Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus

HIV (Human Immunodeficiency Virus)


Dan
Infeksi Oportunistik

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :

Salma Fitri, S.Ked


2006112012

Preseptor :
dr. Irwandi, Sp.PD

BAGIAN ILMU/SMF PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan
kesempatan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul "HIV ( human imunodeficiency virus) dan Infeksi Oportunistik".
Penyusunan laporan kasus ini merupakan pemenuhan syarat untuk menyelesaikan
tugas Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF/Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya refarat ini, dengan rasa hormat
dan rendah hati saya sampaikan terimakasih kepada:
1. Pembimbing, dr. Irwandi, Sp.PD atas arahan dan bimbingannya dalam
penyusunan referat ini.
2. Sahabat-sahabat kepaniteraan klinik senior di Bagian/SMF/Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokeran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum
Cut Meutia Aceh Utara, yang telah membantu dalam bentuk motivasi dan
dukungan semangat.
Sebagai manusia yang tidak lepas dari kekurangan, saya menyadari bahwa
dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat
mengharapkan banyak kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Lhokseumawe, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB 2. LAPORAN KASUS............................................................................. 3
2.1 Identitas........................................................................................ 3
2.2 Anamnesis.................................................................................... 3
2.3 Status internus.............................................................................. 5
2.4 Status Generalisata....................................................................... 5
2.5 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding..................................................................... 11
2.7 Diagnosis Kerja ........................................................................ 11
2.8 Tatalaksana................................................................................ 11
2.9 Follow Up Harian ...................................................................... 11
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 14
3.1 HIV........................................................................................... 14
3.1.1 Definisi............................................................................ 14
3.1.2 Epidemiologi................................................................... 14
3.1.3 Etiologi............................................................................ 15
3.1.4 Patofisiologi.................................................................... 16
3.1.5 Manifestasi Klinis........................................................... 19
3.1.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................. 23
3.1.7 Kriteria Diagnosis .......................................................... 24
3.1.8 Tatalaksana...................................................................... 26
3.2 Infeksi Oportunistik.................................................................. 31
3.2.1 Tuberkulosis.................................................................... 31
3.2.2 Diare................................................................................ 34
3.2.3 Kandidiasis oral............................................................... 38
3.2.4 Pneumonia Pneumocytis................................................ 39
3.2.5 Papular Pruritic Eruption................................................ 41
BAB 4. KESIMPULAN................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah Orang
Dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi
tertular HIV, yaitu para pekerja seks dan pengguna NAPZA suntikan (Penasun),
kemudian diikuti dengan peningkatan pada kelompok lelaki yang berhubungan
seks dengan lelaki (LSL) dan perempuan berisiko rendah. Saat ini dengan
prevalensi rerata sebesar 0,4% sebagian besar wilayah di Indonesia termasuk
dalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi. Sementara itu,
Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas, dengan prevalensi HIV
sebesar 2,3%.
Prevalensi global HIV meningkat dari 31,0 juta pada tahun 2002, menjadi
35,3 juta di tahun 2012. Pada tahun 2016 dilaporkan 41.250 kasus HIV baru dan
sampai Maret 2017 dilaporkan 10.376 Kasus HIV baru. Secara kumulatif telah
teridentifikasi 242.699 orang yang terinfeksi HIV, karena orang-orang yang
menggunakan terapi antiretroviral hidup lebih lama, sedangkan insiden global
telah menurun dari 3,3 juta pada tahun 2002, menjadi 2,3 juta pada tahun 2012.
Pemahaman mengenai mekanisme infeksi, perjalanan klinis infeksi HIV dan
pentingnya peran reservoir infeksi dalam penularan HIV diharapkan dapat terus
menekan kejadian baru HIV di masyarakat. 1
Infeksi oportunistik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pasien dengan HIV/AIDS.2 Sistem imun yang sangat rendah dapat menyebabkan
IO berakhir dengan kematian kecuali mendapat terapi adekuat. Penatalaksanaan
terhadap IO yang paling bermakna adalah terapi antiretroviral (antiretroviral
therapy/ART) di samping terapi antimikrobial spesifik untuk IO. Angka kejadian
IO menurun drastis sejak diperkenalkannya ART pada tahun 1996 dan
diimplementasikannya profilaksis IO pada pertengahan tahun 1990, sehingga
meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita HIV. Pemberian ART di sisi
lain juga berpotensi menimbulkan immune reconstitution inflammatory syndrome

1
2

(IRIS) atau sindrom pulih imun yang berkaitan dengan beban penyakit yang lebih
berat sehingga perlu dipertimbangkan dalam menentukan dimulainya rejimen
ART.
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Yn.JRN
Jenis Kelamin : Perempuan
No. rekam medis : 16.35.17
Umur : 26 tahun
Alamat : Gelapang Wih Tenang Uken, Permata, Bener
Meriah
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Aceh
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 08 Maret 2021
Tanggal Keluar : 12 Maret 2021
Tanggal Pemeriksaan : 09 Maret 2021

2.2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Lemas
b. Keluhan Tambahan
Diare, Mual disertai dengan muntah, sariawan, demam, gatal-gatal
diseluruh badan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dengan keluhan lemas
diakibatkan diare kurang lebih 2 minggu sebelum masuk ke RS. Konsentrasi feses
cair, warna normal tidak ada perdarahan dan tidak berlendir, pasien mengalami
diare kurang lebih 5 kali dalam sehari. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah
kurang lebih 5 kali dalam sehari, muntahan berupa cairan beserta apa yang
dimakan saat itu. Pasien mengalami sariawan sejak 1 minggu sebelum masuk ke
Rumah Sakit sehingga sulit makan terutama makanan yang pedas namun masih
bisa minum, jadi selama sariawan pasien lebih sering memakan makanan yang
direbus dan memiliki tekstur lembut seperti sayur-sayuran. Nafsu makan pasien
juga menurun sehingga terkadang jadwal makan tidak teratur tergantung kapan

3
4

pasien merasa lapar atau sudah berselera makan. Akibat diare, muntah serta nafsu
makan menurun pasien merasakan tubuhnya lemas sehingga tidak dapat
beraktivitas sebagaimana biasanya.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien menyebutkan bahwa
sempat dirawat di rumah dengan di infus oleh bidan di kampung karena keluhan
lemas akibat tekanan darah yang rendah. Pasien juga mengeluhkan demam yang
naik turun dirasakan 3 hari sejak sebelum masuk ke RS. Pasien mengeluhkan
gatal-gatal di kulit sejak 4 bulan yang lalu, gatal dirasakan diseluruh bagian tubuh
dan teradapat ekskoriasi pada kulit akibat garukan. Berat badan pasien mengalami
penurunan dalam kurun waktu 1 tahun. Awal tahun 2020 yang lalu berat badan
pasien 59 kg dan terakhir kali di timbang pada bulan maret 2021 yaitu 39 kg
sehingga dalam satu tahun terjadi penurunan berat badan turun sebanyak 20 kg.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit tekanan darah rendah, Riwayat penyakit
diabetes mellitus (DM) disangkal, riwayat Hipertensi disangkal, riwayat asma
disangkal, riwayat batuk-batuk lama disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat penyakit Hipertensi, riwayat penyakit yang
sama dengan pasien disangkal, tidak ada riwayat penyakit asma, batuk lama,dan
diabetes mellitus (DM).
f. Riwayat pemakaian obat
Pasien mengaku pernah meminum obat penambah darah seperti sangobion
yang didapatkan dari puskesmas sekitar 4 bulan yang lalu, namun sebulan terakhir
pasien tidak meminum obat apapun sebab pasien merasa beliau hamil karena
sudah 3 bulan tidak datang bulan, oleh karenanya beliau merasa takut jika
meminum obat akan mengganggu janinnya. Namun setelah dilakukan
pemeriksaan kehamilan dinyatakan negatif. Pasien hanya mengkonsumsi obat-
obatan herbal seperti daun-daun yang direbus namun pasien tidak mengetahui
nama dedaunan yang dipakai untuk pengobatan herbalnya.
g. Riwayat sosial ekonomi
5

Pasien merupakan ibu rumah tangga yang kesehariannya bekerja sebagai


pedagang kelontong di rumahnya, beliau memiliki seorang suami yang bekerja
sebagai petani dan memiliki sebidang kebun kopi yang dikelolanya di kampung
nya.

