Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

PADA PASIEN DENGAN KANKER SERVIKS


DIAGNOSA : GANGGUAN RASA NYAMAN SEHUBUNGAN DENGAN NYERI
AKIBAT PENYAKIT YANG DIDERITA

DISUSUN OLEH :
1. NADIAH NURAZIZAH ALAM A1C220012

2. WAODE DEVIARNI A1C220064

3. YAYU SAFITRI A1C220046

KELAS D PROGRAM B

JURUSAN S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu penyebab kematian utama di dunia adalah penyakit kanker. Pada
tahun 2012, kanker menjadi penyebab kematian 8,2 juta orang. Kanker paru, hati,
perut, kolorektal, dan kanker payudara adalah penyebab terbesar kematian akibat
kanker setiap tahunnya (Kemenkes, 2015) .
Penyakit kanker serviks (cervical cancer) adalah kanker yang terjadi pada
serviks uterus, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu
masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama
(vagina) (Purwoastuti, 2015).
Kanker serviks merupakan kanker yang yang paling sering terjadi pada
wanita, sebesar 7,5% dari semua kematian disebabkan oleh kanker serviks.
Diperkirakan lebih dari 270.000 kematian diakibatkan oleh kanker serviks setiap
tahunnya, dan lebih dari 85% terjadi di negara berkembang (WHO, 2014).
Berdasarkan data dari International Agency for Research on Cancer (IARC), 85%
kasus kanker banyak terjadi pada negara berkembang, Indonesia pun tercatat sebagai
salah satu negara berkembang dan menempati urutan nomor 2 penderita kanker
serviks terbanyak setelah Cina (Savitri, 2015).
Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di
Indonesia tahun 2013 sebesar 1.4% atau diperkirakan sekitar 347.792 orang. Penyakit
kanker serviks merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di Indonesia yakni
0,8%, sementara untuk kanker payudara memiliki prevalensi sebesar 0,5%
(Kemenkes, 2018).
Prevalensi kanker serviks merupakan yang tertinggi di Indonesia yaitu 0,8%
atau sekitar 98.692 orang. Hasil dari sampel tersebut prevalensi kanker serviks
tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Maluku Utara,
dan Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks tertinggi yaitu
sebesar 1,5%. (Riskesdas, 2013).
Angka kejadian penderita kanker serviks di Kalimantan Timur terjadi
peningkatan mencapai 154 orang (Nurlaila dkk, 2016). Di Rumah Sakit Umum Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda dari bulan Juli sampai Agustus tahun 2016 ditemukan 48
kasus kanker serviks dengan distribusi yang paling banyak terkena kanker serviks
yaitu pada usia 45-49 tahun (Morita, 2016) .
Agar kanker serviks dapat ditemukan pada stadium dini serta mendapatkan
pengobatan yang cepat dan tepat untuk memberikan kesembuhan dan harapan hidup
yang lebih lama, maka perlu adanya tindakan pencegahan dan deteksi dini kanker
serviks yang meliputi pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan Pap
smear. Karena pada umumnya kanker serviks baru menunjukkan gejala setelah tahap
kronis dan sulit untuk disembuhkan.
Beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks
antara lain infeksi virus human papilloma virus (HPV), merokok, hubungan seksual
pertama dilakukan pada usia dibawah 18 tahun, berganti- ganti pasangan seksual,
pemakaian DES (Diethilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran,
gangguan sistem kekebalan, pemakaian pil KB, infeksi herpes genitalis atau infeksi
klamidia menahun, dan golongan ekonomi lemah (Nurarif, 2016). Menurut Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia tahun 2017, diagnosa keperawatan aktual yang
mungkin muncul pada pasien kanker serviks adalah nyeri kronis, defisit nutrisi,
disfungsi seksual dan hipertermia (PPNI, 2017).
Mengingat bahwa seorang perawat kesehatan harus bertanggung jawab dalam
memberikan asuhan keperawatan secara profesional, maka dalam memberikan
pelayanan atau asuhannya harus selalu memperhatikan manusia sebagai makhluk
yang holistik, yaitu makhluk yang utuh atau menyeluruh yang terdiri atas unsur
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Seorang perawat juga harus menggunakan
pendekatan pemecahan masalah yang komprehensif melalui proses keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Asuhan keperawatan pada pasien kanker
serviks juga meliputi pemberian edukasi dan informasi kepada pasien guna untuk
meningkatkan pengetahuan klien dapat mengurangi kecemasan serta ketakutan klien.
Perawat perlu mengkaji bagaimana pasien dengan pasangannya memandang
kemampuan reproduksi wanita dan memaknai setiap hal yang berhubungan dengan
kemampuan reproduksinya. Bagi sebagian wanita masalah harga diri dan citra tubuh
sering muncul saat mereka tidak bisa mempunyai anak lagi. Intervensi keperawatan
berfokus dalam upaya membantu pasien dan pasangannya untuk menerima perubahan
fisik dan psikologi dan menemukan kualitas lain dalam diri wanita sehingga ia dapat
dihargai. Selain itu perawat juga berperan dalam membantu pasien mengekspresikan
rasa takut, dukungan spriritual dan menemukan kekuatan diri untuk menghadapi
masalah (Reeder, 2013).
Perawat yang menjadi salah satu tim perawatan paliatif memiliki peranan
besar dalam meningkatkan kualitas hidup klien dan membantu keluarga dalam
meningkatkan kualitas hidup klien. Dalam hal ini, perawat yang paling sering kontak
dengan klien dan mengetahui perkembangan klien setiap waktu. Menurut (Husaini,
2014) peran perawat yang ditetapkan dalam perawatan paliatif dibagi menjadi 2
bagian yaitu perawatan langsung ke klien dan perawatan tidak langsung ke klien.
Perawatan langsung meliputi, pengkajian, memberikan perhatian kepada keluarga
klien, dan memberikan perawatan fisik dan psikososial. Sedangkan perawatan tidak
langsung adalah memberikan perawatan dengan berkolaborasi dengan tim
multidisiplin ilmu, praktik spesialis, dan juga tim manajemen yang memiliki
kemapuan menentukan kebutuhan klien.
Perawatan fisik yang dilakukan perawat adalah dengan menkaji gejala yang
ditimbulkan oleh kanker serviks dan berkolaborasi dengan dokter dan apoteker dalam
pemberian tindakan maupun obat yang dapar meringankan gejala. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa gejala yang paling umum terjadi pada kanker stadium lanjut
dengan perawatan paliatif adalah nyeri (WHO, 2014 ; Wang, et al 2005;
Shelley&Cain, 2015). Pada prinsipnya penanganan nyeri yang diberikan adalah untuk
mengurangi ketidaknyaman klien. Penanganan nyeri yang paling esensial adalah
farmakologi dan non farmakologi. Penanganan nyeri farmakologi yaitu, opioid,
NSAIDs, dan penanganan nyeri non farmakologi dapat dilakukan dengan terapi
relaksasi, musik sebagai distraksi dan berdoa.
Selain perawatan fisik, perawatan psikososial juga dapat dilakukan oleh
perawat. Pasien dengan kanker serviks dengan paliatif seringkali mengalami ansietas
sampai depresi (Shelley & Cain, 2015), ansietas atau deprest yang dirasakan pasien
dapat dikaji oleh perawat sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan paliatif
yang tepat. Depresi muncul dari berbagai kondisi, sepertipasien masih fase denial
dengan kondisi penyakitnya, kehilangan berat badan, frustasi seksual, dan juga
insomnia. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan adalah dengan meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan peningkatan spiritual pasien.
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan keperawatan
paliatif pada kanker serviks.perawatan paliatif yang diberikan sangat bermanfaat bagi
klien dan juga keluarga sehingga klien dapat mengakhiri hidup dengan nyaman dan
kebutuhan dasarnya terpenuhi. Sebagai perawat profesional, sangat penting untuk
menjadi bagian dalam memberikan perawatan paliatif. Perawat dapat memberikan
asuhan keperawatan dengan paliatif seperti merubah perasaan tidak dapat sembuh
dengan perasaan nyaman terhadap gejala yang timbul, memberikan dukungan
emosional, dan juga menangani gejala dengan obat-obatan dan atau intervensi non
farmakologis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang dijelaskan, maka rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah “Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Paliatif pada
Pasien Kanker Serviks dengan Diagnosa Gangguan Rasa Nyaman Sehubungan
dengan Nyeri Akibat Penyakit yang Di Derita”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Kanker Serviks dengan perawatan paliatif.
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan masalah-masalah yang muncul pada pasien kanker serviks
dengan paliatif.
b. Menganalisis masalah-masalah yang muncul pada pasien kanker serviks
denga perawatan paliatif.

