Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“PERMASALAHAN EMOSI, SOSIAL DAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN


DAN KELUARGA DALAM PERAWATAN PALIATIF ”

OLEH :

Kelompok 2
1. FAUZIA RAHMAH NGADI
2. SRI FATRAWATI INOMBI
3. MARGARETA HUSAIN
4. DEVIA HUNTUA
5. NOVRIZAL BIYA

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah “PERMASALAHAN EMOSI, SOSIAL DAN
PSIKOLOGIS PADA PASIEN DAN KELUARGA DALAM PERAWATAN
PALIATIF” ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan penulis tentang PERMASALAHAN EMOSI,
SOSIAL DAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN DAN KELUARGA DALAM
PERAWATAN PALIATIF. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang penulis
harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi
penulis maupun orang yang ikut membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Penulis memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Gorontalo, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 3
1.3 Tujuan Penulisan................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................... 4
2.1 Definisi.................................................................................. 4
2.2 Respon Normal Grieving...................................................... 4
2.3 Respon Abnormal Grieving.................................................. 7
2.5 Permasalahan Emosional..................................................... 9
2.5 Komunikasi Terapeutik pada Gangguang Mental............. 10
2.6 Intervensi Terapeutik Terhadap Distress Psikologis............. 14
2.7. Agen Rujukan Masalah Psikologis...................................... 17
BAB III PENUTUP............................................................................... 20
4.1 Simpulan................................................................................ 20
4.2 Saran...................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sakit adalah kondisi yang tidak menyenangkan bagi seseorang, sehingga


bisa menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik jasmani, rohani, maupun
sosial (Perkins). Setiap individu memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi
suatu penyakit, hal ini terkait dengan bagaimana individu memandang
penyakitnya, berat atau ringannya suatu penyakit, dukungan keluarga, dan
pengalaman masa lalu (Potter & Perry. 2005). Penyakit kanker merupakan salah
satu jenis penyakit yang sangat menakutkan bagi setiap orang. Kanker adalah
penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang
berubah menjadi sel kanker (sel abnormal) yang dapat menyerang sel tubuh
normal. Kanker sering dikenal oleh masyarakat sebagai tumor, padahal tidak
semua tumor adalah kanker.

Tumor adalah segala benjolan tidak normal atau abnormal. Tumor dibagi
dalam dua golongan, yaitu tumor jinak dan tumor ganas. Kanker adalah istilah
umum untuk semua jenis tumor ganas (Brunicardi, et al, 2010). Kanker hingga
saat ini menjadi masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut data
WHO tahun 2013, insiden angka kejadian Vol. X No 1 April 2017 ISSN 1979 -
8091 JURNAL KEPERAWATAN 7 kanker meningkat dari 12,7 juta kasus tahun
2008 menjadi 14,1 juta kasus di tahun 2012. Dengan jumlah kematian meningkat
dari 7,6 juta orang tahun 2008 menjadi 8,2 juta pada tahun 2012. Kanker menjadi
penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskuler
(Kemenkes RI, 2014). Prevalensi pasien kanker di Indonesia sebesar 1,4 per 1000
penduduk. Bila dilihat dari karakteristik jenis kelamin pasien kanker perempuan
sebesar 2,2 per 1000 penduduk dan laki-laki sebesar 0,6 per 1000 penduduk
(Riskesdas, 2013). Jumlah pasien kanker di Jatim dalam kurun waktu lima tahun
terakhir terus meningkat. Pada tahun 2005 terdapat 1.600 pasien , tahun 2008

1
meningkat menjadi 3.821 pasien , dan tahun 2011 mencapai 4.736 pasien (Dinkes
Provinsi Jawa Timur, 2011). Gejala kanker secara umum yaitu nyeri yang dapat
terjadi akibat tumor ganas yang meluas menekan syaraf dan pembuluh darah
disekitarnya. Reaksi kekebalan dan peradangan terhadap kanker yang sedang
tumbuh, dan gangguan psikologis disebabkan karena ketakutan atau kecemasan.
Pendarahan atau pengeluaran cairan yang tidak wajar, misalnya ludah, batuk atau
muntah yang berdarah, mimisan yang terus menerus, cairan puting susu yang
mengandung darah, darah dalam tinja, darah dalam air kemih (Brunicardi, et al,
2010). Kanker dapat menyebabkan pasien, tidak hanya pada pasien kanker namun
juga pada keluarga. Vonis penyakit yang sulit bisa disembuhkan membuat pasien
kanker mengalami proses berduka atau kehilangan harapan, ketergantungan dalam
aktivitas, serta masalah ekonomi akibat lamanya pengobatan. Berduka merupakan
reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon emosional yang normal
(Suliswati, 2005).