2.3 Status Internus


Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Composmentis / E4M6V5
Tekanan darah : 100/50 mmHg
Frekuensi nadi : 90 x/menit, reguler
Frekuensi nafas : 18 x/menit
Suhu tubuh (aksila) : 37,3 ̊C
SpO2 : 98 %
Berat badan : 39 kg
Tinggi badan : 154 cm
IMT : 16,44 kg/m2 (Berat Badan Kurang)

2.4 Status Generalis


1 Kulit
Warna : Coklat
Turgor : Cepat kembali, suhu raba hangat
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Oedema : (-)
Anemia : (-)
Pigmen : tidak terdapat hipopigmentasi
ataupun hiperpigmentasi
Papul : papul eritematosa hampir diseluruh
badan dan terdapat ekskoriasi
2 Kepala
Rambut : Warna rambut hitam, tidak beruban,
tidak mudah dicabut, distribusi merata
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), mata cekung (-/-), palpebra
normal, gerakan bola mata normal,
pupil bulat, isokor +/+, diameter
3mm/3mm, RCL/RCTL +/+
6

Telinga : bentuk normal (eutrofilia), discharge


(-/-), Sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), darah (-/-), deviasi
septum nasi (-/-)
Mulut : lidah normoglosia, Bercak putih di
rongga mulut dan sisi lidah, tidak
tremor, bibir pucat (-), mukosa mulut
tidak hiperemis, tonsil tidak hiperemis,
arcus faring simetris, uvula ditengah
3 Leher
Inspeksi : Simetris, kelenjar tiroid tidak
membesar, trakea ditengah
Palpasi : Distensi vena jugularis (-)
4 Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerak dada
simetris kanan dan kiri saat statis dan
dinamis, pergerakan dada sama, tidak
ada retraksi
Palpasi : Tidak ada benjolan, nyeri tekan (-),
massa (-), taktil fremitus kanan=kiri,
ekspansi dada simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+),
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 jari
medial linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas atas jantung di ICS II, kanan di
ICS V LPSD, kiri di ICS V dua jari
medial dari LMCS, batas pinggang di
ICS III LPSS
Auskultasi : BJ I/II normal, bising jantung (-),
Gallop (-)
5 Abdomen
7

Inspeksi : Simetris, distensi -


Palpasi : Defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen,
Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
6 Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7 Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-/-),
atrofi otot (-/-), sianosis (-/-),
kelemahan anggota gerak (-/-), CRT
<2 detik
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
Massa - - - -

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Nomor Lab : 20210310780
Tanggal : 07/03/2021

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Darah lengkap
Hemoglobin 7.72 g/dL 12,0 - 16,0
Eritrosit 2.57 juta/mm3 3.8 - 5.8
Hematokrit 22.96 % 37,0 - 47,0
MCV 89.43 fL 79 – 99
MCH 30,07 Pg 27,0 – 31,2
MCHC 33,63 g/dl 33,0 – 37,0
Leukosit 11,85 ribu/uL 4,0-11,0
Trombosit 227 ribu/uL 150-450
RDW-CV 13,32 % 11,5-14,5
Hitung Jenis Leukosit
Basophil 0,49 % 0-1,7
Eosinophil 0,000 % 0,60-7,30
Neutrofil segmen 86,89 % 39,3-73,3
8

Limfosit 9,24 % 18,0-48,3


Monosit 3,38 % 4,40-12,7
NLR 9,40 Cutoff 0-3,13
ALC 1094,94 Juta/L 0-1500
Golongan darah O -
Kimia Darah
Fungsi Ginjal
Ureum 25 mg/dl <50
Kreatinin 0,62 mg/dl 0.5-0,9
Asam Urat 4,6 mg/dl 2,4-5,7
Glukosa Darah
Glukosa sewaktu 97,0 mg/dl <180
Serologi/Imunologi
Hepatitis
HbsAg Qualitative Negatif - Negatif
Anti HIV Reaktif - Non Reaktif

Nomor Lab : 20210311015


Tanggal :09/03/2021
Nama Test Hasil Satuan Nilai Rujukan
Serologi/Imunologi
Hepatitis
Anti HCV kualitatif Negatif - Negatif
VDRL Non Reaktif - Non Reaktif
Kimia Darah
Protein Total 6,0 g/dl 6,6-8,7
Albumin 2,4 g/dl 3,4-4,8
Globulin 3,6 g/dl 3,2-3,9

Nomor Lab : 20210311183


Tanggal : 11/03/2021

Nama Tes HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


Hematologi Rutin
Darah lengkap
Hemoglobin 10.63 g/dL 12,0 - 16,0
Eritrosit 3.69 Juta/uL 3.8 - 5.8
Hematokrit 32.29 % 37,0 - 47,0
MCV 87.50 fL 79 – 99
MCH 28.79 Pg 27,0 – 31,2
MCHC 32.91 g/dl 33,0 – 37,0
9

Leukosit 6.23 ribu/uL 4,0-11,0


Trombosit 320 ribu/uL 150-450
RDW-CV 13,29 % 11,5-14,5

2. Rontgen Thoraks

Interpretasi :
COR : Besar, bentuk dan letak jantung dalam batas normal
PULMO : corakan vaskular tampak meningkat
Tampak ebrcak apda paracardial kanan
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
KESAN :
 Cor tak membesar
 bronchopneumonia
10

2.6 Diagnosis kerja


Pasien didiagnosis dengan :
- HIV stage III
- Candidiasis orofaring
- Bronchopneumonia dengan PCP ( pneumocytis Pneumonia)
- PPE ( Papular Pruritus Eruption)

2.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa
- IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
- IVFD Paracetamol 1 fls
- Injeksi intravena Ceftiaxone 2 gram/24 jam
- Injeksi intravena dexametaxone 5 mg/ml
- Injeksi intravena Fluconazole 12,5 gram/12 jam
- Injeksi intravena Omeprazole 40 gram /12 jam
- Injeksi intravena Ondansetron 4 gram /12 jam
- Cotrimoxazole 1 x 480 mg
- Loratadine 10 mg 1x1
- Lacbon 3 x 1
- Diaform 3 x 2 tab
- N.Ace 2x 20 mg
- Sucralfat Syr 3 x C1
- Nystatyn drop 4 x 1 ml
- ARV
- Transfusi PRC 2 kolf
2.8 Follow Up Pasien
Tanggal SOAP Terapi

senin, 08 S/ Pasien mengeluh diare sejak 1 - IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i


Maret minggu SMRS. Batuk berdahak + mual - IVFD Paracetamol 1 fls
2021 + perut kembung + sariawan + Lemas + - Inj Ceftiaxone 2gr/12 jam
(H+1) gatal-gatal di kulit seluruh tubuh. - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
O/ Kesadaran= Composmentis; - inj Ondansetron 1 amp/12 jam
TD= 100/50 mmHg; - Sucralfat Syr 3 x C1
11

HR= 70 x/menit; - Lacbon 3 x 1


RR=16 x/menit - Diaform 3 x 2 tab
T=38 oC
A/
P/ Konsul VCT
Rotgen Thorax
Selasa , S/ diare (-) + Batuk (-) + perut kembung - IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
9 Maret + Nyeri sendi + Lemas + banyak - IVFD Paracetamol 1 fls
2021 berkeringat + sakit tenggorokan dan - Inj Ceftiaxone 2gr/24 jam
sulit menelan - Inj Fluconazole 12,5 gr/12 jam
(H+2) O/ Kesadaran= Composmentis ; - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
TD = 90/50mmHg; - inj Ondansetron 1 amp/12 jam
HR=63x/menit; - Cotrimoxazole 1 x 480 mg
RR=17x/menit - Diaform 3 x 2 tab
T=37,0 oC - Sucralfat Syr 3 x C1
A/ HIV stage III dengan candidiasis - Lacbon 3 x 1
orofaring - Nystatyn drop 4 x 1 ml
P/ Transfusi PRC 2 kolf
Rabu , S/ nyeri dada + nyeri sendi + sakit - IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
10 Maret tenggorokan (-) + sulit menelan (-) + - IVFD Paracetamol 1 fls
2021 lemas (-) - Inj Ceftiaxone 2gr/24 jam
O/ Kesadaran= Composmentis ; - Inj dexametaxone
(H+3) TD= 90/50mmHg; - Inj Fluconazole 12,5 gr/12 jam
HR= 71x/menit; - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
RR=20x/menit - inj Ondansetron 1 amp/12 jam
T=36,3 oC - Cotrimoxazole 1 x 480 mg
A/ HIV stage III dengan candidiasis - Lacbon 3 x 1
orofaring - Diaform 3 x 2 tab
PCP ( pneumocytis Pneumonia) - Sucralfat Syr 3 x C1
P/ - Nystatyn drop 4 x 1 ml
Kamis , S/ nyeri dada + nyeri sendi + sesak - IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
11 Maret napas + sakit tenggorokan + sulit - IVFD Paracetamol 1 fls
12