c. Menggambarkan intervensi keperawatan pengendalian nyeri untuk


mengurangi rasa nyeri pada pasien kanker serviks

D. Manfaat
Dapat memberikan gambaran kepada perawat terkait peranan penting perawat,
masalah-masalah yang muncul, dan intervensi keperawatan paliatif yang tepat pada
pasien Kanker Serviks serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta
wawasan mahasiswa dan menekankan peran perawat dalam keperawatan paliatif,
khususnya Kanker Serviks.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Kanker serviks adalah tumor ganas yang tumbuh didalam leher rahim atau
serviks yang terdapat pada bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak
vagina ( Diananda,Rama, 2009 ).
Kanker serviks adalah keganasan yang bermula pada sel-sel serviks (leher
rahim) dan dimuali pada lapisan serviks.Terjadi kanker serviks sangat perlahan,
pertama beberapa sel normal berubah menjadi sel prakanker, kemudian berubah
menjadi sel kanker. Perubahan ini di sebut dysplasia dan biasanya terdeteksi dengan
tes pap smear (Rahman, 2010).
Kanker serviks merupakan kanker yang menyerang area serviks atau leher
rahim, yaitu area bawah pada rahim yang menghubungkan rahim dan vagina (Rozi,
2013).
Kanker leher rahim atau kanker serviks (cervical cancer) merupakan kanker
yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang
merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan
liang senggama (vagina) (Purwoastuti, 2015).

B. Etiologi
Menurut (Nurarif, 2016) penyebab terjadinya kelainan pada sel - sel serviks
tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor resiko yang berpengaruh
terhadap terjadinya kanker serviks yaitu:
1. HPV (Human papilloma virus) HPV adalah virus penyebab kutil genetalis
(Kandiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang
sangat berbahaya adalah HPV tipe 16, 18, 45, dan 56.
2. Merokok
Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk
melawan infeksi HPV pada serviks.
3. Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini.
4. Berganti-ganti pasangan seksual.
5. Suami atau pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia
di bawah 18 tahun, berganti - berganti pasangan dan pernah menikah dengan
wanita yang menderita kanker serviks.
6. Pemakaian DES (Diethilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran
(banyak digunakan pada tahun 1940-1970).
7. Gangguan sistem kekebalan
8. Pemakaian Pil KB.
9. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun.
10. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan pap smear secara
rutin).
11. Memiliki riwayat keluarga dengan kanker serviks.

C. Tanda dan Gejala


Menurut (Purwoastuti, 2015), gejala kanker leher rahim adalah sebagai berikut:
1. Keputihan, makin lama makin berbau busuk.
2. Perdarahan setelah senggama yang kemudian berlanjut menjadi perdarahan
abnormal, terjadi secara spontan walaupun tidak melakukan hubungan seksual.
3. Hilangnya nafsu makan dan berat badan yang terus menurun.
4. Nyeri tulang panggul dan tulang belakang.
5. Nyeri disekitar vagina.
6. Nyeri abdomen atau nyeri pada punggung bawah.
7. Nyeri pada anggota gerak (kaki).
8. Terjadi pembengkakan pada area kaki.
9. Sakit waktu hubungan seks.
10. Pada fase invasif dapat keluar cairan kekuning-kuningan, berbau dan bercampur
dengan darah.
11. Anemia (kurang darah) karena perdarahan yang sering timbul.
12. Siklus menstruasi yang tidak teratur atau terjadi pendarahan diantara siklus haid.
13. Sering pusing dan sinkope.
14. Pada stadium lanjut, badan menjadi kurus kering karena kurang gizi, edema kaki,
timbul iritasi kandung kencing dan poros usus besar bagian bawah (rectum),
terbentuknya fistel vesikovaginal atau rectovaginal, atau timbul gejala-gejala
akibat
metastasis jauh.

D. Stadium Kanker Serviks


Stadium kanker mencakup keluasan penyakit dengan melakukan beberapa
pemeriksaan darah dan pemeriksaan diagnostikseperti colposcopy, cystoscopy,
prostoscopy (Stanley, 2016). Stadium kanker serviks ditetapkan berdasarkan
pemeriksaan fisik tersebut. Setiap stadium memiliki waktu bertahan hidup yang
berbeda-beda mulai dari stadium 0 sampai dengan stadium akhir. Hal ini dapat dilihat
sebagai berikut:

Gambar 2.1 Stadium kanker serviks (Vagi-Wave, 2012)

Sistem yang biasa digunakan untuk menentukan stadium kanker adalah sistem
TNM yakni mengevaluasi ukuran tumor, jumlah nodul limfe yang tekena, dan bukti
adanya metastase yang jauh. T merupakan ukuran tumor selain sistem TNM, penetuan
stadium kanker yang khusus kanker serviks adalah sistem International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO), berikut ini adalah sistem penentuan stadium
kanker serviks berdasarkan FIGO dan TNM (Boardman, 2016).
Tabel 2.2 Klasifikasi Kanker Serviks Berdasarkan TNM dan FIGO

E. Patofisiologi
Puncak insedensi karsinoma insitu adalah usia 20 hingga usia 30 tahun. Faktor
resiko mayor untuk kanker serviks adalah infeksi Human Paipilloma Virus (HPV)
yang ditularkan secara seksual. Faktor resiko lain perkembangan kanker serviks
adalah aktivitas seksual pada usia muda, paritas tinggi, jumlah pasangan seksual yang
meningkat, status sosial ekonomi yang rendah dan merokok (Price, 2012).
Karsinoma sel skuamosa biasanya muncul pada taut epitel skuamosa dan
epitel kubus mukosa endoserviks (persambungan skuamokolumnar atau zona
tranformasi). Pada zona transformasi serviks memperlihatkan tidak normalnya sel
progresif yang berakhir sebagai karsinoma servikal invasif. Displasia servikal dan
karsinoma in situ atau High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)
mendahului karsinoma invasif. Karsinoma serviks terjadi bila tumor menginvasi
epitelium masuk ke dalam stroma serviks. Kanker servikal menyebar luas secara
langsung kedalam jaringan para servikal. Pertumbuhan yang berlangsung
mengakibatkan lesi yang dapat dilihat dan terlibat lebih progresif pada jaringan

servikal. Karsinoma servikal invasif dapat menginvasi atau meluas ke dinding vagina,
ligamentum kardinale dan rongga endometrium. Invasi ke kelenjar getah bening dan
pembuluh darah mengakibatkan metastase ke bagian tubuh yang jauh (Price, 2012).

Gambar 2.3 Sistem Reproduksi Wanita (Rao, Carpenter&Jackson 2015)

Sel normal serviks berkembang dari pre-kanker menjadi kanker. Perubahan sel
ini dapat dideteksi oleh Pap test, yakni dapat dilihat memakai miroskop. Perubahan
sel pre-kanker menjadi kanker dibagi menjadi tiga yaitu Cervical Intraepithelial
Neoplasia (CIN) atau sel abnormal squamosa, Squamous Intraepithelian Lesion(SIL)
atau sel glandular abnormal dan Dysplasia (American Society cancer, 2016).
Ada dua jenis kanker serviks yaitu squamous cell carcinoma (karsinoma sel
skuamosa) dan adenocarcinoma (adenokarsinoma). Sekitar 90% kanker serviks adalah
karsinoma sel skuamosa, sel kanker ini dibentuk dari sel servik yang berada dibagian
eksoserviks yang dapat digunakan untuk melihat kedalaman sel yang abnormal di
permukaan serviks. Sel yang abnormal ini dapat dideteksi melalui mikroskop.
Perubahan sel servik awal menjadi sel kanker disebut CIN 1, Sel kanker ini tidak
dapat diketahui tanpa adanya pemeriksaan, perubahan abnormal ketika berubah
menjadi CIN 2 dan CIN 2 dan perubahan ini harus mendapatkan penanganan.

Sebenarnya infeksi akibat HPV memiliki peluang kecil untuk menjadi kanker.
Hal ini dapat dilihat dari ata-rata dalam 3 tahun hanya 5 % infeksi CIN 2 berubah
menjadi CIN 2, dalam 5 tahun hanya 20% CIN 3 berubah menjadi kanker invasive
dan dalam 30 tahun hanya 40% lesi CIN 3 berubah secara progresif menjadi kanker
servik yang invasive (Boardmen, 2016). Namun, infeksi ini akan mempecepat proses
pemebntukan karsinogen ketika ditambah dengan beberapa faktor yaitu imun
penderita, tipe dan durasi terinfeksi HPV, faktor lingkungan (rokok) dan kurangnya
melakukan screening.

