Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Terapi Eksposur Realitas Virtual pada


Fobia Sosial
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Eri, S.Ked
140611050

Preseptor :

dr. Afrina Zulaikha, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan referat yang berjudul “Terapi Eksposur Realitas Virtual pada

Fobia Sosial“. Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani

Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah

Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Afrina Zulaikha, Sp.KJ

selaku preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF

Ilmu Kesehatan Jiwa atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk

memberikan bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi

penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di

masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................3
2.1. Definisi..................................................................................................3
2.2. Epidemiologi..........................................................................................3
2.3. Etiologi..................................................................................................4
2.4. Manifestasi Klinis..................................................................................5
2.5. Diagnosis...............................................................................................5
2.6. Diagnosis Banding.................................................................................7
2.7. Tatalaksana............................................................................................8
2.7.1. Psikofarmaka......................................................................................8
2.7.2. Psikoterapi..........................................................................................9
BAB 3....................................................................................................................10
3.1. Teknologi Virtual Reality....................................................................11
3.2. Prinsip Virtual Reality Exposure Therapy...........................................11
3.3. Prosedur VRET....................................................................................13
3.4. Kelebihan dan Kekurangan..................................................................17
3.5. Penelitian Tentang VRET pada Fobia Sosial......................................18
BAB 4....................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial didefinisikan sebagai

ketakutan terhadap satu atau lebih situasi sosial di mana seseorang mungkin

berperilaku memalukan dan dinilai secara negatif oleh orang lain (American

Psychiatric Association, 2013). Sejumlah studi melaporkan prevalensi seumur

hidup yang berkisar dari 3 hingga 13 persen (Sadock et al., 2015). Amerika

Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi (6,8 persen), dan Cina yang terendah

(0,2 persen) (Boland et al., 2021).

Individu yang menderita fobia sosial dapat mengalami penurunan kualitas

hidup dan gangguan fungsi, seperti pekerjaan dan hubungan interpersonal.

Namun, hanya sekitar sepertiga penderita fobia sosial yang mencari pengobatan.

Terapi perilaku kognitif atau Cognitive Behavior Therapy (CBT) merupakan

terapi yang paling umum untuk memodifikasi kognisi dan perilaku maladaptif

menggunakan strategi kognitif (misalnya restrukturisasi kognitif) dan perilaku

(misalnya eksposur) (Kampmann et al., 2016).

Bentuk terapi eksposur yang relatif baru adalah Terapi Eksposur Realitas

Virtual atau Virtual Reality Exposure Therapy (VRET) berupa paparan terhadap

rangsangan yang dihasilkan komputer (misalnya interaksi sosial virtual) yang

dapat menimbulkan fobia sosial. Penelitian kumulatif menunjukkan bahwa VRET

efektif dalam pengobatan beberapa gangguan kecemasan terutama pada fobia

spesifik, namun penelitian tentang efektifitas VRET dalam pengobatan fobia

1
2

sosial masih terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa VRET dapat

mengurangi gejala fobia sosial (Kampmann et al., 2016).

Penelitian sebelumnya terbatas menilai VRET hanya dalam kombinasi

dengan CBT, dengan fokus terutama pada ketakutan berbicara di depan umum

dan hanya mencakup interaksi verbal yang terbatas. Penggabungan berbagai

skenario virtual dengan interaksi sosial yang menyerupai interaksi kehidupan

nyata ke dalam VRET mungkin lebih tepat untuk menargetkan ketakutan khusus

pada penderita dengan fobia sosial (Kampmann et al., 2016).

Terlebih lagi, beberapa keuntungan yang dapat dicapai dengan metode

VRET diantaranya pada individu yang tidak siap menghadapi ketakutan pada

terapi eksposur secara langsung, sehingga VRET dapat dijadikan sebagai langkah

awal sebagai terapi, Lebih aman bila dibandingkan dengan traditional exposure

therapy karena tidak secara langsung dikonfrontasi dengan sumber ketakutannya,

lebih fleksibel dan memiliki kontrol yang lebih baik untuk berbagai situasi sosial

(Kampmann et al., 2016).

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menilai efek VRET murni tanpa

komponen kognitif apa pun dan untuk menyesuaikan VRET pada individu

dengan ketakutan sosial yang heterogen dengan mensimulasikan interaksi verbal

sosial dalam berbagai situasi sosial virtual yang diyakini relevan untuk mengobati

individu dengan fobia sosial (Kampmann et al., 2016).


