Oleh :
Preseptor :
dr. Irwandi, Sp.PD
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul "HIV ( human imunodeficiency virus) dan Infeksi Oportunistik".
Penyusunan laporan kasus ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan
tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat
dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Irwandi, Sp.PD atas arahan dan bimbingannya dalam
penyusunan referat ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan
dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB 2. LAPORAN KASUS............................................................................. 3
2.1 Identitas........................................................................................ 3
2.2 Anamnesis.................................................................................... 3
2.3 Status internus.............................................................................. 5
2.4 Status Generalisata....................................................................... 5
2.5 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding..................................................................... 11
2.7 Diagnosis Kerja ........................................................................ 11
2.8 Tatalaksana................................................................................ 11
2.9 Follow Up Harian ...................................................................... 11
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 14
3.1 HIV........................................................................................... 14
3.1.1 Definisi............................................................................ 14
3.1.2 Epidemiologi................................................................... 14
3.1.3 Etiologi............................................................................ 15
3.1.4 Patofisiologi.................................................................... 16
3.1.5 Manifestasi Klinis........................................................... 19
3.1.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................. 23
3.1.7 Kriteria Diagnosis .......................................................... 24
3.1.8 Tatalaksana...................................................................... 26
3.2 Infeksi Oportunistik.................................................................. 31
3.2.1 Tuberkulosis.................................................................... 31
3.2.2 Diare................................................................................ 34
3.2.3 Kandidiasis oral............................................................... 38
3.2.4 Pneumonia Pneumocytis................................................ 39
3.2.5 Papular Pruritic Eruption................................................ 41
BAB 4. KESIMPULAN................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
(IRIS) atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban penyakit yang lebih
berat sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen
ART.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Lemas
b. Keluhan Tambahan
Diare, Mual disertai dengan muntah, sariawan, demam, gatal-gatal
diseluruh badan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dengan keluhan lemas
diakibatkan diare kurang lebih 2 minggu sebelum masuk ke RS. Konsentrasi feses
cair, warna normal tidak ada perdarahan dan tidak berlendir, pasien mengalami
diare kurang lebih 5 kali dalam sehari. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah
kurang lebih 5 kali dalam sehari, muntahan berupa cairan beserta apa yang
dimakan saat itu. Pasien mengalami sariawan sejak 1 minggu sebelum masuk ke
Rumah Sakit sehingga sulit makan terutama makanan yang pedas namun masih
bisa minum, jadi selama sariawan pasien lebih sering memakan makanan yang
direbus dan memiliki tekstur lembut seperti sayur-sayuran. Nafsu makan pasien
juga menurun sehingga terkadang jadwal makan tidak teratur tergantung kapan
3
4
pasien merasa lapar atau sudah berselera makan. Akibat diare, muntah serta nafsu
makan menurun pasien merasakan tubuhnya lemas sehingga tidak dapat
beraktivitas sebagaimana biasanya.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien menyebutkan bahwa
sempat dirawat di rumah dengan di infus oleh bidan di kampung karena keluhan
lemas akibat tekanan darah yang rendah. Pasien juga mengeluhkan demam yang
naik turun dirasakan 3 hari sejak sebelum masuk ke RS. Pasien mengeluhkan
gatal-gatal di kulit sejak 4 bulan yang lalu, gatal dirasakan diseluruh bagian tubuh
dan teradapat ekskoriasi pada kulit akibat garukan. Berat badan pasien mengalami
penurunan dalam kurun waktu 1 tahun. Awal tahun 2020 yang lalu berat badan
pasien 59 kg dan terakhir kali di timbang pada bulan maret 2021 yaitu 39 kg
sehingga dalam satu tahun terjadi penurunan berat badan turun sebanyak 20 kg.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit tekanan darah rendah, Riwayat penyakit
diabetes mellitus (DM) disangkal, riwayat Hipertensi disangkal, riwayat asma
disangkal, riwayat batuk-batuk lama disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi, riwayat penyakit yang
sama dengan pasien disangkal, tidak ada riwayat penyakit asma, batuk lama,dan
diabetes mellitus (DM).
