruh lingkungan, penganiayaan fisik dan seksual, dan

stress yang mungkin telah memicu reaksi atau episode amnesia, kelakuan

kompulsif. Hal ini juga melindungi mereka disaat masa membingungkan dalam

hidup mereka. Indikasi lain adalah ketika mereka pernah mencoba atau memiliki

tanda atau ide untuk bunuh diri.5

 Psikoterapi

23
Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini.

Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi

berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan

membantu terapis mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk

gangguan disosiasi sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang

membantu kita mengingat trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.

 Terapi kesenian kreatif.

Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini menggunakan

proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan pikiran dan

perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran diri.

Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi.

 Terapi obat

Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penanganan awal, walaupun tidak

ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien

diberikan resep berupa anti-depresan karena sebagian besar pasien juga

mengalami depresi, antipsikotik digunakan jika timbul tingkah laku pasien yang

membahayakan (psikotik), dan obat anti-konvulsan sebagai mood stabilizer.

Obat-obat antipsikotik atipikal golongan Benzioxazole seperti Aripiprazole

(Abilify), golongan Dibenzodiazepine seperti Olanzapine (Zyprexa), Quetiapine

(Seroquel) dan golongan Fenotiazine seperti Ziprasidone (Geodon) dapat menjadi

obat pilihan dalam mengobati gangguan disosiasi. Obat antidepressan golongan

Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Escitalopram dapat

mengurangi gejala cemas pada gangguan disosiasi. Selain itu, dapat pula

24
digunakan obat antikonvulsan golongan Benzodiapine seperti Keppra

(Levetiracetam) dan golongan Feniltriazin seperti Lamotrigine (Lamictal)5.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai obat-obatan yang digunakan dalam

menangani gangguan disosiasi :

1. Aripiprazole (Abilify)5

Mekanisme : Memblok beberapa reseptor neurotransmitter di saraf otak,

seperti reseptor dopamin dan serotonin

Sediaan : Tablet 10mg, 15mg, 20mg, dan 30mg

Dosis : Digunakan 1x sehari. Dosis awal 10-15mg sekali sehari, kemudian

ditingkatkan hingga mencapai efek yang diinginkan. Dapat diminum sebelum

atau sesudah makan.

Interaksi Obat :

(a) Karbamazepin, Fenitoin, Rifampin, Fenobarbital : menurunkan kadar

aripiprazole akibat meningkatnya enzime CYP3A4 di hati

(b) Ketokonazol, Quinidine : menurunkan kadar aipiprazole akibat

menghambat enzim CYP3A4 di hati.

Efek Samping : cemas, pandangan kabur, konstipasi, batuk, sakit kepala,

insomnia, mual muntah, tremor, peningkatan BB.

Ibu Hamil dan Menyusui : belum ada penelitian mengenai efek aripiprazole

pada ibu hamil dan menyusui.

2. Olanzapine (Zyprexa)5

25
Mekanisme : memblok beberapa reseptor neurotransmitter dengan

berikatan pada reseptor alpha-1, reseptor dopamin, reseptor histamin H-1,

reseptor muskarinik, dan reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2).

Farmakokinetik : Olanzapin diabsorbsi dengan baik setelah pemberial oral,

dengan kadar plasma tercapai setelah 4-6 jam pemberian, metabolisme di

hepar oleh enzim CYP2D6, dan diekskresi lewat urin10.

Sediaan : Tablet 2.5mg, 5mg, 7.5mg, 10mg, 15mg, 20mg

Dosis : Dosis awal 10mg sekali sehari, dosis pemeliharaan 7.5-17.5mg

sehari11.

Interaksi Obat : (a) Karbamazepin, Omeprazol, Rifampin, kebiasaan

merokok : menurunkan kadar olanzapine dalam darah

(b) Siprofloksasin, Diltiazem, Eritromisin : meningkatkan kadar

olanzapine dalam darah

(c) kombinasi dengan Diazepam : mengurangi gejala hipotensi ortostatik

Efek Samping : akathisia, konstipasi, pusing, insomnia, mulut kering,

hipotensi ortostatik, tremor, peningkatan BB. Olanzapine dapat

meningkatkan kadar hormon prolaktin (mentruasi abnormal, disfungsi

seksual, pembesaran payudara).

Ibu Hamil dan Menyusui : belum ada penelitian mengenai efek olanzapine

pada ibu hamil. Olanzapine dapat dieksresi melalui ASI, jadi jangan

diberikan pada ibu menyusui.

3. Quetiapine (Seroquel)5

26
Mekanisme : Memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) dan reseptor

serotonin tipe 2 (5-HT2).