2021  menelan (-) + lemas (-) - Inj Ceftiaxone 2gr/24 jam


(H+4) O/ Kesadaran= Composmentis ; - Inj dexametaxone
TD= 90/70mmHg; - Inj Fluconazole 12,5 gr/12 jam
HR= 61x/menit; - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
RR=17x/menit - inj Ondansetron 1 amp/12 jam
T=36,2 oC - Cotrimoxazole 1 x 480 mg
A/ HIV stage III dengan candidiasis - Lacbon 3 x 1
orofaring - Diaform 3 x 2 tab
PCP ( pneumocytis Pneumonia) - Sucralfat Syr 3 x C1
P/ Rabber dengan bagian Kulit - Nystatyn drop 4 x 1 ml
- Desoximentason
Jum’at , S/ diare (-) + nyeri di sendi lutut + sulit - IVFD NaCl 0,9 % 30 gtt/i
12 Maret bernapas (-) + sulit menelan (-) batuk (-) - IVFD Paracetamol 1 fls
2021  + gatal- gatal di seluruh badan - Inj Ceftiaxone 2gr/24 jam
(H+5) O/ Kesadaran= Composmentis ; - Inj dexametaxone
TD= 90/60mmHg; - Inj Fluconazole 12,5 gr/12 jam
HR= 60x/menit; - Inj Omeprazole 1 vial/12 jam
RR=20x/menit - inj Ondansetron 1 amp/12 jam
T=37,3 oC - Cotrimoxazole 1 x 480 mg
A/ HIV stage III dengan candidiasis - Loratadine 10 mg 1x1
orofaring - Lacbon 3 x 1
PCP ( pneumocytis Pneumonia) - Diaform 3 x 2 tab
PPE (papula pruritus Eruption) - N.Ace 2x 20 mg
P/ - Sucralfat Syr 3 x C1
- Nystatyn drop 4 x 1 ml
- Desoximetasone
13
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 HIV ( Human Immunodeficiency Virus )


3.1.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan
gejala yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh
HIV. Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium
AIDS, sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk
mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.3
3.1.2 Epidemiologi
Masalah HIV/AIDS ini adalah masalah besar yang mengancam indonesia
dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS.4 Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika
(25,7 juta orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5
juta). Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang.
Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan
Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.3
Meskipun cenderung fluktuatif, data kasus HIV AIDS di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV
di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional
Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada
tahun 2013, yaitu 12.214 kasus. Berdasarkan data Ditjen P2P yang bersumber dari
Sistem Informasi HIV, AIDS, dan IMS (SIHA) tahun 2019, laporan triwulan 4
menyebutkan bahwa kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari
perempuan. Kasus HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan
kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini sejalan dengan

14
15

hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019, dimana
persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.
Berdasarkan data SIHA mengenai jumlah infeksi HIV tahun 2010-2019
yang dilaporkan menurut kelompok umur, kelompok umur 25-49 tahun atau usia
produktif merupakan umur dengan jumlah penderita infeksi HIV terbanyak setiap
tahunnya.3
3.1.3 Etiologi
HIV adalah virus sitopatik, termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae. Genus Lentivirus. HIV berbeda dalam struktur dari retrovirus
lainnya. Virion HIV berdiameter ~100 nm, dengan berat molekul 9.7 kb
(kilobase). Wilayah terdalamnya terdiri dari inti berbentuk kerucut yang
mencakup dua salinan genom ssRNA, enzim reverse transcriptase, integrase dan
protease, beberapa protein minor, dan protein inti utama, seperti terlihat pada
gambar 1 Genom HIV mengodekan 16 protein virus yang memainkan peran
penting selama siklus hidupnya.

Gambar 1. Struktur HIV 5


HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein
utama envelope virus, gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di
transmembran. Gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga
bertanggung jawab pada awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp41
bertanggung jawab dalam proses internalisasi. Termasuk retrovirus karena
16

memiliki enzim reverse trancriptase, HIV mampu mengubah informasi genetik


dari RNA menjadi DNA, yang membentuk provirus. Hasil transkrip DNA
intermediet atau provirus yang terbentuk ini kemudian memasuki inti sel target
melalui enzim integrase dan berintegrasi di dalam kromosom dalam inti sel target.
HIV juga memiliki kemampuan untuk memanfaatkan mekanisme yang sudah ada
di dalam sel target untuk membuat kopi diri sehingga terbentuk virus baru dan
matur yang memiliki karakter HIV. Kemampuan virus HIV untuk bergabung
dengan DNA sel target pasien, membuat seseorang yang terinfeksi HIV akan terus
terinfeksi seumur hidupnya.
Hingga kini dikenal dua tipe IV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1
merupakan virus klasik pemicu AIDS, didapatkan pada sebagian besar populasi di
dunia. HIV-2 merupakan virus yang diisolasi pada binatang dan beberapa pasien
di Afrika Barat. Perbedaan keduanya terutama pada glikoprotein kapsul, dan virus
HIV-2 umumnya kurang patogenik serta memerlukan waktu lebih lama untuk
memunculkan gejala dan tanda penyakit.
3.1.4 Patogenesis HIV
Partikel-partikel virus HIV yang akan memulai proses infeksi biasanya
terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya dan dapat menyebar
melalui sejumlah cara. Cara yang paling umum adalah transmisi seksual melalui
mukosa genital. Keberhasilan transmisi virus itu sendiri sangat bergantung pada
viral load individu yang terinfeksi. Viral loadialah perkiraan jumlah copy RNAper
mililiter serum atau plasma penderita. Apabila virus ditularkan pada inang yang
belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi,
virus menyebar luas dalam tubuh inang. Sementara sel yang akan terinfeksi untuk
pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih + dahulu dikenai oleh
virus, bisa CD4 sel T dan + manosit di dalam darah atau CD4 sel T dan makrofag
pada jaringan mukosa.
Ketika HIV mencapai permukaan mukosa, maka ia akan menempel pada
limfosit-T + CD4 atau makrofag (atau sel dendrit pada kulit). Setelah virus
ditransmisikan secara seksual melewati mukosa genital, ditemukan bahwa target
selular pertama virus adalah sel dendrit jaringan (dikenal juga sebagai sel
17