f. Riwayat pemakaian obat
Pasien mengaku pernah meminum obat penambah darah seperti sangobion
yang didapatkan dari puskesmas sekitar 4 bulan yang lalu, namun sebulan terakhir
pasien tidak meminum obat apapun sebab pasien merasa beliau hamil karena
sudah 3 bulan tidak datang bulan, oleh karenanya beliau merasa takut jika
meminum obat akan mengganggu janinnya. Namun setelah dilakukan
pemeriksaan kehamilan dinyatakan negatif. Pasien hanya mengkonsumsi obat-
obatan herbal seperti daun-daun yang direbus namun pasien tidak mengetahui
nama dedaunan yang dipakai untuk pengobatan herbalnya.
g. Riwayat sosial ekonomi
5
2. Rontgen Thoraks
Interpretasi :
COR : Besar, bentuk dan letak jantung dalam batas normal
PULMO : corakan vaskular tampak meningkat
Tampak ebrcak apda paracardial kanan
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
KESAN :
Cor tak membesar
bronchopneumonia
10
2.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
- IVFD Paracetamol 1 fls
- Injeksi intravena Ceftiaxone 2 gram/24 jam
- Injeksi intravena dexametaxone 5 mg/ml
- Injeksi intravena Fluconazole 12,5 gram/12 jam
- Injeksi intravena Omeprazole 40 gram /12 jam
- Injeksi intravena Ondansetron 4 gram /12 jam
- Cotrimoxazole 1 x 480 mg
- Loratadine 10 mg 1x1
- Lacbon 3 x 1
- Diaform 3 x 2 tab
- N.Ace 2x 20 mg
- Sucralfat Syr 3 x C1
- Nystatyn drop 4 x 1 ml
- ARV
- Transfusi PRC 2 kolf
2.8 Follow Up Pasien
Tanggal SOAP Terapi
14
15
hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019, dimana
persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.
Berdasarkan data SIHA mengenai jumlah infeksi HIV tahun 2010-2019
yang dilaporkan menurut kelompok umur, kelompok umur 25-49 tahun atau usia
produktif merupakan umur dengan jumlah penderita infeksi HIV terbanyak setiap
tahunnya.3
3.1.3 Etiologi
HIV adalah virus sitopatik, termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae. Genus Lentivirus. HIV berbeda dalam struktur dari retrovirus
lainnya. Virion HIV berdiameter ~100 nm, dengan berat molekul 9.7 kb
(kilobase). Wilayah terdalamnya terdiri dari inti berbentuk kerucut yang
mencakup dua salinan genom ssRNA, enzim reverse transcriptase, integrase dan
protease, beberapa protein minor, dan protein inti utama, seperti terlihat pada
gambar 1 Genom HIV mengodekan 16 protein virus yang memainkan peran
penting selama siklus hidupnya.
utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis
infeksi.5
menginfeksi sel target, yang terjadi adalah proses replikasi yang menghasilkan
berjuta-juta virus baru (virion), terjadi viremia yang memicu sindrom infeksi akut
dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Gejala yang terjadi dapat berupa
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri
otot, dan sendi atau batuk.
2. Infeksi Laten
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Pembentukan respons imun spesifik
HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat
germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala
hilang dan mulai memasuki fase laten. Meskipun pada fase ini virion di plasma
menurun, replikasi tetap terjadi di dalam kelenjar limfe dan jumlah limfosit T-
CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukkan gejala (asimtomatis).
Beberapa pasien dapat menderita sarkoma Kaposi’s, Herpes zoster, Herpes
simpleks, sinusitis bakterial, atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung
lama.
3. Infeksi Kronis
Sekelompok kecil orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit amat
cepat dalam 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor).
Akibat replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler
karena banyaknya virus, fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun
dan virus dicurahkan ke dalam darah. Saat ini terjadi, respons imun sudah tidak
mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4
semakin tertekan oleh karena intervensi HIV yang semakin banyak, dan
jumlahnya dapat menurun hingga di bawah 200 sel/mm3.
Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien
semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien
jatuh pada kondisi AIDS. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh,
ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Sekitar 50% dari semua orang
21
yang terinfeksi HIV, 50% berkembang masuk dalam tahap AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun, hampir semua menunjukkan gejala AIDS, kemudian
meninggal.5
Gejala dan klinis yang patut diduga infeksi HIV adalah sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2012).
1. Keadaan umum, yakni kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar; demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5) yang
lebih dari satu bulan; diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari
satu bulan; limfadenopati meluas.
2. Kulit, yaitu didapatkan pruritic papular eruption dan kulit kering yang
luas; merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan kulit seperti
genital warts, folikulitis, dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak
selalu terkait dengan HIV.
3. Infeksi jamur dengan ditemukan kandidiasis oral; dermatitis seboroik; atau
kandidiasis vagina berulang.
4. Infeksi viral dengan ditemukan herpes zoster (berulang atau melibatkan
lebih dari satu dermatom); herpes genital berulang; moluskum
kontangiosum; atau kondiloma.
5. Gangguan pernapasan dapat berupa batuk lebih dari satu bulan; sesak
napas; tuberkulosis; pneumonia berulang; sinusitis kronis atau berulang.
6. Gejala neurologis dapat berupa nyeri kepala yang semakin parah (terus
menerus dan tidak jelas penyebabnya); kejang demam; atau menurunnya
fungsi kognitif.
Derajat berat infeksi HIV untuk keperluan surveilans dapat ditentukan
sesuai stadium klinis dari WHO dan jumlah CD4 dari CDC.
Tabel 3.1 Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO
Klasifikasi Stadium Klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Sumber WHO (2007)
22
Tabel 3.2 Stadium Klinis WHO untuk orang dewasa yang terinfeksi HIV
Stadium Klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB)
Infeksi saluran napas atas berulang (episode saat ini, ditambah 1 episode atau
lebih dalam 6 bulan)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6 bulan)
Erupsi papular pruritic
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Stadium Klinis 3
Penurunan berat badan derajat berat yang tidak dapat dijelaskan (> 10% BB)
Diare kronik selama > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (> 37,6°C intermiten atau
konstan,
> 1 bulan)
Kandidiasis oral persisten
Oral hairy leukoplakia
TB Paru
Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, bakteremia, radang panggul berat)
Stomatitis, ginggivitis, atau periodontitis ulseratif nekrotikans akut
Anemi yang tidak dapat dijelaskan (< 8 g/dl), neutropenia (< 1000/mm 3 ) dan/
atau trombositopenia kronik (< 50,000/mm 3 , > 1 bulan)
Stadium Klinis 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pneumonia bakterial berulang (episode saat ini ditambah satu episode atau lebih
dalam 6 bulan terakhir
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal) selama
> 1 bulan, atau viseral tanpa melihat lokasi ataupun duras
Kandidiasis esophageal
TB ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali
liver,
limpa, dan KGB)
Toksoplasmosis otak
23
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis ekstrapulmonar (termasuk meningitis)
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML
Kriptosporidiosis kronik
Isosporiasis kronik
Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Septisemia berulang (termasuk Salmonella nontifoid) Limfoma (sel B non-
Hodgkin atau limfoma serebral) atau tumor solid terkait HIV Lainnya
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
HIV-associated nephropathy (HIVAN) atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis
Sumber: WHO 2007
yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adannya resiko terinfeksi cukup
tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.4
positif, dilakukan pemeriksaan CD4 dan deteksi penyakit penyerta serta infeksi
oportunistik. Pemeriksaan CD4 digunakan untuk menilai derajat imunodefisiensi
dan menentukan perlunya pemberian profilaksis.
1. Persiapan pemberian ARV
Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan konseling
pasca-diagnosis untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai HIV termasuk
pencegahan, pengobatan dan pelayanan, yang tentunya akan memengaruhi
transmisi HIV dan status kesehatan pasien. Orang dengan HIV harus
mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup tentang terapi ARV
sebelum memulainya.
