DISUSUN OLEH :
TAHUN AJARAN
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh
dosen saya dengan materi “SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
PALIATIF”
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................6
BAB IV PENUTUP............................................................................................................28
A. Kesimpulan..............................................................................................................28
B. Saran........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kanker sudah menjadi penyebab kematian kedua setelah
penyakit jantung. Kasusnya terus meningkat setiap'tahunnya. Menurut
World health Organization (WHO) tahun 2030 nanti secara global
penderita kanker meningkat sebesar 300% dan di Indonesia diperkirakan
penyakit kanker meningkat sebanyak tujuh kali lipat' Setiap tahun tidak
kurang dari 15.000 kasus kanker serviks terjadi di lndonnesia. Sementara
kanker payudara merupakan penyakit dengan kasus terbanyak kedua
setetah kanker serviks. Tahun 2004 sebanyak 5.207 kasus (Profil
Kesehatan lndonesia th 200s) Penyakit terminal tidak hanya terbatas pada
penyakit kanker tapi juga penyakit terminal lainnya seperti gagal ginjal,
HIV aids, lansia, parkinson dan sebagainya. Dengan semakin
meningkatnya kasus - kasus penyakit terminal tersebut diperlukan
palliative care yang dapat memperbaiki kualitas hidup penderitanya dan
agar mereka bisa menjalani kematian dengan damai ( Depkes, 2007).
Perawatan Paliatif adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang terkait dengan
penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan penderitaan
melalui identifikasi awal, pengkajian secara menyeluruh dan pengobatan
nyeri serta masalah fisik, psikososial, dan spiritual (WHO, 2002).
Perawatan palitif dilakukan oleh tim multidisiplin yang melibatkan banyak
tenaga kesehatan untuk tujuan yang sama (Aitken, 2009).
Pelayanan paliatif yang diberikan oleh perawat akan memiliki kualitas
yang baik apabila asuhan keperawatan yang diberikan dapat memenuhi
kebutuhan pasien. Pelayanan tersebut dapat dicapai dengan
memperhatikan pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh perawat.
Pendidikan dan pelatihan tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi
persepsi (Efendi dan Makhfudli, 2009).
4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian perawatan paliatif?
2. Bagaimana palsafah keperawatan paliatif?
3. Bagaimana sejarah keperawatan paliatif di Dunia?
4. Bagaimana sejarah keperawatan paliatif di asia tenggara?
5. Bagaimana sejarah Perkembangan keperawatan paliatif di Indonesia?
6. Bagaimana prinsip keperawatan paliatif?
7. Bagaimana tujuan keperawatan paliatif ?
8. Bagaimana standar praktik keperawatan paliatif?
9. Bagaiman kompetensi perawat diarea perawatan paliatif?
10. Bagaimana perawatan hospice?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari perawatan paliatif
2. Untuk mengetahui palsafah keperawatan paliatif
3. Untuk mengetahui sejarah keperawatan paliatif di Dunia
4. Untuk mengetahui sejarah keperawatan paliatif di asia tenggara
5. Untuk mengetahui sejarah perkembangan keperawatan paliatif di
Indonesia
6. Untuk mengetahui prinsip keperawatan paliatif
7. Untuk mengetahui tujuan keperawatan paliatif
8. Untuk mengetahui standar praktik keperawatan paliatif
9. Untuk mengetahui kompetensi perawat diarea perawatan paliatif
10. Untuk mengetahui perawatan hospice.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
sekarat, atau ketika keluarga ingin beristirahat sejenak dari rutinitas
mengurus anggota keluarganya.
Selain itu, supportive care juga sering di gunakan sebagai kata
alternative untuk menggantikan kata perawatan paliatif. Istilah tersebut
awal digunakan untuk menjelaskan kondisi penanganan pasien dengan
efek samping yang berat akibat proses terapi, terutama proses terapi
penyakit kanker. Dimana efek samping yang dapat ditimbulkan akibat
proses terapi penyakit kanker tersebut dapat berupa anemia,
trombositopenia, dan neutropenic septicaemia. Namun saat ini, istilah
supportive care digunakan lebih luas lagi, termasuk untuk rehabilitasi dan
dukungan psikososial. Jadi supportive care memiliki makna yang serupa
dengan perawatan paliatif dalam arti yang lebih luas dan umum.
7
Melayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan
petugas kesehatan serta keluarga pasien.
Berfokus pada proses penyembuhan bukan pada pengobatan.