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan,


termasuk akan dialami oleh pasien kanker yang kehilangan fungsi anggota
tubuhnya akibat pertumbuhan sel kanker. NANDA merumuskan ada dua tipe dari
berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka
diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan
atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya
kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah
suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-
besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan,
objek, dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal abnormal atau kesalahan atau kekacauan (Nurjana 2004). Dampak proses
berduka yang dialami seseorang yang menderita kanker, merupakan reaksi
kehilangan terhadap fungsi organ tubuh akibat penyakit. Dampak ini sangat
beragam dan mengarah pada psikologis maupun pada keluarga. Perasaan
psikologis ini bercampur dengan rasa bersalah, tidak berdaya, dan frustasi.

2
Bahkan jika mekanisme koping seseorang yang menderita kanker tidak adaptif
akan menyebabkan terjadinya isolasi sosial, sehingga akan mengurangi semangat
untuk bertahan hidup. Keluarga juga merasa akan takut kehilangan dan
menyiapkan segala biaya pengobatan demi kesembuhan anggota keluarganya
dimana biaya yang disiapkan bukanlah biaya yang sedikit. Hal ini juga akan
menambah beban pikiran pasien kanker yang merasa bersalah karena menambah
beban hidup keluarganya (Suliswati, 2005). Menurut WHO, masalah utama yang
menjadi penyebab seseorang berduka adalah karena menderita penyakit kronis
termasuk penyakit kanker (Sarafino, 2006). Perasaan berduka ini dipengaruhi oleh
faktor lama menderita penyakit dan bertahan dalam kurun waktu 6-12 bulan.
Proses dalam menghadapi perasaan berduka pasien kanker akan terlihat adanya
gejala depresi, dan penyangkalan terhadap kondisi sakitnya. Tahapan proses
berduka terdiri dari lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
tawar menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).

Dari banyak studi yang dilakukan terhadap pasien kanker, ditemukan


bahwa prevalensi pasien kanker yang mengalami depresi bervariasi dari 1%
hingga 50%. Kesedihan dan kekhawatiran akan masa depan merupakan respon
yang kerap timbul, karena adanya suatu arti tertentu yang melekat pada penyakit
kanker, yakni ketakutan akan ketidakmampuan atau kematian (Holland and
Evcimen, 2009).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah adalah bagaimana
“PERMASALAHAN EMOSI, SOSIAL DAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN DAN
KELUARGA DALAM PERAWATAN PALIATIF” ?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana Permasalahan Emosi, Sosial Dan Psikologis
Pada Pasien Dan Keluarga Dalam Perawatan Paliatif.
b. Tujuan khusus
Untuk mengetahui :

3
1) Respon normal grieving
2) Respon abnormal grieving
3) Tanda-tanda terjadinya permasalahan emosional lainnya seperti
fear,anger, guilt, uncertainty, sadness, dan despair
4) Metode komunikasi yang responsive, sensitive, dan supportive pada
pasien dan keluarga yang mengalami masalah psikologis
5) Intervensi terapeutik terhadap distress psikologis (counselling,
behavioural therapy, group activities, relaxation atau meditation,
imagery atau visualisation and creative therapy)
6) Agen rujukan masalah psikologis

4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Definisi
Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari
kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan,
perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan
berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung
(mourning).
2.2. Respon Normal Grieving

Berikut ini beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) :

1) Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal
terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian,
dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
2) Berduka antisipatif, yaitu proses „melepaskan diri‟ yang muncul sebelum
kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan
menyelesaikan berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
3) Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan
dengan orang lain.
4) Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang

5
mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di
kandungan atau ketika bersalin.

Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan. Teori


yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2012) mengenai tahapan
berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap,
yaitu sebagai berikut:

1. Fase penyangkalan (Denial)


Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi.
Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima diagnosis
terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang
terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu
tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung beberapa menit
hingga beberapa tahun.

2. Fase Marah (Anger)


Pada fase ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku Universitas Sumatera
Utara 22 agresif, berbicara kasar, menyerang orang lain, menolak pengobatan,
bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang
sering terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur,
tangan menggepal, dan seterusnya.

3. Fase Tawar Menawar (Bargaining)


Pada fase ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau
terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin

6
berupaya untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan
Tuhan.

4. Fase Depresi (Depression)


Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
kadang bersikap sangat penurut, tidak mau berbicara menyatakan
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri.
Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih,
turunnya dorongan libido, dan lain-lain.

