Dokter Pembimbing :
dr. Lenny Irawati Yohosua, SpKJ
Disusun Oleh:
Welhelmina Bendelina Lobo
112019080
2.2 Epidemiologi
Statistik umum gangguan skizoafektif yaitu kira-kira 0,2% di Amerika Serikat dari
populasi umum dan sampai sebanyak 9% orang dirawat di rumah sakit karena gangguan
ini. Gangguan skizoafektif diperkirakan terjadi lebih sering daripada gangguan bipolar.
Prevalensi pada pria lebih rendah daripada wanita. Onset umur pada wanita lebih besar
daripada pria, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih sering sedangkan
untuk usia muda lebih sering gangguan skizoafektif tipe bipolar. Laki-laki dengan
gangguan skizoafektif kemungkinan menunjukkan perilaku antisosial. Prevalensi seumur
hidup gangguan skizoafektif kurang dari 1 persen, mungkin berkisar 0.5 sampai 0.8
persen.1
Gangguan skizoafektif tipe depresif mungkin lebih sering terjadi pada orang tua
daripada usia muda dan tipe bipolar lebih sering pada usia dewasa muda dibandingkan
pada dewasa tua. Prevalensinya dilaporkan lebih rendah pada laki-laki daripada
perempuan, terutama perempuan menikah. Usia awitan untuk perempuan lebih lanjut
daripada laki-laki. laki -laki dengan gangguan skizoafektif mungkin memperlihatkan
perilaku antisosial dan mempunyai afek tumpul yang nyata atau tidak sesuai.1
2.3 Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab gangguan skizoafektif belum diketahui tetapi diduga mirip dengan
skizofrenia. Sampai saat ini penanda genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Infeksi
virus selama kehamilan, malnutrisi atau bahkan komplikasi saat melahirkan mungkin saja
memiliki peran. Meskipun banyak riset famili dan genetik mengenai gangguan skizoafektif
didasarkan pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas yang
terpisah, beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait secara
genetik. Penelitian pada gen DISC1 (Disrupted In Schizophrenia 1) yang terletak pada
kromosom 1q42 menunjukkan kemungkinannya terlibat dalam gangguan skizoafektif,
skizofrenia dan gangguan bipolar. Keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe
depresif beresiko lebih tinggi mengalami skizofrenia daripada gangguan mood.1,5,6
Beberapa data menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan afektif
mungkin berhubungan secara genetik. Ada peningkatan resiko terjadinya gangguan
skizofrenia diantara keluarga dengan gangguan skizoafektif. Resiko terjadinya gangguan
skizoafektif meningkat pada individu dengan orangtua skizofrenia, gangguan bipolar atau
gangguan skizoafektif.7
Patofisiologi pasti dari gangguan skizoafektif belum diketahui namun diduga
melibatkan adanya ketidakseimbangan neurotransmitter di otak. Abnormalitas
neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin dan dopamin dapat berperan dalam
patofisiologi gangguan skizoafektif. Pada pasien dengan gangguan skizoafektif juga dapat
ditemukan berkurangnya volume hipokampus, abnormalitas thalamus dan substansia alba.6
2.5 Diagnosis
Sebutkan tipe:
Tipe bipolar: jika gangguan termasuk suatu episode manik atau campuran (atau
suatu manik
suatu episode campuran dan episode depresif berat)
Tipe depresif: jika gangguan hanya termasuk episode depresif berat.
Tabel dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Ed. 5.
Gangguan skizoafektif yaitu gejala skizofrenia dan gangguan afektif sama- sama
menonjol atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, tetapi dalam satu episode
penyakit (tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia maupun gangguan afektif).
Pedoman diagnosis gangguan skizoafektif tipe manic berdasarkan PPDGJ-III yaitu:
1). Kategori ini digunakan baik untuk episode skizofrenia tipe manik yang
tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode
skizoafektif tipe manik.
2). Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang
tidak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
3). Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik
lagi dua, gejala skizorenia yang khas.