I love you
Forgive me
Thank you
Good-bye
8
tahun menjadi direktur medisnya. Melalui ceramah dan tulisannya, ia
menyebarkan gagasan hospitium ini juga ke luar negeri.
Namun, konsep “hospitium” terutama mengalami sukses, karena di
banyak tempat ternyata sangat dibutuhkan. Kinik hospice atau “hospitium”
dimengerti sebagai tempat yang menampung pasien terminal yang tidak
mungkin sembuh lagi. Kebanyakan adalah pasien kanker, tapi ada juga
pasien multiple sclerosis atau penyakit kronis lainnya. Tidak ada gunanya
mereka lebih lama dirawat di rumah sakit, sebab tidak tersedia terapi lagi
yang dapat mengobati mereka. Dan rumah sakit pada hakikattnya
mempunyai tujuan demikian. Hospitium melihat kemungkinan untuk
membuat sesuatu lagi jika pasien kehilangan harapan akan sembuh.
Walaupun tidak ada cure (pengobatan) lagi yang dapat menolong, mereka
tetap harus diberikan care (perawatan atau asuhan) sebaik-baiknya. Karena
itu, dalam hospitium tidak digunakan alat-alat canggih yang
memperpanjang kehidupan secara artifisial, seperti respirator. Tidak
diusahakan lagi terapi terbaru seperti obat terbaru ( yang biasanya sangat
mahal). Seluruh usahanya terarah pada tujuan supaya pasien terminal tetap
dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan baik dan
tenang. Tindakan medis dibatasi pada menghilangkan nyeri.
Dengan perawatan menurut sistem hospitium ini Cicely Saunders
sekaligus meletakkan dasar untuk asuhan paliatif ( palliative care ). Berkat
usahanya, kedokteran paliatif menjadi suatu spesialisasi medis yang untuk
pertama kali berkembang di Inggris. Sekarang hampir semua rumah sakit
di sana memiliki suatu bagian paliatif. Unsur yang paling penting dalam
kedokteran paliatif adalah penatalaksanaan nyeri ( pain control ). Hal itu
juga harus di tangani secara profesional, sama seperti bagian-bagian
kedokteran lainnya. Tidak boleh terjadi pasien terminal menderita nyeri
berlebihan.
Dari semula, Cicely Saunders mengerti bahwa perawatan dalam
hospitium bukan merupakan suatu urusan medis saja. Asuhan paliatif
harus holistik. Selain aspek medis, aspek-aspek psikologis dan spiritual
tidak kalah penting bagi pasien yang sudah sampai akhir kehidupannya.
9
Karena itu, hospitium sering dikunjungi oleh rohaniwan dari agama
pasiuen bersangkutan. Di samping iti hospitium didukung juga oleh
banyak relawan yang menyediakan waktu untuk mengobrol dengan pasien
yang merasa kesepian atau membantu dengan seribu satu cara lain lagi.
Menurut konsepsi Cicely Saunders dan rekan-rekannya, dalam
hospitium para pasien terminal harus merasa seperti di rumah sendiri.
Keluarga boleh menengok setiap saat dan kegemaran pasien sedapat
mungkin dilayani. Jika pasien ingin melihat anjing kesayangannya,
misalnya, hal itu pasti diizinkan. Karena suasana ini, hospitium kadan-
kadang disebut Almost Home House. Lama-kelamaan dr. Saunders
mengerti bahwa cita-cita ini dapat dipenuhi dengan lebih sempurna lagi
jika pasien benar-benar bisa meninggal di tengah keluarga dirumahnya
sendiri. Karena itu, gerakan hospitium semakin mulai memperhatikan
pasien yang ingin meninggal di rumah. Dengan demikian, hospitium kini
terutama berfungsi sebagai pusat pelayanan bagi tenaga profesional
( dokter dan perawat) serta relawan yang mendukung dan membantu
perawatan pasien terminal di rumah masing-masing.
Hospitium sebenarnya sudah mempunyai tradisi panjang yang berasal
dari abad pertengahan dan dipahami khusus dalam konteks keagamaan.