5. Fase penerimaan (Acceptance)


Pada fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan, pikiran
yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau hilang.
Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai
memandang kedepan. Gambaran tentang objek yang hilang akan mulai
dilepaskan secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru.
Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan
damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi
perasaan kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap
penerimaan akan mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.

Peristiwa kehilangan selalu diiringi dengan respon emosional, respon


emosional inilah yang menentukan apakah individu bisa melewati peristiwa
kehilangan atau tidak, jika individu dapat mengontrol dan mengendalikan respon
emosi tersebut maka fase-fase dari kehilangan akan terselesaikan, namun jika
tidak maka individu akan terhenti pada fase tertentu sehingga akan menimbulkan
ganguan-gangguan seperti depresi, stres, susah tidur,kurang fokus, putus asa, sakit
pada kepala, menutup diri, dan lain sebagainya yang dapat mengganggu
perkembangan serta aktifitas individu di masa mendatang.

7
2.3. Respon Abnormal Grieving
Grief sebenarnya bukan merupakan penyakit namun efek dari grief yang
begitu dalam dapat menyebabkan suatu penyakit tertentu, jika grief terus
berlangsung seolah masa berkabung tidak kunjung usai, individu dapat mengalami
akibat yang lebih serius dalam jangka waktu yang lama. Menurut Atwater dalam
lifina (2004) semakin lama penyesuaian grief tertunda, semakin parah sintom
yang dialami. Beberapa jenis phatological grief yang dikemukakan adalah:
1. Delayed grief
Merupakan periode grief yang tertunda, dengan periode penundaan yang
bervariasi antara berminggu-minggu sampai bertahun-tahun. Grief dapat
dinyatakan tertunda jika kemunculannya membutuhkan waktu lebih dari 2
minggu setelah peristiwa kematian
2. Absent grief
Ditunjukan dengan tidak muncul atau tidak adanya ekspresi grief yang
umum, pengingkaran (denial) perasaan terhadap kehilangan, tidak ada tanda-
tanda fisik dari grieving dan bersikap seolah-olah tidak ada apapun yang
terjadai. Hal ini dapat disebabkan oleh hubungan yang tidak disertai kedekatan
(attachment) dalam kualitas yang mendalam.
3. Chronic grief
Merupakan periode grief yang berkepanjangan, tidak berakhir dan tidak
menunjukan perubahan, disertai dengan depresi,rasa bersalah, dan
menyalahkan diri sendiri, ditandai dengan kesedihan, menarik diri, preukupasi
berkepanjangan terhadap orang yang sudah meninggal serta disstres yang
berkepanjangan dan tidak berkesudahan, selama bertahun-tahun orang yang
ditinggalkan menunjukan grief yang intentens dan berkepanjangan seolah-olah
grief yang ia alami baru saja terjadi. Hal ini sering terjadi disebabkan bentuk
hubungan yang memiliki kelekatan (clinging) dan ketergantungan
(dependent). Chronic grief merupakan pola yang umum ditemui pada wanita
yang mengalami kematian anak usia remaja karena kematian mendadak dan
tidak diperkirakan sebelumnya.
4. Inhibited grief

8
Digambarkan sebagai orang yang ditinggalkan tidak mampu untuk
sepenuhnya membicarakan, menyadari, dan mengekspresikan kehilangan yang
dialami, atau berupa respon grief yang terbatas atau partial. Inhibited grief
dapat merupakan suatu kontinum dari absent grief yang munculnya disorsi
seperti kemarahan atau rasa salah yang berlebihan dengan tidak adanya
prilaku grieving lainnya yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya
sejarah depensi atau ambivalensi dalam hubungan dengan orang yang telah
meninggal sehingga memunculkan sindrom seperti conflicated grief atau
clinging grief.
5. Unresolved grief
Dapat diekspresikan dalam beberapa bentuk, dari keluhan fisik yang tidak
dapat dijelaskan hingga keluhan psikologis. Hal tersebut berhubungan dengan
kehilangan yang dialami individu tersebut. Orang yang ditinggalkan
mengalami kesulitan bertoleransi dengan hal-hal yang menyakitkan atau tidak
adanya kekuatan dalam diri untuk melalui periode tersebut dan menghadapi
grief yang dialami. Pada beberapa kasus, grief yang tidak terselesaikan
dimunculkan lebih tersamar.