Farmakokinetik : absorbsi cepat setelah pemberian oral, kadar plasma

tercapai setelah 1-2 jam pemberian. Ikatan protein sekitar 83%.

Metabolismenya lewat hati oleh enzim CYP3A4. Ekskresi sebagian besar

lewat urin dan sebagian kecil lewat feses10.

Sediaan : Tablet 25mg, 50mg, 100mg, 200mg, 300mg, 400mg

Dosis : digunakan 2-3x sehari. Dosis ditingkatkan setiap minggu secara

bertahap hingga mencapai efek yang diinginkan. Dapat diminum sebelum

atau sesudah makan.

Interaksi Obat :

(a) Fenitoin, Thioridazine : menurunkan kadar quetiapine dan dapat

menurunkan efektivitas quetiapine.

(b) Barbiturat : quetiapine dapat meningkatkan efek sedasi pada barbiturat.

(c) Ketokonazol, Eritromisin, Diltiazem : meningkatkan efek toksik

olanzapine.

Efek Samping : sakit kepala, agitasi, pusing, peningkatan BB, hipotensi

ortostatik, kejang (1 dari 25 pasien) dan hipotiroid (1 dari 250 pasien).

Ibu Hamil dan Menyusui : dapat digunakan pada ibu hamil. Jangan

diberikan pada ibu menyusui karena quetiapine dieksresi pada ASI.

4. Ziprasidone (Geodon)5

27
Mekanisme : memblok reseptor dopamin dan reseptor serotonin,

menghambat ambilan kembali serotonin dan norepinefrin seperti pada

antidepressan.

Farmakokinetik : absorbsi cepat setelah pemberian oral. Metabolismenya

di hati dan diekskresi sebagian kecil lewat urin dan sebagian besar lewat

feses. Ikatan protein plasmanya kuat berkisar lebih dari 99%10.

Sediaan : Kapsul 20mg, 40mg, 60mg, 80mg

Dosis : Digunakan 2x sehari. Dosis awal 20mg dua kali sehari. Dosis

ditingkatkan hingga mencapai efek yang diinginkan. Harus diminum

setelah makan.

Interaksi Obat :

(a) Thioridazine, Quinidine, Sotalol : prolongasi interval QT pada EKG

(b) Karbamazepin, Eritromisin, Diltiazem : meningkatkan kadar

ziprasidone dengan menghambat enzim P450 3A4 yang mengeliminasi

ziprasidone.

Efek Samping : selalu merasa lelah, mual, konstipasi, pusing, diare,

tremor, hipotensi ortostatik.

Ibu Hamil dan Menyusui : jangan digunakan pada ibu hamil dan

menyusui.

5. Escitalopram (Lexapro)5

Mekanisme : termasuk SSRI, menghambat ambilan kembali serotonin.

Selektivitasnya terhadap transporter serotonin paling tinggi10.

28
Farmakokinetik : metabolisme oleh CYP 3A410

Sediaan : Tablet 5mg, 10mg, 20mg

Dosis : Dosis awal 10mg sekali sehari pada pagi atau malam hari. Dosis

dapat ditingkatkan hingga 20mg sekali sehari setelah 1 minggu pemberian

dosis awal. Dapat diminum sebelum atau setelah makan.

Interaksi Obat :

(a) Kombinasi dengan MAOI : menimbulkan gejala pusing, peningkatan

tekanan darah, demam tinggi, tremor.

(b) Kombinasi dengan Triptophan : menimbulkan gejala sakit kepala,

mual, berkeringat, pusing.

(c) Aspirin, NSAID : meningkatkan resiko perdarahan pada sistem

gastrointestinal.

Efek Samping : agitasi, pandangan kabur, diare, sulit tidur, mulut kering,

demam, sering BAK, sakit kepala, mual, tremor.

Ibu Hamil dan Menyusui : jangan diberikan pada ibu hamil dan menyusui.

6. Levetiracetam (Keppra)5

Mekanisme : merupakan obat antikejang (antiepilepsi) dengan

menghambat penyebaran aktivitas kejang pada otak. Berperan pada

reseptor GABA, kanal Ca2+ dan K+.10

Sediaan : Tablet (immediate release) 250mg, 500mg, 750mg, 1000mg.

Tablet (extended release) 500mg, 750mg.

29
Dosis : Dosis rekomendasi 3000mg/hari. Dosis awal 1000mg sehari

(500mg dua kali sehari) dan ditingkatkan 1000mg/hari setiap 2 minggu

hingga mencapai dosis maksimum 3000mg/hari.