Pada abad pertengahan, di Eropa, hospitium ( dari bahasa latin hospes =
tamu) adalah tempat menampung peziarah atau orang sakit. ( Karena asa-
usul ini dalam bahasa indonesia kita sebaiknya mempertahankan kata
aslinya, hospitium.) Dalam agama Kristen ada kepercayaan bahwa orang
yang menerima orang asing atau sakit berarti menerima Yesus Kristus
sendiri( bandingkan Mateus 25). Dalam zaman modern, biarawati Katolik
sisters of Charity mendirikan Our Ladys Hospice for the Dying di Dublin,
Irlandia, pada 1879. Birawati yang sama mendirikan lagi Saint Joseph’s
Hospice di East End, London pada 1905. Dokter Cicely Saunders yang
menjadi anggota setia gereja Anglikan selama 7 tahun bekerja di Saint
Joseph’s Hospice itu. Dan pengalamannya yang pertama dengan kondisi
pasien terminal yang sudah mendekati ajalnya berasal dari sana.
Hospitium yang di kelola oleh sisters of charity itu mempunyai tujuan
10
karitatif. Mereka terutama merawat pasien terminal dari keluarga kurang
mampu, yang tidak mendapat tempat di rumah sakit. Dokter Cicely
Saunders mengerti bahwa kebanyakan pasien terminal membutuhkan
perawatan khusus itu, karena pelayanan di rumah sakit tidak cocok untuk
mereka.
Ia mengerti juga bahwa perawatan pada akhir kehidupan itu harus
dijalankan dengan profesionalisme khusus. Karena itu, Saunders, yang
memulai kariernya sebagai perawat, kemudian merasa perlu menempuh
lagi studi kedokteran. Pada usia 34 tahun ia masuk fakultas kedokteran dan
dari permulaan studinya memperhatikan secara khusus perawatan pasien
terminal. Dengan demikian, ia bisa menjadi ahli kedokteran paliatif,
meskpun spesialisasi resmi ini pada waktu itu belum ada.
Jasa besar dr. Saunders itu berulang kali diakui dengan penghargaan
yang diperolehnya dari dalam dan luar negeri. Ratu inggris mengangkat
dia dalam order of merit yang sangat bergengsi di sana, sehingga
seterusnya ia berhak memakai gelar Dame. Seorang kolumnis harian the
guardian menulis tentang dia: she has changed the face of death for
millions of peopple (ia telah mengubah wajah kematian untuk jutaan
orang). Tidak ada data-data lengkap tentang program hospitium di seluruh
dunia. Sebuah survei dari 1995 menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya
di 31 negara ada hospitium. Indonesia tidak disebut pada daftar itu,
sedangakan negara tetangga seperti malaysia dan singapura ada. Namun,
di Indonesia kadang-kadang juga kita dengar tentang rumah sakit yang
menyediakan pelayanan hospitium bagi pasien terminal yang dirawat di
rumah. Kita berharap saja agar upaya ini akan ditingkatkan terus. Sebab,
asuhan paliatif harus menjadi sebagian dari setiap sistem pelayanan
kesehatan yang bermutu. Dan hospitium sudah terbukti merupakan salah
satu sarana terbaik untuk mewujudkan tujuan itu.
D. Sejarah Keperawatan Paliatif Di Asia Tenggara
Sebelum pelayanan hospis dan perawatan paliatif tersedia di Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand, pelayanan tersebut telah dimulai di
Negara asia timur dan oceania.
11
Di Malaysia setidaknya sekitar 90 organisasi yang telah menyediakan
pelayanan perawtan paliatif. dimana sekitar 33 pelayanan perawatan
paliatif merupakan layanan yang di sediakan oleh lembaga swadaya
nonpemerintah, 20 layanan merupakan program perawatan paliatif di
rumah dan selebihnya di sediakan oleh lembaga pemerintah. Sekitar 20
rumah sakit milik pemerintah telah membuka layanan perawatan paliatif
rawat inap dengan jumlah tempat tidur yang tersedia sekitar 6-12 tempat
tidur pada setiap rumah sakit tersebut. Hingga tahun 2001, sekitar 48
rumah sakit milik pemerintah membentuk tim perawatan paliatif dan
menyediakan layanan perawatan paliatif rawat inap dengan kapasitas
tempat tidur sekitar 2 sampai 4. Selain itu, beberapa organisasi juga
membentuk layanan hospis khusus untuk penderita HIV/AIDS. pelayanan
perawatan paliatif di Malaysia dimulai pada tahun 1990an, sekitar 1992.
namun dengan dukungan dari pemerintah sehingga sehingga dalam sau
decade beberapa rumah sakit telah menyediakan layanan perawatan
paliatif rawat inap. Pada tahun 2006, paliatif 10 medicine telah dinyatakan
sebagai spesialisasi dalam bidang kedokteran oleh kementerian kesehatan
Malaysia.