Langerhans) yang terdapat pada epitel servikovaginal, dan selanjutnya akan


bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening setempat. Sel dendritik ini +
kemudian berfusi dengan limfosit CD4 yang akan bermigrasi kedalam nodus
limfatikus melalui jaringan limfatik sekitarnya. Dalam jangka waktu beberapa hari
sejak virus ini mencapai nodus limfatikus regional, maka virus akan menyebar
secara hematogen dan tinggal pada berbagai kompartemen jaringan. Nodulus
limfatikus maupun ekuivalennya (seperti plak Peyeri pada usus) pada akhirnya
akan mengandung virus. Selain itu, HIV dapat langsung mencapai aliran darah
dan tersaring melalui nodulus limfatikus regional. Virus ini bereproduksi dalam
nodus limfatikus dan kemudian virus baru akan dilepaskan. Sebagian virus baru
ini dapat berikatan dengan limfos it CD4 yang berdekatan dan menginfeksinya,
sedangkan sebagian lainnya dapat berikatan dengan sel dendrit folikuler dalam
nodus limfatikus.
Fase penyakit HIV berhubungan dengan penyebaran virus dari tempat
awal infeksi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh. Dalam jangka waktu satu
minggu hingga tiga bulan setelah infeksi, terjadi respons imun selular spesifik
HIV. Respons ini dihubungkan dengan penurunan kadar viremia plasma yang
signifikan dan juga berkaitan dengan awitan gejala infeksi HIV akut. Selama
tahap awal, replikasi virus sebagian dihambat oleh respons imun spesifik HIV ini,
namun tidak pernah terhenti sepenuhnya dan tetap terdeteksi dalam berbagai
kompartemen jaringan, terutama jaringan limfoid. Sitokin yang diproduksi
sebagai respons terhadap HIV dan mikroba lain dapat meningkatkan produksi
HIV dan berkembang menjadi AIDS.
Sementara itu sel dendrit juga melepaskan suatu protein manosa yang
berikatan dengan lektin yang sangat penting dalam pengikatan envelope HIV. Sel
dendrit juga berperan dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Pada jaringan
limfoid sel dendrit akan + melepaskan HIV ke CD4 sel T melalui kontak langsung
sel ke sel. Dalam beberapa hari setelah terinfeksi HIV, virus melakukan banyak
sekali replikasi sehingga dapat dideteksi pada nodul limfatik. Replikasi tersebut
akan mengakibatkan viremia sehingga dapat ditemui sejumlah besar partikel virus
HIV dalam darah penderita. Keadaan ini dapat disertai dengan sindrom HIV akut
18

dengan berbagai macam gejala klinis baik asimtomatis maupun simtomatis.


Viremia akan menyebabkan penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menyebabkan
infeksi sel Thelper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.
Infeksi ini akan menyebabkan penurunan jumlah sel CD4 yang disebabkan
oleh efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama
perjalanan dari mulai infeksi hingga AIDS jauh lebih besar dibanding jumlah sel
yang terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan
rangsang kronik menimbulkan apoptosis. Sel dendritik yang terinfeksi juga akan
mati.
Penderita yang telah terinfeksi virus HIV memiliki suatu periode
asimtomatik yang dikenal sebagai periode laten. Selama periode laten tersebut
virus yang dihasilkan sedikit dan umumnya sel T darah perifer tidak mengandung
virus, tetapi kerusakan CD4 sel T di dalam jaringan limfoid terus berlangsung
selama periode laten dan jumlah CD4 sel T tersebut terus menurun di dalam
sirkulasi darah. Pada awal perjalanan penyakit, tubuh dapat cepat menghasilkan
CD4 sel T baru untuk + menggantikan CD4 sel T yang rusak. Tetapi pada tahap
ini, lebih dari 10% CD4 sel T di organ limfoid telah terinfeksi. Seiring dengan
lamanya perjalanan penyakit, siklus infeksi virus terus berlanjut yang
menyebabkan kematian sel T dan + penurunan jumlah CD4 sel T di jaringan
limfoid dan sirkulas.
Selama fase lanjutan (kronik) infeksi HIV ini penderita akan rentan
terhadap infeksi lain dan respons imun terhadap infeksi ini akan merangsang
produksi virus HIV dan kerusakan jaringan l imfoid semak in menyebar.
Progresivitas penyakit ini akan berakhir pada tahap yang mematikan yang dikenal
sebagai AIDS. Pada keadaan ini kerusakan sudah mengenai seluruh jaringan
limfoid dan jumlah + CD4 sel T dalam darah turun di bawah 200 3 3 sel/mm
(normal 1.500 sel/mm ). Penderita AIDS dapat mengalami berbagai macam
infeksi oportunistik, keganasan, cachexia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal
(HIV nefropati), dan degenerasi susunan saraf pusat (AIDS + ensefalopati). Oleh
karena CD4 sel T sangat penting dalam respons imun selular dan humoral pada
berbagai macam mikroba, maka kehilangan sel limfosit ini merupakan alasan
19

utama mengapa penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam jenis
infeksi.5

3.1.5 Manifestasi Klinis


Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
tertentu. Dalam perjalanannya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis
1. Infeksi Akut
Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin
mengalami penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa
minggu. Ini adalah respons alami tubuh terhadap infeksi. Setelah HIV
20

menginfeksi sel target, yang terjadi adalah proses replikasi yang menghasilkan
berjuta-juta virus baru (virion), terjadi viremia yang memicu sindrom infeksi akut
dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Gejala yang terjadi dapat berupa
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri
otot, dan sendi atau batuk.
2. Infeksi Laten
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang
umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Pembentukan respons imun spesifik
HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat
germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala
hilang dan mulai memasuki fase laten. Meskipun pada fase ini virion di plasma
menurun, replikasi tetap terjadi di dalam kelenjar limfe dan jumlah limfosit T-
CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukkan gejala (asimtomatis).
Beberapa pasien dapat menderita sarkoma Kaposi’s, Herpes zoster, Herpes
simpleks, sinusitis bakterial, atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung
lama.
3. Infeksi Kronis
Sekelompok kecil orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit amat
cepat dalam 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor).
Akibat replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler
karena banyaknya virus, fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun
dan virus dicurahkan ke dalam darah. Saat ini terjadi, respons imun sudah tidak
mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4
semakin tertekan oleh karena intervensi HIV yang semakin banyak, dan
jumlahnya dapat menurun hingga di bawah 200 sel/mm3.
Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien
semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien
jatuh pada kondisi AIDS. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh,
ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare,
tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Sekitar 50% dari semua orang
21

yang terinfeksi HIV, 50% berkembang masuk dalam tahap AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun, hampir semua menunjukkan gejala AIDS, kemudian
meninggal.5
Gejala dan klinis yang patut diduga infeksi HIV adalah sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2012).
1. Keadaan umum, yakni kehilangan berat badan > 10% dari berat badan
dasar; demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5) yang
lebih dari satu bulan; diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari
satu bulan; limfadenopati meluas.
2. Kulit, yaitu didapatkan pruritic papular eruption dan kulit kering yang
luas; merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan kulit seperti
genital warts, folikulitis, dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak
selalu terkait dengan HIV.
3. Infeksi jamur dengan ditemukan kandidiasis oral; dermatitis seboroik; atau
kandidiasis vagina berulang.
4. Infeksi viral dengan ditemukan herpes zoster (berulang atau melibatkan
lebih dari satu dermatom); herpes genital berulang; moluskum
kontangiosum; atau kondiloma.
5. Gangguan pernapasan dapat berupa batuk lebih dari satu bulan; sesak
napas; tuberkulosis; pneumonia berulang; sinusitis kronis atau berulang.
6. Gejala neurologis dapat berupa nyeri kepala yang semakin parah (terus
menerus dan tidak jelas penyebabnya); kejang demam; atau menurunnya
fungsi kognitif.
Derajat berat infeksi HIV untuk keperluan surveilans dapat ditentukan
sesuai stadium klinis dari WHO dan jumlah CD4 dari CDC.
Tabel 3.1 Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO
Klasifikasi Stadium Klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
Sumber WHO (2007)
22

Tabel 3.2 Stadium Klinis WHO untuk orang dewasa yang terinfeksi HIV
Stadium Klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB)
Infeksi saluran napas atas berulang (episode saat ini, ditambah 1 episode atau
lebih dalam 6 bulan)
Herpes zoster
Keilitis angularis
Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6 bulan)
Erupsi papular pruritic
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
Stadium Klinis 3
Penurunan berat badan derajat berat yang tidak dapat dijelaskan (> 10% BB)
Diare kronik selama > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (> 37,6°C intermiten atau
konstan,
> 1 bulan)
Kandidiasis oral persisten
Oral hairy leukoplakia
TB Paru
Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis,
infeksi tulang atau sendi, bakteremia, radang panggul berat)
Stomatitis, ginggivitis, atau periodontitis ulseratif nekrotikans akut
Anemi yang tidak dapat dijelaskan (< 8 g/dl), neutropenia (< 1000/mm 3 ) dan/
atau trombositopenia kronik (< 50,000/mm 3 , > 1 bulan)
Stadium Klinis 4
HIV wasting syndrome
Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pneumonia bakterial berulang (episode saat ini ditambah satu episode atau lebih
dalam 6 bulan terakhir
Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal) selama
> 1 bulan, atau viseral tanpa melihat lokasi ataupun duras
Kandidiasis esophageal
TB ekstra paru
Sarkoma Kaposi
Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali
liver,
limpa, dan KGB)
Toksoplasmosis otak
23

