Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

F44
GANGGUAN DISOSIATIF

Oleh:

M. Kholish Abiyyu, S.Ked NIM. 2030912310130

M. Anugrah Samudra, S.Ked NIM. 2030912310109

Afiif Eko Wibowo, S.Ked NIM. 2030912310104

Eleonora Armelia T, S.Ked NIM. 2030912320133

Zenita Hendra Savitri, S.Ked NIM. 2030912320027

Pembimbing:

dr. Syaiful Fadilah, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS

KEDOKTERAN ULM/RSUD SULTAN SURIANSYAH

BANJARMASIN

April, 2021
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................... 3

A. Definisi........................................................................................ 3

B. Etiologi....................................................................................... 4

C. Klasifikasi.................................................................................... 5

D. Patofisiologi............................................................................. 7

E. Manifestasi Klinis........................................................................ 10

F. Diagnosis..................................................................................... 10

G. Tata Laksana............................................................................... 20

H. Prognosis..................................................................................... 27

BAB III PENUTUP ........................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 30

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Jenis-jenis Amnesia Disosiatif............................................... 12

Gambar 2.2 Perbedaan Amnesia Disosiatif dan Amnesia Organik….…..


13
Gambar 2.3 Kriteria Diagnosis Gangguan Depersonalisasi-derealisasi....
14
Gambar 2.4 Gejala Gangguan Disosiatif Proses Identitas……………..... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan DMS-5, Disosiasi adalah gangguan dan / atau diskontinuitas

dalam integrasi subyektif normal dari satu atau lebih aspek fungsi psikologis,

termasuk — tetapi tidak terbatas pada — memori, identitas, kesadaran, persepsi,

dan kontrol motorik. Dalam presentasi disosiatif patologis yang lebih akut, disosiasi

terkait dengan pengalaman traumatis maupun luar biasa, Dalam presentasi

disosiatif jangka panjang, gejala disosiatif mungkin juga terjadi secara rutin dalam

keadaan yang tidak terkait dengan trauma atau keadaan yang luar biasa. Disosiasi

patologis dialami sebagai gangguan yang tidak disengaja dari integrasi normal

kesadaran dan kendali atas proses mental seseorang. Gejala disosiatif dapat

terwujud di setiap area fungsi psikologis.1

Orang-orang dari semua kelompok umur dan latar belakang ras, etnis, dan

sosial ekonomi dapat mengalami gangguan disosiatif. Gejala gangguan disosiatif

biasanya pertama kali berkembang sebagai respons terhadap peristiwa traumatis,

untuk menjaga ingatan tersebut tetap terkendali. Situasi stres dapat memperburuk

gejala dan menyebabkan masalah pada fungsi dalam aktivitas sehari-hari. Namun,

gejala yang dialami seseorang akan bergantung pada jenis gangguan disosiatif yang

dimiliki seseorang.3

Gejala utamanya adalah hilangnya (sebagian atau seluruh) dari integrasi

normal (dibawah kendali kesadaran) seperti ingatan masa lalu, kesadaran identitas

dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate sensations), dan

1
kontrol terhadap gerakan tubuh. Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali

dibawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat

berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam. 4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Disosiasi merupakan suatu proses perlindungan psikologis dari suatu

pengalaman yang luar biasa, yang biasanya bersifat traumatis atau stres. Disosiasi

dikonseptualisasikan sebagai analogi dengan "reaksi pertahanan hewan" dari

pembekuan dalam menghadapi predasi, ketika pertarungan / pelarian tidak mungkin

dilakukan.2

Berdasarkan DSM-IV-TR, disosiasi didefinisikan sebagai gangguan fungsi

yang terintegrasi pada kesadaran, memori, identitas, persepsi lingkungan, serta

persepsi terhadap diri sendiri. Gangguan disosiatif ditandai dengan pelarian dari

kenyataan yang tidak disengaja dan ditandai dengan terputusnya hubungan antara

pikiran, identitas, kesadaran, dan ingatan. Orang-orang dari semua kelompok umur

dan latar belakang ras, etnis, dan sosial ekonomi dapat mengalami gangguan

disosiatif. Gejala gangguan disosiatif biasanya pertama kali berkembang sebagai

respons terhadap peristiwa traumatis, untuk menjaga ingatan tersebut tetap

terkendali. Situasi stres dapat memperburuk gejala dan menyebabkan masalah pada

fungsi dalam aktivitas sehari-hari. Namun, gejala yang dialami seseorang akan

bergantung pada jenis gangguan disosiatif yang dimiliki seseorang.3

Sedangkan dalam ICD-10, “tema umum yang dimiliki oleh gangguan

disosiatif (atau konversi) adalah hilangnya sebagian atau seluruhnya dari integrasi

normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan sensasi langsung, dan

3
4

kontrol gerakan tubuh”. ICD-10 menggambarkan gangguan disosiasi sebagai

gangguan akut yang biasanya hilang dalam beberapa minggu atau bulan, dan

muncul dalam konteks langsung peristiwa yang sangat menegangkan, traumatis,

dan / atau yang melibatkan masalah yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat

dipecahkan. Sebaliknya, DSM-IVTR mengkonseptualisasikan beberapa gangguan

disosiasi sebagai gangguan kronis jangka panjang.1

Penelitian terbaru mendokumentasikan penggabungan konsep gejala

disosiatif dari DSM-IV dan ICD-10 dalam definisi baru untuk DSM-5. Berdasarkan

DMS-5, Disosiasi adalah gangguan dan / atau diskontinuitas dalam integrasi

subyektif normal dari satu atau lebih aspek fungsi psikologis, termasuk — tetapi

tidak terbatas pada — memori, identitas, kesadaran, persepsi, dan kontrol motorik.

Dalam presentasi disosiatif patologis yang lebih akut, disosiasi terkait dengan

pengalaman traumatis maupun luar biasa, Dalam presentasi disosiatif jangka

panjang, gejala disosiatif mungkin juga terjadi secara rutin dalam keadaan yang

tidak terkait dengan trauma atau keadaan yang luar biasa. Disosiasi patologis

dialami sebagai gangguan yang tidak disengaja dari integrasi normal kesadaran dan

kendali atas proses mental seseorang. Gejala disosiatif dapat terwujud di setiap area

fungsi psikologis.1

B. Etiologi

Bukti hubungan antara disosiasi dan banyak jenis trauma telah divalidasi oleh

banyak studi. Gangguan disosiatif biasanya berkembang sebagai cara untuk

mengatasi trauma. Salah satu prediktor terkuat dari disosiasi adalah trauma

terdahulu, terutama trauma anak usia dini. Gangguan paling sering terbentuk pada
5

anak-anak yang mengalami pelecehan fisik, seksual atau emosional jangka panjang

maupun anak dengan kesulitan pada keterikatan dan ketidaktersediaan orang tua.