Saat ini, sekitar 13 organissi yang menyediakan 40 layanan perawatan
paliatif dan hospis, kebayakan dari layanan tersebut merupakan layanan
rawat inap. Sekitar 8 dari organisasi tersebut merupakan lembaga
pemerintah berupa rumah sakit rujukan dan pusat layanan kanker. Satu
rumah sakit swastan dan 2 lainnya merupakan institusi milik lembaga
keagamaan. perkembangan awal perawatn paliatif di Thailand telah
dimulai sejak tahun 1980an, dimana saat itu fokus utama layanan adalah
penanganan nyeri dan mayoritas tenaga professional saat itu adalah ahi
anaestesi. Lalu pada tahun 1990an pemerintah menyediakan fasilitas untuk
pengembangan dan pelayanan paliatif serta di bentuknya grup komunitas
untuk membantu mendukung program tersebut. dimana pada saat itu
kebutuhan akan layanan perawatan paliatif menjadi urgen akibat
menigkatnya kasus HIV/AIDS. Selain itu salah satu organisasi yang
berbasis keagamaan juga menyediakan layanan hospis di Pura Wat Phrabat
12
Nampu dengan kapasitas 400 tempat tidur. Layanan tersebut merupakan
layanan rawat inap yang didukung oleh tenaga kesehatan profesional, dan
fokus layanan pada pasien dengan HIV/AIDS baik dewasa maupun anak-
anak.
Di Filipina sekitar 34 organisasi yang menyediakan 108 layanan
perawatan paliatif dan hospis. Gerakan pelayanan perawatan paliatif dan
hospis dimulai pada tahuan 1980an, dan layanan tersebut semakin
berkembang saat program manajemen nyeri menjadi bagian integral dari
program layanan dan pengontrolan penyakit kanker yang di tetapkan oleh
pemerintah pada tahun 1990 sehingga morpin tersedia di berbagai rumah
sakit yang terakreditasi. Setahun kemudian Perhimpunan Kanker Filipina
mendirikan program rumah perawatan dan memberikan dukungan
terhadap grup atau kelompok yang tertarik dalam perawatan paliatif.
Selain itu, perawatan paliatif dan hospis telah diajarkan sebagai bagian
dari kedokteran keluarga di tingkat universitas. Pada tahun 1998 sekitar 30
organisasi perawatn paliatif dan hospis yang menyediakan layanan pada
pasien kanker dengan kondisi terminal dan menjelang ajal. dimana layanan
tersebut didukung oleh tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, perawat
dan pekerja social medic.
Pelayanan perawatan paliatif dan hospis dimulai sejak tahun 1986
dimana rumah hospis St Joseph menyediakan 16 tempat tidur. Rumah
hospis tersebut awalnya di peruntukkan untuk pasien lanjut usia yang
dikelola oleh para biarawati katolik sekte kanosian. Pada tahun 1987
terbentuk grup relawan yang dikenal dengan nama “Hospice Care group”
yang menyediakan layanan hospis di bawah pengelolaan himpunan kanker
Singapura. Pada tahun 1988 Rumah Asisi merupakan rumah hospis
didirikan dengan kapasitas 50 tempat tidur, hospis tersebut melayani
pasien dengan penyakit kronis dan 12 tempat tidur di antaranya di
peruntukkan pada pasien kondisi terminal dan menjelang ajal.
Saat ini layanan perawatan paliatif dan hospis tersedia di berbagai
fasilitas seperti perawatan rumah hospis, rumah hospis rawat inap, rumah
hospis day care, perawatan paliatif di rumah sakit. awal pelayanan
13
perawatan paliatif berupa layanan swadaya oleh beberapa relawan yang
kemudian berkembangan menjadi layanan professional. lebih lanjut,
pendidikan mengenai perawatan paliatif telah dimulai sejak tahun 1987, 12
dimana saat itu kegiatannya diadakan dalam bentuk kursus untuk dokter
dan perawat.
14
minimnya pendidikan dan pelatihan tentang perawatan paliatif untuk
tenaga kesehatan, dan juga jumlah tenaga kesehatan yang belajar secara
formal mengenai perawatan paliatif juga masih sangat sedikit. Karena saat
ini, pendidikan untuk level pascasarjana di bidang perawatan paliatif
hanya tersedia di universitas di Negara maju seperti Australia, Amerika
serika, Inggris.
15
yaitu Puskesmas Balongsari Surabaya. setahun kemudian pihak puskesmas
mengadakan pelatihan perawatan paliatif untuk relawan dengan
mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Surabaya.