Gambar 2.4 Patofisiologi Kanker Serviks (Jin, 2010)

Jenis kanker serviks yang kedua adalah kanker servik adenokarsinoma.


Kanker ini dibentuk dari sel glandular. Adenokarsinoma serviks berkembang dari
produksi mukus oleh sel glan di endoserviks. Kanker ini umumnya terjadi setelah 20
atau 30 tahun. Dan yang jarang terjadi adalah kanker serviks yang dibentuk oleh
kedua sel yakni karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma yang disebut
adenosquamous carcinomas atau mixed carcinomas.

Perubahan sel serviks dari pre-kanker menjadi kanker biasanya butuh 15-20
tahun pada perempuan yang sistem imunnya normal, dan butuh 5-10 tahun untuk
perempuan dengan sistem imun rendah (WHO, 2016). Ketika tidak diperiksa dan juga
tidak ditangani akan berubah menjadi kanker serviks. Penyebaran kanker serviks sel
skuamosa terjadi dengan perluasan langsung ke mukosa vagina dan struktur rongga
pelvis. Kanker ini dapat bermetastase ke liver, paru-paru atau tulang terjadi melalui
sistem limpatik dan sirkulasi.
F. Pathway
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut European associety for medical onkology (2012) kanker serviks dapat
dikatakan suspek ketika memiliki ciri-ciri yaitu hasil pemeriksaan fisik gynecology
yang abnormal, ada beberapa hasil abnormal dari pemeriksaan Pap test serviks,
adanya perdarahan diantara periode menstruasi, dan adanya perdarahan setelah
melakukan hubungan seksual. Penenetuan diagnosis kanker serviks harus melakukan
pemeriksaan sebagai (European asociety for medical onkology, 2012 ; American
cancer society, 2015):
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang diakukan adalah inspeksi dan palpasi oleh dokter.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan gynekologi dengan bimanual rektal vagina
untuk mengetahui lokasi, volum tumor dan juga untuk melihat organ lain dengan
pemeriksaan pelviks.

2. Colposcopy
Ketika hasil Pap test menunjukkan hasil abnormal, dibutuhkan pemeriksaan dengan
Colposcopy. Colposcopy membantu dokter untuk melihat bagian permukaan
serviks secara jelas. Dengan colposcopy ini akan dapat dilihat bagian yang
abnormal di area serviks. Colposcopy tidak menimbulkan ketidaknyamanan, tidak
memiliki efek dan bahkan dapat dipakai ketika perempuan hamil. Seperti Pap Test,
Colposcopy sebaiknya di lakukan setelah periode menstruasi berhenti. Jika
ditemukan hasil abnormal pada sel servik maka akan dilakukan biopsy. Biopsy
merupakan suatu tindakan pengambilan sebagian jaringan yang abnormal yang
ditemukan pada colposcopy dibawah microskop. Hasil biopsy menunjukkan
adaanya pre-kanker, dan kanker atau tidak. Prosedur biopsy memberikan rasa tidak
nyaman dan nyeri.

3. Pemeriksaan Histopatologi
Setelah dilakukan pemeriksaan Pap Test dan juga Colposcopy maka dilakukan
pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan histiopatologi adalah pemeriksaan hasil
biopsy sel serviks patologi yang dilakukan di laboratorium. Hasil ini akan
memberikan informasi tentang karakteristik dari pre-kanker ( Lesi CIN 1- CIN 3)
dan memberikaan informaasi tentang kanker.
4. Pemeriksaan laboratorium rutin darah dan urin
Urin dan darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah
bertujuan untuk melihat anemia, fungsi hati dan ginjal dan juga untuk melihat
adanya infeksi di bagian sistem urinaria.

5. Pemeriksaan Medical imaging


Pemeriksaan Medical imaging dilakukan untuk memperifikasi adanya penyebaran
tumor seperti metastase. Pada pemeriksaan ini yang dilakukan adalah pemeriksaan
Magnetic resonance imaging (MRI) dan CT-Scan. MRI dan CT-Scan dilakukan
untuk melihat penyebaran atau metastase kebagian pelvis dan nodus limpa.

H. Penatalaksanaan
1. Histerektomi
Menurut American Cancer society (2016) histerektomi dibagi dua yaitu
histerektomi dan radikal histerektomi. Histerektomi sebuah operasi yang dilakukan
hanya mengangkat uterus dan servik Parametria dan ligament uterosacral yang
merupakan bagian dari uterus tidak diangkat begitu juga vagina dan nodus limpa
pelviks. Pengangakatan uterus dapat dilakukan insisi pada abdomen, vagina, dan
juga dengan laparoskopi. Biasanya operasi ini menggunakan anastesi umum atau
epidural untuk semua jenis operasi. Histerektomi dilakukan pada kanker serviks
stadium 1A1, dan juga stadium 0, ketika sel kanker ditemui pada saat biopsy.
Berbeda dengan radikal histerektomi, radikal histerektomi merupakan operasi yang
dilakukan untuk mengangkat uterus sampai dengan jaringan (ligament uterosacral
dan parametria) dan bagian atas vagina bagian serviks. Pengangkatan uterus ini
hanya dapat dilakukan insisi bagian abdomen.

2. Radioterapi
Radioterapi merupakan tatalaksana yang menggunakan x-rays dari luar tubuh untuk
membunuh sel kanker. Ketika digunakan untuk penanganan kanker servik, radiasi
secara umum di kombinasikan dengan kemoterapi. Radioterapi diberikan 5 hari
dalam seminggu selama 6 sampai 7 minggu. Beberapa efek samping dari
radiaoterapi adalah kelelahan, sakit perut, diare, mual dan muntah dan terjadi
perubahan kulit. Perubahan kulit paling sering terjadi, karena radiasi dapat merusak
kulit seperti iritasi dari ringan sampai sedang. Kulit juga dapat infeksi sehingga
kebersihan kulit harus dijaga dan dilindungi untuk mengurangi efek samping
radiasi. Selain itu radiasi juga dapat berkaitan dengan rendahnya sel darah, seperti
anemia (ketika pasien merasa lelah) dan leucopenia ketika mengalami infeksi yang
serius.
Dari berbagai efek samping radioterapi tersebut, perawat memiliki peran dalam
memantau efek samping dan memberikan edukasi kepada keluarga dan pasien
(American cancer society, 2015; Nursing, 2015). Perawat memantau efek samping
radiasi seperti mual, muntah, nyeri abdomen dan diare. Perawat dapat menjelaskan
efek samping dan lamanya efeksamping. Selain memberikan edukasi, perawat juga
berkolaborasi untuk mengatasi efek samping radiasi. Selain itu, perawat juga
mengkaji suara paru seperti adanya suara rales yang mengindikasikan adanya
eksudat di interstitial. Perawat dapat mengobservasi adanya dispneu atau adanya
perubahan respirasi. Selain itu juga perawat dapat memonitor adanya penurunan
secara signifikan jumlah sel darah dan juga trombosit.
Perawat memberikan edukasi kepada keluarga dan pasien tentang hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan selama menjalani radiasi yakni 5 hari setiap minggu
selama 7 minggu. Hal yang harus diketahui oleh keluarga dan pasien adalah tentang
perawatan kulit yang diradiasi seperti hanya boleh mencuci bagian yang diradiasi
dengan air bersih, tidak boleh menggunakan sabun dan dilarang memberikan obat-
obatan, bedak tabur, dan juga pelembab kulit (Nursing, 2015).
Bagian yang diradiasi juga tidak boleh di gosok oleh pasien, jika terjadi perubahan
kulit yang serius, anjurkan keluarga untuk melaporkan ke bagian radiologis. Pasien
dianjurkan menggunakan pakaian yang lembut selama dilakukan radiasi, lindungi
kulit dari paparan matahari setelah di radiasi dan selama satu tahun setelah terapi
radiasi diberhentikan. Tutup kulit dengan pakaian yang tertutup setelah diradiasi
dan pasien harus istirahat yang cukup dan makan dengan diet yang seimbang.
Radiasi eksternal tidak beresiko terhadap orang lain yang kontak dengan pasien.