Paparan berbagai jenis trauma selama beberapa periode perkembangan dikaitkan

dengan berbagai masalah klinis yang telah diatur ke dalam konstruksi PTSD yang

kompleks.2,3

C. Klasifikasi

1. Amnesia disosiatif (F.444.0)

Ciri utama dari amnesia disosiatif adalah ketidakmampuan mengingat

informasi pribadi yang penting, biasanya terkait dengan trauma atau pemicu stres

yang signifikan. Gangguan ini tidak dapat diakibatkan oleh efek fisiologis langsung

dari suatu zat atau neurologis atau kondisi medis umum lainnya.5,6

2. Fugue disosiatif (F.444.1)

DSM-5 menggolongkan fugue disosiatif sebagai subtipe dari amnesia

disosiatif. Fugue disosiatif adalah perjalanan tiba-tiba dan tak terduga jauh dari

rumah atau salah satu tempat yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari. Orang

tersebut tidak dapat mengingat beberapa atau semua kejadian di masa lalu. Seiring

dengan keparahan amnesia, orang tersebut menjadi bingung identitas mereka atau

bahkan mungkin merasa memiliki identitas baru.5,6

3. Gangguan depersonalisasi/derealisasi

Ciri dari gangguan depersonalisasi adalah adanya gangguan yang persisten

dan berulang dalam persepsi tentang realitas dirinya yang hilang dalam waktu

tertentu. Pasien dengan gangguan ini merasa dirinya robot, ada dalam mimpi, atau

terpisah dari tubuhnya. Beberapa klinis membedakan antara depersonalisasi dan


6

derealisasi, depersonalisasi adalah perasaan bahwa tubuh atau dirinya asing dan

tidak nyata. Derealisasi adalah persepsi bahwa objek/dunia luar aneh dan tidak

nyata.5,6

4. Gangguan identitas disosiatif

Gangguan ini umumnya disebabkan oleh peristiwa traumatik, bisa karena

penyiksaan seksual atau fisik dimasa kanak-kanak. Individu dengan gangguan ini

memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda, tetapi salah satunya lebih

dominan pada waktu tertentu.5,6

5. Gangguan disosiatif lainnya

5.1 Gangguan Trans dan kesurupan (F44.3)

Merupakan gangguan-gangguan yang menunjukkan adanya kehilangan

sementara penghayatan akan identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya;

dalam beberapa kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh

kepribadian lain, kekuatan gaib atau malaikat.5,6

5.2 Brainwashing

DSM-5 menggambarkan gangguan disosiatif ini sebagai "gangguan

identitas karena bujukan koersif yang berkepanjangan dan intens." Pencucian otak

sebagian besar terjadi di pengaturan reformasi politik, penjara perang, dan sandera

teroris. Hal ini mengisyaratkan orang yang berkuasa dapat membuat seseorang yang

sedang dalam kondisi stress dan mengalami paksaan yang cukup untuk memenuhi

tuntutan mereka, sehingga mengalami perubahan signifikan dalam kepribadian,

keyanikan, dan perilaku.5,6


7

6. Sindrom Ganser

Sindrom Ganser adalah kondisi yang kurang dipahami yang ditandai dengan

memberikan jawaban perkiraan (paralogia), bersama dengan pengaburan

kesadaran, dan, seringkali, halusinasi dan disosiatif lainnya, somatoform, atau

gejala konversi. Sebagai contoh apabila ada seorang perempuan berusia 25 tahun

ditanya berapa usianya, dia akan menjawab usianya bukan 5 tahun. Hal ini

menunjukkan perempuan ini sudah mengerti tetapi memberikan jawaban yang salah

tapi bisa dipahami. Pengaburan kesadaran juga terjadi, biasanya dimanifestasikan

oleh disorientasi, amnesia, kehilangan informasi pribadi, dan beberapa gangguan

realitas.5,6

D. Patofisiologi

Patofisiologi dari gangguan disosiatif belum dapat diketahui penyebab

pastinya. Biasanya terjadi akibat trauma masa lalu yang berat, tetapi tidak ada

gangguan organik yang dialami.5,9 Gangguan ini terjadi pertama pada saat anak-

anak namun tidak khas dan belum bisa teridentifikasikan, dalam perjalanan

penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa

lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-ulang sehingga terjadinya gejala

gangguan disosiatif. Terdapat beberapa teori dalam menentukan penyebab

perjalanan penyakit ini seperti:

1. Teori Psikoanalisis

Gangguan konversi melambangkan komunikasi nonverbal dari impuls yang

tersembunyi yang dapat diterima masyarakat. Dari sudut pandang neurofisiologi

terjadi gangguan komunikasi sirkuit saraf yang menghubungkan kemauan, gerakan,


8

dan persepsi karena terjadi hipometabolisme di hemisfer dominan dan

hipermetabolisme di sirkuit frontal dan subkortikal berfungsi pada berbagai aspek

perilaku manusia.7,8

Fungsi striatothalamo-kortikal mengendalikan sensori motor dan gerak yang

disadari, sedang ganglia basalis terutama nukleus kaudatus berkaitan dengan gerak

motorik yang dipengaruhi emosi. Korteks singulat anterior berhubungan dengan

kesadaran dan aliran darah ke area ini dipengaruhi emosi. Korteks orbitofrontal dan

korteks singulat anterior (area kortikal) menjadi aktif dan terangsang berlebihan

ketika individu menekan respons terutama yang berkaitan dengan peran inhibisi.