Interaksi Obat : Probenecid : menurunkan eliminasi levetiracetam

sehingga dapat meningkatkan kadar levetiracetam pada tubuh.

Efek Samping : sakit kepala, lemah, pusing, infeksi, sulit berjalan,

iritabilitas, mood swing, cemas, halusinasi.

Ibu Hamil dan Menyusui : jangan digunakan pada ibu hamil dan

menyusui.

7. Lamotrigine (Lamictal)5

Mekanisme : inaktivasi kanal Na+, Ca2+, dan mencegah pelepasan

neurotransmitter glutamat dan aspartat10.

Farmakokinetik : diabsorbsi sempurna 2.5 jam setelah pemberian oral.

Volume distribusinya 1-1.4L/kg. Hanya 55% yang terikat pada protein

plasma. Dimetabolisme dengan glukoronidase menjadi 2-N-glukoronida

dan diekskresikan melalui urin. Waktu paruhnya 24 jam10.

Sediaan : Tablet 25mg, 100mg, 150mg, 200mg. Tablet kunyah 2mg, 5mg,

25mg.

Dosis : Dosis awal 100mg dua kali sehari dan dapat ditingkatkan hingga

40mg sehari11.

Interaksi Obat :

30
(a) Kombinasi dengan Asam Valproat : menurunkan kadar asam valproat

dalam darah, tetapi kadar lamotrigine meningkat. Dapat menimbulkan

gejala kulit kemerahan yang berat.

(b) Kombinasi dengan Karbamazepin : menimbulkan gejala pusing,

penglihatan ganda, penglihatan kabur.

(c) Estrogen, Fenobarbital, Fenitoin, Rifampin : menurunkan kadar

lamotrigine dalam darah.

Efek Samping : pusing, sakit kepala, penglihatan ganda, penglihatan

kabur, mual muntah.

1.7 Prognosis

Prognosis untuk gangguan disosiatif berbeda-beda untuk setiap jenisnya.

Prognosis bergantung pada waktu timbulnya gejala. Semakin lama gejala yang

timbul, maka prognosis akan semakin buruk. Amnesia disosiatif dan fugue

disosiatif memiliki prognosis yang baik apabila waktu timbulnya gejala tidak

terlalu lama dan memberikan respon yang baik terhadap pengobatan.

2.8 Pencegahan

Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami

gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam

hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka

segeralah diberikan penanganan, karena diketahui bahwa jika menanamkan

31
sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil

yang maksimal, dengan penanganan yang minimal.

BAB III

KESIMPULAN

Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan

sebagai adanya kehilangan ( sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah

kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan peng-inderaan-

an segera (awareness of identity and immediate sensations) serta kontrol terhadap

gerak tubuh.

Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam

masyarakat. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini

mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiatif bisa terkena oleh orang di

belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.

Ada beberapa penggolongan dalam gangguan disosiatif, antara lain adalah

Amnesia Disosiatif, Fugue Disosiatif, Gangguan Identitas Disosiatif dan

Gangguan Depersonalisasi.

Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila

tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan

pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI,Sadock BJ. 2010. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Bina Rupa Aksara:

Tangerang.

2. Maramis WF, Maramis AA. 2009. Edisi 2. Airlangga University Press:

Surabaya.

3. Santrock, J. W. 2007. Child Development. New York: McGraw-Hill.

Available on: www.wikipedia.org.

4. Mansjoer, A. dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid

Media Aesculapius: Jakarta.

5. Sharon I. 2010. Dissociative Disorders Etiology and Introduction.

Available on: http://emedicine.medscape.com

6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

(PPDGJ III), Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan

Medik, 1993. Cetakan Pertama.

7. Lahey, B. B. 2007. Psychology: An introduction. 9th edition. New York:

Mc Graw-Hill . Available on: www.wikipedia.org


st
8. Lindzey, G. Hall, C.S. 1957. Introduction to Theory of Personality.1

edition. Available on: www.wikipedia.org

9. Dissociative Fugue. Encyclopedia Of Mental Dissorder. Diunduh tanggal

20 Februari 2013 dari (http://www.minddisorders.com/Del-

Fi/Dissociative-fugue.html)

33
10. Gunawan, S. dkk. 2007. Edisi 5. Farmakologi dan Terapi. Universitas

Indonesia : Jakarta

11. Tjay. T. H. dkk. 2001. Edisi 5. Obat-obat Penting. Elex Media Komputindo

: Jakarta

12. Dissociative Disorders: Introduction (LANGE: current diagnosis and

treatment in psychiatry, Michael H.ebert, Peter T.Loosen, Barry

Nurcombe, 2000)

34

Anda mungkin juga menyukai