Ensefalopati HIV
Kriptokokosis ekstrapulmonar (termasuk meningitis)
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML
Kriptosporidiosis kronik
Isosporiasis kronik
Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Septisemia berulang (termasuk Salmonella nontifoid) Limfoma (sel B non-
Hodgkin atau limfoma serebral) atau tumor solid terkait HIV Lainnya
Karsinoma serviks invasif
Leishmaniasis diseminata atipikal
HIV-associated nephropathy (HIVAN) atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis
Sumber: WHO 2007

3.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk megetahui secara pasti apakah seseorang
terinfetsi HIV sangatlah penting, arena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat
baru dilihat setelah bertahun-tahun lamanya.
Terdapat beberapa jenis pemeriksaaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan
serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk
mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat
dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi
genetik dalam darah pasien. Pemeriksan yang lebih mudah dilaksanakan adalah
pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya di gunakan
teknik ELIS (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau do-blot
immunobinding assay. Metodel yang biasanya digunakan di Indonesia adalah
dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV
ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi
HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan.
Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini
hasil tes HIV seseorang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberian hasil
24

yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adannya resiko terinfeksi cukup
tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.4

Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV

3.1.7 Kriteria Diagnosis


Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemerisaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi
atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diangnosis AIDS
25

untuk kepentingan surveilans ditegakan apabila terdapat infeksi oportunistik atau


limfosit CD4+ kurang dari 300sel/mm3.4
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang telah
disepakati secara global yaitu 5C (informed consent, confidentiality, counseling,
correct test results, connections to care, treatment and prevention services).
Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model layanan testing dan konseling
(TK) HIV.
Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode
pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis.
a. Metode pemeriksaan serologis
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan serologis.
Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering digunakan adalah
 rapid immunochromatography test (tes cepat)
 EIA (enzyme immunoassay)
Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama, yaitu
mendeteksi antibodi saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi (generasi
ketiga dan keempat). Metode western blot sudah tidak digunakan sebagai standar
konfirmasi diagnosis HIV lagi di Indonesia.
b. Metode pemeriksaan virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA HIV dan RNA
HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif di Indonesia lebih banyak
digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki
sarana pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan
pemeriksaan RNA HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang
mempunyai sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah
kering (dried blood spot [DBS]). Pemeriksaan virologis digunakan untuk
mendiagnosis HIV pada :
1. bayi berusia dibawah 18 bulan.
2. infeksi HIV primer.
3. kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala
klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
26

4. konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil laboratorium


yang berbeda.
Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:
1. tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda
menunjukan hasil reaktif.
2. pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.
Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan mempunyai sensitivitas
minimal 99% (batas bawah IK 95%) dan spesifisitas minimal 98% (batas bawah
IK 95%), sehingga menghasilkan nilai duga positif sebesar 99% atau lebih.
Strategi pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium atau di komunitas harus
memberikan hasil yang sama. Strategi ini dapat diaplikasikan pada semua format
tes serologis. Semua personel yang terlibat, baik tenaga laboratorium maupun
pekerja kesehatan yang telah dilatih, dalam melakukan tes, termasuk pengambilan
spesimen, prosedur pemeriksaan, pelaporan status HIV harus berpedoman pada
strategi tes ini. Kombinasi tes cepat atau kombinasi tes cepat dan EIA dapat
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi EIA/western
blot.6
3.1.8 Tatalaksana
HIV/AIDS sampai sekarang ini memang belum dapat disembuhkan secara
total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukan bukti yang amat
menyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV
bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat terinfeksi HIV.
Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan tubuh akibat dari HIV
dan pulihnya kerentanan odha terhadap indeksi opportunistik.
a. Penatalaksanaan umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan
mikronutrien untuk penderita HIV dan AIDS, onseling termasuk pendeatan
psikologis dan psikososial, membiasakan gaya hidup sehat.
b. Penatalaksanaan khusus
Pemberian antiretroviral therapy (ART) kombinasi, terapi infeksi seunder
sesuai jenis infeksi yang ditemukan, terapi malignansi. Sesudah dinyatakan HIV
27

positif, dilakukan pemeriksaan CD4 dan deteksi penyakit penyerta serta infeksi
oportunistik. Pemeriksaan CD4 digunakan untuk menilai derajat imunodefisiensi
dan menentukan perlunya pemberian profilaksis.
1. Persiapan pemberian ARV
Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan konseling
pasca-diagnosis untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai HIV termasuk
pencegahan, pengobatan dan pelayanan, yang tentunya akan memengaruhi
transmisi HIV dan status kesehatan pasien. Orang dengan HIV harus
mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan cukup tentang terapi ARV
sebelum memulainya.
Hal ini sangat penting dalam mempertahankan kepatuhan minum ARV
karena harus diminum selama hidupnya. Isi dari konseling terapi ini termasuk:
kepatuhan minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang
tidak diharapkan, atau terjadinya sindrom inflamasi rekonstitusi imun (immune
reconstitution inflammatory syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV,
komplikasi yang berhubungan dengan ARV. Jangka panjang, interaksi dengan
obat lain, monitoring keadaan klinis, dan monitoring pemeriksaan laboratorium
secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4. Setelah dilakukan konseling
terapi, pasien diminta membuat persetujuan tertulis/informed consent untuk
memulai terapi ARV jangka panjang.
Sebelum inisiasi ARV, lakukan penilaian klinis dan pemeriksaan
penunjang untuk menentukan stadium HIV dan membantu pemilihan paduan yang
akan digunakan. Walaupun terapi ARV saat ini diindikasikan pada semua ODHA
tanpa melihat jumlah CD4-nya, pemeriksaan jumlah CD4 awal tetap dianggap
penting, apalagi di Indonesia di mana masih banyak ODHA yang didiagnosis HIV
pada kondisi lanjut. Jumlah CD4 diperlukan untuk menentukan indikasi
pemberian profilaksis infeksi oportunistik. Stadium klinis juga tidak selalu sesuai
dengan jumlah CD4 seseorang. Pada satu studi di beberapa negara di Afrika,
hampir separuh ODHA dengan jumlah CD4 kurang dari 100 sel/μL
diklasifikasikan sebagai stadium WHO kelas 1 dan 2.
28

ARV diindikasikan pada semua ODHA berapapun jumlah CD4-nya.


Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan HIV. Tujuan ini dapat dicapai melalui pemberian terapi
ARV yang efektif sehingga kadar viral load tidak terdeteksi. Lamanya supresi
virus HIV dapat meningkatkan fungsi imun dan kualitas hidup secara
keseluruhan, menurunkan risiko komplikasi AIDS dan non-AIDS dan
memperpanjang kesintasan. Tujuan kedua dari pemberian terapi ARV adalah
untuk mengurangi risiko penularan HIV.
Dua uji klinis acak terkontrol, Strategic Timing of Antiretroviral Therapy
(START) dan Trial of Early Antiretrovirals and Isoniazid Preventive Therapy in
Africa (TEMPRANO) memperlihatkan waktu terbaik untuk memulai terapi ARV.
Pada studi TEMPRANO, pasien dengan nilai CD4 >500 sel/μL atau dengan nilai
CD4 berapapun yang segera memulai terapi ARV dan profilaksis isoniazid (INH)
selama 6 bulan mempunyai risiko lebih rendah untuk terjadinya penyakit yang
berat dibandingkan pasien yang menunda terapi ARV. Sedangkan pada studi
START, pasien yang memulai terapi ARV pada nilai CD4 >500 sel/μL
mempunyai risiko yang lebih rendah untuk terjadinya klinis berat yang tergolong
dalam dengan AIDS atau non-AIDS dibandingkan yang memulai pada nilai CD4
<350 sel/μL. Oleh karena itu, terapi ARV harus diberikan kepada semua orang
dengan HIV AIDS, tanpa melihat stadium klinis dan nilai CD4.
Terapi ARV juga harus diberikan kepada semua ODHA perempuan yang
hamil dan menyusui, tanpa melihat stadium klinis atau nilai CD4 dan dilanjutkan
seumur hidup. Terapi ARV pada perempuan dengan HIV yang hamil dan
menyusui mempunyai tiga tujuan sinergis, yaitu meningkatkan kesehatan ibu,
mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak, dan mencegah transmisi HIV dari ibu
ke pasangan.
Terapi ARV harus diberikan pada seluruh remaja (10-18 tahun) terinfeksi
HIV tanpa melihat stadium klinis dan status imunosupresi. Progresivitas infeksi
HIV paling cepat berkembang pada kelompok bayi berusia <1 tahun. Bayi yang
terinfeksi HIV perinatal sebagian besar akan meninggal sebelum berusia 2 tahun.
29

