Dehidrasi
Hiperglikemi
Gangguan keseimbangan elektrolit
Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus
Follow up yang ketat
Terapi cairan :
Pasien dewasa :
Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan intra dan
ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan / gangguan
fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan 15 sampai 20
ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5 liter). Pada jam
berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar elektrolit serum dan
diuresis (jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam
dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau meningkat. Bila kadar Na rendah,
diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang sama. Setelah fungsi ginjal membaik,
terlihat dengan adanya diuresis, segera diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l
sampai kondisi pasien stabil dan dapat menerima suplemen Kalium oral.
Pasien pediatrik (< 20 tahun)
Terapi initial/awal ditujukan untuk memperbaiki volume cairan intra dan ekstravaskuler
serta perfusi ginjal. Kebutuhan cairan harus diperhitungkan untuk mencegah timbulnya
edema serebri akibat pemberian cairan yang terlalu cepat dan berlebihan. Cairan yang
diberikan pada 1 jam pertama berupa cairan isotonik (0,9% NaCl) dengan kecepatan
10-20 ml/kgBB/jam. Pada pasien yang mengalami dehidrasi berat, pemberian cairan
perlu diulang, namun tidak boleh melebihi 50 ml/kgBB dalam 4 jam. Terapi cairan
lanjutan diperhitungkan untuk mengganti kekurangan cairan selama 48 jam. Umumnya
pemberian cairan 1,5 kali selama 24 jam berupa cairan 0,45% 9% NaCl dapat
menurunkan osmolalitas tidak melebihi 3 mOsm/kgBB/jam. Setelah fungsi ginjal
membaik dengan adanya diuresis, diberikan infus kalium 20-40 mEq/l (2/3 KCl atau K
asetat dan 1/3 K fosfat). Setelah kadar glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan
sebaiknya diganti dengan 5% glukosa dan 0,45% 0,75% NaCl. Status mental
sebaiknya dimonitor secara ketat untuk mencegah agar tidak terjadi kelebihan cairan
iatrogenik yang dapat menyebabkan edema serebri.
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan terapi
pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ < 3,3 mEq/l) diberikan bolus
RI intravena dengan dosis 0,15 UI/kgBB disertai dgn infus RI dgn dosis 0,1 UI/kgBB/jam
(5-7 UI/jam).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RI berkesinambungan dgn dosis 0,1 UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75
mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih
tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa
keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai
kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa
plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis insulin
diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan pemberian Dextrose (510%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi Dextrose disesuaikan untuk
mempertahankan kadar glukosa plasma normal sampai asidosis pada KAD atau
gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada KHH dapat diatasi. Ketonemia
memerlukan perawatan yang lebih lama daripada hiperglikemi.
Pengukuran langsung terhadap hydroxy butirate dalam darah merupakan cara yang
lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat mengukur asam
asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering
ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama
pengobatan, -OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan
keliru bahwa ketosis memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah sebaiknya
diperiksa setiap 2 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit serum, glukosa, ureum,
kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena.
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah arteri.
Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri) dan anion gap
dapat pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun intramuskuler
setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 0,6 UI
per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan separuhnya
secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI
secara subkutan atau intramuskuler.
Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :
diperlukan, sehingga menghasilkan larutan dengan kadar natrium yang tidak melebihi
155 mEq/l.
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun beberapa studi
prospektif tidak menunjukkan adanya manfaat pemberian fosfat pada penderita KAD.
Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung dan otot rangka serta
depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan suplemen fosfat terutama
pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi jantung, anemia atau depresi
pernafasan dan pada penderita dengan kadar fosfat serum < 1.0 mg/dl.
Komplikasi :
Komplikasi yang paling sering dari KAD dan KHH adalah :
Hipoglikemi karena dosis insulin yang berlebihan
Hipokalemi akibat pemberian insulin dan pengobatan asidosis dengan bikarbonat
Hiperglikemi akibat penghentian terapi insulin intravena setelah penyembuhan tanpa
dilanjutkan dengan insulin subkutan
Pasien yang sudah mengalami pemulihan dari KAD dapat mengalami hiperkhloremi
karena penggunaan cairan dan penggantian elektrolit yang berlebihan. Kelainan
biokimia ini bersifat ringan dan tidak bermakna secara klinis kecuali pada kasus2 gagal
ginjal akut atau oliguria berat. Edema serebri merupakan komplikasi KAD yang bersifat
fatal, yang secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran disertai lethargy dan
sakit kepala. Defisit neurologik dapat terjadi secara cepat, disertai kejang, inkontinensia
urin, perubahan refleks pupil , bradikardia dan gagal nafas. Progresivitas gejala defisit
neurologik ini terjadi akibat adanya herniasi batang otak. Apabila sudah terjadi
perubahan2 perilaku, maka angka kematiannya akan semakin tinggi (dapat mencapai
70%), dan hanya 7-14% kasus yang dapat mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa
permanen. Mekanisme terjadinya edema serebri sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti, namun diduga disebabkan karena perubahan tekanan osmotik akibat
perpindahan cairan yang cepat kedalam sistem syaraf pusat karena penurunan
osmolalitas plasma yang terlalu cepat selama pengobatan KAD atau KHH.
Prinsip pengobatan edema serebri adalah dengan menurunkan tekanan intrakranial,
yaitu dengan pemberian Mannitol, diberikan dalam 5 sampai 10 menit setelah
ditemukan gejala awal defisit neurologik dengan dosis 1 2 g/kg selama 15 menit.
Pemberian deksametazon dan diuretik masih kontroversi.