2.4. Permasalahan Emosional

Ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh pasien berduka yaitu :

a. Kemarahan (Angry)
Kebanyakan pasien mengekspresikan amarahnya adalah hal yang sulit
bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat, dokter dan ahli
terapinya. Pasien juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan
dan memukul secara fisik. Pasien juga sering memiliki amarah yang meledak-
ledak.
b. Sedih (Guilt, Uncertainty, Sadness)
Pasien berduka mengakibatkan individu melakukan penarikan diri
terhadap lingkungan karena perasaan sedih yang berkepanjangan, karena

9
perasaan pasien sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang
lain. Sering sekali teman-teman pasien meninggalkan pasien sendirian karena
tidak mengetahui bagaimana harus bereaksi dengan kehilangan tersebut.
c. Kelabilan Emosi/Takut (Fear)
Pasien memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan. Kelabilan
emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang pasien tertawa atau menangis
tanpa alasan yang jelas. Kecemasan yang berlebihan sebahagian pasien
mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini
dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena pasien merasa malu ketika
bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu
ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan
kelumpuhannya.
d. Putus Asa (Despair)
Putus Asa adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin,
beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi pasien akan bereaksi
terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Berbagai reaksi yang
dapat terjadi pada pasien dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi
pasien. Peneliti memasukkan teori ini mengingat bahwa masalah psikologis
yang dialami oleh pasien menyebabkan individu mengalami kehilangan
sehingga dapat menimbulkan stres.
2.5. Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare – communicatio
dan communicatus yang berarti suatu alat yang berhubungan dengan sistem
penyampaian dan penerimaan berita, seperti telepon, telegraf, radio, dan
sebagainya. Secara sederhana komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses
pertukaran, penyampaian, dan penerimaan berita, ide, atau informasi dari
seseorang ke orang lain. Dalam berkomunikasi, diperlukan ketulusan hati antara
pihak yang terlibat agar komunikasi yang dilakukan efektif. Pihak yang
menyampaikan harus ada kesungguhan atau keseriusan bahwa informasi yang
disampaikan adalah penting, sedangkan pihak penerima harus memiliki

10
kesungguhan untuk memperhatikan dan memahami makna informasi yang
diterima serta memberikan respons yang sesuai.
2.6. Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Mental

Pada klien dengan masalah gangguan jiwa memerlukan teknik yang


berbeda dengan klien yang memiliki masalah kesehatan fisik. Karakteristik yang
dimiliki oleh perawat dalam melakukan interaksi dengan klien gangguan jiwa
adalah sebagai berikut:

1. Tidak menghakimi (Nonjudgmental approach)


Salah satu karakteristik caring dari perawat adalah tidak menghakimi
klien. Namun, pada beberapa kondisi tindakan menghakimi juga diperlukan,
seperti ketika menetapkan diagnosa keperawatan dan menentukan rencana
tindakan keperawatan pada klien. Pendekatan tidak menghakimi maksudnya
adalah kita tidak melakukan tindakan kasar atau tindakan yang didasarkan atas
keputusan berdasarkan kesimpulan sepihak kepada klien baik secara verbal
maupun non verbal. Misalnya “Anda tampak sedang kesal, saya akan
melakukan teknik relaksasi untuk menghilangkan perasaan kesal Anda!”.
Dalam komunikasi tersebut, klien tidak diberi kesempatan mengungkapkan
perasaannya. Keputusan yang diambil perawat hanya berdasarkan hasil
pengamatan yang dangkal. Cara yang dapat dilakukan agar perawat tidak
terjebak pada tindakan menghakimi adalah dengan meningkatkan kesadaran
diri perawat, dan memberikan kesempatan klien mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, menghargai klien sebagai orang yang mampu diberikan
tanggung jawab, memberikan kesempatan klien untuk mengambil keputusan.
2. Menerima (Acceptance)
Sikap menerima merupakan karakteristik lain dari perawat yang caring.
Penerimaan adalah menegaskan klien sebagaimana adanya dan mengakui
bahwa klien memiliki hak untuk mengeksprsikan emosi dan pikirannya.
Perawat yang memiliki sifat menerima terlihat dari sikap menghargai pikiran
dan perasaan klien dan membantu mereka untuk memahami diri sendiri.