Terapi ARV harus diberikan pada seluruh anak terinfeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan status imunosupresi:
2. Paduan terapi ARV lini pertama
Paduan ARV lini pertama harus terdiri dari dua nucleoside reverse-
transcriptase inhibitors (NRTI) ditambah non-nucleoside reverse-trancriptase
inhibitor (NNRTI) atau protease inhibitor (PI). Pilihan paduan ARV lini pertama
berikut ini berlaku pada pasien yang belum pernah mendapatkan ARV
sebelumnya (naif ARV).
Paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa, termasuk ibu hamil
dan menyusui, terdiri atas 3 paduan ARV. Paduan tersebut harus terdiri dari 2
obat kelompok NRTI+1 obat kelompok NNRTI:
 TDF+3TC(atau FTC)+EFV dalam bentuk kombinasi dosis tetap
merupakan pilihan paduan terapi ARV lini pertama .
 Jika TDF+3TC(atau FTC)+EFV dikontraindikasikan atau tidak tersedia,
pilihannya adalah:
 AZT+3TC+EFV
 AZT+3TC+NVP
 TDF+3TC(atau FTC)+NVP
 TDF+3TC(atau FTC)+EFV dapat digunakan sebagai alternatif paduan
terapi ARV lini pertama.
Rangkuman paduan terapi ARV lini pertama pada orang dewasa
 Paduan pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDT
 Paduan Alternatif
AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Belum direkomendasikan pada pengguna rifampisin dan ibu hamil
3. Paduan terapi ARV lini kedua
30

Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI
atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC.
Penggunaan ARV menggunakan boosted-PI + kombinasi 2 NRTI menjadi
rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga
anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini berikutnya adalah pilih kelas obat
ARV sebanyak mungkin, minimal dua obat baru yang diduga masih aktif,
berdasarkan riwayat penggunaan obat sebelumnya dan pengetahuan mekanisme
kerja obat ARV yang baru. Penggunaan paduan NRTI harus dinilai apabila terjadi
kegagalan terapi untuk mengoptimalisasi terapi serta memaksimalkan aktivitas
antivirus. Apabila paduan dengan analog timidin (AZT) digunakan sebagai
paduan terapi lini pertama maka harus diganti dengan TDF pada paduan terapi lini
kedua.
Apabila paduan dengan analog non-timidin (TDF) digunakan sebagai
paduan terapi lini pertama maka harus diganti dengan AZT pada paduan terapi lini
kedua. Penggunaan 3TC atau FTC tetap dipertimbangkan untuk dilanjutkan
meskipun terdapat resistensi karena berkontribusi terhadap aktivitas paduan ARV
secara parsial. Berdasarkan data invitro, virus HIV yang memiliki mutasi M184V
terhadap 3TC dapat menginduksi resensitasi terhadap AZT atau TDF.
Paduan obat lini kedua pada remaja dan orang dewasa menggunakan
kombinasi 2 NRTI dan 1 boosted-PI
a. Pilihan paduan NRTI lini kedua sebagai berikut:
 Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan TDF+3TC(atau
FTC), paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah AZT+3TC.
 Setelah kegagalan terapi ARV lini pertama dengan paduan AZT+3TC,
paduan kelompok NRTI lini kedua yang terpilih adalah TDF+3TC (atau
FTC).
b. Pilihan boosted-PI pada paduan lini kedua adalah LPV/r
4. Paduan terapi ARV lini ketiga
31

Pada kasus kegagalan lini pertama dan kedua dengan NRTI, NNRTI dan
PI seperti di Indonesia, paduan yang dapat diberikan selanjutnya adalah
kombinasi INSTI dan PI generasi kedua, dengan atau tanpa tambahan NRTI.

3.2 Infeksi Oportunistik


Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak
bersifat invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun,
seperti pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh
patogen yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa),
maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan
normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal usus).7 Penurunan sistem
imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen tersebut untuk
menimbulkan manifestasi penyakit.
3.2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit oportunistik yang sering dijumpai
pada ODHA. Di samping itu, TB merupakan penyebab utama kematian pada
ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA
negatif dan TB ekstraparu yang kemungkinan besar disebabkan oleh
keterlambatan diagnosis dan terapi TB.6 Orang dengan HIV positif memiliki
risiko 30 kali lebih besar untuk terkena TB dibandingkan dengan orang dengan
HIV negatif.8
Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka memiliki sistem imunitas
32

yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten.
Namun pada orang-orang dimana sistem imunitasnya menurun, misalnya pada
ODHA, maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit
TB Aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi dengan HIV tetapi bila
terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya;
sedangkan pada ODHA, sekitar 60% dari mereka yang terinfeksi dengan kuman
TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dapat dimengerti
bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam
masyarakat.6
Diagnosis TB pada penderita HIV tidaklah mudah karena gejala klinis TB
pada ODHA sering tidak spesifik.9,10 Gejala klinis yang paling sering adalah
demam dan penurunan berat badan signifikan.9 Keluhan batuk pada ODHA sering
tidak spesifik seperti pasien TB umumnya. Oleh karena itu, sangat
direkomendasikan untuk evaluasi diagnosis TB pada ODHA yang datang dengan
keluhan batuk berapapun lamanya. 9
Gejala TB secara umum pada bukan ODHA adalah diduga TB apabila
batuk 2 minggu atau lebih, sedangkan pada ODHA diduga TB apabila terdapat
salah satu gejala berikut : batuk saat ini walaupun kurang dari 2 minggu, berat
badan turun secara drastis, demam atau keringat malam.6
Gambaran foto toraks pada pasien TB dengan HIV positif berbeda dengan
pasien TB dengan HIV negatif. TB pada orang dengan HIV negatif biasanya
mengenai lobus atas paru dan unilateral, sedangkan pasien dengan HIV positif
biasanya melibatkan kedua paru. Pada pasien TB dengan HIV positif, hasil foto
toraks sangat bervariasi tergantung pada tingkat imunitas pasien HIV yang diukur
melalui CD4.11
33

Semua pasien TB (termasuk yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan OAT lini pertama yang disepakati secara internasional, hal ini
sesuai ISTC:
a. Fase awal : 2 bulan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA),
dan etambutol (EMB), diberikan setiap hari.
b. Fase lanjutan : 4 bulan INH dan RIF, diberikan setiap hari. Bila tidak
memungkinkan karena tidak ada persediaan, maka dapat diberikan 3 kali
dalam seminggu (obat program untuk fase lanjutan setiap hari masih dalam
persiapan).
c. Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasi untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi
kegagalan pengobatan atau kambuh.
Pada pasien TB-HIV yang pernah diobati dan dinyatakan gagal terapi atau
putus obat, maka diberikan paduan OAT kategori 2 seperti yang diberikan pada
pasien TB tanpa HIV, yaitu:
a. Fase awal : 2 bulan streptomisin injeksi, INH, RIF,PZA, dan EMB,
diberikan setiap hari, selanjutnya 1 bulan INH, RIF, PZA dan EMB
diberikan setiap hari.
b. Fase lanjutan : 5 bulan INH, RIF dan EMB, diberikan setiap hari.
Pada ODHA dengan TB, pengobatan TB dimulai terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV sesegera mungkin dalam 8
minggu pertama pengobatan TB. Efavirenz mewakili golongan NNRTI yang baik
34