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Istilah fobia mengacu pada rasa takut yang berlebihan terhadap suatu

objek, situasi atau keadaan tertentu. Gangguan ansietas sosial/social anxiety

disorder (SAD) disebut juga fobia sosial, memliki rasa takut yang berlebihan

akan rasa malu di berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di depan umum.

Fobia sosial menyeluruh, yang sering merupakan keadaan kronis dan membuat

ketidakmampuan, dapat sulit dibedakan dengan gangguan kepribadian

menghindar (Sadock et al., 2015).

2.2. Epidemiologi

Sejumlah studi melaporkan prevalensi seumur hidup yang berkisar dari 3

hingga 13 persen. Prevalensi 6 bulan untuk fobia sosial adalah sekitar 2 hingga 3

per 100 orang (Sadock et al., 2015). Di dalam studi epidemiologis, perempuan

lebih banyak terkena dibandingkan laki-laki, tetapi pada sampel klinism

kebalikannya sering ditemukan. Usia puncak awitan fobia sosial adalah remaja

walaupun awitannya lazim antara usia 5 hingga 35 tahun (Sadock et al., 2015).

Pasien dengan fobia sosial dapat memiliki riwayat gangguan ansietas lain,

gangguan mood, gangguan terkait zat, dan bulimia nervosa. Di samping itu,

gangguan kepribadian menghindar sering terdapat pada orang dengan fobia sosial

menyeluruh (Sadock et al., 2015).

3
4

2.3. Etiologi

2.3.1. Faktor perilaku

Pada tahun 1920, John B. Watson menulis sebuah artikel yang disebut

“Conditioned Emotional Reaction”. Teori pembelajaran operan memberikan

model untuk menjelaskan pembentukan fobik: ansietas adalah dorongan yang

memotivasi organisme untuk melakukan apapun yang bisa diperlakukan untuk

membuang afek yang menyakitkan. Di dalam perjalanannya, organisme belajar

bahwa tindakan tertentu memungkinkannya menghindari stimulus yang

mencetuskan ansietas. Pola penghindaran ini tetapi stabil untuk periode waktu

yang lama (Sadock et al., 2015).

2.3.2. Faktor asuhan

Sejumlah studi melaporkan bahwa beberapa anak mungkin memiliki ciri

bawaan yang ditandai dengan pola inhibisi perilaku konsisten. Ciri bawaan ini

terutama lazim pada anak dari orang tua yang mengalami gangguan panik. Data

penelitian menunjukkan orang tua dari orang dengan fobia sosial adalah sebagai

suatu kelompok orang tua yang kurang peduli, lebih menolak, dan lebih over-

protektif terhadap anak mereka (Sadock et al., 2015).

2.3.3. Faktor neurokimia

Keberhasilan farmakoterapi dalam terapi fobia sosial menghasilkan dua

hipotesis neurokimia spesifik. Secara spesifik, penggunaan antagonis β-

adrenergik pada fobia penampilan (seperti berbicara di hadapan umum)

membentuk perkembangan teori adrenergik pada fobia ini. Pasien dengan fobia

ini dapat melepaskan lebih banyak norepinefrin atau epinefrin baik secara sentral
5

maupun perifer daripada orang non-fobik, atau pasien tersebut sensitif terhadap

kadar normal stimulasi adrenergik (Sadock et al., 2015).

2.3.4. Faktor genetik

Kerabat derajat pertama orang dengan fobia sosial sekitar 3 kali lebih

cenderung mengalami fobia sosial daripada kerabat derajat pertama orang tanpa

gangguan jiwa (Sadock et al., 2015).

2.4. Manifestasi Klinis

Gejala yang muncul ketika mengalami fobia sosial adalah rasa cemas dan

rasa malu yang intens, rasa waspada, serta rasa takut untuk dikritik. Rasa cemas

yang tampak berupa kumpulan gejala fisik seperti berkeringat, gemetar, wajah

merah, berdebar-debar, tampak canggung, hingga rasa mual dan diare ketika di

diperhatikan atau dalam melakukan tugas (seperti berbicara di depan umum,

tetapi juga makan, minum, menandatangani dokumen atau menggunakan

telepon). Kecemasan juga dapat menyebabkan beberapa gangguan pada perilaku

seperti lebih mudah untuk lupa, berbicara terbata-bata dan diam membeku atau

freezing. Biasanya, penderita fobia sosial juga takut berbicara dengan orang lain,

karena mereka khawatir akan mengatakan sesuatu yang bodoh atau tidak ada

yang ingin dikatakan (Cederlund, 2013; Andrews et al., 2018).