11
3. Hangat (Warmth)
Sikap hangat merupakan karakteristik lain dari perawat yang caring. Sikap
hangat terlihat perhatian kepada klien dan mengungkapkan kesenangan dalam
merawat klien. Ini bukan berarti bahwa kita harus berlebihan dengan klien
atau berusaha untuk menjadi teman mereka. Sikap hangat dapat diungkapkan
secara non verbal, sikap positif, nada yang ramah, dan senyum yang hangat.
Mencondongkan badan ke depan dan mempertahankan kontak mata, sentuhan
fisik, menerima, dan tidak membuat rasa takut klien merupakan contoh sikap
yang hangat kepada klien.
4. Empati
Empati merupakan sikap yang paling utama dalam menunjukkan caring.
Empati berarti memahami pikiran dan perasaan klien dan ikut merasakan
perasaannya tapi ikut terlarut didalamnya. Dalam mencapai empati ada 2
proses yang dilewati yaitu memahami dan validasi. Langkah yang pertama
memahami perasaan klien melalui observasi. Langkah yang kedua
menvalidasi perasaan klien dengan cara meminta klien mengungkapkan
perasaannya. Empati dapat memfasilitasi hubungan terapeutik dan membantu
klien memahami dirinya sendiri
5. Keaslian (Authenticity)
Menjadi perawat yang caring harus memiliki pribadi yang tulus dan
menjadi diri sendiri dalam menjalin interaksi dengan klien. Ketika kita
komitment dengan klien, maka kita harus bersikap profesional. Profesional
disini maksudnya adalah berperan sebagai tenaga kesehatan yang memberikan
layanan kesehatan dengan tujuan untuk menyembuhkan klien.
6. Kongruensi (Congruency)
Kesesuaian antara komunikasi verbal dan nonverbal merupakan indikasi
dari kongruensi. Kongruensi dibutuhkan untuk menumbuhkan hubungan
saling percaya antara perawat dengan klien.
7. Sabar (Patience)
Untuk membina hubungan terapeutik, hal penting yang dilakukan adalah
sabar dengan klien. Karakter ini dapat meningkatkan kemandirian klien. Sabar

12
artinya memberikan klien ruang untuk mengungkapkan perasaannya, berpikir,
mengambil keputusan, dan memberikan kesempatan untuk membuat
perencanaan sesuai keinginan dan kebutuhannya.
8. Hormat (Respect)
Menghargai klien merupakan karakteristik lain dari perawat yang caring.
Sikap hormat termasuk pertimbangan untuk klien, komitmen melindungi
mereka, dan dari bahaya lain, dan percaya terhadap kemampuan mereka dalam
menyelesaikan masalah atau melakukan perawatan secara mandiri
9. Dapat dipercaya (Trustworthiness)
Dapat dipercaya merupakan karakteristik lain dari perawat yang caring,
dimana karakter ini mengawali karakter-karakter caring yang lain. dengan
kemampuan interpersonal yang baik, dapat membantu perawat mengontrol
emosional klien, dan membantu membangun hubungan saling percaya dengan
klien. Karakter ini harus ditunjukkan pada setiap proses keperawatan. Ketika
kita dipercaya oleh klien, maka kita menjadi tempat bergantung dan
bertanggung jawab. Untuk menumbuhkan kepercayaan klien, sikap yang harus
dibangun adalah komitmen terhadap waktu, menjaga janji, dan konsisten
terhadap sikap.
10. Terbuka (Self-Disclosure)
Hubungan saling percaya dapat terbina ketika perawat bersikap terbuka.
Untuk menumbuhkan sikap terbuka pada klien dapat dilakukan dengan
mendengar klien, percaya dengan apa yang mereka lakukan, tidak
menghakimi.
11. Humor
Humor merupakan karakteristik yang penting dalam membina hubungan
terapeutik dengan klien. Humor dapat menciptakan hubungan yang hangat
dengan klien, menghilangkan rasa takut dan khawatir klien terhadap perawat.

Beberapa komponen yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dengan klien


gangguan psikologis, yaitu:

13
1. Support System. Dukungan dari orang lain atau keluarga
2. Mekanisme Koping. Merupakan cara seseorang berespon terhadap stressor
3. Harga Diri. Merupakan pandangan individu terhadap dirinya
4. Ideal Diri. Bagaimana cara seseorang melihat dirinya dan bagaimana dia
seharusnya
5. Gambaran Diri. Apakah klien menerima dirinya seutuhnya beserta kelebihan
dan kekurangannya
6. Tumbuh Kembang. Trauma masa lalu akan mempengaruhi kesehatan jiwa
masa sekarang.
7. Pola Asuh. Kesalahan dalam mengasuh anak dapat mempengaruhi psikologis
anak
8. Genetika. Gangguan jiwa dapat diturunkan secara genetis, bahkan pada
saudara kembar.
9. Lingkungan. Lingkungan yang buruk merupakan salah satu pemicu
munculnya gangguan jiwa
10. Penyalahgunaan Zat. Penyalahgunaan zat memicu terjadi depresi susunan
saraf pusat, perubahan pada neurotransmitter.