3. Kemoterapi
Systemic chemoteraphy (kemo) menggunakan obat anti kanker yang di suntikkan
melalui vena atau diberikan melalui mulut. Obat-obatan kemo akan bersirkulasi
didalam darah dan menyebar keseluruh tubuh. Obat kemo berfungsi untuk
membunuh sel kanker dibagian tubuh. Kemoterapi biasanya dilakukan berulang
kali sesuai masa penyembuhan. Kemoterapi dapat dilakukan dalam beberapa situasi
yaitu kemoterapi digabung dengan penangan lain dan kemo yang dilakukan karena
kanker servik yang berulang setelah diberikan tindakan atau kanker menyebar
(American cancer society, 2014).
Kemoterapi dapat digabungkan dengan radiasi yang disebut dengan kemoradiasi.
Penggabungan ini dilakukan karena efek kerja rediasi semakin baik ketika
digabung dengan kemo. Kadang-kadang juga kemo dilakukan tanpa radiasi
sebelum dan atau sesudah kemoradiasi. Kemoterapi dapat dilakukan ketika kanker
servik yang berulang setelah mendapat penanganan kemoradiasi. Kemo dapat
membantu untuk menangani kanker yang sudah menyebar ke organ atau jaringan
sekitar. Obat-obatan kemo yang diberikan pada kanker kanker servik stadium
lanjut adalah ciplastin, carbopltin, paclitaksil, topotecan dan gemcitabie. Obat-obat
ini dapat dikombinasikan satu sama lain. Kemoterapi bekerja dengan membunuh
sel kanker tetapi juga membunuh sel normal, hal ini menyebabkan kemoterapi
memiliki efek pada tubuh. Efek kemoterapi berdasarkan tipe obatnya, jumlah
pemakaian obat, dan lama waktu diterapi.
Pada penatalaksanaan kemoterapi, perawat memiliki peran dalam mengelola efek
kemoterapi tersebut dan juga memberikan edukasi kepada pasien seperti
memberikan dukungan emosional kepada pasien (Wiseman et al, 2005). Roe &
Lennan (2013) memaparkan bahwa perawat harus memiliki kompetensi
komunikasi yang baik dalam memberikan informasi terkait kemoterapi. Perawat
juga harus memiliki pengetahuan yang baik tentang obat-obatan kemoterapi terkait
jenis dan efek samping obat. Informasi tentang efek samping obat dan juga
dukungan emosional sangat dibutuhkan pasien yang menjalani kemoterapi. Efek
samping obat kemoterapi dapat menyebabkan perubahan dalam penampilan fisik
pasien, sehingga dibutuhkan pendampingan dan dukungan dari perawat dan orang-
orang sekitar untuk meningkatkan percaya diri pasien terhadap diri pasien.
Beberapa efek samping obat kemoterapi tersebut adalah mual, muntah, kehilangan
nafsu makan, rambut rontok, mulut kering dan kelelahan. Selain itu, kemoterapi
juga mempengaruhi produksi sel darah karena efek kemo dapat merusak sumsum
tulang penghasil darah sehingga darah yang dihasilkan menjadi sedikit (American
cancer society, 2014). Hal ini menyebabkan meningkatnya peluang untuk infeksi
karena jumlah sel darah putih semakin sedikit, perdarahan, dan juga napas pendek
karena jumlah oksigen dalam darah sedikit (sel darah merah turun).
I. Perawatan Paliatif
a. Definisi
Perawatan paliatif beraasal dari kata “palliate” (bahasa inggris) yang artinya
meringankan, dan ‘palliare’’(bahasa latin) yang artinya “menyelubungi”. Perawatan
paliatif merupakan jenis pelayanan kesehatan yang berfokus untuk meringankan
gejala bukan untuk menyembuhkan (Black dan Hawks, 2014). Menurut WHO
(2014) perawatan paliatif adalah perawatan yang meningkatkan kualitas hidup klien
dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit yang
mengancam kehidupan, melalui mencegah dan meringankan penderitaan dengan
cara menangani nyeri maupun masalah fisik, psikososial dan spritualnya.
Perawatan paliatif bertujuan untuk memenuhi semua kebutuhan individu dengan
penyakit yang serius atau kanker stadium akhir seperti penyakit jantung, kanker,
stroke, penyakit obstruksi paru-paru kronis dan diabetes mellitus. Perawatan
palliative memiliki sasaran pelayanan tidak hanya berfokus pada pasien tetapi juga
keluarga pasien.
Menurut National Hospice and Pallaitiuf care organization dalam Black dan
Hawks (2014) menyatakan bahwa tujuan dari perawatan palliative adalah
meningkatkan kualitas hidup pada pasien yang mengalami penyakit stadium lanjut
serta membantu keluarga dalam merawat klien. Diharapkan dengan diberikannnya
perawatan palliative, pasien dan keluarga mendapatkan dukungan dan kebutuhan
dari berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Perawatan paliatif yang terkenal adalah perawatan hospice atau perawatan di
akhir masa hidup (end of life) yang dipilih ketika tidak adalagi kemungkinan untuk
sembuh. Bahkan perawatan hospice dikhususkan untuk klien dengan kanker (Black
dan Hawks, 2014). Hospice adalah pelayanan pasien menjelang akhir kehidupan di
suatu tempat (rumah, rumah sakit, tempat khusus) dengan suasana seperti dirumah.

b. Tujuan Perawatan Paliatif


Tujuan umum dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan
keluarg mencapai kualitashidup terbaik, menganggap kematian sebagai proses
normal, tidak mempercepat atau menunda kematian, menghilangkan nyeri dan
keluhan lain yang mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual,
mengusahakan agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan membantu
mengatasi suasana duka cita pada keluarga (Irwan. E, 2013 ; Potter P, Perry A,
Stockert P, Hall A, 2009).

c. Prinsip Perawatan Paliatif


Konsep perawatan paliatif menurut Departemen kesehatan RI (2013) meliputi
prinsip perawatan paliatif, indikasi perawatan paliatif, langkah-langkah pelayanan
paliatif dan juga tim dan tempat pelayanan paliatif. Pada dasarnya perawatan
paliatif
merupakan perawatan yang diberikan agar pasien merasa nyaman dengan akhir
kehidupannya. Ada 8 prinsip pelayanan paliatif untuk pasien kanker yaitu:
1. Menghilangkan nyeri dan gejala fisik lainnya
2. Menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal
3. Tidak bertujuan menghambat atau mempercepat kematian
4. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spiritual
5. Memberikan dukungan agar pasien dapat seaktif mungkin
6. Memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita
7. Menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarga
8. Menghindari tindakan yang sia-sia.

d. Indikasi Pelayanan Paliatif


Pasien mendapatkan pelayanan paliatif memiliki indikasi, karena tidak semua
penyakit diperlukan untuk mendaptkan paliatif. Berdasarkan Depkes (2013)
pelayanan paliatif dimulai sejak diagnosis kanker ditegakkan bila didapatkan satu
atau dua lebih kondisi dibawah ini:
1. Nyeri atau keluhan fisik lainnya yang tidak dapat diatasi.
2. Stres berat berhubungan dengan diagnosis atau terapi kanker.
3. Penyakit penyerta yang berat dari kondisi sosial yang diakibatkannya.
4. Permasalahan dalam mengambil keptusan terkait terapi yang akan atau
sedang dilakukan.
5. Pasien atau keluarga meminta untuk dirujuk keperawatan paliatif.
6. Angka harapan hidup < 12 bulan (ECOG > 3 atau kanosfy < 50%, metastasi
otak dan leptomeningeal, metastasi di cairan intestinal, vena cava superior
sindrom, kaheksia, serta kondisi berikut tidak dilakukan tindakan atau tidak
ada respon terhadap tindakan yaitu kompresi tulang belakang, bilirubin
>2,25 mg/dl, kreatinin > 3mg/dl),*tidak berlaku pada pasien anak.
7. Pada pasien kanker stadium lanjut yang tidak respon dengan terapi yang
diberikan.
e. Model perawatan paliatif adalah:
1. Perawatan paliatif di rumah sakit (Hospice Hospital Care): rawat singkat
(One Day Care).
2. Hospice: tempat khusus di luar RS, pengelola di luar struktur RS.
3. Pelayanan paliatif dirumah: keluarga terlatih, home visit, hotline service.