digunakan untuk pemberian ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih
ringan dibanding nevirapin.
Pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV dengan indikasi ARV lini 2
(berbasis LPV/r) dan OAT lini 1, maka pemberian OAT tetap dengan rifampisin,
isoniazid, pirazinamid dan etambutol pada fase awal (2 bulan pertama) dan
rifampisin, isoniazid untuk fase lanjutan (4 bulan selanjutnya). Sehubungan
rifampisin mengaktifkan enzim yang meningkatkan metabolisme boost inhibitor
sehingga menurunkan kadar plasma lebih rendah dari minimum inhibitory
concentration (MIC), maka dianjurkan meningkatkan dosis LPV/r menjadi 2 kali
dari dosis normal. Namun karena keduanya bersifat hepatotoksik, maka
diperlukan pemantauan fungsi hati dengan lebih intensif. Apabila pasien memiliki
kelainan hati kronis, maka pemberian kombinasi tersebut tidak
direkomendasikan.6
3.2.2 Diare
Diare merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada ODHA
yaitu didapatkan pada 30-60% kasus di negara maju dan mencapai 90% di negara
berkembang.12 Definisi diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi
lembek atau cair sebanyak tiga kali atau lebih dalam sehari selama kurang dari
dua minggu. Diare dikatakan persisten bila berlangsung antara dua sampai empat
minggu dan dikategorikan kronis bila berlangsung lebih dari empat minggu. 5
Terdapat beberapa pendekatan dalam memprediksi etiologi dari diare pada
HIV. Secara garis besar etiologi diare pada HIV dibagi menjadi penyebab infeksi
atau penyebab non-infeksi, serta berdasarkan jenis obat yang sering menyebabkan
diare. Klasifikasi pasien berdasarkan jumlah CD4 merupakan salah satu cara
untuk mengidentifikasi penyebab diare dan risiko komplikasi akibat infeksi HIV.
Jumlah CD4 tertentu berkaitan dengan risiko terhadap patogen tertentu pada
pasien HIV. 5
Parasit protozoa Kriptosporidium menjadi patogen utama dari diare kronis
pada kelompok tersebut, dengan penyebab terbanyak adalah Cryptosporidium
12,13
parvum (71.4%). Kriptosporidiosis termasuk dalam penyakit terkait AIDS
35

sesuai panduan CDC yang umumnya terjadi saat jumlah sel T CD4 +
<200cells/μL. Gambaran klinis kriptosporidiosis adalah diare kronis (>1 bulan)
dengan kotoran yang cair, dehidrasi, nyeri perut dan penurunan berat badan.
Kriptosporidiosis ditularkan dari tertelannya ookista melalui penyebaran
fekal-oral dari manusia ke manusia atau hewan ke manusia (Gambar 2). 13,14 Pasien
HIV dapat mengurangi kemungkinan terkena kriptosporidia dengan menghindari
paparan terhadap sumber penularan tersebut. Pasien harus waspada bahwa banyak
dari sumber air yang dapat terkontaminasi sehingga direkomendasikan untuk
merebus air sebelum diminum.13

Gambar 4. Transmisi Cryptosporidium parvum terjadi terutama melalui air yang


terkontaminasi (air minum maupun air di pusat rekreasi), dan secara jarang dapat
melalui makanan. Ookista bersifat infeksius begitu diekskresikan sehingga
transmisi fekal-oral langsung dapat terjadi.
Secara umum, tidak ada gejala diare spesifik pada pasien terinfeksi HIV.
Sebagian besar disebabkan oleh infeksi bakteri dengan keluhan utama kolik
abdomen. Apabila diare yang dialami tidak disertai kolik abdomen maka
kemungkinan besar disebabkan oleh infeksi virus atau suatu efek samping obat.
Pada pasien dengan diare profus, disertai karakteristik kotoran yang berair
36

merupakan ciri dari infeksi pada usus halus, selanjutnya kehilangan cairan akibat
diare dapat menyebabkan pusing, pingsan, pucat, ketidakseimbangan elektrolit
(hipokalemia, hiponatremia), dan gagal ginjal akut. Tanda-tanda keterlibatan
infeksi yang bersifat invasif atau sistemik adalah bila diare disertai demam, kolik
abdomen yang cukup berat, dan tinja yang disertai darah.
Tujuan pengobatan pada penderita HIV dengan diare adalah ditujukan
terhadap infeksi HIV dan terhadap diare itu sendiri baik terhadap penyebab diare
maupun terhadap komplikasi yang diakibatkan oleh diare. Pada pasien dengan
jumlah CD4 lebih dari 200, mayoritas penyebab diare akut adalah infeksi yang
self-limiting sehingga dapat dikelola secara konservatif dengan rehidrasi oral,
pengobatan simtomatik, dan modifikasi diet, kemudian diikuti pengelolaan sesuai
dengan analisis tinja.
Sedangkan pasien dengan jumlah CD4 kurang dari 200, terutama disertai
demam, kondisi klinis yang menunjukkan adanya proses sistemik, dan pasien
yang rawat inap dapat diberikan antimikroba secara empiris. Pendekatan
pengobatan dapat melalui pemberian terapi umum baik dalam hal stabilisasi
hemodinamik, mengurangi keluhan dan terapi khusus terutama terhadap penyebab
diare dan infeksi HIV itu sendiri.5
c. Terapi Umum
Terapi umum ditujukan untuk stabilisasi hemodinamik melalui rehidrasi
cairan, koreksi gangguan elektrolit, pengobatan suportif dan simtomatis serta
dukungan nutrisi dan konseling pada penderita infeksi HIV/AIDS. Terapi
simtomatis yang dapat mengurangi gejala diare antara lain: golongan luminal anti
diarrhea seperti Bismuth subsalicylate atau aluminium antasida, cholestyramine,
obat antimotilitas termasuk loperamide dengan dosis 2-4 mg diberikan empat kali
sehari atau diphenoxylate 2 tablet diberikan empat kali sehari. Octreotide 100-500
mcg diberikan secara subkutan atau intravena setiap 8 jam, terutama diberikan
pada kasus berat yang tidak respons dengan obat oral.
d. Terapi Spesifik
Terapi spesifik ditujukan pada pengobatan infeksi HIV (terapi
antiretroviral) dan pemberian anti mikroba. Pemberian terapi antiretroviral
37

memang tidak segera diberikan pada pasien HIV dengan diare. Namun pada
beberapa pasien terutama pasien dengan AIDS seringkali diare baru dapat
membaik setelah pemberian ART, sehingga pada kondisi ini dianjurkan segera
diberikan terapi antiretroviral dengan mengabaikan jumlah CD4 atau jumlah
limfosit total. Rekomendasi juga diberikan untuk penderita stadium II dan III
dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3.

Tabel 3.3 Gambaran klinis dan terapi HIV terkait diare


38

3.2.3 Kandidiasis Oral


Manifestasi oral HIV/AIDS sangat penting karena dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien dan menjadi penanda penting yang menunjukkan progres
penyakit dan supresi imun. Kadar sel T CD4 <200 sel/μL dan viral load >10.000
kopi/mL berhubungan dengan munculnya manifestasi oral pada pasien HIV,
terutama kandidiasis oral. Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang
paling sering ditemukan diantara pasien HIV/AIDS baik anak-anak maupun
dewasa.
Kandidiasis oral dapat menjadi penanda diagnostik dan prognostik yang
penting untuk infeksi HIV dan keberhasilan terapi anti retroviral. Pasien
terinfeksi HIV merupakan kelompok populasi yang sangat rentan terhadap
kandidiasis oral. Kandidiasis oral jarang berkembang menjadi fungemia yang
39

mengancam nyawa, akan tetapi memberikan rasa sakit atau gangguan yang
sangat berarti bagi pasien melalui timbulnya disfagia, dehidrasi dan kemudian
malnutrisi.
Diagnosis kandidiasis oral tipe pseudomembran atau eritematosa
ditegakkan berdasarkan tampilan klinis berupa lapisan plak putih yang dapat
diangkat dan meninggalkan area eritema/perdarahan pada tipe pseudomembran,
atau area eritema atropik di mukosa rongga mulut pada tipe eritematosa.6
Kandidiasis orofaringeal bermanifestasi sebagai plak atau patch berwarna
putih seperti krim yang dapat dikerok dengan punggung skalpel dan
menampakkan jaringan mukosa berwarna merah cerah di bawahnya. Manifestasi
ini disebut sebagai pseudomembran dan paling sering didapatkan pada palatum
durum, mukosa gusi atau bukal serta permukaan dorsal lidah (Gambar 3).15