Hal ini sangat penting dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV
karena harus diminum selama hidupnya. Isi dari konseling terapi ini termasuk:
kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang
tidak diharapkan, atau terjadinya sindrom inflamasi rekonstitusi imun (immune
reconstitution inflammatory syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV,
komplikasi yang berhubungan dengan ARV. Jangka panjang, interaksi dengan
obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring pemeriksaan laboratorium
secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4. Setelah dilakukan konseling
terapi, pasien diminta membuat persetujuan tertulis/informed consent untuk
memulai terapi ARV jangka panjang.
Sebelum inisiasi ARV, lakukan penilaian klinis dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan stadium HIV dan membantu pemilihan paduan yang
akan digunakan. Walaupun terapi ARV saat ini diindikasikan pada semua ODHA
tanpa melihat jumlah CD4-nya, pemeriksaan jumlah CD4 awal tetap dianggap
penting, apalagi di Indonesia di mana masih banyak ODHA yang didiagnosis HIV
pada kondisi lanjut. Jumlah CD4 diperlukan untuk menentukan indikasi
pemberian profilaksis infeksi oportunistik. Stadium klinis juga tidak selalu sesuai
dengan jumlah CD4 seseorang. Pada satu studi di beberapa negara di Afrika,
hampir separuh ODHA dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/μL
diklasifikasikan sebagai stadium WHO kelas 1 dan 2.
28
Terapi ARV harus diberikan pada seluruh anak terinfeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan status imunosupresi:
2. Paduan terapi ARV lini pertama
Paduan ARV lini pertama harus terdiri dari dua nucleoside reverse-
transcriptase inhibitors (NRTI) ditambah non-nucleoside reverse-trancriptase
inhibitor (NNRTI) atau protease inhibitor (PI). Pilihan paduan ARV lini pertama
berikut ini berlaku pada pasien yang belum pernah mendapatkan ARV
sebelumnya (naif ARV).
Paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa, termasuk ibu hamil
dan menyusui, terdiri atas 3 paduan ARV. Paduan tersebut harus terdiri dari 2
obat kelompok NRTI+1 obat kelompok NNRTI:
TDF+3TC(atau FTC)+EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap
merupakan pilihan paduan terapi ARV lini pertama .
Jika TDF+3TC(atau FTC)+EFV dikontraindikasikan atau tidak tersedia,
pilihannya adalah:
AZT+3TC+EFV
AZT+3TC+NVP
TDF+3TC(atau FTC)+NVP
TDF+3TC(atau FTC)+EFV dapat digunakan sebagai alternatif paduan
terapi ARV lini pertama.
Rangkuman paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa
Paduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
Paduan Alternatif
AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Belum direkomendasikan pada pengguna rifampisin dan ibu hamil
3. Paduan terapi ARV lini kedua
30
Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI
atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC.
Penggunaan ARV menggunakan boosted-PI + kombinasi 2 NRTI menjadi
rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga
anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini berikutnya adalah pilih kelas obat
ARV sebanyak mungkin, minimal dua obat baru yang diduga masih aktif,
berdasarkan riwayat penggunaan obat sebelumnya dan pengetahuan mekanisme
kerja obat ARV yang baru. Penggunaan paduan NRTI harus dinilai apabila terjadi
kegagalan terapi untuk mengoptimalisasi terapi serta memaksimalkan aktivitas
antivirus. Apabila paduan dengan analog timidin (AZT) digunakan sebagai
paduan terapi lini pertama maka harus diganti dengan TDF pada paduan terapi lini
kedua.
Apabila paduan dengan analog non-timidin (TDF) digunakan sebagai
paduan terapi lini pertama maka harus diganti dengan AZT pada paduan terapi lini
kedua. Penggunaan 3TC atau FTC tetap dipertimbangkan untuk dilanjutkan
meskipun terdapat resistensi karena berkontribusi terhadap aktivitas paduan ARV
secara parsial. Berdasarkan data invitro, virus HIV yang memiliki mutasi M184V
terhadap 3TC dapat menginduksi resensitasi terhadap AZT atau TDF.