Pada pasien terminal yang perlu dievaluasi adalah :


1. Apakah nyeri dan gejala lain teratasi dengan baik?
2. Apakah stress pasien dan keluarga berkurang?
3. Apakah merasa memiliki kemampuan untuk mengontrol kondisi yang ada
4. Apakah beban keluarga berkurang?
5. Apakah hubungan keluarga dengan orang lain lebih baik?
6. Apakah kualitas hidup meningkat?
7. Apakah pasien merasakan arti hidup dan bertumbuh secara spiritual?
8. Jika pasien meninggal maka dilakukan perawatan jenazah kelengkapan
surat
dan keperluan pemakaman, dan dukungan masa duka cita.

f. Lingkup Kegiatan dan Aspek Perawatan Paliatif


Pemberian perawatan paliatif sangat dianjurkan untuk pasien dan keluarga
pasien dengan penyakit terminal salah satunya adalah kanker. Perawatan ini
memungkinkan tidak hanya mendapatkan perawatan secara aspek fisik saja namun
juga perawatan secara psikologis dan sosial dalam menghadapi penyakit fisik yang
berpengaruh terhadap masalah pikologis dan sosial yang dihadapi pasien dan
keluarga pasien. Hal ini sesuai definisi perawatan paliatif menurut WHO yaitu
perawatan yang aktif dan menyeluruh terhadap pasien yang penyakitnya tidak lagi
memberikan tanggapan kepada pengobatan yang menyembuhkan. Kontrol dari rasa
sakit, gejala-gejala lain, masalah psikologis, sosial, dan spiritual merupakan hal
yang terpenting. Sehingga aspek perawatan paliatif berupa aspek psikologis, sosial,
dan spiritual menjadi fokus dalam rangkaian pengobatan kanker (Damayantri A,
Fitriyah, Indriani, 2008).
1. Aspek Psikologis
Pasien dengan pernyakit terminal biasanya semakin tidak bisa menunjukkan
dirinya secara ekspresif. Pasien menjadi sulit untuk mempertahankan kontrol
biologis dan fungsi sosialnya, seperti menjadi sering mengeluarkan air liur,
perubahan ekspresi bentuk muka, gemetaran dan lain sebagainya. Pasien juga
sering mengalami kesakitan, muntah-muntah, keterkejutan karena perubahan
penampilan yang drastis disebabkan kerontokan rambut atau penurunan berat
badan, dan stres karena pengobatan sehingga pasien mengalami ketidak
mampuan untuk berkonsentrasi. Masalah psikologis tersebut disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam konsep diri pasien. Sebagai pemberi perawatan
paliatif harus bisa melakukan tugas dengan menyesuaikan terhadap masalah
pasien. Tugas yang berkaitan dengan fungsi psikologis meliputi upaya untuk
a) mengendalikan perasaan negatif dan memelihara pandangan positif
mengenai diri sendiri dan masa depan, b) mengidentiikasi dan
mempertahankan kepuasan akan diri sendiri dan kemampuan diri, c)
mendorong keluarga untuk memelihara pandangan positif kepada pasien.
2. Aspek Sosial
Ancaman terhadap konsep diri yang terjadi karena menurunnya fungsi mental
dan fisik pasien dapat juga mengancam interakhi sosial pasien. Meskipun
pasien penyakit terminal sering menginginkan dan membutuhkan untuk
dijenguk, namun pasien mungkin juga mengalami ketakutan bahwa
kemunduran mental dan fisiknya akan membuat orang-orang yang
menjenguknya menjadi kaget dan merasa tidak enak.Konsekuensi mengenai
interaksi sosial yang tidak menyenangkan ini dapat membuat pasien mulai
menarik diri dari kehidupan sosialnya dengan cara membatasi orang-orang
yang mengunjunginya hanya kepada beberapa orang anggota keluarga
saja.Pemberian perawatan paliatif harus dapat memberikan perawatan sesuai
dengan masalah yang ada pada pasien. Tugas yang berkaitan dengan aspek
sosial meliputi a) memelihara hubungan baik dengan keluarga dan teman-
teman, b) membantu pasien mempersiapkan diri bagi masa depan yang tidak
tentu.
3. Aspek Spiritual
Spiritualitas penting dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup
seseorang. Spiritualitas juga penting dikembangkan untuk dijadikan dasar
tindakan dalam pelayanan kesehatan. Aspek ini dinyatakan juga dalam
pengertian kesehatan seutuhnya oleh WHO pada tahun 1984, yang oleh
American Psychiatric Assosiation (APA) dikenal dengan dengan rumusan
“bio-psiko-sosio-spiritual”. Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa
keagamaan dapat menimnulkan permasalahan psiko-sosial begitu juga
sebaliknya (Yafie, Ali, Shihab MQ, Hawari D, 2006). Bussing et al dalam
penelitiannya juga mengungkapkan bahwa pasien kanker yang memiliki
sandaran sumber religius yang kuat akan mengantarkan pasien tersebut pada
prognosis yang lebih baik dari yang diperkirakan (Bussing A, Fischer J,
Ostermann T, 2018).

g. Sasaran Kebijakan Perawatan Paliatif


Sasaran kebijakan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa dan anak) dan
anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif dimana pun
pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana perawatan paliatif yaitu dokter,
perawat, dan tenaga kesehatan yang terkait. Sedangkan institusi terkait yaitu dinas
kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, rumah sakit pemerintah dan swasta,
puskesmas, rumah perawatan/hospis, fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta.

h. Pelayanan Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif berfokus pada meningkatkan kualitas hidup klien dan
mengurangi gejala penyakit klien. Pelayanan yang diberikan pun terkait penanganan
gejala-gejala yang timbul pada pasien stadium lanjut. Langkah-langkah dalam
pelayanan paliatif, yaitu:
1. Menentukan tujuan perawatan dan harapan pasien.
2. Membantu pasien dalam membuat advanced care planning (wasiat atau
keinginan terakhir).
3. Pengobatan penyakit penyerta dan aspek sosial yang muncul.
4. Tata laksana gejala.
5. Informasi dan edukasi perawatan pasien.
6. Dukungan psikologis, cultural dan sosial.
7. Respon pada fase terminal : memberikan tindakan sesuai wasiat atau
keputusan keluarga bila wasiat belum dibuat, misalnya: penghentian atau
tidak memberikan pengobatan yang memperpanjang proses menuju
kematian (resusitasi, ventilator atau cairan dll).
8. Pelayanan terhadap pasien dengan fase terminal.

i. Peran Perawat Dalam Menangani Masalah Pasien Kanker Serviks Dengan Perawatan
Paliatif
1. Nyeri merupakan gejala yang paling sering pada klien dengan perawatan paliatif.
Nyeri pada klien paliatif tidak hanya respon fisik terhadap gangguan atau penyakit
yang mendasarinya, namun akibat dari berbagai dimensi emosional intelektual,
perilaku, sensori, dan juga budaya klien (Black dan Hawks, 2014; Wilkie Ezenwa,
2012) Bial (2007) dalam Rome et al (2011) juga menjelaskan bahwa nyeri pada
pasien kanker dengan paliatif terdiri dari akumulasi jumlah rasa sakit fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual pasien. Dengan demikian, engalaman nyeri pada
klien paliatif berbeda dengan pengalaman nyeri pada klien dengan non paliatif.
Oleh karena itu penanganan nyeri yang diberikan hanya untuk mengontrol nyeri
bukan untuk menyembuhkan.

Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan farmakologi dan nonfarmakologi.


Penanganan nyeri dengan faramakologi pada pasien paliatif sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO yaitu nyeri ringan (skala 1-3) menggunakan
acetaminophen atau NSAID. Sedangkan nyeri ringan sampai sedang (skala 4-7)
penanganan yang paling tepat adalah dengan menggunakan analgesi jenis opioid
lemah dan acetaminophen atau NSAID +/- adjuvant. Dan yang terakhir nyeri
sedang sampai berat (8-10) menggunakan jenis opioid kuat dan acetaminophen
atau NSAID+- adjuvant. Sekitar 75%-85% dari pasien yang mengalami nyeri
dapat dikontrol dengan obat oral, melalui rektum dan juga. Sedangkan
penanganan nyeri nonfaramakologi yang dapat diberikan adalah pemberian
analgetik untuk menangani nyeri seperti terapy fisik yakni pijat, akupuntur,
olahraga, latihan ROM passive, kompres hangat, dan juga imobilisasi (Perron et
al, 2001).
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang sering kontak dengan pasien memiliki
peranan dalam dapat memberikan intervensi untuk mengontrol nyeri. Ada dua
jenis nyeri kronik yang ada pada pasien kanker yakni nyeri nociceptive dan
neuropathic (Mahfud, 2011). Nyeri kronik nociceptive disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan dan biasanya digambarkan dengan tajam, sakit dan nyeri
berdenyut. Nyeri ini disebabkan oleh sel kanker yang berkembang yang dapat
menyebar ke tulang, otot atau sendi yang menyebabkan penyumbatan. Nyeri
Neuropatic disebabkan oleh adanya kerusakan saraf yang berhubungan dengan
sumsum tulang belang, otak,dan organ internal. Kekurangan nutrisi, adanya
infeksi dan racun dapat merusak jalur saraf sehingga menimbulkan nyeri, tumor
juga dapat menekan saraf sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri ini dapat
digambarkan dengan nyeri seperti terbakar atau berat, mati rasa disepanjang saraf
yang terkena (Metronic, 2016).