2.5. Diagnosis

Dalam menentukan diagnosis dapat digunakan acuan kriteria diagnosis

pada DSM-V (American Psychiatric Association, 2013). Fobia sosial dapat

terdiagnosis jika kecemasan yang muncul terjadi secara persisten selama 6 bulan
6

atau lebih tanpa dipengaruhi oleh kondisi medis lain ataupun obat-obatan

(Cederlund, 2013).

Tabel 1. Kriteria diagnosis SAD berdasarkan DSM-V (American Psychiatric


Association, 2013)
Kriteria Diagnosis 300.23 (F40.10)
A. Rasa takut atau kecemasan yang muncul pada situasi yang
memungkinkan suatu individu diobservasi oleh orang lain.
Contohnya termasuk interaksi sosial (berbicara, bertemu orang
baru), diamati orang lain (saat makan dan minum), atau tampil di
depan publik (memberi pidato).
Catatan: pada anak-anak kecemasan harus terjadi pada situasi sosial
antara teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang
dewasa.
B. Ketakutan individu untuk bertindak atau menunjukkan rasa
cemasnya sehingga terlihat buruk di depan orang lain
(mempermalukan diri sehingga dihindari atau menyinggung orang
lain).
C. Situasi sosial hampir selalu memicu rasa takut atau cemas.
Catatan: pada anak-anak rasa takut atau cemas dapat berupa
tangisan, kegelisahan, kekakuan, atau tidak mau berbicara.
D. Situasi sosial dihindari atau dijalani dengan menahan rasa takut atau
cemas yang intens.
E. Rasa takut atau cemas berlebihan dan tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada pada situasi sosial dan konteks sosial-kultural.
F. Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar terjadi secara persisten
selama 6 bulan atau lebih.
G. Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar menyebabkan
disabilitas yang signifikan pada fungsi sosial, okupasi, atau fungsi
lainya dalam kehidupan.
H. Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar bukan disebabkan
oleh efek fisiologis dari zat tertentu (penyalahgunaan obat-obatan
terlarang atau medikasi) atau disebabkan oleh kondisi medis
lainnya
I. Rasa takut, kecemasan, atau perilaku menghindar tidak dominan
kearah gejala gangguan mental lain, seperti gangguan panik,
gangguan dysmorphic tubuh, atau gangguan spektrum autisme.
J. Jika terdapat kondisi medis lain (misalnya, penyakit Parkinson,
obesitas, cacat akibat luka bakar atau cedera) maka rasa takut,
kecemasan, atau perilaku menghindar jelas tidak berhubungan atau
berlebihan.
Tentukan jika:
Hanya fobia penampilan: Jika rasa takut hanya terbatas pada berbicara atau
tampil di depan umum
7

2.6. Diagnosis Banding

Fobia sosial harus dibedakan dengan rasa takut yang sesuai serta rasa

malu yang normal. Diantara beberapa diagnosis banding fobia sosial adalah:

a. Keadaan medis nonpsikiatri mencakup penggunaan zat (terutama

halusinogen dan simpatomimetik), tumor susunan saraf pusat, dan

penyakit serebrovaskular. Gejala fobik pada keadaan ini hampir tidak

mungkin jika tidak ditemukan gejala tambahan yang meyakinkan pada

pemeriksaan fisik, neurologis, dan status mental.

b. Skizofrenia dapat memiliki gejala fobik sebagai bagian dari psikosisnya

c. Gangguan panik dan gangguan kepribadian menghindar. Umumnya

pasien dengan fobia sosial cenderung mengalami ansietas segera ketika

terdapat stimulus fobik dan ansietas atau panik terbatas pada situasi yang

telah diidentifikasi. Pasien secara abnormal tidak menjadi cemas ketika

mereka tidak dihadapkan pada stimulus fobik tersebut.

d. Agorafobia sering ditenangkan dengan adanya orang lain pada situasi

yang mencetuskan ansietas, sedangkan pada fobia sosial dibuat menjadi

lebih cemas dengan adanya orang lain.

e. Gangguan depresif berat dan gangguan kepribadian skizoid. Penghindaran

situasi sosial sering merupakan gejala depresi tetapi wawancara psikiatri

dapat membedakannya, sedangkan pada gangguan kepribadian skizoid,

kurangnya minat dalam bersosialisasi, bukan karena rasa takut untuk

bersosialisasi menimbulkan perilaku penghindaran sosial (Sadock et al.,

2015).
8

2.7. Tatalaksana

Baik psikoterapi dan farmakoterapi berguna untuk mengobati gangguan

fobia sosial.