Akibatnya timbul umpan balik negatif antara korteks serebral dan formasi retikuler

batang otak.7,8

Pada gangguan konversi, persepsi primer tetap baik tetapi fungsi sensorimotor

memburuk karena gangguan pada korteks singulat anterior, korteks orbitofrontal

dan sistem limbik. Output kortikofugal yang meningkat akan menghambat

kesadaran pasien akan sensasi tubuh, sehingga terjadi pengurangan aktivitas

somatosensori. Ini menjelaskan tentang anestesia dan kehilangan sensorik

disosiatif. Pengurangan serupa terjadi pada kebutaan konversi karena penurunan

aktivitas korteks visual. Pengurangan aktivitas frontal dan subkortikal yang

mengendalikan gerakan terjadi selama paralisis konversi. Stresor yang dialami

tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diacu pasien sejak usia dini. Stresor makin

berat, kemudian stresor yang berat ini ditengarai pasien dengan mekanisme defensif

neurotik berupa disosiasi yang mengalihkan kecemasannya menjadi gejala amnesia

disosiatif, trans, dan gangguan motorik disosiatif tersentak-sentak.7,8


9

2. Teori Psikodinamika yang berhubungan dengan gangguan cemas

Menurut teori ini, cemas merupakan suatu sinyal bahwa terdapat gangguan atau

kelainan pada keseimbangan psikologika interna. Hal ini disebut sebagai “sinyal

cemas”. Sinyal ini meningkatkan ego untuk melakukan aksi pertahanan dimana

biasanya pertahanan ini disebut mekanisme represi pada keadaan normal. Pada

cemas, mekanisme represi gagal dan mekanisme pertahanan kedua pun tidak dapat

berfungsi sehingga tidak ada lagi yang dapat melawan atau menghentikan sinyal

cemas tersebut.3,5

• Dasar Neuroanatomis: Locus coeruleus, sistem limbik, dan korteks prefrontal

adalah beberapa area yang terlibat dalam etiologi gangguan kecemasan. Pada

kondisi cemas arus darah serebral regional (rCBF) meningkat, meskipun

vasokonstriksi juga terjadi dalam kegelisahan.3,5

• GABA-benzodiazepin reseptor: Ini adalah salah satu kemajuan terbaru dalam

pencarian etiologi dari gangguan cemas. Reseptor benzodiazepin didistribusikan

secara luas di pusat sistem saraf. Saat ini, dua jenis reseptor benzodiazepine telah

diidentifikasi. Tipe I (D1) adalah GABA dan chloride independen, sementara Tipe

II (D2) adalah GABA dan chloride dependen. GABA (Gamma amino butyric

acid) adalah neurotransmiter inhibitor yang paling banyak terdapat di sistem saraf

pusat. Perubahan jumlah GABA pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan

gejala cemas. Fakta bahwa Benzodiazepin (yang mempermudah transmisi GABA,

sehingga menyebabkan efek penghambatan transmisi neurotransmiter lain pada

SSP) mengurangi kecemasan dan Benzodiazepin-antagonis (misalnya flumazenil)


10

dan reverse Agonis (misalnya β carbo lines) menyebabkan munculnya gejala

cemas, yang kemudian memberikan hasil yang signifikan untuk hipotesis ini.3

• Neurotransmiter lainnya: Norepinefrin, 5-HT, Dopamin, reseptor opioid dan

disfungsi neuroendokrin juga menunjukkan menjadi suatu penyebab gangguan

kecemasan.3

E. Manifestasi Klinis

Disosiatif diartikan sebagai mekanisme pertahanan secara tidak sadar yang

melibatkan segregasi dari beberapa kelompok proses mental dan tingkah laku

seseorang yang mungkin membawa pemecahan dari tonus emosi.9

Gejala utamanya adalah hilangnya (sebagian atau seluruh) dari integrasi

normal (dibawah kendali kesadaran) seperti ingatan masa lalu, kesadaran identitas

dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate sensations), dan

kontrol terhadap gerakan tubuh. Pada gangguan disosiatif, kemampuan kendali

dibawah kesadaran dan kendali selektif tersebut terganggu sampai taraf yang dapat

berlangsung dari hari ke hari atau bahkan jam ke jam. 4

F. Diagnosis

Untuk diagnostik pasti maka hal-hal dibawah ini harus ada:

a) Gambaran klinis yang ditemukan untuk masing-masing gangguan yang

tercantum pada F 44.-;

b) Tidak ada bukti adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala

tersebut
11

c) Bukti adanya gangguan psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu

yang jelas dengan problem dan kejadian-kejadianyang stressfull atau

hubungan interpersonal yang terganggu (meskipun hal tersebut disangkal

oleh penderita)4

Menurut Diagnostik dan Statistik Manual of Mental Disorders, edisi revisi

teks keempat (DSM-IV-TR), gangguan disosiatif terdiri dari gangguan identitas

disosiatif, gangguan depersonalisasi, amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan

gangguan disosiatif yang tidak ditentukan.

1. Amnesia Disosiatif (F.44.0)


Amnesia disosiatif diklasifikasikan berdasar adanya gangguan memori dan

keterbatasan dalam mengingat beberapa komponen dari sebuah memori. Gangguan

ini umumnya bersifat reversibel. Disosiatif amnesia paling banyak terjadi pada

dekade ke 3 dan keempat dari usia manusia. Biasanya disertai dengan satu episode

tapi multipel episode hilangnya memori tidaklah jarang. Faktor komorbid berupa

bulimia, penyalahgunaan alkohol dan depresi sangat umum pada gangguan ini.

Selain itu diagnosa aksis II berupa kelainan kepribadian histrionik, dependen, dan

borderline terjadi pada kelompok sebagian kecil pasien.10

Biasanya gejala yang dialami berkaitan dengan situasi traumatik: Misalnya,

laporan pasien bahwa ia telah diberitahu bahwa, selama kelas tiga, dia diculik oleh

ayahnya terasing dalam sengketa hak asuh, yang diselenggarakan oleh dia untuk

beberapa bulan, dan seksual disalahgunakan oleh dia selama waktu itu. Dalam

kasus ekstrim, pasien mungkin menolak mengingat untuk anak-nya seluruh atau

zaman hidup yang besar; contoh berikut.


12

Gambar 2.1 Jenis-jenis Amnesia Disosiatif

Pedoman diagnosis4

• Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian

penting yang baru terjadi (selektif), yang bukan disebabkan oleh gangguan

mental organik dan terlalu luas untuk dijelaskan atas dasar kelupaan yang

umum terjadi atas dasar kelelahan.

• Diagnosa pasti memerlukan:

a) Amnesia baik total maupun parsial mengenai kejadian yang stressful atau

traumatik yang baru terjadi (hal ini mungkin hanya dapat dinyatakan bila

ada saksi yang memberi informasi.

b) Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi ataukelelahan

berlebihan (sindrom amnesia organik, F04, F1x.6).