Paduan obat lini kedua pada remaja dan orang dewasa menggunakan
kombinasi 2 NRTI dan 1 boosted-PI
a. Pilihan paduan NRTI lini kedua sebagai berikut:
Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan TDF+3TC(atau
FTC), paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah AZT+3TC.
Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan AZT+3TC,
paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah TDF+3TC (atau
FTC).
b. Pilihan boosted-PI pada paduan lini kedua adalah LPV/r
4. Paduan terapi ARV lini ketiga
31
Pada kasus kegagalan lini pertama dan kedua dengan NRTI, NNRTI dan
PI seperti di Indonesia, paduan yang dapat diberikan selanjutnya adalah
kombinasi INSTI dan PI generasi kedua, dengan atau tanpa tambahan NRTI.
yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten.
Namun pada orang-orang dimana sistem imunitasnya menurun, misalnya pada
ODHA, maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit
TB Aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi dengan HIV tetapi bila
terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya;
sedangkan pada ODHA, sekitar 60% dari mereka yang terinfeksi dengan kuman
TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dapat dimengerti
bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam
masyarakat.6
Diagnosis TB pada penderita HIV tidaklah mudah karena gejala klinis TB
pada ODHA sering tidak spesifik.9,10 Gejala klinis yang paling sering adalah
demam dan penurunan berat badan signifikan.9 Keluhan batuk pada ODHA sering
tidak spesifik seperti pasien TB umumnya. Oleh karena itu, sangat
direkomendasikan untuk evaluasi diagnosis TB pada ODHA yang datang dengan
keluhan batuk berapapun lamanya. 9
Gejala TB secara umum pada bukan ODHA adalah diduga TB apabila
batuk 2 minggu atau lebih, sedangkan pada ODHA diduga TB apabila terdapat
salah satu gejala berikut : batuk saat ini walaupun kurang dari 2 minggu, berat
badan turun secara drastis, demam atau keringat malam.6
Gambaran foto toraks pada pasien TB dengan HIV positif berbeda dengan
pasien TB dengan HIV negatif. TB pada orang dengan HIV negatif biasanya
mengenai lobus atas paru dan unilateral, sedangkan pasien dengan HIV positif
biasanya melibatkan kedua paru. Pada pasien TB dengan HIV positif, hasil foto
toraks sangat bervariasi tergantung pada tingkat imunitas pasien HIV yang diukur
melalui CD4.11
33
Semua pasien TB (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan OAT lini pertama yang disepakati secara internasional, hal ini
sesuai ISTC:
a. Fase awal : 2 bulan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA),
dan etambutol (EMB), diberikan setiap hari.
b. Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, diberikan setiap hari. Bila tidak
memungkinkan karena tidak ada persediaan, maka dapat diberikan 3 kali
dalam seminggu (obat program untuk fase lanjutan setiap hari masih dalam
persiapan).
c. Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasi untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi
kegagalan pengobatan atau kambuh.
Pada pasien TB-HIV yang pernah diobati dan dinyatakan gagal terapi atau
putus obat, maka diberikan paduan OAT kategori 2 seperti yang diberikan pada
pasien TB tanpa HIV, yaitu:
a. Fase awal : 2 bulan streptomisin injeksi, INH, RIF,PZA, dan EMB,
diberikan setiap hari, selanjutnya 1 bulan INH, RIF, PZA dan EMB
diberikan setiap hari.
b. Fase lanjutan : 5 bulan INH, RIF dan EMB, diberikan setiap hari.
Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8
minggu pertama pengobatan TB. Efavirenz mewakili golongan NNRTI yang baik
34
digunakan untuk pemberian ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih
ringan dibanding nevirapin.
Pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV dengan indikasi ARV lini 2
(berbasis LPV/r) dan OAT lini 1, maka pemberian OAT tetap dengan rifampisin,
isoniazid, pirazinamid dan etambutol pada fase awal (2 bulan pertama) dan
rifampisin, isoniazid untuk fase lanjutan (4 bulan selanjutnya). Sehubungan
rifampisin mengaktifkan enzim yang meningkatkan metabolisme boost inhibitor
sehingga menurunkan kadar plasma lebih rendah dari minimum inhibitory
concentration (MIC), maka dianjurkan meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali
dari dosis normal. Namun karena keduanya bersifat hepatotoksik, maka
diperlukan pemantauan fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila pasien memiliki
kelainan hati kronis, maka pemberian kombinasi tersebut tidak
direkomendasikan.6
3.2.2 Diare
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA
yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara
berkembang.12 Definisi diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari selama kurang dari
dua minggu. Diare dikatakan persisten bila berlangsung antara dua sampai empat
minggu dan dikategorikan kronis bila berlangsung lebih dari empat minggu. 5
Terdapat beberapa pendekatan dalam memprediksi etiologi dari diare pada
HIV. Secara garis besar etiologi diare pada HIV dibagi menjadi penyebab infeksi
atau penyebab non-infeksi, serta berdasarkan jenis obat yang sering menyebabkan
diare. Klasifikasi pasien berdasarkan jumlah CD4 merupakan salah satu cara
untuk mengidentifikasi penyebab diare dan risiko komplikasi akibat infeksi HIV.
Jumlah CD4 tertentu berkaitan dengan risiko terhadap patogen tertentu pada
pasien HIV. 5
Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare kronis
pada kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah Cryptosporidium
12,13
parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit terkait AIDS
35
sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4 +
<200cells/μL. Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan)
dengan kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.
Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran
fekal-oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia (Gambar 2). 13,14 Pasien
HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan menghindari
paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada bahwa banyak
dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga direkomendasikan untuk
merebus air sebelum diminum.13
merupakan ciri dari infeksi pada usus halus, selanjutnya kehilangan cairan akibat
diare dapat menyebabkan pusing, pingsan, pucat, ketidakseimbangan elektrolit
(hipokalemia, hiponatremia), dan gagal ginjal akut. Tanda-tanda keterlibatan
infeksi yang bersifat invasif atau sistemik adalah bila diare disertai demam, kolik
abdomen yang cukup berat, dan tinja yang disertai darah.
Tujuan pengobatan pada penderita HIV dengan diare adalah ditujukan
terhadap infeksi HIV dan terhadap diare itu sendiri baik terhadap penyebab diare
maupun terhadap komplikasi yang diakibatkan oleh diare. Pada pasien dengan
jumlah CD4 lebih dari 200, mayoritas penyebab diare akut adalah infeksi yang
self-limiting sehingga dapat dikelola secara konservatif dengan rehidrasi oral,
pengobatan simtomatik, dan modifikasi diet, kemudian diikuti pengelolaan sesuai
dengan analisis tinja.
Sedangkan pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200, terutama disertai
demam, kondisi klinis yang menunjukkan adanya proses sistemik, dan pasien
yang rawat inap dapat diberikan antimikroba secara empiris. Pendekatan
pengobatan dapat melalui pemberian terapi umum baik dalam hal stabilisasi
hemodinamik, mengurangi keluhan dan terapi khusus terutama terhadap penyebab
diare dan infeksi HIV itu sendiri.5
c. Terapi Umum
Terapi umum ditujukan untuk stabilisasi hemodinamik melalui rehidrasi
cairan, koreksi gangguan elektrolit, pengobatan suportif dan simtomatis serta
dukungan nutrisi dan konseling pada penderita infeksi HIV/AIDS. Terapi
simtomatis yang dapat mengurangi gejala diare antara lain: golongan luminal anti
diarrhea seperti Bismuth subsalicylate atau aluminium antasida, cholestyramine,
obat antimotilitas termasuk loperamide dengan dosis 2-4 mg diberikan empat kali
sehari atau diphenoxylate 2 tablet diberikan empat kali sehari. Octreotide 100-500
mcg diberikan secara subkutan atau intravena setiap 8 jam, terutama diberikan
pada kasus berat yang tidak respons dengan obat oral.