2.7.1. Psikofarmaka

Obat yang efektif untuk pengobatan gangguan kecemasan sosial termasuk

(1) Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI),

(2) benzodiazepin,

(3) venlafaxine (Effexor), dan

(4) buspirone (BuSpar).

SSRI dianggap sebagai pilihan pengobatan first-line untuk pasien dengan

bentuk gangguan kecemasan sosial yang lebih umum. Benzodiazepin alprazolam

(Xanax) dan klonazepam (Klonopin) juga efektif dalam gangguan kecemasan

sosial. Buspirone telah menunjukkan efek aditif saat digunakan untuk

meningkatkan pengobatan dengan SSRI (Sadock et al., 2015).

Dalam kasus yang parah, pengobatan yang berhasil untuk gangguan

kecemasan sosial dengan MAOI yang tidak dapat diubah seperti fenelzin (Nardil)

dan penghambat oksidase monoamine reversibel seperti moclobemide (Aurorix)

dan brofaromine (Consonar), telah dilaporkan. Dosis terapeutik fenelzin berkisar

dari 45 hingga 90 mg sehari, dengan tingkat respons berkisar dari 50 hingga 70

persen; sekitar 5 sampai 6 minggu diperlukan untuk menilai efektifitas (Sadock et

al., 2015).

Terapi fobia sosial yang terkait dengan situasi penampilan melibatkan

penggunaan antagonis reseptor β-adrenergik sesaat sebelum terpapar stimulus


9

fobia. Dua senyawa yang paling banyak digunakan adalah atenolol (Tenormin) 50

sampai 100 mg yang diminum sekitar 1 jam sebelum pertunjukan, atau

propranolol, 20 sampai 40 mg. Pilihan lain untuk membantu mengatasi

kecemasan penampilan adalah benzodiazepin yang bekerja relatif pendek atau

menengah, seperti lorazepam atau alprazolam. Teknik kognitif, perilaku, dan

eksposur juga berguna dalam situasi penampilan (Sadock et al., 2015).

.7.2. Psikoterapi

Psikoterapi untuk gangguan kecemasan sosial biasanya melibatkan

kombinasi metode perilaku dan kognitif, termasuk pelatihan ulang kognitif,

desensitisasi, latihan selama sesi terapi, dan serangkaian tugas rumah (Sadock et

al., 2015).
10

BAB 3
Terapi Eksposur Realitas Virtual

Terapi yang paling banyak diteliti untuk fobia sosial adalah terapi perilaku

kognitif atau cognitive behavior therapy (CBT). CBT bertujuan untuk

memodifikasi kognisi dan perilaku maladaptif menggunakan strategi kognitif

(misalnya restrukturisasi kognitif) dan perilaku (misalnya eksposur). Selama

terapi eksposur, peserta menghadapi rangsangan yang ditakuti dalam situasi yang

mengandung interaksi sosial sampai kecemasan menurun dan/atau ekspektasi

yang terkait kecemasan dipatahkan. Menariknya, hasil meta-analisis mendapatkan

efektifitas pengobatan dengan terapi paparan saja sebanding dengan terapi

kognitif dan kombinasi keduanya tidak lebih efektif daripada salah satu yang

diberikan secara eksklusif (Kampmann et al., 2016).

Meskipun eksposur in vivo adalah pengobatan yang efektif untuk

sebagian besar pasien, hal ini juga terkait dengan beberapa keterbatasan, seperti

kontrol terapeutik yang terbatas atas berbagai aspek eksposur dan jumlah keluar

yang relatif tinggi karena beberapa pasien tidak ingin untuk terpapar terhadap

situasi yang menakutkan (Hartanto et al., 2014).

Bentuk terapi eksposur yang relatif baru adalah Terapi Eksposur Realitas

Virtual atau Virtual Reality Exposure Therapy (VRET). Selama VRET, peserta

dihadapkan dengan rangsangan yang dihasilkan komputer (misalnya interaksi

virtual sosial) yang dapat menimbulkan peningkatan tingkat subyektif kecemasan

sosial. Penelitian kumulatif menunjukkan bahwa VRET efektif dalam pengobatan

beberapa gangguan kecemasan. Walaupun VRET telah dipelajari secara ekstensif


11

pada fobia spesifik, penelitian tentang kemanjuran VRET dalam pengobatan fobia

sosial masih terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa VRET dapat

mengurangi gejala fobia sosial (Kampmann et al., 2016).