2.7. Intervensi Terapeutik Terhadap Distress Psikologis


a. Cognitive Behavior Therapy (CBT)
Berdasarkan model gangguan mental di mana pikiran-pikiran negatif
mengenai diri, dunia dan masa depan, dan berasosiasi dengan perilaku yang
maladaptif, dapat mengarahkan dan menjaga tekanan emosional. Terapi ini
membantu klien dengan mengidentifikasi di mana proses berpikir mereka

14
yang salah, menantang asumsi yang melandasi pikiran negatif mereka dan
mengubah perilaku mereka. Behavioral activation merupakan salah satu
komponen dari Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang dapat juga dijadikan
metode independen dalam terapi. Behavioral activation berfokus untuk
mendorong klien secara aktif mengatur waktunya, mengelola kembali aktivitas
rutinnya yang selama ini hilang, dan yang terpenting memaparkan pada
mereka pengalaman-pengalaman potensial yang menyenangkan. Beberapa
studi mengindikasikan bahwa Behavioral Activation seefektif CBT, dan lebih
lugas untuk disampaikan pada klien, terutama yang memiliki sumber daya
terbatas (Hanlon et al., 2014).
b. Group Activities
Pengertian terapi kelompok adalah terapi dengan orang-orang yang emosinya
sakit dipilih dengan teliti dipertemukan di dalam kelompok yang dipadu oleh
terapis terlatih dan saling membantu satu sama lain mempengaruhi untuk
membawa perubahan. Terapi kelompok dukungan (supportive) yaitu setiap
anggota kelompok bersikap menerima dan empati terhadap anggota
kelompok, memperkuat kelebihan yang sudah ada, dan mengurangi ansietas
(Isaacs, 2005 dalam jurnal Desi Niawati dan Ratna Supradewi, 2017).
Pemaparan dari Heller, dkk (Chen et al., 2006 dalam jurnal Desi Niawati dan
Ratna Supradewi, 2017) peer support (dukungan kelompok) berkaitan dengan
fungsi secara psikologis. Dukungan kelompok juga memiliki manfaat yaitu
terjadinya aktivitas berbagi pengalaman (sharing eksperiences), situasi, dan
masalah yang difokuskan pada prinsip memberi dan menerima, dan
pengembangan pengetahuan.
c. Relaxation /Meditation Therapy
Teknik relaksasi termasuk pelatihan relaksasi otot progresif, relaksasi
imajinasi, biofeedback, dan teknik-teknik dari meditasi dan yoga.
Keuntungannya adalah apabila sudah dipelajari dan menguasai maka dapat
digunakan tanpa adanya supervisi dari profesional. Selain itu terapi relaksasi
dapat diberikan oleh non-spesialis yang sudah terlatih, bahkan pekerja non-
kesehatan sekalipun (Hanlon et al., 2014). Sebuah studi yang meneliti

15
mengenai relaksasi (relaksasi otot, kesadaran indera, dan yoga) untuk
mengurangi keluhan fisik dalam desain eksperimen menunjukkan bahwa
walaupun hasil analisis statistik tidak menemukan adanya perbedaan antara
kelompok eksperimen dan kontrol dalam hal ketegangan secara umum, namun
terlihat ada penurunan ketegangan kelompok kontrol lebih sedikit dari
kelompok eksperimen (yaitu pada kelompok relaksasi otot). Keuntungan
teknik ini adalah penggunaannya yang mudah dan praktis. Sehingga relaksasi
dapat direkomendasikan untuk dapat mengurangi keluhan fisik, walaupun
kurang efektif dalam menurunkan ketegangan (Prawitasari, 2011).
d. Guided Imagery / Visualisation Therapy
Guided Imagery / Visualisation Therapy adalah suatu teknik yang
menggunakan imajinasi individu dengan imajinasi terarah untuk mengurangi
stres (Patricia dalam Kalsum, 2012). Snyder & Lindquist (2002)
mendefinisikan bimbingan imajinasi sebagai intervensi pikiran dan tubuh
manusia menggunakan kekuatan imajinasi untuk mendapatkan affect fisik,
emosional maupun spiritual. Guided imagery dikategorikan dalam terapi
mind-body medicine oleh Bedford (2012) dengan mengombinasikan
bimbingan imajinasi dengan meditasi pikiran sebagai cross-modal adaptation.
Imajinasi merupakan representasi mental individu dalam tahap relaksasi.
Imajinasi dapat dilakukan dengan berbagai indra antara lain visual, auditor,
olfaktori maupun taktil. Terapi guided imagery adalah metode relaksasi untuk
mengkhayalkan atau mengimajinasikan tempat dan kejadian berhubungan
dengan rasa relaksasi yang menyenangkan (Kaplan & Sadock, 2010). Manfaat
dari guided imagery yaitu sebagai intervensi perilaku untuk mengatasi
kecemasan, stres, dan nyeri (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Novarenta, 2013).
Penggunaan guided imagery tidak dapat memusatkan perhatian pada banyak
hal dalam satu waktu oleh karena itu klien harus membayangkan satu
imajinasi yang sangat kuat dan sangat menyenangkan (Brannon & Freist, 2000
dalam Novarenta, 2013).
Macam-macam teknik guided imagery berdasarkan pada penggunaannya
terdapat beberapa macam teknik, yaitu (Grocke & Moe, 2015):