• Yang paling sulit dibedakan adalah “amnesia buatan” yang disebabkan oleh

simulasi secara sadar (malingering). Untuk itu penilaian secara rinci dan

berulang mengenai kepribadian premorbid dan motivasi diperlukan. Amnesia

buatan biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai keuangan


13

bahaya kematian dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman penjara

atau hukuman mati.4

Terdapat beberapa perbedaan antara amnsesia disosiatif dengan amnesia

dikarenakan penyakit organik yaitu:

Gambar 2.2. Perbedaan amnesia disosiatif dan amnesia organik) 11

2. Gangguan Depersonalisasi (F48.1)


Selama bertahun-tahun, di mana-mana depersonalisasi sebagai gangguan

kejiwaan yang lebih luas dari pengenalan. Akibatnya, pasien dengan

depersonalisasi kronis dan primer sering terus salah didiagnosa sebagai semata-

mata memiliki mood atau gangguan kecemasan, yang mungkin comordid dengan

depersonalisasi kronis, sekunder oleh sejarah dalam manifestasi mereka, atau tidak

mampu untuk menjelaskan sejauh mana depersonalisasi kronis. Riset sistematis

terakhir dari dua kohort besar peserta baik ditandai dengan gangguan tersebut telah

menghasilkan temuan yang konsisten mencolok di Amerika Serikat (Daphne

Simeon) dan di Eropa (Anthony Daud). Gambaran klinis, kursus dan prognosis, dan
14

menghubungkannya kognitif dan neurobiologis telah muncul yang jelas

membedakan gangguan ini dari gangguan kejiwaan lainnya dengan gejala

depersonalisasi. Juga, instrumen valid dan dapat diandalkan ada untuk skrining dan

diagnosis, seperti Skala Depersonalisasi Cambridge yang dikembangkan oleh

Sierra dan Berrios.6

Gambar 2.3 Kriteria Diagnosis Gangguan Depersonalisasi-derealisasi

3. Gangguan Identitas Disosiatif (F 44.81)

Identitas gangguan disosiatif, yang sebelumnya disebut gangguan

kepribadian ganda, telah diteliti secara ekstensif dari semua gangguan disosiatif. Ini

adalah psikopatologi disosiatif paradigmatik dalam bahwa gejala gangguan

disosiatif semua lainnya umumnya ditemukan pada pasien dengan gangguan

identitas disosiatif, Amnesias, fugues, depersonalisasi, derealisasi, dan gejala

serupa. Menurut DSM-V-TR, gangguan identitas disosiatif "dicirikan oleh adanya

dua atau lebih identitas yang berbeda atau negara kepribadian yang berulang

mengendalikan perilaku individu disertai oleh ketidakmampuan untuk mengingat


15

informasi pribadi yang penting yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh kelupaan

biasa. "Identitas atau negara kepribadian, mengubah kadang-kadang disebut,

menyatakan diri, mengubah identitas, atau bagian, antara istilah lain, berbeda dari

satu sama lain dalam bahwa setiap muncul sebagai memiliki" pola sendiri yang

relatif abadi mencerap, yang berkaitan untuk, dan berpikir tentang lingkungan dan

diri sendiri.6

Gambar 2.4 Gejala Gangguan Disosiatif Proses Identitas

Differential Diagnosis

Amnesia Disosiatif

Diagnosis banding untuk amnesia disosiatif melibatkan suatu pertimbangan

kondisi medis umum dan gangguan mental lainnya. Suatu riwayat medis,
16

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, riwayat psikiatrik, dan pemeriksaan

status mental harus dilakukan.

Amnesia yang disertai dengan demensia dan delirium biasanya berhubungan

dengan gejala kognitif lainyang mudah dieknali. Jika pasien memiliki amnesia

untuk informasi informasi personal dalam kondisi tersebut, dimensia atau delirium

biasanya lanjut lanjut dan mudah dibedakan dari amnesia disosiatif. Khususnya

pada kasus delirium, pasien mungkin menunjukkan konfabulasi selama wawancara.

Pada umumnya, pemulihan daya ingat menyatakan amnesia disosiatif.

Pada amnesia pascagegar (postconcussion amnesia) gangguan daya ingat

yang terjadi setelah trauma kepala, sering kali retrograde (berlawanan dengan

gangguan anterograde pada amnesia disosiatif) dan biasanya tidak lebih dari satu

minggu. Pemeriksaaan klinis pada pasien amnesia pascagegar dapat didapatkan

riwayat ketidaksadaran, bukti-bukti eksternal adanya truma, atau bukti lain adanya

cedera otak. Beberapa peneliti telah menghipotensikan bahwa suatu riwayat trauma

kepala dapat mempredisposisikan seseorang pada gangguan disosiatif. Epilepsy

dapat menyebabkan gangguan daya ingat yang tiba-tiba yang disertai dengan

kelainan motoric dan elektroensefalogram (EEG). Pasien dengan epilepsy adalah

rentan terhadap kejang selama periode stress dan beberapa peneliti telah

menghipotesiskan bahwa suatu patologi mirip epilepsy dapat terlibat pada

gangguan disosiatif . riwayat adanya aura, trauma kepala atau inkontinensia dapat

membantu klinis mengenali amnesia yang berhubungan dengan epilepsy.

Amnesia global transien adalah suatu amnesia retrograde yang akut dan

transien yang telah mempengaruhi daya ingat segera dibandingkan daya ingat jauh.
17

Walaupun pasien biasanya menyadari amnesia, mereka mungkin masih dapat

melakukan kerja mental dan fisik yang sangat kompleks selama 6 sampai 24 jam

dimana episode amnesia global transien biasanya berlangsung. Pemulihan dari

gangguan biasanya lengkap. Amnesia global transien paling sering disebabkan oleh

serangan iskemik transien (TIA) yang mengenai struktur limbik garis tengah otak.

Amnesia global transien juga dapat berhubungan dengan nyeri kepala migrain,

kejang dan intoksikasi dengan obat sedative-hipnotik.