Perawat harus mampu membedakan nyeri tersebut pada psien kanker sehingga
intervensi yang diberikan tepat. Hampir 80% nyeri pada kanker berbeda dalam
satu waktu. Olehkarena itu perawat harus mampu mebedakan jenis nyeri yang
dialami oleh pasien. Dalam mengontrol nyeri, perawat berperan dalam percaya
pada pasien, mengkaji nyeri, mengidentifikasi akar masalah, membuat rencana
asuhan keperawatan, menyediakan obat, mengevaluasi efektivitas pengobatan,
memberikan pengontrolan nyeri yang tepat. Menurut Mahfud (2011) dalam
mengontrol nyeri kanker, perawat harus mengetahui kebutuhan status psikologi
pasien, nyeri kanker, penanganan nyeri, efek yang menyebabkan nyeri tidak
terkontrol, dan budaya pasien.

2. Dispneu
Dispneu merupakan gambaran subjektif yang dirasakan oleh klien yang ditandai
dengan sulit untuk bernapas. Dispneu terjadi pada 50-70% klien yang berakhir
masa hidupnya (Black dan Hawks, 2014. Perawat melakukan pengkajian yang
meliputi data subjektif dan juga objektif serta mengidentifikasi penyebab dasar dari
dispneu tersebut. Data ini dapat membantu menetapkan intervensi yang tepat yang
akan dilakukan pada klien. Managemen dispneu yang dapat dilakukan perawat
adalah memberikan posisi yang nyaman bagi klien, serta berkolaborasi pemberian
medikasi seperti Opioid, agen antiansietas, bronkodilator, kortikostreoid, antibiotik
dan terapi oksigen.

3. Delirium
Delirium merupakan salah satu komplikasi yang umum terjadi dari penyakit pada
penyakit stadium lanjut seperti kanker serviks. Delirium bersifat reversible dan
dapat dikaji diawal dengan menggunakan pengkajian Mini Mental State
Examination (MMSE). Instrumen ini umum digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan kognitif seperti orientasi, perhatian, ingatan dan bahasa.

Seringkali sulit membedakan gejala delirium dengan depresi dan demensia. Disini
analisis perawat dibutuhkan untuk membedakan delirium dan dimensia agar
intervensi yang diberikan tepat. Ada tiga kriteria delirium menurut diagnostic and
statistical manual of mental disorder (DSM-IV-TR) dalam Black dan Hawks (2014)
yang pertama adalah gangguan pada tingkat kesadaran dengan penurunan
kemampuan untuk fokus, mempertahankan atau mengalihkan perhatian, yang
kedua adanya perubahan pada kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa) atau berkembangnya gangguan perceptual, dan yang terakhir
perkembangan gangguan pada periode singkat (hitungan jam hingga hari) dan
tendensi yang berfluktuasidari hari kehari. Kriteria ini dapat diidentifikasi perawat
pada klien, sehingga dapat menentukan intervemsi yang tepat.

Ada beberapa delirium bersifat reversible. Oleh karena itu pendekatan awal sangat
penting digunakan untuk mengidentifikasi penyebab yang reversible seperti
medikasi, hipoksia, dehidrasi dan penyebab metabolik (hipekalemia dan
hiponatremia, sepsis dan meningkatnya tekana intracranial akibat metastase
penyakit. Ketika penyebab reversible dapat di identifikasi kemungkinan dapat
mengurangi prognosis buruk dari delirium.

4. Depresi
Depresi merupakan hal yang umum terjadi pada pasien stadium lanjut, kan tetapi
hal ini kadang jarang diidentifikasi perawat karena sulit membedakan gejalanya
dengan penyakit terminal seperti turunnya berat badan, insomnia, anoreksi, dan
keletihan). Indikator manifestasi klinis dari depresi adalah perubahan suasana hati,
merasa tidak memiliki harapan, tidak berharga atau perasaan yang bertumpuk,
munculnya harapan-harapan kematian seprti ingin bunuh diri (Balak dan Hawks,
2014). Beberapa manifestasi ini dapat membantu perawat dalam mengidentifikasi
lebih mudah depresi klien, sehingga depresi dapat berkurang dan semangat hidup
klien dapat meningkat.

Depresi umum terjadi pada penyakit terminal, dan ini berkaitan dengan
neurotransmitter serotonin abnormal (5-hidroksikpriptamin) di SSP, selain itu asam
gama aminobutirat (GABA) dan norepineprin dapat dikaitkan dengan ansietas klien
(Black dan Hawks, 2014). Walaupun demikian, depresi harus tetap di tangani untuk
menjaga kenyamanan klien. Depresi dapat dikurangi dengan mengombinasikan
psikoterapi yang suportif, teknik kognitif-behavioral, dan manajemen farmakologis.
Disini perawat dapat berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain untuk memberi asuhan
terbaik pada klien. Perawat harus mengetahui efek dari obat-obatan farmakologi
yang memberikan edukasi kepada klien.

5. Keletihan dan kelemahan


Keletihan dan kelelahan dapat dikaitkan dengan keganasan yang sudah stadium
lanjut. Klien biasanya menggambarkan keletihan sebagai kelelahan, keletihan,
kelemahan, hilangnya energi, peningkatan keinginan untuk istirahat atau tidur,
hilangnya motivasi, hilangnya kapasitas untuk memperhatikan atau suasana hati
yang menggangu (Black dan Hawks, 2014). Hal ini merupakan pengalaman
subjektif klien yang harus dikaji perawat agar dapat diberikan intervensi yang tepat
karena keletihan dari klien bersifat reversibel. Perawat dapat mengkaji penyebab
keletihan klien seperti efek samping dari obat. Jika memungkinkan obat tersebut
dapat dikurangi dosisinya. Selanjutnya jika yang menyebabkan keletihan adalah
anemia, maka dapat kolaborasi dengan disiplin ilmu lain untuk transfuse darah.
Keletihan juga dapat disebabkan oleh kemoterapi yang dilakukan klien. Perawat
dapat memberikan intervensi untuk mengatasi keletihan seperti konseling, edukasi,
relaksasi, dan pijat.

6. Gangguan tidur
Tidur merupakan kebutuhan dasar setiap manusia baik sehat maupun sakit.
Kebutuhan ini sering terabaikan pada klien dengan penyakit terminal atau kanker
stadium lanjut, karena dianggap bagian sakit. Padahal tidur sangat penting bagi
klien karena berpengaruh pada fungsi penyembuhan dan proteksi tubuh klien dari
cedera dan infeksi jaringan. Ada beberapa faktor penyebab gangguan tidur yaitu
nyeri, mual dan muntah, gatal, masalah-masalah pernapasan, medikasi
(kortikosteroid, bronkodilator, antihipertensi), gangguan metabolic, faktor
psikologis (ansietas, dan depresi) dan delirium (Black dan Hawks, 2014). Perawat
dapat mengkaji gangguan tidur pada klien dengan mengevaluasi waktu tidur biasa
klien, ada atau tidak masa terbangun pada malam hari, waktu biasanya klien
terbangun malam hari, frekuensi dan lama tidur siang dan penyebab gangguan tidur
yang dapat didentifiksi klien.

Perawat dapat memberikan intervensi untuk mengurangi gangguan tidur klien


dengan berkolaborasi menghentikan obat-obatan penyeybab gangguan tidur jika
memungkinkan. Selain itu, strategi untuk mengurangi gangguan tidur juga dapat
dilakukan meliputi membuat jadwal tidur teratur, beraktivitas disiang hari, tidur
siang jika perlu saja, meminimalisasi gangguan dimalam hari, dan menghindari
stimulan (kafein dan nikotin) dimalam hari. dari berbagai strategi tersebut dapat
dilakukan kepada klien sesuai dengan toleransi klien.