3.1. Teknologi Virtual Reality

Teknologi realitas virtual atau virtual reality (VR) menawarkan

kesempatan unik untuk memberikan terapi eksposur. Teknologi yang meningkat

menyebabkan kualitas gambar lebih baik, dan biayanya jauh lebih murah daripada

psikoterapi tradisional. Selain lebih mudah untuk disebarluaskan, survei

menunjukkan bahwa banyak orang lebih suka menerima terapi eksposur realitas

virtual daripada terapi eksposur tradisional/in vivo, dengan satu studi

menunjukkan bahwa 76% peserta memilih VRET daripada eksposur in vivo (Carl

et al., 2019).

Terapi eksposur realitas virtual telah diusulkan sebagai alternatif yang

efektif untuk mengatasi kekurangan eksposur in vivo. Eksposur dalam VR

membuat kontrol pada elemen eksposur lebih mudah dikelola karena pasien

diekspos dalam lingkungan virtual terkontrol di mana parameter rangsangan yang

menimbulkan kecemasan dapat diubah dan dimanipulasi oleh terapis (Hartanto et

al., 2014).

3.2. Prinsip Virtual Reality Exposure Therapy

Sistem VRET saat ini yang digunakan untuk pasien fobia sosial terutama

berfokus pada reka ulang adegan sosial, seperti skenario berbicara di depan

umum, toko pakaian, transportasi umum, atau restoran. Pada awal pengobatan,

inti kecemasan pada situasi sosial yang menimbulkan kecemasan dibentuk. Inti
12

ini kemudian digunakan untuk mengatur situasi VR yang akan dihadapi pasien

secara bertahap, dimulai dengan situasi yang tidak terlalu menimbulkan

kecemasan dan akhirnya beralih ke situasi yang lebih menimbulkan kecemasan

saat pengobatan berlangsung (Hartanto et al., 2014).

Meskipun beberapa penelitian telah melaporkan temuan efektifitas awal

yang menjanjikan pada VRET untuk fobia sosial, sistem VR yang digunakan

terutama memungkinkan terapis untuk mengontrol kecemasan sosial hanya

dengan berpindah di antara situasi VR yang berbeda. Karenanya selama eksposur

aktual dalam situasi VR, terapis memiliki kemampuan yang terbatas untuk

memperkenalkan atau menghilangkan rangsangan yang menimbulkan kecemasan

di dunia VR. Berdasarkan penelitian tentang gangguan kecemasan lainnya,

kemampuan ini mungkin terbukti berguna untuk pengobatan fobia sosial juga

Berkenaan dengan VRET untuk fobia sosial, bagaimanapun, sedikit perhatian

telah diberikan pada aspek pengobatan ini. Kami berpendapat bahwa

memanipulasi dialog antara pasien dan karakter virtual dapat meningkatkan

efektivitas VRET untuk fobia sosial. Misalnya dengan memiliki karakter virtual

yang merespon perilaku pasien dalam berdialog, terapis dapat langsung

memberikan respon rasa takut setelah dinilai secara negatif oleh orang lain.

Umpan balik afektif juga memainkan peranan kunci dalam dialog antara manusia,

dan dapat menunjukkan misalnya tanggapan umpan balik sebagai pendengar yang

berisifat defensif atau suportif. Selanjutnya, pendengar pada gilirannya dapat

secara aktif mempengaruhi keadaan emosional pembicara, seperti dengan dasar

teknik mendengarkan empatik. Dalam jangka panjang, interaksi manusia akan


13

memengaruhi penilaian terhadap diri sendiri karena hal itu dimasukkan ke dalam

proses penilaian yang direfleksikan pada diri sendiri, yaitu cara mereka

membayangkan bagaimana orang lain melihat atau menilai mereka (Hartanto et

al., 2014).

3.3. Prosedur VRET

Terapis dan peserta melakukan kontak tatap muka sebelum dan sesudah

latihan pemaparan dan selama pemaparan mereka berkomunikasi melalui

interkom. Situasi virtual meliputi situasi satu-ke-satu dan kelompok yang

dirancang untuk memicu kecemasan pada individu dengan fobia sosial:

memberikan ceramah di depan audiens diikuti dengan pertanyaan dari audiens,

berbicara dengan orang asing, membeli dan mengembalikan pakaian, menghadiri

wawancara kerja, diwawancarai oleh jurnalis, makan di restoran dengan seorang

teman, dan kencan buta (Kampmann et al., 2016).