16
Darmayudha, SpPD(HOM), dr. Mustika Ningsih, dr. Ine Susanti
dan dra. Ni Made Suastini. Staff yang bekerja di YKI Bali sebanyak
5 orang yang terdiri dari 1 bidan, 3 orang staf dan 1 tenaga bersih-
bersih. Biaya administrasi yang dikenakan sebesar sepulur ribu
rupiah untuk satu hari. YKI Bali memiliki empat kamar tidur,
dimana setiap kamarnya berisi 2 tempat tidur untuk pasien dan
penunggunya. Kamar mandi dan dapur berada di luar kamar.
Tidak ada syarat khusus bagi pasien yang ingin memanfaatkan
rumah singgah ini, namun diutamakan pasien yang tidak memiliki
domisili ataupun keluarga di daerah; masih bisa beraktivitas,
diutamakan bagi pasien kanker yang sedang menjalani terapi
kemoterapi. Denpasar. Kebanyakan dari pasien selama ini yang
menggunakan rumah singgah berasal dari daerah Lombok dan
Flores. Sebagian besar pasien perempuan yang mengalami kanker
payudara, kanker leher rahim dan ada yang mengalami kanker
mulut
17
oleh profesional kesehatan yang berkualifikasi, pengawasan dan
dukungan untuk sukarelawan, pemberian perawatan yang tepat dan
berkualitas, dan pemeliharan rasa percaya yang tepat serta batasan
profesional dan hubungan dengan pasien dan keluarga.
4. Rencana perawatan oleh tim antar disiplin
Standar penerapan prinsip ini meliputi rencana perawatan
komprehensif tertulis yang disusun untuk masing-masing
pasien/keluarga oleh dokter penanggung jawab, dokter hospice, dan
tim antar disiplin.
5. Lingkup layanan hospice
Standar penerapan prinsip ini meliputi adanya direktur medis
hospice yang cerdas, termasuk dokter yang menanggungjawab,
layanan keperawatan terdaftar (registered nursing, RN) yang berdasar
pada pengkajian perawatan, layanan asisten keperawatan yang
berdasar pada pengkajian dan pengawasan keperawatan terdaftar,
layanan kerja sosial yang berdasar pada pengkajian pekerja sosial,
layanan konseling, layanan asuhan spritual, layanan sukarela,
konseling nutrisi, layanan radiologi, dan layanan kehilangan.
6. Koordinasi dan kontinuitas keperawatan
Standar penerapan prinsip ini adalah mengkaji kebutuhan
pasien/keluarga dan mengkoordinasikan kontinuitas perawatan, serta
memastikan bahwa perawatan tersebut tersedia 24 sehari, 7 hari
seminggu.
7. Utilisasi Review
Standar penerapan prinsip ini berfokus pada pemantauan teratur
dan evaluasi layanan.
8. Catatan layanan hospice
Standar penerapan prinsip ini berfokus pada mempertahankan
catatan yang komplit dan akurat.
9. Badan pengatur
Standar penerapan prinsip ini meliputi badan pengatur yang
menetapkan misi dan isu program lain, memastikan perencanaan dan
18
penatalaksanaan yang efektif, memastikan kepatuhan terhadap sarat
hukum dan pengaturan, serta mengkaji kinerja organisasi itu sendiri.
10. Manejemen dan administrasi
Standar penerapan prinsip ini meliputi administrator bertanggung
jawab melakukan tindakan operasional harian, memastikan bahwa
kebijakan personal bersifat komprehensif, memeriksa data finansial,
melibatkan klien dan keluarga dalam berbagai aktivitas hospice, dan
menggambarkan program secara objektif kepada masyarakat.
11. Pengkajian dan perbaikan kualitas
Standar penerapan prinsipa ini berfokus pada pengkajian dan
perbaikan seluruh aspek program tersebut.
19
membuat keputusan, dan menyiapkan kesempatan pengembangan
pribadi. Dengan demikian, perawatan paliatif dapat diberikan
bersamaan dengan perawatan yang memperpanjang/
mempertahnkan kehidupan atau sebagai fokus perawatan.
20
Pendidikan: perawat hospice mendapat dan terus mengikuti
pengetahuan terbaru dalam raktik keperawatan hospice.
Kolegialitas: perawat hospice berperan dalam perkembangan
profesional rekan sejawat, kolega, dan profesional lainnya.
Etik: keputusan dan tindakan perawat hospice atas nama pasien
dan keluarga ditetapkan dengan cara yang etis.