Amnesia global transien dapat dibedakan dari amnesia disosiatif dengan

beberapa cara. Amnesia global transien adalah disertai dengan amnesia anterograde

selama periodenya, amnesia disosiatif tidak. Pasien dengan amnesia global transien

cenderung lebih ketakutan prihatin akan gejalanya dibandingkan pada pasien

dengan amnesia disosiatif. Identitas pribadi pada pasien dengan amnesia disosiatif

adalah hilang, tetapi identitas pribadi pada pasien amnesia global transien adalah

dipertahankan. Kehilangan daya ingat pada seorang pasien dengan amnesia

disosiatif adalah selektif untuk bidang tertentu dan tidak menunjukkan suatu

gradient temporal, kehilangan daya ingat pada pasien dengan amnesia global

transien adalah menyeluruh dan peristiwa yang juga diingat dengan lebih baik

dibandingkan dengan peristiwa yang belum lama. Karena hubungan amnesia global

transien dengan masalah vascular, gangguan yang paling sering ditemukan pada

pasien dalam usia 20 sampai 40 tahunan, suatu periode yang berhubungan dengan

stressor psikologis tipe umum yang terlihat pada pasien tersebut.

Gangguan mental lainnya, gangguan berajalan saat tidur (sleepwalking)

dalam DSM-IV diklasifikasikan sebagai parasomnia, tipe gangguan tidur. Pasien


18

yang menderita gangguan berjalan saat tidur berkelakuan dengan cara aneh yang

menyerupai perilaku seseorang dengan keadaan disosiatif. Gangguan stress

pascatraumatik, gangguan stress akut dan gangguan somatoform (khususnya

gangguan somatisasi dan gangguan konversi) harus dipertimbangkan di dalam

diagnosis banding dan dapat menyertai amnesia disosiatif.

Fugue Disosiatif

Diagnosis banding untuk fuga disosiatif adalah serupa dengan amnesia

disosiatif. Berkelana yang terlihat pada amnesia atau delirium biasanya dibedakan

dari bepergian pada pasien fuga disosiatif oleh tidak adanya tujuan pada yang

pertama dan tidak adanya perilaku kompleks dan adaptif secara social. Epilepsy

parsial kompleks mungkin disertai dengan episode bepergian, tetapi pasien

biasanya tidak mengambil identitas baru, dan episode biasanya tidak dicetuskan

oleh stress psikologis. Amnesia disosiatif tampak dengan kehilangan daya ingat

sebagai akibat stress psikologis, tetapi tidak terdapat episode bepergian yang

bertujuan atau identitas baru. Berpura-pura mungkin susah untuk dibedakan dengan

fuga disosiatif. Tetapi bukti adanya tujuan sekunder yang jelas harus meningkatkan

kecurigaan klinis. Hypnosis dan wawancara amobarbital mungkin berguna dalam

memperjelas diagnosis klinis.

Gangguan Identitas Disosiatif

Epilepsi lobus temporal, disosiasi lebih sering terjadi pada pasien dengan

epilepsi lobus temporal daripada gangguan neurologis lainnya. Dokter harus

merujuk pasien dengan gejala disosiatif untuk pemeriksaan neurologis menyeluruh

untuk menyingkirkan adanya epilepsi lobus temporal atau proses organik lainnya.
19

EEG standar sedikit membantu dalam membedakan gangguan disosiasi dari

epilepsi lobus temporal karena tingkat kelainan nonspesifik yang tinggi telah

terdeteksi pada pasien dengan gangguan disosiasi, lobus temporal bilateral yang

paling umum terjadi.

Pasien dengan skizofrenia, mendengar suara yang berasal dari dunia luar,

sedangkan pasien dengan gangguan disosiasi mendengar suara yang berasal dari

dalam kepala individu sendiri. Pasien dengan skizofrenia mungkin mengalami

halusinasi visual, meskipun kurang terbentuk dengan baik dibandingkan dengan

yang diamati dengan gangguan otak tertentu lainnya. Pasien dengan gangguan

disosiasi kadang-kadang mengalami fenomena hypnagogic. Pengujian realitas yang

buruk diamati dengan skizofrenia, sedangkan pasien dengan gangguan disosiasi

pada dasarnya memiliki pengujian realitas yang sesungguhnya. Asosiasi tangensial

atau longgar yang disertai oleh pengaruh yang tidak tepat umumnya diamati dengan

skizofrenia.

Gangguan kepribadian borderline, telah didiagnosis pada 70% sampel dari 33

pasien dengan gangguan disosiatif dan pada 23% dari 70 pasien dengan gangguan

disosiatif. Putnam mengakui bahwa sejumlah besar kasusnya mirip dengan sindrom

Briquet atau gangguan somatisasi, namun, seperti peneliti lainnya, dia mengusulkan

agar begitu kriteria diagnostik untuk gangguan disosiasi terpenuhi, gangguan

disosiasi harus dianggap sebagai diagnosis yang lebih baik karena bekerja dengan

alternatif dapat memberikan terapi.

Gangguan Amnesia Disosiatif, gangguan disosiasi mungkin terbukti sulit

dibedakan dari gangguan amnesia disosiatif lainnya. Dengan gangguan amnesia


20

disosiatif lainnya, perilaku mungkin rumit, namun pemulihan seringkali lengkap,

kekambuhan jarang terjadi.6

G. Tata Laksana

Tatalaksana/pengobatan yang adekuat pada penderita gangguan konversi atau

disosiatif ini bertujuan untuk menghilangkan dampak gejala, disebabkan diagnosis

multiaksial pada penderita disosiatif sehingga memastikan aspek psikososial

penyintas dan orang-orang disekitarnya menjadi aman dan kondusif saat terapi

termasuk menghindari efek psikosis pada tiap episode disosiatif, kedua untuk

menghubungkan kemampuan personal terhadap kenangan yang hilang pada

penderitanya. Pengobatan yang tepat dan komprehensif diharapkan dapat

membantu perbaikan hendaya pasien.5,12

Wawancara dengan teknik autoanamnesa dianggap sebagai aspek terapi

sekaligus untuk membuktikan adanya suatu pengalaman yang sifatnya traumatik

dan mungkin menyakitkan bagi diri pasien. Terkadang perlu dilakukan terapi

hipnosis agar pasien memasuki fase relaksasi sehingga lebih terbuka dan mampu

mengingat kembali kejadian masa lalu yang mungkin sudah dilupakan. Aspek

penting lainnya, yaitu psikoterapi berupa CBT (Cognitive Behavioural Therapy)