7. Kaheksia
Kaheksia merupakan sindrom yang kompleks yang berhubungan dengan perubahan
metabolik, penyusutan lemak dan otot, kehilangan nafsu makan, dan kehilangan
berat badan secara tidak sengaja. Kaheksia sering dihubungkan dengan gejala mual
kronis dan konstipasi. Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa kaheksia
disebabkan karena bebarapa sitokinase, seperti alfa nekrosis tumor, interleukin,-1,
interleukin-6, dan interferon. Subtansi ini diperkirakan meningkatkan metabolisme
dan menggangu penyimpanan lemak, dan mengakibatkan hilangnya protein pada
otot (Black dan Hawks, 2014).

Kaheksia melebihi kelaparan, kaheksi tidak akan dapat kembali kekondisi semula
walaupun diberikan makanan yang cukup. Oleh karena itu intervensi yang tepat
diberikan oleh perawat kepada klien adalah makan sedikit tapi sering dengan
mengutamakan kenyamanan klien yakni dengan makanan yang klien suka tanpa
melihat nilai nutrisinya. Selain itu, melakukan perawatan mulut yang baik,
mempertahankan kondisi sekitar yang nyaman dan menyenangkan bagi klien
merupakan intervensi yang dapat mendukung kenyamanan klien.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Perawat sebelum melakukan pengkajian pada klien dengan kanker serviks, perawat
terlebih dahulu harus menciptakan trust atau percaya, setelah klien percaya dan
terbuka lalu perawat mengidentifikasi dan klasifikasi kebutuhan pasien, melakukan
prioritas permintaan, dan kemudian melakukan pendekatan interdisiplin dengan klien.

Keperawatan memandang manusia sebagai makhluk holistik yang meliputi biologis,


psikologis, sosial, spiritual. Hal tersebut menjadi prinsip dalam ilmu keperawatan
bahwa asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien harus memperhatikan
beberapa aspek tersebut. Klien yang dirawat di rumah sakit harus mendapat perhatian
penuh, perhatian bukan hanya pada aspek biologis semata, tetapi juga aspek-aspek
yang lain juga harus mendapat perhatian dengan serius. Salah satunya adalah aspek
spiritualitas, aspek ini harus diperhatikan penuh oleh perawat dalam merawat
pasiennya karena aspek tersebut merupakan salah satu kebutuhan penting bagi
seorang pasien (Asmadi, 2008). Untuk itu dalam pengkajian perawatan paliatif,
meliputi:
1. Pengkajian Biologis
a. Riwayat kesehatan
b. Riwayat keluarga
c. Keluhan yang terjadi pada klien, seperti: nyeri, perdarahan atau keputihan,
mual muntah
d. Pemeriksaan Head To Toe atau per sistem : khususnya sistem reproduksi
e. Mobilisasi
f. Seksualitas

1. Pengkajian Psikologis
a. Tingkat emosi: cemas, sedih, terkejut, penolakan (denial) dan menarik diri,
marah (anger), tawar menawar (bergaining), depresi (depression), menerima
(acceptance).

b. Pola koping
Normal: problem solving
Abnormal: agresif, pendiam, perilaku adiksi (kondisi ketergantungan fisik dan
mental), perasaan berdosa, hopelessness (keputusasaan), powerlessness
(ketidakberdayaan), psikosis. Contohnya: kebutuhan informasi, biasanya klien
ingin mengetahui secara detail, gambaran, dan sedikit informasi mengenai
penyakitnya. Tetapi ada juga klien yang tidak ingin mengetahui informasi
melainkan keluarga yang ingin mengetahuinya. Tingkat kebutuhan
pemeriksaan atau kontrol: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, atau bahkan
tidak ada atau juga ingin memutuskan.

3. Pengkajian Sosial
a. Isolasi sosial, kurang support sistem
b. Perubahan fungsi dan peran
c. Perubahan Body Image
d. Lifestyle
e. Kehilangan relasi
f. Masalah ekonomi
g. Perubahan pekerjaan
h. Caregiver role strain
i. Koping tidak efektif

4. Pengkajian Spiritual
a. Ilusi alam kematian
b. Khayalan ramalan atau kepastian
c. Harapan masa depan
d. Menemukan arti kehidupan
e. Kepercayaan atau keyakinan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan anemia
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan akibat
perkembangan sel kanker
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuha tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual dan muntah
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan sekunder akibat anemia
dan pemberian kemoterapi
6. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan diagnosa malignasi
ginekologis dan prognosis yang tidak menentu
7. Gangguan citra tubuh berhubungan perubahan fungsi tubuh (proses penyakit)
8. Resiko disfungsi seksual berhubungan dengan keganasan

C. Intervensi Keperawatan
1. Strategi untuk mencapai tujuan
2. Berdasarkan prioritas disesuaikan dengan kebutuhan dan rasa nyaman klien
3. Perawat sebagai fasilitator
4. Keputusan pada klien atau keluarga
5. Perencanaan sesuai dengan masalah yang terjadi
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi pada perawatan paliatif, yaitu:
1. Biologis (symptom atau gejala): nyeri, perdarahan atau flour albus, gangguan
eliminasi, mual atau muntah, luka baring.
2. Psikososial: mempersiapkan pasien dan keluarga yaitu dengan cara memberikan
informasi dengan tepat dan jujur, melakukan komunikasi terapeutik, jadilah
pendengar aktif, dan tunjukan rasa empati “I am here”, melakukan identifikasi
kualitas hidup klien, melakukan identifikasi caregivers, support systems, dan
coping mechanisms, dan mendokumentasikan permintaan dalam perencanaan
tindakan, selalu memberikan lingkungan yang nyaman, memfasilitasi kebutuhan
alat-alat, dan memastikan lokasi utama dirumah yang nyaman bagi pasien dan
keluarga.
3. Spiritual: memotivasi pasien untuk mencari arti dan tujuan hidup, memotivasi
pasien untuk menyadari dan memahami penyakit dan kematian, menawarkan
pasien atau keluarga untuk di rujuk ke ahli agama atau spiritual, pelerja sosial, dan
konselor, memberikan semangat agar pasien tidak putus asa dan selalu berharap.

E. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari tindakan keperawatan adalah
1. Mampu mengenali dan menangani anemia, pencegahan terhadap terjadinya
komplikasi perdarahan
2. Kebutuhan nutrisi dan kalori pasien tercukupi
3. Tidak ada tanda-tanda infeksi
4. Pasien bebas dari perdarahan dan hipoksia jaringan
5. Pasien mampu mempertahankan tingkat aktivitas yang optimal
6. Kekhawatiran menurun sampai dengan pada tingkat dapat diatas
7. Pasien dapat mengungkapkan dampak dari diagnosa kanker terhadap perannya dan
mendemonstrasikan kemampuan untuk menghadapi perubahan peran
8. Pasien dapat mengungkapkan perencanaan pengobatan tujuan dari pemberian terapi
BAB IV
PEMBAHASAN

Perawatan paliatif merupakan perawatan yang diberikan kepada klien yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup klien diakhir kehidupannya. Perawatan paliatif yang dapat
diberikan kepada klien adalah dengan mengurangi gejala yang muncul pada klien. Gejala
gejala dapat dikurangi dengan tindakan medis ataupun pengobatan farmakologi atau
nonfaramakologi oleh tenaga kesehatan. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang
memiliki waktu yang banyak bersinggungan dengan klien harus memberikan pelayanan
keperawatan yang optimal agar tujuan dari perawatan paliatif ini tercapai. Pelayanan
keperawatan yang diberikan berdasarkan masalah-masalah yang muncul pada pasien dengan
kanker serviks stadium akhir. Perawat membuat asuhan keperawatan sesuai diagnosa
keperawatan yang teleh ditetapkan berdasarkan identifikasi dan juga analisa data yang
diperoleh. Dari berbagai tanda dan gejala yang sudah dijelaskan, perawat memiliki peranan
dalam mengurangi gejala sesak napas, nyeri, gangguan tidur, ketidakseimbangan nutrisi
klien, dan juga keletihan yang dialami klien. Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain juga sangat
penting untuk memberikan perawatan terbaik kepada klien.
Dari beberapa gejala yang muncul, kelompok mengambil nyeri sebagai bahan yang
akan dibahas seperti skala nyeri, lokasi nyeri, penyebaran nyeri, lama nyeri, dan faktor
pencetus serta cara mengurangi nyeri dengan teknik relaksasi atau distraksi. Kemudian
perawat juga mengajarkan pasien atau keluarga dalam penggunaan analgetik.