16
1. Counseling
Counseling/Konseling merupakan pendekatan terapiutik selain psikoterapi.
Ciri konseling adalah konselor mengarahkan klien. Contoh klien yang
perlu pengarahan adalh pada klien dengan masalah penentuan karir/ butuh
bimbingan karir, memutuskan masalah terkait konflik dengan orang lain,
merasa kehilangan arah, dll. Konseling menekankan perkembangan dan
pertumbuhan normal, dalam hal ini Psikolog dapat membantu
memfasilitasi perkembangan ke arah yang diinginkan.
2. Guided Walking Imagery
Teknik ini ditemukan oleh psikoleuner. Pada teknik ini pasien dianjurkan
untuk mengimajinasikan pemandangan standar seperti padang rumput,
pegunungan, pantai.
3. Autogenic Abstraction
Teknik ini pasien diminta untuk memilih sebuah perilaku negatif yang ada
dalam pikirannya kemudian pasien mengungkapkan secara verbal tanpa
batasan. Bila berhasil akan tampak perubahan dalam hal emosional dan
raut muka pasien
4. Covert Sensitization
Teknik ini berdasar pada paradigma reinforcement yang menyimpulkan
bahwa proses imajinasi dapat dimodifikasi berdasarkan pada prinsip yang
sama dalam modifikasi perilaku.
5. Covert Behaviour Rehearsal
Teknik ini mengajak seseorang untuk mengimajinasikan perilaku koping
yang dia inginkan. Teknik ini lebih banyak digunakan.
2.8. Agen Rujukan Masalah Psikologis
Sampai saat ini belum ada sistem rujukan kesehatan jiwa yang benar-benar
terintegrasi dengan baik, karena memang sampai saat ini tidak menjadi prioritas
baik dari segi anggaran maupun program. Sehingga kedepan perlu ada penguatan
sumberdaya, baik alokasi anggaran, program dan tenaga kesehatan yang memadai.
Kondisi yang masih bertahan menurut partisipan adalah kerjasama beberapa dinas

17
kesehatan kabupaten/kota dengan Rumah Sakit Jiwa. Yaitu dengan menyiapkan
minimal 3 ODGJ, selanjutnya on call ke pihak rumah sakit yang nanti akan
dijemput dengan mobil psikiatrik dari rumah sakit tersebut. Selanjutnya ODGJ
diobati dalam perawatan rumah sakit dan akan dirujuk pulang kembali kepada
keluarga di bawah evaluasi dari puskesmas. Namun program tersebut masih
terkendala dengan kondisi besarnya anggaran mobilisasi yang cukup jauh,
sehingga belum bisa menyeluruh. Rumah sakit jiwa dalam proses pengadaannya
seharusnya mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1) Membutuhkan sumber
daya manusia dan sumber daya lain yang besar; (2) Kualitas pelayanan bervariasi,
jangan sampai hanya seringkali berfungsi sebagai tempat pengasingan sehingga
hasilnya tidak memuaskan; (3) Berkaitan dengan stigma dan pelanggaran HAM;
(4) Dibanyak daerah sulit diakses karena letaknya jauh; (5) Berbiaya tinggi tetapi
jenis pelayanan terbatas; (6) Bukan merupakan pos pendapatan asli daerah (PAD).
Keenam hal tersebut harus menjadi dasar pertimbangan penting dalam
upaya penyediaan pembangunan rumah sakit jiw. Pengembangan fasilitas
penyedia layanan kesehatan jiwa ini tentunya merupakan hal penting dalam
strategi menurunkan kesenjangan pengobatan. Dimana ada tiga strategi dalam
menurunkan kesenjangan pengobatan bagi ODGJ berdasarkan survei yang
dilakukan pada WPA di 60 negara (2010); (1) Meningkatkan jumlah psikiater dan
professional kesehatan jiwa lainnya; (2) Meningkatkan keterlibatan penyedia
layanan kesehatan jiwa non-spesialis yang terlatih dengan baik; (3) Keterlibatan
aktif orang yang terkena dampak gangguan jiwa secara langsung (ODGJ, ODMK,
dan keluarga). Sebagaimana diketahui bahwa kesenjangan pengobatan ini yang
memacu terjadinya pemasungan pada ODGJ.