Kolaborasi: perawat hospice berkolaborasi dengan pasien dan
keluarga, anggota tim antardisiplin yang lain, dan pemberi
perawatan kesehatan lain dalam memberi perawatan pasien dan
keluarga.
Penelitian: perawat hospice menggunakan hasil temuan riset
dalam praktik.
Sumber pemanfaatan: perawat hospice mempertimbangkan
faktor-faktor yang berhubungan dengan keamanan, efektivitas,
dan biaya saat merencanakan dan memberi asuhan pada pasien
dan keluarga.
21
pasien membutuhkannya, atau menjadi pendengar yang baik saat
pasien mengungkap keluhannya tanpa memberikan penilaian atau
stigma yang bersifat individual.
Komunikasi menjadi keterampilan yang sangat dasar pada
perawat paliatif, dimana 18 dengan keterampilan tersebut perawat
akan mampu menggali lebih dalam mengenai perasaan pasien,
keluhan pasien tentang apa yang dirasakannya. Selain itu dengan
keterampilan berkomunikasi tersebut maka perawat dapat
mengidentifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasien, kapan saja, atau
bahkan di saat pasien mengajukan pertanyaan yang rumit seperti
tentang kehidupan dan kematian. Kemampuan berkomunikasi juga
akan membantu membangun kepercayaan diri perawat, tahu kapan
mengatakan tidak terhadap pasien, dan dengan komunikasi yang
disertai dengan sentuhan, maka hal tersebut dapat menjadi terapi bagi
pasien. Untuk lebih detail, keterampilan komunikasi serta model
komukasi di area perawatan paliatif akan di jelaskan pada bab 4.
prinsip komunikasi dalam perawatan paliatif.
2. Keterampilan Psikososial
Untuk dapat bekerja sama dengan keluarga pasien dan
mengantisipasi kebutuhannya selama proses perawatan pasien, maka
pelibatan keluarga dalam setiap kegiatan akan dapat membantu dan
mendukung keluarga untuk mandiri. Elemen psikososial merupakan
bagian dari proses perawatan yang biasanya di delegasikan ke
pekerja social medic. karena pekerja social medic memiliki wawasan
dan akses yang lebih luas ke berbagai macam organisasi atau instansi
yang dapat diajak bekerja sama untuk memberikan dukungan kepada
pasien. karena mengingat peran perawat dalam tim paliatif begitu
banyak sehingga tidak memungkin untuk melakukannya. Akan tetapi
bila, dalam tim interprofesional tidak ada tenaga pekerja social
medic, maka perawatlah yang akan melakukannya. Membangun rasa
percaya dan percaya diri selama berinteraksi dengan pasien dan
dengan menggunakan diri sendiri sebagai bentuk terapeutik melalui
22
proses komunikasi terapeutik maka hal tersebut merupakan inti dari
pendekatan psikososial dalam perawatan paliatif.
3. Keterampilan Bekerja Tim
Bekerja bersama dalam tim sebagai bagian dari tim
interprofesional merupakan hal yang sangat vital untuk dapat
melakukan praktik atau intervensi yang baik terhadap pasien.
Mengingat layanan perawatan paliatif saat ini tidak hanya tersedia di
fasilitas rumah sakit, namun juga tersedia di rumah hospis, rumah
perawatan maupun di rumah pasien. Seiring dengan meningkat peran
perawata di area paliatif sehingga keterampilan untuk dapat bekerja
dalam tim menjadi suatu keharusan dan keniscayaan. Keterampilan
dalam perawatan fisik untuk area ini, perawat di tuntut memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk dapat melakukan
asuhan keperawatan secara langsung pasien dalam kondisi apapun
dan kapanpun, sehingga perawat dapat bertindak dan mengambil
keputusan yang tepat sesuai kondisi pasien. Pengkajian nyeri secara
akurat dan holistic dengan menggunakan berbagai macam bentuk
metode menjadi hal yang dasar. Pemilihan metode yang tepat untuk
mengkaji pasien seperti nyeri, menjadi hal yang penting, mengingat
kondisi pasien yang kadang berubah dan tidak memungkin merespon
beberapa pertanyaan yang di ajukan. Sehingga keterampilan
observasi dan kemampuan intuisi perawat yang dapat digunakan
untuk mengenali tanda atau gejala yang mana boleh jadi pasien tidak
dapat atau mampu untuk melaporkannya. Dengan pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki perawat maka perawat dapat memberikan
masukan kepada anggota tim untuk tidak 20 lebih fokus pada
pemberian obat-obatan berdasarkan perkembangan kondisi pasien.