d. Terapi Spesifik
Terapi spesifik ditujukan pada pengobatan infeksi HIV (terapi
antiretroviral) dan pemberian anti mikroba. Pemberian terapi antiretroviral
37
memang tidak segera diberikan pada pasien HIV dengan diare. Namun pada
beberapa pasien terutama pasien dengan AIDS seringkali diare baru dapat
membaik setelah pemberian ART, sehingga pada kondisi ini dianjurkan segera
diberikan terapi antiretroviral dengan mengabaikan jumlah CD4 atau jumlah
limfosit total. Rekomendasi juga diberikan untuk penderita stadium II dan III
dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3.
mengancam nyawa, akan tetapi memberikan rasa sakit atau gangguan yang
sangat berarti bagi pasien melalui timbulnya disfagia, dehidrasi dan kemudian
malnutrisi.
Diagnosis kandidiasis oral tipe pseudomembran atau eritematosa
ditegakkan berdasarkan tampilan klinis berupa lapisan plak putih yang dapat
diangkat dan meninggalkan area eritema/perdarahan pada tipe pseudomembran,
atau area eritema atropik di mukosa rongga mulut pada tipe eritematosa.6
Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau patch berwarna
putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan
menampakkan jaringan mukosa berwarna merah cerah di bawahnya. Manifestasi
ini disebut sebagai pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum
durum, mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah (Gambar 3).15
meningkat sampai 90- 120/menit, hingga sianosis. Secara umum diagnosis PCP
dapat dilakukan melalui 2 cara, metode noninvasif dan invasif. Pemeriksaan
noninvasif dapat dengan radiologi dada, sedangkan secara invasif dengan induksi
sputum, bronkoskopi, biopsi torakoskopik, mikroskopik, dan deteksi molekuler.17
Pada pemeriksaan radiografi dada, terlihat gambaran khas infiltrat bilateral
simetris, mulai dari hilus ke perifer, dapat meliputi seluruh lapangan paru (gambar
3)
apoptosis. NB-UVB biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek
samping yang serius jika digunakan jangka waktu yang singkat, sehingga
merupakan terapi yang aman untuk PPE.6
BAB 4
KESIMPULAN
Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan diare kurang lebih 2
minggu sebelum masuk ke RS. BAB berisi cairan dimana rasio air lebih besar dari
pada ampas. Pasien mengalami diare kurang lebih 5 kali dalam sehari, Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah kurang lebih 5 kali dalam sehari, muntahan
berupa cairan beserta apa yang dimakan saat itu.
Pasien juga mengalami sariawan sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS
sehingga sulit makan namun masih bisa minum. Demam naik turun dirasakan 3
hari sejak sebelum masuk ke RS. Nafsu makan turun dan pasien mengalami
penurunan berat badan dalam kurun waktu 1 tahun. Tahun lalu berat badan pasien
59 kg dan terakhir kali di timbang bulan ini yaitu 39 kg, dalam satu tahun terjadi
penurunan berat badan turun sebanyak 20 kg.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran komposmentis, GCS
E4V5M6, tekanan darah 100/50 mmHg, frekuensi nadi 90x/menit, regular,
frekuensi napas 18x/menit, regular, suhu 37,3⁰C. Pada auskultasi ditemukan ronki
(+/+), Konjungtiva pucat (+/+), pada kulit di jumpai papul eritematosa hampir
diseluruh badan dan terdapat ekskoriasi, dijumpai plak putih disertai
pseudomembran pada keseluruhan rongga mulut.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin menurun
namun setelah dikoreksi hemoglobin naik mendekati normal. Pada
penatalaksanaan diberikan pengobatan sesuai keluhan dan protap pengobatan HIV
dan komplikasinya.
44
DAFTAR PUSTAKA
45
46