untuk meringankan kemampuan mengingat pasien dalam menyatukan kenangan

yang terpisah-pisah menjadi memori yang utuh dan runut serta proses rehabilitasi

pasien pada saat menjalani kehidupan sehari-hari nantinya.5,12,13

Pada kasus lain seperti gangguan disosiatif yang disertai amnesia, dasar

pemberian terapi dilakukan jika pasien mengalami kesadaran somnolen, maka

inhibisi mental hilang dan prekursor amnesia (amnestik) akan muncul pada
21

penderita. Pendekatan terapi harus melalui pertimbangan pada tiap individu, jenis-

jenis amnesia, dan seberapa berat gejalanya. Jika ingatan dengan jangka waktu yang

sangat pendek mampu menghilang, pengobatan suportif biasanya cukup, terutama

jika pasien tidak membutuhan pemulihan/recovery ingatan akan kejadian yang

menyakitkan. Pengobatan untuk amnesia berat dimulai dengan menciptakan

lingkungan yang aman dan suportif. Pemulihan ingatan dilakukan dengan

CBT/psikoterapi secara bertahap. Penggunaan obat-obatan anti-konvulsan

(barbiturat atau benzodiazepin) dan hipnosis dapat digunakan untuk meringankan

kembalinya ingatan. Menanyakan pasien saat berada di bawah alam bawah sadar

atau dalam keadaan semihipnotis yang disebabkan obat-obatan kemungkinan

berhasil. Metode ini harus dilakukan penuh perhatian karena rangsangan traumatis

akan terasa menyakitkan bagi pasien. Dokter/tenaga kejiwaan lain perlu berhati-

hati ketika menguraikan pertanyaan agar tidak memberi gambaran suatu kejadian

yang mengakibatkan terjadinya memori palsu.5,12

Pasien dengan gejala amnesia pada gangguan disosiatif bergantung proses

terapi yang dilakukan. Namun perlu diketahui dengan adanya kemajuan perbaikan

hendaya tergantung pada banyak faktor, termasuk kondisi kehidupan penyintas dan

dukungan sepenuhnya dari peran caregiver seperti keluarga dan teman.5,6

1.1 Pengobatan gangguan disosiatif

1.1.1 Terapi Farmakologi

Penggunaan anti-psikotik untuk mengurangi gejala psikosis yang mungkin

terjadi, seperti jenis neuroleptik atipikal, (aripiprazole, olanzapine, quetiapine, dan

ziprasidone), adalah cara pengobatan yang diterima untuk gangguan disosiatif.


22

Antikonvulsan generasi baru juga sangat efektif. Quetiapine dimulai pada 25-50 mg

PO dan ditingkatkan sebesar 50 mg PO setiap tiga kali/hari sampai resolusi atau

perbaikan gejala tercapai. Dosis yang lebih tinggi wajib diberikan setiap malam

karena efek histaminergik obat penenang yang kuat. Obat lain seperti SSRI (mis.,

Escitalopram dan paroxetine mesylate) dan SNRI (yaitu, duloxetine dan

venlafaxine) dapat mengurangi kecemasan dan ketakutan akan disosiasi. Pada

gejala psikosis dan terjadi manifestasi kejang dengan masalah disosiatif, tablet

Keppra mungkin efektif diberikan. Dosis biasanya dilakukan monitoring hingga

jauh lebih rendah daripada pengobatan gangguan kejang. Lamotrigine dimulai

dengan 25 mg dan ditingkatkan 25 mg setiap 2 minggu adalah pilihan lain. Efek

antikonvulsan baru ini dianggap sekunder untuk peranan modulasi GABA.5,6

1.2 Pengobatan gangguan identitas disosiatif atau Dissociative Identity

Disoder (DID)

Pada pasien atau penyintas kasus kekerasan sewaktu masa kanak-kanak atau

child-abusive yang ekstrem dan panjang sering kali mengalami dilema manifetasi

klinis yang lebih rumit. Episode disosiatif, kilas balik pengalaman, dan impuls yang

merusak diri sendiri bahkan keinginan untuk bunuh diri adalah kesulitan umum

yang dihadapi oleh pasien tersebut. Setelah diagnosis, penting untuk menetralisir

lingkungan pasien dengan menghentikan semua bentuk penganiayaan, dibutuhkan

kerjasama tenaga medis dan sekitar tempat tinggal pasien. Perawatan harus

diarahkan pada masalah kepercayaan diri, toleransi pemahaman pasien tentang

dirinya sendiri, dan memungkinkan pasien untuk berfungsi seefektif mungkin. 12


23

1.2.1 Terapi Farmakologi

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa SSRI, prazosin, dan propranolol

dapat membantu dalam pengobatan kasus PTSD yang menyebabkan terjadinya

gangguan identitas disosiatif pada orang dewasa. Benzodiazepin sering digunakan,

tetapi menimbulkan risiko yang signifikan terutama pada orang tua.3 Kasus lain

pada pasien dengan gejala OCD (obsessive-compulsive disorder) dapat merespons

antidepresan dengan baik. Studi lain juga menunjukkan bahwa naltrexone dapat

membantu penderita untuk memperbaiki perilaku merugikan diri sendiri/self-

harmfullness secara terus-menerus pada pasien yang mengalami trauma.

Sedangkan pasien dengan gangguan identitas disosiatif yang berat dan tidak mampu

menerima respon berbagai obat-obatan saat follow-up, dapat diberikan dengan

clozapine.5,6

1.2.2 Terapi Non-Farmakologi

Psikoterapi yang efektif pada gangguan identitas disosiatif mengharuskan dokter

agar terlihat nyaman di hadapan pasien dengan berbagai intervensi psikoterapeutik dan

proaktif menanyakan kebutuhan pasien dalam menyusun proses pengobatan. Terdapat

beberapa modalitas, seperti: terapi kognitif, psikoterapi psikoanalitik, terapi behaviour,

hipnoterapi, penatalaksanaan psikofarmakologis penderita dengan trauma. Dokter harus

memberikan kenyamanan, dengan memposisikan pasien seperti keluarganya sendiri karena

pasien secara subjektif memahami dirinya sebagai bagian dari masyarakat beserta interaksi

sosial yang akan terjadi.5

Terapi Kognitif dengan menggunakan metode CBT (Cognitive Behavioural

Therapy) pada banyak gangguan identitas disosiatif yang hanya responsif terhadap
24

follow-up yang baik, namun intervensi kognitif yang sukses dapat menyebabkan

disforia tambahan. Kognitif terapi fokus pada pengendalian gejala dan pengelolaan

aspek-aspek kehidupan yang memilikki disfungsiTerapi Electroconvulsive (ECT).