4. Keterampilan Intrapersonal
Salah satu area yang menjadi komponen kunci untuk dapat
bekerja dengan baik dan sukses dalam area perawatan paliatif adalah
keterampila intrapersonal. karena kematangan secara pribadi dan
professional akan dapat membantu perawat dalam mengatasi
23
masalah yang terkait dengan isu intrapersonal yang bersifat intrinsic
terutama saat melayani atau melakukan asuhan keperawatan pasien
yang menjelang ajal dan keluarganya. perawat harus dapat mengenali
dan memahami reaksi dan perasaan pasien yang merupakan
konsekuensi alamiah dari bekerja dengan pasien sekarat atau
keluarga yang mengalami kedukaan, sehingga perawat mampu
menentukan sikap dan menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi
yang sarat dengan emosi dan perasaan sensitive. Jika dibandingkan
dengan keterampilan kompetensi lainnya, maka keterampilan
intrapersonal merupakan hal yang sangat menantang. Dan hal ini
juga memiliki andil yang besar untuk membantu membangun
keribadian yang lebih baik. Akan tetapi, kondisi tersebut juga
mambawa perawat dalam posisi dilematis, karena terkadang perawat
terlalu terbawa emosi dengan perasaan yang di alami pasien.
J. Perawatan Hospice
Perawatan hospis atau Hospice care adalah perawatan pasien terminal
(stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan
lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak
nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-spiritual.
Perawatan Hospis adalah model perawatan paliatif bagi pasien yang
diperkirakan akan meninggal dalam waktu kurang dari 6 bulan. Bila
hospis dilakukan di rumah sakit dengan model layanannya sesuai prinsip
paliatif disebut Hospital-based Hospice. Hospis dapat dilakukan di suatu
bangunan tersendiri, dengan memberikan suasana rumah dan prinsip
paliatif (Yennurajalingam and Bruera, 2016). Perawatan paliatif dan
hospis memberi manfaat bukan hanya bagi pasien dan keluarga tetapi juga
bagi rumah sakit dan sistem kesehatan secara keseluruhan.
Rumah sakit adalah institusi tempat pasien yang tidak dapat ditangani
di layanan kesehatan primer bisa mendapatkan tindakan yang diperlukan
dan mencapai kesembuhan atau diharapkan memiliki harapan hidup yang
baik. Rumah sakit memiliki jumlah kapasitas tempat tidur terbatas, jika
24
pasien stadium terminal masih dirawat di rumah sakit, sementara pasien
yang memerlukan tindakan di rumah sakit tidak akan mendapat tempat
atau harus mengantri lama. Tempat tidur rumah sakit menjadi tidak efektif,
angka kematian di rumah sakit tinggi dan pendapatan rumah sakit lebih
rendah karena kehilangan kesempatan melakukan tindakan kuratif bagi
pasien yang memerlukan (Lilley et al., 2016). Pasien yang dirujuk oleh
layanan kesehatan primer seyogianya dikembalikan bila pasien menuju ke
stadium terminal. Bila sistem rujukan ini berjalan, efektivitas dapat
tercapai. Tenaga profesional di rumah sakit dapat secara efisien
menggunakan tenaganya bagi pasien yang memerlukan tindakan di rumah
sakit, dan tenaga layanan primer memberikan layanan paliatif di rumah.
Biaya perawatan baik yang dikeluarkan pemerintah maupun asuransi
swasta dapat lebih efisien. Waktu, tenaga, dan keuangan keluarga juga
dapat diringankan dengan adanya hospis (Witjaksono, 2013). Ruland dan
Moore mengusulkan tentang “Peacefull End Of Life” dimana diterapkan
tentang 5 prinsip yaitu:
Bebas dari rasa nyeri
Mengalami kenyamanan
Merasa tetap terhormat dan sejahtera
Merasa tetap damai meskipun dalam keadaan sakit dan
Tetap merasa dekat kepada orang lain dan mereka yang peduli
(Ruland and Moore, 1998).