Pemeriksaan status psikiatri pada pasien ditemukan didapatkan penampilan wajar,
roman muka tampak gembira, kontak verbal dan visual cukup, mood euforia, afek
inappropriate, bentuk pikir logis realis, arus pikir koheren, isi piker waham kebesaran dan
curiga ada , pada dorongan instingtual didapatkan ada riwayat insomnia dan raptus. Dari gejala
di atas, pasien memenuhi kriteria skizoprenia yaitu adanya waham kebesaran dan curiga, afek
yang inappropiate sehingga dapat digolongkan skizoprenia. Disamping itu, juga tampak
adanya gejala gangguan mood yaitu muka tampak gembira, mood euforia, berpakaian yang
aneh sehingga berdasarkan PPDGJ-III tampak adanya gejala skizofrenia bersamaan dengan
gangguan mood sehingga didiagnosis sebagai “Skizoafektif Tipe Manik” (F25.0).5
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Psikofarmaka
Mood stabilizer (lithium) adalah cara utama pengobatan gangguan bipolar dan
diharapkan dapat bermanfaat pada pengobatan pasien dengan gangguan skizoafektif. Pengobatan
dengan antidepresan (fluoxetine, sertraline) menyerupai pengobatan depresi bipolar. Agen
antipsikotik (olanzapin, risperidone, quetiapine, aripiprazol) bermanfaat pada pengobatan gejala
psikotik pada gangguan skizoafektif.2,7 Pada tipe depresif dapat diberikan kombinasi mood
stabilizer, antidepresan dan antipsikotik. Mood stabilizer yang dapat diberikan yaitu lithium
karbonat 1 x 400 mg atau karbamazepin 2-3 x 200 mg/hari, antidepresan lini pertama yang dapat
diberikan yaitu fluoksetin 1 x 10-20 mg/hari atau sertraline 1 x 50 mg/hari, antipsikotik yang
dapat diberikan yaitu olanzapine 1 x 10-20 mg/hari atau risperidone 2 x 1-3 mg/hari atau
aripiprazole 1 x 10-30 mg/hari. Untuk tipe manik dapat diberikan kombinasi mood stabilizer dan
antipsikotik.3,8 Pemantauan laboratorium terhadap konsentrasi obat dalam plasma dan penapisan
periodik tiroid, ginjal dan hematologi harus dilakukan. Pemakaian terapi elektrokonvulsif (ECT)
sebaiknya dipertimbangkan.4
2.6.2 Psikoterapi
Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan keterampilan sosial dan
rehabilitasi kognitif. Dapat juga diberikan psikoterapi individual karena biasanya mereka sering
tidak nyaman/kurang mampu bertoleransi dalam terapi kelompok terutama dengan pasien yang
beragam diagnosisnya. Psikoterapi individual yang dapat diberikan berupa psikoterapi suportif
atau terapi perilaku. Psikoterapi suportifnya sebaiknya berfokus pada aktivitas sehari-hari, dapat
juga dibahas tentang hubungan pasien dengan orang-orang terdekatnya. Keterampilan sosial dan
okupasional juga banyak membantu agar pasien dapat beradaptasi kembali dalam kehidupan
sehari-harinya.1,4
Edukasi keluarga penting dilakukan agar keluarga siap menghadapi deteriorasi yang
mungkin dapat terjadi. Diskusi bisa mengenai masalah sehari-hari, hubungan dalam keluarga,
dan hal khusus lainnya (rencana pendidikan/pekerjaan pasien).4
2.6 Prognosis
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis di
pertengahan antara prognosis pasien dengan skizofrenia dan prognosis pasien dengan gangguan
mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memiliki prognosis yang
jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, memiliki prognosis yang lebih
buruk daripada pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik
daripada pasien dengan skizofrenia. Generalitas tersebut telah didukung oleh beberapa penelitian
yang mengikuti pasien selama dua sampai lima tahun setelah episode yang ditunjuk dan yang
menilai fungsi sosial dan pekerjaan, dan juga perjalanan gangguan itu sendiri.1
Diduga bahwa peningkatan adanya gejala skizofrenik memiliki prognosis yang lebih buruk.
Setelah 1 tahun, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai hasil berbeda yang bergantung
apakah gejala dominannya afektif (prognosis lebih baik) atau skizofrenik (prognosis lebih
buruk).1,6
Pasien yang menderita episode skizoafektif berulang terutama yang gejalanya lebih ke tipe
manik daripada depresif biasanya sembuh sepenuhnya (umumnya terjadi dalam beberapa
minggu) dan hanya kadang-kadang saja berkembang menjadi suatu keadaan defek. Episode
skizoafektif tipe depresif cenderung berlangsung lebih lama dan prognosisnya kurang baik.
Walaupun sebagian besar pasien sembuh secara sempurna, ada sebagian lain yang akhirnya
menjadi defek skizofrenik.3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan jiwa yang gejala skizofrenia dan
gejala afektif terjadi bersamaan dan sama-sama menonjol. Prevalensi gangguan telah
dilaporkan lebih rendah pada laki-laki dibandingkan para wanita; khususnya wanita yang
menikah; usia onset untuk wanita adalah lebih lanjut daripada usia, untuk laki-laki seperti juga
pada skizofrenia. Teori etiologi mengenai gangguan skizoafektif mencakup kausa genetik dan
lingkungan. Tanda dan gejala klinis gangguan skizoafektif adalah termasuk semua tanda dan
gejala skizofrenia, episode manik, dan gangguan depresif. Diagnosis gangguan skizoafektif
hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-
sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain, dalam
episode yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami episode
skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran keduanya. Untuk orang
gangguan skizoafektif dengan tipe manik, menggabungkan obat antipsikotik dengan mood
stabilizer cenderung bekerja dengan baik. Karena pengobatan yang konsisten penting untuk
hasil terbaik, psiko-edukasi pada penderita dan keluarga, serta menggunakan obat long acting
bisa menjadi bagian penting dari pengobatan pada gangguan skizoafektif. Semakin menonjol
dan persisten gejala skizofrenianya maka pronosisnya buruk, dan sebaliknya semakin persisten
gejala-gejala gangguan afektifnya, prognosis diperkirakan akan lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Kaplan, I. H. and Sadock, J. B. Sinopsis Psikiatri Ilmu Perilaku Psikiatri Klinis, Edisi
Ketujuh. Binarupa Aksara Publisher: Jakarta.
2. Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penggolongan dan diagnosis
gangguan jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 1993.
4. Amir N. Skizoafektif. In: Buku ajar psikiatri. 3rd ed. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders.
5th ed. American Psychiatric Publishing; 2013
6. Brannon GE. Schizoaffective disorder [Internet]. 2016 [cited 2021 2 Mei]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/294763-overview
7. Jibson MD. 2011. Schizophrenia: Clinical presentation, epidemiology,
andpathophysiology. http://www.uptodate.com. Diakses: 2 Mei 2021
8. Rusdi Maslim. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
9. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective disorder.
diakses: 2 Mei 2021