Bagi beberapa pasien, ECT sangat membantu dalam memperbaiki gangguan mood

refrakter dan tidak memperburuk gangguan memorinya. 5 Sayangnya ketersedian

alat ini di Indonesia masih belum merata.5,12

1.3 Gangguan Depersonalisasi / Derealisasi

1.3.1 Terapi Farmakologi

Penggunaan antidepresan SSRI, seperti Suoxetine, dapat membantu pasien

dengan gangguan depersonalisasi. Terapi menggunakan Suvoxamine dan

Lamotrigin tidak memberikan manfaat signifikan berdasarkan dua studi double-

blind dan placebo-controlled terbaru ini. Pasien-pasien dengan gangguan

depersonalisasi jarang memiliki respon yang baik terhadap kelompok obat

antidepresan, anti-psikotik tipikal, atipikal, mood stabilizer, antikonvulsan, dan

sebagainya. 5,12

1.3.2 Terapi Non Farmakologi

Terapi dalam hal pola pikir dan perubahan perilaku sangat penting dengan

menggunakan metode psikoterapi seperti pola perilaku kognitif, psikodinamik,

hipnoterapi, dan kebutuhan suportif namun ada juga tipe pasien yang tidak memiliki

respon kuat terhadap intervensi ini. Maka dari itu diperlukan pengelolaan stress,

pengurangan stimulasi sensorik, teknik distraksi, latihan relaksasi, dan latihan fisik

(exercise) mampu berespon baik pada beberapa pasien.5,12


25

1.4 Gangguan Amnesia Disosiatif

1.4.1 Terapi Farmakologi

Pemberian farmakoterapi secara spesifik pada pasien amnesia disosiatif tidak

ditemukan, selain anamnesa yang kemudian difasilitasi menggunakan aspek

farmakologis tergantung gejala yang terjadi. Obat-obatan yang sering digunakan

antara lain golongan sodium amobarbital, thiopental (Pentothal), amfetamin,

benzodiazepin oral. Terdapat pengobatan lain seperti Diazepam (Valium) atau

amobarbital intravena digunakan saat terjadi akut amnesia dan reaksi konversi.

Prosedur ini mungkin berhasil pada kasus refrakter amnesia disosiatif kronis saat

tubuh pasien tidak berespon dengan intervensi lainnya. Ingatan berupa kejadian

masa lalu yang muncul saat pasien dalam keadaan memakai obat-obatan harus

diproses kembali oleh pasien yang dalam keadaan sadar sepenuhnya. 5,6,14

1.4.2. Terapi Non-Farmakologis

Terapi kognitif sangat bermanfaat pada pasien dengan pengalaman traumatik.

Dokter dan psikolog berperan aktif menggali aspek yang lebih dalam soal trauma

pasien, terkadang kejadian yang dilupakan atau hilang pasien dapat muncul

kembali. Pemantauan klinis yang harus diwaspadai adalah dengan seiringnya

ingatan yang kembali maka ingatan akan suatu peristiwa yang traumatik bisa

memunculkan keluhan lainnya seperti cemas dan depresi.

Hipnosis dapat digunakan dalam metode pengobatan amnesia disosiatif.

Selain itu, pasien bisa diajarkan self-hipnosis untuk menerapkan teknik relaksasi

dan pengendalian terukur dalam kehidupan kesehariannya. Terdapat juga


26

kelompok psikoterapi yang dibentuk dalam jangka pendek maupun jangka panjang

yang dilaporkan berhasil memberikan respon manfaat korban penganiayaan seperti

veteran dengan PTSD, sampai kekerasan seksual maupun fisik pada waktu anak-

anak. Pada pertemuan kelompok, pasien dapat memulihkan ingatan khususnya pada

penderita amnesia disosiatif anterograde. Terapis dapat memantau dan mengadakan

pertemuan dengan semua anggota penyintas dengan saling memberikan support

satu sama lain.14

1.5 Gangguan Fugue Disosiatif

1.5.1 Terapi Farmakologis

Prinsip pemberian farmakoterapi hanya bertujuan memperbaiki hendaya

ingatan penderita ketika dilakukan anamnesis. Wawancara klinis patut

memperhatikan informasi psikodinamik pasien dengan farmakologis yang

merupakan suatu teknik tambahan untuk mengembalikan memori penderita. Pasien

akan memerlukan perawatan medis, makanan, dan kebutuhan tidur selama periode

fugue, sehingga harus dilakukan rawat inap. Tenaga kesehatan jiwa harus

memperhatikan tanda bahaya berupa kemunculan ide bunuh diri atau ide-ide

merusak diri sendiri akibat impuls trauma maupun stres. Faktor masalah pekerjaan,

seksual, keluarga, atau hukum yang merupakan penyebab episode fugue akan

muncul seiring dengan ingatan yang pulih sehingga dukungan keluarga dan sosial

diperlukan1 Tujuan terapeutik bukanlah menyalahkan identitas yang baru atau

menjelaskan bahwa selama ini yang dialami penderita tidak nyata, tetapi

menghargai pentingnya informasi psikodinamik yang terkandung di dalam

kepribadian yang berubah. Hasil terapeutik yang paling diinginkan adalah


27

perpaduan identitas baru dengan mengintegrasikan kenangan akan pengalaman

yang memicu fugue.5,6,13

1.5.2 Terapi Non-Farmakologis

Fugue disosiatif diatasi dengan metode psikodinamik yang berfokus untuk

memulihkan ingatan akan identitas dan pengalaman yang spesifik atau luas pada

penderita dengan teknik yang digunakan berorientasi tilikan. Penderita

kemungkinan akan memunculkan Identitas baru yang diciptakan biasanya

merupakan identitas yang mampu melindunginya dari trauma-trauma di masa

lampau. Berdasarkan modalitas psikoterapi yang telah digunakan, diharapkan

proses pemulihan ingatan penderita berangsur cukup baik. Selain itu, pasien harus

mendapatkan dukungan sosial lingkungan, keluarga dan teman.5,12,13

H. Prognosis

Gangguan disosiatif dengan aksial amnesia disosiatif pada masa anak-anak

dan remaja dapat sangat bervariasi di antara pasien dewasa dan di antara jenis

gangguan disosiasi tertentu; namun pengobatan dini menawarkan kemungkinan

terbesar untuk sembuh total. Pemulihan membutuhkan psikiater terlatih khusus

yang memahami kondisi secara menyeluruh.15

Sayangnya, tidak ada studi sistematis tentang hasil jangka panjang pada kasus

gangguan identitas disosiatif atau Dissociative Identity Disorder (DID) saat ini.