Kelima hal tersebut dapat diterapkan dalam perawatan hospis
khususnya bagi mereka yang mendekati akhir kehidupan (EOLC: End Of
Life Care) seperti dengan mendirikan program hospice care. Prinsip
tentang hospice care yaitu memberikan perawatan suportif kepada
orangorang ditahap akhir penyakit terminal dan fokus pada kenyamanan
dan kualitas hidup, bukan pada penyembuhan. Di Indonesia
penatalaksanaan hospice care masih belum terfokus, karena masih banyak
dikaitkan bahwa antara palliative care, hospice care dan homecare adalah
sama dan masih belum adanya rumah sakit di Indonesia yang
25
menyediakan program perawatan hospice care yang dilakukan di Rumah
Sakit (Ngakili and Mulyanto, 2016).
Studi yang dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta mengatakan bahwa
Hospice care penting dilaksanakan karena hospice care dapat memberikan
pelayanan terpadu untuk pasien kanker stadium terminal sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien dan dapat memberikan pengertian
kepada keluarga pasien untuk menerima proses dari kehidupan pasien”,
maka keberadaan hospice care untuk pasien kanker stadium terminal
sangat dibutuhkan (Ngakili and Mulyanto, 2016). Seperti halnya dengan
perawatan paliatif, perawatan hospis juga tidak hanya dilakukan di rumah
sakit. Perawatan hospis dan home care diberikan oleh tim multi disiplin
kesehatan dimana seorang perawat menjadi koordinatornya.
Rumah adalah tempat yang paling banyak dipilih oleh pasien bila
mereka mengetahui bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan.
Perawatan di rumah bagi pasien stadium terminal ini disebut Hospice
Homecare. Hospice home care merupakan pelayanan/perawatan pasien
kanker terminal (stadium akhir) yang dilakukan di rumah pasien setelah
dirawat di rumah sakit dan kembali kerumah.
Namun demikian, perawatan stadium terminal tidak dapat dilakukan
di rumah pasien bila gejala fisik berat dan memerlukan pengawasan medis
atau paramedis (fase tidak stabil dan perburukan) untuk mencapai
kenyamanan di akhir kehidupan (fase menjelang ajal) (Ruland and Moore,
1998). Adapun tujuan utama dari pelayanan hospice home care pada
pasien, diantaranya:
Meringankan pasien dari penderitaannya, baik fisik (misalnya rasa
nyeri, mual, muntah, dll), maupun psikis (sedih, marah, khawatir,
dll) yang berhubungan dengan penyakitnya.
Memberikan dukungan moril, spiritual maupun pelatihan praktis
dalam hal perawatan pasien bagi keluarga pasien dan perawat.
Memberikan dukungan moril bagi keluarga pasien selama masa duka
cita.
26
Perawatan di hospis atau home care bertujuan untuk mempertahankan
konsep paripurna dan individualistik meliputi perawatan fisiologis,
psikologis, sosial, kultural, dan spiritual. Jenis pelayanan ini diharapkan
dapat mempertahankan pola hidup klien sebelumnya sehingga dapat
mempertahankan kondisi kualitas hidup klien sesuai dengan harapannya.
Pengukuran kualitas hidup diukur berdasarkan kepuasan klien terhadap
domain kehidupan meliputi fisik, fungsional, sosial, spiritual, psikologis,
dan ekonomi (Witjaksono, 2013).
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan hospice (paliatif) adalah pemberian dukungan dan
perawatan bagi individu yang berada pada stadium akhir penyakit yang
tidak dapat disembuhkan sehingga mereka dapat hidup sebaik dan
senyaman mungkin. Hospice menganggap menjelang ajal sebagai bagian
dari proses normal kehidupan dan berfokus untuk mempertahankan
kualitas sisa hidup. Hospice menyokong kehidupan dan tidak
mempercepat atau memperlambat kematian. Hospice hadir dengan
harapan dan keyakinan bahwa melaluiperawatan yang tepat dan peningkan
suatu komunitas peduli yang peka terhadap kebutuhan mereka, pasien dan
keluarganya dapat bebas mencapai tingkat persiapan mental serta spiritual
yang memuaskan mereka.
Jadi Filosofi hospice dapat disimpulkan menjadi suatu dedikasi
terhadap kenyamanan, martabat, otonomi, kualitas kehidupan dan
pemberdayaan klien dan keluarga.
B. Saran
Disarankan kepada perawat untuk dapat memahami dan
mengaplikasikan materi ini terutama dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan Paliatif pada pasien. Terminal. Berdasarkan tujuan dan
prinsip yang didapat, dengan demikian dapat memberikan jalan keluar
yang terbaik bagi pasien. Dengan sendirinya sebagai perawat .
28
DAFTAR PUSTAKA
Ni Ketut Putri Ariani. 2018. Rumah Singgah dalam Perawatan Paliatif (Pdf),
29