18
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa fokus alur
penanggulangan ODGJ dalam upaya kuratif dengan tujuan penyembuhan dan
pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan pengendalian
gejala penyakit. Sampai upaya rehabilitatif dengan tujuan mencegah dan
mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
okupasional, serta mempersiapkan dan memberikan kemampuan agar mandiri di
masyarakat. Ada dua alternatif tempat perawatan kritis untuk kuratif yaitu di
Rumah Sakit Jiwa atau di Puskesmas. Maka demikian sejauhmana kesiapan
pemerintah daerah untuk pengadaan Rumah Sakit Jiwa. Atau penguatan fungsi
Rumah Sakit Umum dan Puskesmas untuk area kuratif tersebut, terlebih
selanjutnya untuk rehabilitatif. Ada dua alternatif terkait proses rehabilitatif bila
intervensi kritis dilakukan di rumah sakit jiwa, maka struktur rumah sakit jiwa
seharusnya mampu mengadakan lahan rehabilitasi ODGJ. Tetapi bila tidak
sanggup akan kembali kepada rehabilitasi berbasis masyarakat, sehingga fungsi
Rumah Sakit Jiwa bisa dipertajam dengan fungsi puskesmas.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

19
Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari
kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan,
perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan
berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung
(mourning).

Terdapat beberapa teori mengenai respon berduka terhadap kehilangan. Teori


yang dikemukan Kubler-Ross (1969 dalam Hidayat, 2012) mengenai tahapan
berduka akibat kehilangan berorientasi pada perilaku dan menyangkut lima tahap,
yaitu sebagai berikut:

1) Fase penyangkalan (Denial)


2) Fase Marah (Anger)
3) Fase Tawar Menawar (Bargaining)
4) Fase Depresi (Depression)
5) Fase penerimaan (Acceptance)

Peristiwa kehilangan selalu diiringi dengan respon emosional, respon


emosional inilah yang menentukan apakah individu bisa melewati peristiwa
kehilangan atau tidak, jika individu dapat mengontrol dan mengendalikan respon
emosi tersebut maka fase-fase dari kehilangan akan terselesaikan, namun jika
tidak maka individu akan terhenti pada fase tertentu sehingga akan menimbulkan
ganguan-gangguan seperti depresi, stres, susah tidur,kurang fokus, putus asa, sakit
pada kepala, menutup diri, dan lain sebagainya yang dapat mengganggu
perkembangan serta aktifitas individu di masa mendatang.
3.2 Saran
Untuk tenaga kesehatan agar dapat memahami konsep grieving dan cara
berkomunikasi terapeutik dengan pasien yang mengalami kehilangan untuk
mengatasi masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

20
Alimul, A., & Hidayat. (2012). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. (D. Sjabana, Ed.) (1st ed.). Jakarta:
Salemba Medika.

Anita Novianty,dkk. 2016. Intervensi Psikologi di Layanan Kesehatan Primer.


Universitas Kristen Krida Wacana 1, Fakultas Psikologi UGM2

Anjaswarni, Tri. 2016. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta Selatan : Pusat


Pendidikan SDM Kesehatan, Cetakan Pertama.
Atwater H. 2009. Binaural Beats and the Regulation of Arousal Levels.

Desi Niawati,dkk. 2017. Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Afirmasi Diri


Untuk Menurunkan Tingkat Stres Dan Afek Negatif Pada Pasien Kanker.
JIHAN NISA AFDILA. 2016. Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap
Tingkat Stres Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Dalam Menyelesaikan Skripsi.

Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi Klinis: Pengantar terapan mikro & makro.


Jakarta: Erlangga

Subbid Penelitian Sosial Pemerintahan Ekonomi Pembangunan. 2017. Kajian


pengembangan model penanganan penyakit gangguan jiwa berbasis
masyarkat.

Sarfika, Rika, dkk. 2018. Buku Ajar Keperawatan Dasar 2 Komunikasi Terapeutik
dalam Keperawatan. Padang:.Andalas University Press.

21

Anda mungkin juga menyukai