Beberapa terapis percaya bahwa prognosis untuk pemulihan sangat baik untuk

anak-anak dan baik untuk kebanyakan orang dewasa. Meskipun pengobatan

memakan waktu beberapa tahun, seringkali bisa efektif terkontrol. Dengan catatan

bahwa, semakin dini pasien didiagnosis dan dirawat dengan benar, semakin baik
28

prognosisnya. Pasien mungkin merasa bahwa mereka tidak terlalu terganggu oleh

gejala saat mereka memasuki usia paruh baya, dengan sedikit kelegaan mulai

muncul di akhir usia 40-an. Stress atau penyalahgunaan zat, dapat menyebabkan

gejala kambuh kapanpun. Sedangkan untuk pasien gangguan

depersonalisasi/derealisasi didapatkan laporan hendaya membaik dengan parameter

respon obat beberapa pasien menanggapi inhibitor reuptake serotonin selektif atau

benzodiazepin.5,13,15

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menemukan rejimen pengobatan agar

mempengaruhi kekambuhan dengan keberhasilan terapi. Pada akhirnya, tingkat

kekambuhan akan rendah dengan kombinasi farmakologi dan psikoterapi/CBT

serta kemajuan modalitas terapi lain mampu meningkatkan fungsi psikososial

penyintas.13,15
BAB III

PENUTUP

Gangguan disosiatif merupakan suatu gangguan psikologis yang dipicu oleh

adanya kejadian traumatik. Gangguan disosiatif juga disebutkan sebagai bentuk

mekanisme pertahanan dari seseorang terhadap suatu kejadian yang tidak

mengenakkan. Gangguan disosiatif dapat berupa amnesia, fugue, stupor atau

kelainan motorik, dissociative identity disorder, dan depersonalisasi/derealisasi.

Diagnosis gangguan disosiatif dapat diperoleh melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu

menyingkirkan kemungkinan penyebab organik atau akibat pengaruh obat-obatan.

Melalui anamnesis, kejadian traumatis pada pasien harus digali, biasanya

didapatkan dari saksi atau pihak terdekat dari pasien. Pasien juga dapat

mengeluhkan hendaya yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari

pasien. Keluhan dapat berupa adanya ingatan yang hilang (memory gap), tiba-tiba

berada di suatu tempat tanpa ada tujuan yang jelas, hilangnya respon motorik, atau

melihat dirinya sedang melakukan aktivitas atau merasa dirinya keluar dari tubuh.

Tatalaksana dari gangguan disosiatif dapat dilakukan secara farmakologis

dengan pemberian obat-obatan, seperti SSRI, SNRI, benzodiazepin, atau non

farmakologis yaitu berupa cognitive behavioural therapy. Prognosis dari pasien

dengan gangguan disosiatif tergolong baik dan dipengaruhi oleh kecepatan dan

ketepatan diagnosis serta tatalaksana.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Spiegel D, Loewenstein RJ, Lewis-Fernández R, Sar V, Simeon D, Vermetten


E, et al. Dissociative disorders in DSM-5. Depress Anxiety. 2011
Sep;28(9):824-52.

2. Brand B, Loewenstein R. Dissociative disorders: an overview of assessment,


phenomonology and treatment. Psychiatric Times. 2010.

3. National Alliance on Mental Illness. Dissociative disorders in mental health


conditions [Internet]. NAMI. 2021 [cited 13 April 2021]. Available from:
https://www.nami.org/About-Mental-Illness/Mental-Health-
Conditions/Dissociative-Disorders

4. Maslim, Rusdi. 2003. Pedoman Praktis Diagnosis Gangguan Jiwa III. Jakarta:
Pt Nuh Jaya

5. Kaplan & Sadock. Synopsis Of Psychiatry: Behavioral


Scienes/Cinical/Psychiatri-Elevent Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins: 2015.

6. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: American
Psychiatric Publishing. 2013

7. Puri BK, Laking PJ, Treasaden IH. Buku ajar psikiatri, Muttaqin H, Dany F,
editor. Gangguan disosiasi (konversi) dan somatoform. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2012: 219 – 24

8. Karlina D. Laporan Kasus: Gangguan Disosiasi (Konversi). Majalah


Kedokteran. 2018 Oct 11;34(3):126-30.

9. Tada et al. Dissociative Stupor Mimicking Consciousness Disorder in an


Advanced Lung Cancer Patient. Tokyo : Japanese Journal of clinical
oncology. Jpn J Clin Oncol 2012;42(6)548 – 551. 2012.

10. Bourgeois at al. 2012. Psychiatry Review and Canadian Certification Exam
Preparation Guide (online)
(https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=f_L9Q-
OLFOAC&oi=fnd&pg=PA277&dq=fugue+dissociative&ots=cWJaIYLpda
&sig=65GoiE9UbolVcOza3pSKS_rOf1Y&redir_esc=y#v=onepage&q=fug
ue%20dissociative&f=false, Diakses pada 14 April 2021)

30
31

11. Staniloiu. 2014. Dissociative amnesia. Germany: Physiological Psychology,


University of Bielefeld, Bielefeld journal. Lancet Psychiatry 2014; 1: 226–41

12. Gillies D1, Taylor F, Gray C, O'Brien L, D'Abrew N. Psychological therapies


for the treatment of post-traumatic stress disorder in children and adolescents.
Evid Based Child Health. 2013. 8(3):1004-116.

13. Mind. Understanding Dissosiative Disorders. Edisi Revisi. London: Mind


(National Association for Mental Health). 2016. Hal 3-4.

14. Cleveland Clinic Foundation (CCF). 2016. Dissociative Amnesia. Tidak


diterbitkan. https://my.clevelandclinic.org/health/articles/dissociative-
amnesia. Diakses tanggal 06-08-2017 pukul 07:43.

15. Weber S. Treatment of trauma- and abuse-related dissociative symptom


disorders in children and adolescents. J Child Adolesc Psychiatr Nurs. 2009
Feb. 22(1):2-6.

Anda mungkin juga menyukai