14

Gambar 1. Peralatan VRET (Hartanto et al., 2014)

Dalam kedua uji coba di atas, latihan eksposur hanya menargetkan

kecemasan terkait berbicara di depan umum dan hanya memasukkan interaksi

verbal terbatas (yaitu, menjawab pertanyaan). Namun, meskipun ketakutan

berbicara di depan umum adalah subtipe yang paling umum dari fobia sosial,

mayoritas individu dengan fobia sosial melaporkan lebih dari satu ketakutan

(Ruscio et al., 2008), menekankan perlunya penelitian tentang VRET yang

menargetkan ketakutan sosial yang heterogen. Selain itu, sejumlah besar situasi

sosial yang ditakuti yang dilaporkan oleh individu dengan fobia sosial (misalnya,

berbicara dengan orang asing atau berbicara dalam rapat) mengandung interaksi

verbal.
15

Gambar 2. Wawancara kerja virtual dengan pewawancara perempuan (kiri) dan


laki-laki (kanan) (Hartanto et al., 2014).

Memasukkan dialog ekstensif ke dalam VRET dan menjawab lebih dari

sekadar menjawab sejumlah pertanyaan mungkin meningkatkan efektivitas VRET

untuk fobia sosial. Berbeda dengan beberapa penelitian, memasukkan skenario

virtual dalam VRET yang menargetkan beberapa ketakutan sosial. Mereka

menemukan CBT plus VRET lebih efektif dibandingkan dengan daftar tunggu

dan lebih efektif daripada CBT plus paparan in vivo. Namun, ketiga studi

menyelidiki VRET dalam kombinasi dengan CBT. Oleh karena itu, tidak ada

kesimpulan yang dapat diambil mengenai kemanjuran VRET sebagai pengobatan

yang berdiri sendiri dan kemungkinan tidak dapat dikesampingkan bahwa efek

yang ditemukan disebabkan oleh CBT daripada VRET (Kampmann et al., 2016).
16

Gambar 3. (a) dunia virtual netral , (b) kencan buta virtual, dan (c) wawancara
kerja virtual (Hartanto et al., 2014)

Dalam uji coba terkontrol secara acak, efektifitas VRET dan terapi

paparan in vivo (iVET) untuk orang dewasa dengan fobia sosial dan ketakutan

sosial yang heterogen. Perlakuan aktif ini dibandingkan dengan kelompok kontrol

daftar tunggu. Kedua pengobatan aktif diberikan dalam format individu dan

hanya berdasarkan keterpaparan. Dihipotesiskan bahwa relatif terhadap individu

dalam kelompok kontrol, peserta dalam kondisi aktif akan melaporkan lebih

sedikit gejala kecemasan sosial dan akan tampil lebih baik pada tugas penilaian

perilaku pada pasca penilaian. Peningkatan pengobatan diharapkan sebanding


17

untuk VRET dan iVET pada pasca penilaian dan tindak lanjut 3 bulan

(Kampmann et al., 2016).

3.4. Kelebihan dan Kekurangan

Adapun kelebihan dari penggunaan VRET dalam praktik penatalaksaan

fobia diantaranya (Kampmann et al., 2016):

a. VRET dapat diberikan pada individu yang belum siap untuk melakukan

traditional exposure therapy. VRET sendiri merupakan langkah awal yang

dapat diambil oleh terapis dalam melakukan penatalaksanaan klien

dengan fobia. Pada salah satu penelitian menyebutkan bahwa klien

merasa lebih mudah untuk memulai exposure therapy melalui dunia

virtual karena mereka mengetahui tidak terdapat bahaya yang nyata yang

dapat mengganggu keselamatannya

b. Lebih aman bila dibandingkan dengan traditional exposure therapy karena

klien tidak secara langsung dikonfrontasi dengan sumber ketakutannya.

c. Terapis memiliki kontrol yang lebih baik saat melakukan treatment pada

klien, karena menggunakan dunia virtual dimana situasi atau objek dapat

dikontrol dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.

d. Lebih fleksibel untuk digunakan karena terapi ini menggunakan alat,

sehingga tidak perlu mencari atau menyediakan situasi atau objek yang

ditakuti oleh klien.

Selain itu VRET juga memiliki beberapa kekurangan yang perlu

diperhatikan, diantaranya (Kampmann et al., 2016):


18

1. Terbatasnya ekspresi wajah pada manusia virtual. Hal ini berhubungan

terutama pada pasien yang mengalami fobia dikarenakan memiliki trauma

akibat dinilai negatif di depan umum maupun ketika melakukan interaksi

secara tatap muka.