Nyeri merupakan gejala yang paling umum dan selalu ada pada setiap perempuan
dengan kanker serviks. Nyeri muncul mulai dari klien sakit sampai nanti meninggal. Nyeri
juga merupakan fenomena multidimensional yang tidak hanya disebabkan oleh respon fisik
namun juga emosional, intelektual, perilaku, sensori, dan juga budaya pengalaman nyeri
(Black dan Hawks, 2016). Nada & Lukkahatai (2004) mepaparkan bahwa hampir 70% dari
18.000 klien dengan kanker meninggal tanpa penanganan nyeri yang tepat. Pada perawatan
paliatif penanganan nyeri merupakan hal yang paling utama agar klien dapat mengakhiri
hidupnya dengan nyaman. Dalam hal ini, nyeri merupakan hal yang harus diperhatikan dan
butuh obat untuk menguranginya (National Cancer research UK, 2014). Nyeri juga
merupakan salah satu faktor fisiologis tubuh yang dapat menyebabkan gangguan tidur seperti
insomnia. Insomnia merupakan kesulitan untuk memulai tidur berkaitan dengan masalah fisik
atau psikologis.
Berdasarkan landasan teori diatas, kelompok mencoba memberikan intervensi terkait
mengurangi rasa nyeri berdasarkan dengan terapi farmakologi dan terapi non farmakologi
yaitu teknik relaksasi, massage, kompres, terapi muasik, murrotal, distraksi, dan guided
imaginary.

Menurut Sriyani (2017) kombinasi teknik relaksasi guided imagery dengan kombinasi
aromaterapi lavender ini dilakukan dengan durasi 15 menit dan nafas dalam untuk membuat
pasien menghirup aromaterapi dan merasakan lebih rileks dan nyaman kemudian dilanjutkan
dengan memintapasien untuk berimajinasi sesuai dengan imajinasi yang menyenangkan dan
perawat akan membimbing proses latihan tersebut hingga selesai. Hal ini berarti tindakan
intervensi yang diberikan dapat menurunkan nyeri pada pasien ca serviks. Teknik relaksasi
guided imagery ini dirancang untuk menggantikan suatu perasaan yang negatif atau stress
dengan menciptakan suasana yang rileks dan santai dan menyenangkan ini.

Teknik relaksasi guided imagery ini dikombinasikan dengan aromaterapi lavender, dengan
melakukan teknik relaksasi dan guided imagery tubuh akan menjadi lebih rileks. Dari
perasaan
rileks ini akan diteruskan ke salah satu hormon yaitu hipotalamus dimana hipotalamus ini
merupakan hormon endokrin yang bertugas dari mengontrol dari kerja hormonal (Hotama
Rumahhorbo,1999), dimana hipotalamus ini akan menghasilkan corticotropin releasing
factor(CRF). Selanjut nya CRF ini akan merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan
proopioidmelano-cortin (POMC) sehingga produksi enkhepalin oleh medulla adrenal
meningkat. Dan kelenjar pituitary juga akan menghasilkan endophrin sebagai neurotransiter
yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks menurut (Guytom & Hall, 2007). Dimana
teknik relaksasi guided imagery dapat mennagani kejadian nyeri, deprsi,setres. Aromaterapi
lavender adalah suatu caraperawatan tubuh atau penyembuhan dan untuk meningkatkan
kesejateraanpsikologis dan memberikan ketenangan dan rileks (Cuncic, 2012).

Segala intervensi yang diberikan agar hasilnya optimal tidak terlepas dari kolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain, seperti pemberian terapi farmakologi. Dengan demikian,
diharapkan tujuan perawatan paliatif pada klien dapat berjalan sesuai harapan. Sehingga rasa
nyaman klien terpenuhi di akhir kehidupannya.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawatan paliatif berfokus memberikan pelayanan keperawatan yang
dibutuhkan klien di akhir masa kehidupannya. Masalah yang biasa muncul adalah
nyeri akut, mual atau muntah, kehilangan berat badan, napas pendek, ganguan nutrisi,
gangguan tidur, dan juga depresi atau stres. Perawatan paliatif yang diberikan untuk
mengurangi gejala-gejala tersebut tanpa memberikan kesembuhan sehingga
kenyamananan klien meningkat.

Fokus asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien dengan kanker serviks
pada stadium lanjut juga untuk mengurangi gejala. Intervensi teknik relaksasi guided
imagery dengan aromaterapi lavender untuk mengurangi rasa nyeri ini
keberhasilannya dapat diukur dari skala nyeri pasien. Selain itu, masalah lain seperti
mual dan muntah, perdarahan, gangguan eliminasi, dan luka tekan perlu diperhatikan
lagi. Berbagai macam intervensi dapat diberikan kepada klien dengan tujuan
meningkatkan kualitas hidup dan kenyamanan. Disamping itu, pelibatan keluarga
dalam setiap intervensi juga sangat penting,karena dukungan keluarga dapat
meningkatkan kualitas hidup klien.

B. Saran
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang sering kontak dengan klien sebaiknya
selalu mengaplikasikan perilaku caring disetiap asuhan keperawatan yang diberikan.
Dengan membiasakan berprilaku caring, akan secara otomatis membentuk karakter
perawat itu sendiri. Dengan demikian, perawatan pada klien dengan paliatif dapat
dilakukan dengan baik. Perawat yang memberi asuhan keperawatan paliatif harus
memiliki caring yang kuat, karena masalah-masalah yang muncul pada klien dengan
perawatan paliatif sama saja pada gejala klien pada umumnya, akan tetapi berat
ringannya gejala tersebut berbeda dengan klien lain. Disini dibutuhkan perawat yang
peka dan punya kemampuan untuk mengidentifikasi dan membantu meningkatkan
kualitas hidup klien.

DAFTAR PUSTAKA

American cancer society (2014) Cervical cancer. US: Author diunduh tanggal 25 Juni 2016
melalui http://www.cancer.org/cancer/cervicalcancer/detailed

American Cancer Society (2015) A guide to radiation therapy diunduh tangggal 23 Juli 2016
melalui http://www.cancer.org/cancer/guide/cervic-cancer-treating-Radiation

Anthem Media Group (2015) Causes of Cancer Related Insomnia : Los Angeles

Becker, R. (2009) Palliative care 1: principles of palliative care nursing and endof-life care.
Nursing Times; 105: 13

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Medical surgical nursing: Clinical management for
positive outcomes, 8th ed. Singapore: Elsevier.

Boardman, et al 2016. Cervical Cancer diunduh tanggal 24 Juni 2016 melalui


http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview#a4

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., Wagner, C.M. (Eds.). (2013). Nursing
interventions classification (NIC) (6th ed). St. Louis: Mosby Elsevier.
Cancer research UK, (2014). Cervical cancer stages diunduh tanggal 20 Juni 2016 dari
www.cancerresearchuk.org/about-cancer/type/cervicalcancer/treatment/cervical-cancer-
stages#oWu8quGPfIeZdMob.99

Centers for disease control and prevention (2016) Gynecologic Cancer : cervical
cancer diunduh tanggal 16 Juni 2016 dari http://www.cdc.gov/cancer/cervical/

Chen et al, 2014 Epidemiology of virus infection and human cancer : NCBI di unduh tanggal
13 Juni 2016 melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24008291

Departemen kesehatan RI (2016) Ayo berdayakan masyarakat peduli kanker dengan deteksi
dini diunduh tanggal 14 mei 2016 via
http://www.depkes.go.id/article/view/16022400002/ayo-berdayakanmasyarakat-peduli-
kanker-dengan-deteksi-dini.html

Jin, W (2010) Cervical Cancer Screening and Prevention diunduh melalui


http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/womens
health/cervical-cancer/

Rao, Carpenter,& Jackson (2015) Cervical cancer diunduh tanggal 21Mei 2016 melalui
http://www.cancervic.org.au/aboutcancer/cancer_types/cervical_cancer

Rao, Carpenter,& Jackson (2015) Cervical cancer diunduh tanggal 21Mei 2016 melalui
http://www.cancervic.org.au/aboutcancer/cancer_types/cervical_cancer

Vagi-Wave, (2012) Staging of cervical cancer diunduh tanggal 20 Mei 2016


melalui http://www.vagi-wave.co.uk/how-it-helps/cervical-cancer/

Anda mungkin juga menyukai