2. Terbatasnya aktivitas yang dapat dilakukan di dunia virtual. Hal ini

berhubungan dengan penyebab fobia dari masing-masing individu

berbeda-beda sehingga program yang diberikan kepada tiap orang

berbeda-beda.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, teknologi berupa terapi

eksposur realitas virtual merupakan terapi berbasis virtual yang dapat

memberikan efek terapeutik bagi klien dengan gangguan kecemasan sosial.

Terapi ini dapat menjadi salah satu pilihan dalam penatalaksanaan pada klien

dengan gangguan psikotik, karena telah terbukti efektif dalam mengurangi

kecemasan dan ketakutan yang dialami pasien. Oleh karena itu diperlukan

pengembangan dari teknologi ini, sehingga segala kekurangan yang ada dapat

diminimalkan guna mendapatkan hasil terapi yang maksimal (Kampmann et al.,

2016).

3.5. Penelitian Tentang VRET pada Fobia Sosial

Pertama, meta-analisis oleh Kampmann et al. (2016) mengamati efek

keseluruhan yang besar untuk intervensi berbasis VR pada pasca perawatan gejala

kecemasan sosial. Bukti yang diberikan dinilai sebagai kualitas rendah hingga

sedang, dengan heterogenitas, bias publikasi, dan moderator tidak diperiksa

(Dellazizzo et al., 2020).


19

Kedua, dibandingkan dengan kontrol yang tidak aktif, meta-analisis oleh

Carl et al. (2019) menemukan efek pasca-perawatan yang. Bukti dari 7 penelitian

memiliki kualitas rendah hingga sedang. Meskipun tidak secara khusus, penulis

mengamati heterogenitas sedang dan kemungkinan adanya bias publikasi dalam

studi mereka secara keseluruhan (Dellazizzo et al., 2020)d.

Ketiga, sebagai perbandingan dengan kontrol aktif, Chesham et al. (2018)

tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara intervensi berbasis VR dan

perawatan standar menggunakan pendekatan in vivo atau imajinal. Bukti dari 7

uji coba terkontrol dengan baik dengan heterogenitas sedang dan tidak adanya

bias publikasi dinilai sebagai kualitas rendah hingga sedang (Dellazizzo et al.,

2020).

Keempat, dalam hal penilaian follow-up, Kampmann et al. (2016)

mengamati bahwa efek keseluruhan yang besar untuk VR dipertahankan

berdasarkan waktu. Namun, efeknya tidak berbeda dengan efek pada kontrol

aktif. Bukti dievaluasi sebagai kualitas rendah hingga sedang karena penulis tidak

memeriksa heterogenitas atau bias publikasi karena terbatasnya jumlah uji coba

yang disertakan dalam analisis mereka (Dellazizzo et al., 2020).

Kesimpulannya, bukti keseluruhan dievaluasi sebagai kualitas rendah

hingga sedang: sebagian besar meta-analisis mencakup sejumlah uji coba dan

analisis moderator, dan tidak melaporkan heterogenitas atau bias publikasi. Efek

sedang hingga besar diamati pada intervensi berbasis VR untuk fobia sosial.

Namun demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan antara intervensi berbasis

VR dengan pengobatan standar. Efek menguntungkan secara keseluruhan dari


20

intervensi VR dipertahankan dalam jangka panjang, meskipun tidak ada

perbedaan signifikan yang diamati dengan kontrol aktif (Dellazizzo et al., 2020).

Meskipun demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah

VRET dapat secara efektif diberikan sebagai pengobatan mandiri untuk SAD

dalam praktik klinis, penelitian lebih lanjut membantu membuat langkah ke arah

yang intensif dalam realitas virtual. Paparan terhadap mereka mempengaruhi

keluhan kecemasan sosial (Kampmann et al., 2016)

Penggabungan dialog yang lebih luas dan fleksibel, lebih banyak skenario

virtual, ekspresi wajah, dan elemen kognitif ke dalam VRET dapat lebih

meningkatkan hasil pengobatan. Selain itu, beberapa keuntungan dapat membuat

VRET menjadi tambahan yang berharga untuk perawatan yang ada. Pertama,

untuk individu yang tidak ingin berpartisipasi dalam eksposur in vivo karena

ketakutan mereka, VRET dapat mewakili langkah pertama dalam eksposur.

Berkenaan dengan fobia spesifik, penelitian menunjukkan bahwa peserta

mungkin lebih memilih VRET daripada paparan in vivo. Misalnya, tingkat

penolakan pengobatan untuk yang pertama lebih rendah dibandingkan dengan

yang terakhir (Kampmann et al., 2016).


BAB 4

KESIMPULAN

Fobia sosial atau gangguan ansietas sosial, memliki rasa takut yang

berlebihan akan rasa malu di berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di

depan umum. Sejumlah studi melaporkan prevalensi seumur hidup yang berkisar

dari 3 hingga 13 persen. Gejala yang muncul adalah rasa cemas dan rasa malu

yang intens, rasa waspada, serta rasa takut untuk dikritik. Rasa cemas akibat

situasi sosial menyebabkan beberapa kumpulan gejala fisik. Dalam menentukan

diagnosis dapat digunakan acuan kriteria diagnosis pada DSM-V, jika kecemasan

yang muncul terjadi secara persisten selama 6 bulan atau lebih tanpa dipengaruhi

oleh kondisi medis lain ataupun obat-obatan. Terapi yang paling banyak diteliti

adalah terapi perilaku kognitif atau cognitive behavior therapy (CBT).

Bentuk terapi eksposur yang relatif baru adalah Terapi Eksposur Realitas

Virtual atau Virtual Reality Exposure Therapy (VRET). Peserta dalam kondisi

aktif akan melaporkan lebih sedikit gejala kecemasan sosial dan akan tampil lebih

baik pada tugas penilaian perilaku pada pasca penilaian. Namun, tidak ada

perbedaan yang signifikan antara intervensi berbasis VR dengan pengobatan

standar. Meskipun demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah

VRET dapat secara efektif diberikan sebagai pengobatan mandiri untuk fobia

sosial dalam praktik klinis, penelitian lebih lanjut membantu membuat langkah ke

arah yang intensif dalam virtual reality exposure therapy.

21
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (2013) Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders (DSM). 5th edn. Washington, DC: American Psychiatric
Publishing.

Andrews, G., Bell, C., Boyce, P., Gale, C., Lampe, L., Marwat, O., Rapee, R. and
Wilkins, G. (2018) ‘Royal Australian and New Zealand College of
Psychiatrists clinical practice guidelines for the treatment of panic disorder,
social anxiety disorder and generalised anxiety disorder’, Australian and
New Zealand Journal of Psychiatry, 52(12), pp. 1109–1172. doi:
10.1177/0004867418799453.

Boland, R., Verdiun, M. and Ruiz, P. (2021) Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry. 12th edn. Lippincott Williams & Wilkins.

Carl, E., Stein, A. T., Levihn-coon, A., Pogue, J. R., Rothbaum, B., Emmelkamp,
P., Asmundson, G. J. G., Carlbring, P. and Powers, M. B. (2019) ‘Virtual
reality exposure therapy for anxiety and related disorders : A meta- analysis
of randomized controlled trials’, Journal of Anxiety Disorders. Elsevier,
61(7), pp. 27–36. doi: 10.1016/j.janxdis.2018.08.003.

Cederlund, R. (2013) Social anxiety disorder in children and adolescents:


assessment, maintaining factors, and treatment. Stockholm: Department of
Psychology, Stockholm University.

Chesham, R. K., Malouff, J. M. and Schutte, N. S. (2018) ‘Meta-Analysis of the


Efficacy of Virtual Reality Exposure Therapy for Social Anxiety’, Behaviour
Change, 35(3), pp. 152–166. doi: 10.1017/bec.2018.15.

Dellazizzo, L., Potvin, S., Luigi, M. and Dumais, A. (2020) ‘Evidence on Virtual
Reality-Based Therapies for Psychiatric Disorders: Meta-Review of Meta-
Analyses’, Journal of Medical Internet Research. JMIR Publications, 22(8),
pp. e20889–e20889. doi: 10.2196/20889.

Hartanto, D., Kampmann, I. L., Morina, N., Emmelkamp, P. G. M., Neerincx, M.


A. and Brinkman, W. (2014) ‘Controlling Social Stress in Virtual Reality
Environments’, PLoS ONE, 9(3). doi: 10.1371/journal.pone.0092804.

Kampmann, I. L., Emmelkamp, P. M. G., Hartanto, D., Brinkman, W., Zijlstra, B.


J. H. and Morina, N. (2016) ‘Behaviour Research and Therapy Exposure to
virtual social interactions in the treatment of social anxiety disorder : A
randomized controlled trial’, Behaviour Research and Therapy. Elsevier Ltd,
77, pp. 147–156. doi: 10.1016/j.brat.2015.12.016.

22
Sadock, B. J. and Sadock, V. A. (2015) Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. 2nd edn. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sadock, B. J., Sadock, V. A. and Ruiz, P. (2015) Synopsis of Psychiatry:


Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 11th edn. Wolters Kluwer.

23

Anda mungkin juga menyukai