Gambar 4. Kandidiasis orofaringeal pada penderita HIV. Tampak


pseudomembran pada palatum durum (kiri) serta mukosa gusi dan bukal (kanan).
Rekomendasi terapi kandidiasis rongga mulut pada dewasa:
 Untuk kasus ringan: nistatin suspensi (100.000 U/mL) 4 x 4–6 mL selama
7–14 hari (sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
 Untuk kasus sedang – berat: flukonazol oral, 100–200 mg sehari, selama
7–14 hari (sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
 Untuk kasus refrakter flukonazol
a. vorikonazol 2 x 200 mg (sangat direkomendasikan, kualitas bukti
sedang), atau
b. ekinocandin IV (caspofungin 70 mg loading dose, lalu 1 x 50 mg;
micafungin 1 x 100 mg; atau anidulafungin 200-mg loading dose, lalu 1
x 100 mg) (rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti sedang), atau
40

c. amfoterisin-B deoksikolat IV, 0,3 mg/kg per hari (rekomendasi sesuai


kondisi, kualitas bukti sedang).
 Untuk infeksi rekurens: flukonazol 100 mg 3 kali seminggu (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
 Untuk kasus denture stomatitis (infeksi kandida terkait penggunaan gigi
tiruan): disinfeksi gigi tiruan dan pemberian antijamur (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
Rekomendasi terapi kandidiasis rongga mulut pada anak:
 Untuk kasus ringan: nistatin suspensi (100.000 U/mL) 4 x 1-4 ml selama
7-14 hari (sangat direkomendasikan, kualitas bukti rendah)
 Untuk kasus sedang-berat: flukonazol oral 3 mg/kg/hari selama 7-14 hari

3.2.4 Pneumonia Pneumocystis


Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur
Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan (Gambar 5a).16
Taksonomi organisme ini telah berubah, yang awalnya dikenal dengan sebutan
Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis yang
menginfeksi binatang pengerat. Spesies yang menginfeksi manusia diberi nama
Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih digunakan istilah
PCP seperti sebelumnya.
P. jirovecii tersebar di mana-mana sehingga hampir semua individu pernah
terpapar mikroorganisme ini. Transmisi mikroorganisme ini diduga dari orang ke
orang, melalui respiratory droplet infection dan kontak langsung dengan kista
sebagai bentuk infektif pada manusia. Mikroorganisme ini merupakan patogen
ekstraseluler. Paru merupakan tempat primer infeksi dan biasanya melibatkan dua
bagian, paru kiri ataupun kanan. P. jiroveci terdapat di dalam kapiler alveolus,
septum intralveolus intertisial, dan sel epitel. Dalam kondisi tertentu
Pneumocystis dapat menyebar ke berbagai lokasi ekstrapulmoner, yaitu di hati,
limpa, kelenjar getah bening, dan sumsum tulang.
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik, yaitu demam tidak terlalu tinggi,
dyspnoe terutama saat beraktivitas, dan batuk non-produktif, frekuensi pernapasan
41

meningkat sampai 90- 120/menit, hingga sianosis. Secara umum diagnosis PCP
dapat dilakukan melalui 2 cara, metode noninvasif dan invasif. Pemeriksaan
noninvasif dapat dengan radiologi dada, sedangkan secara invasif dengan induksi
sputum, bronkoskopi, biopsi torakoskopik, mikroskopik, dan deteksi molekuler.17
Pada pemeriksaan radiografi dada, terlihat gambaran khas infiltrat bilateral
simetris, mulai dari hilus ke perifer, dapat meliputi seluruh lapangan paru (gambar
3)

Gambar 5. Radiografi dada pada penderita HIV dengan Pneumonia Pneumocystis


menunjukkan karakteristik berupa opasitas granuler simetris bilateral.18
Obat pilihan utama untuk Pneumonia Pneumocystis adalah kombinasi
trimetropim 20 mg/kg BB/ hari + sulfametaksazol 100 mg/kgBB/ hari per oral,
dibagi 4 dosis dengan interval pemberian tiap 6 jam selama 12 -14 hari. Obat
alternatif lain namun lebih toksik adalah pentamidin isethionat 4 mg/kgBB/ hari
diberikan 1x/hari secara IM atau IV selama 12-14 hari.
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien imunodefisiensi/
imunokompromi. Penderita HIV/AIDS dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3
hingga < 250 sel/mm3 dianjurkan mengonsumsi kemoprofilaksis PCP.
Kemoprofilaksis biasanya berupa kombinasi trimetropim + sulfametaksazol, 150
mg dan 750 mg/m2 /hari dibagi 2 dosis dengan interval pemberian tiap 12 jam.18
42

3.2.5 Papular Pruritic Eruption (Ppe)


Papular pruritic Eruption adalah Suatu kondisi kulit yang kronis pada
pasien HIV/AIDS yang ditandai oleh papula yang sangat gatal, terdistribusi
simetris serta paling banyak ditemukan di ekstremitas (namun lesi juga dapat
tersebar generalisata). Lesi ditandai dengan gatal hebat dan sering menimbulkan
ekskoriasi.
Penyebab pasti PPE masih belum sepenuhnya diketahui, Penelitian terbaru
menekankan peran gigitan arthropod (terutama nyamuk) pada patogenesis PPE,
menunjukkan bahwa terdapat respons berlebihan terhadap antigen arthropoda
pada individu yang terinfeksi HIV. Peningkatan konsentrasi IL-2, IL-12, dan IL-5
berkaitan dengan penurunan sel T limfosit CD4 dan peningkatan sel T limfosit
CD8 pada lesi kulit, yang dalam hal ini dapat menjelaskan adanya infiltrat
eosinofil pada kulit.
Secara klinis, PPE bermanifestasi sebagai papul (atau pustul) berwarna
seperti warna kulit hingga eritematosa, terdistribusi simetris, sangat gatal, dan
biasanya mengenai ekstremitas bagian distal. Seiring berjalannya waktu, erupsi ini
semakin meluas, mengenai badan dan wajah sehingga sulit dibedakan dengan
folikulitis eosinofilik.
Beberapa terapi yang dapat mengurangi PPE meliputi, antihistamin
sistemik, kortikosteroid topikal, takrolimus topikal, itrakonazol, pentoksifilin dan
fototerapi UVB, kendati demikian tidak ada penelitian klinis terkontrol yang dapat
membuktikan hal ini. Baru-baru ini, Navarini dan kolega membuktikan bahwa
prometazin 25 mg merupakan terapi lini pertama untuk PPE. Meskipun demikian
prometazin tidak tersedia di negara-negara tertentu, sehingga dapat diganti dengan
antihistamin generasi pertama (chlorphenamine maleate) selama 3 bulan, namun
hasilnya tidak memuaskan.
Fototerapi UVB telah digunakan sejak akhir tahun 1980-an untuk terapi
PPE dan pruritus pada pasien HIV. Cara kerja fototerapi UVB adalah dengan
menekan sitokin inferon-gamma (IFN-γ) dan sitokin pro-inflamasi (IL-4) serta
meningkatkan sitokin anti-inflamasi (IL-10). Di samping itu, UVB dapat
mengurangi sel T imunokompeten dari epidermis dan dermis melalui stimulasi
43

apoptosis. NB-UVB biasanya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek
samping yang serius jika digunakan jangka waktu yang singkat, sehingga
merupakan terapi yang aman untuk PPE.6
BAB 4
KESIMPULAN

Pasien datang ke IGD RS Cut Meutia dengan keluhan diare kurang lebih 2
minggu sebelum masuk ke RS. BAB berisi cairan dimana rasio air lebih besar dari
pada ampas. Pasien mengalami diare kurang lebih 5 kali dalam sehari, Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah kurang lebih 5 kali dalam sehari, muntahan
berupa cairan beserta apa yang dimakan saat itu.
Pasien juga mengalami sariawan sejak 1 minggu sebelum masuk ke RS
sehingga sulit makan namun masih bisa minum. Demam naik turun dirasakan 3
hari sejak sebelum masuk ke RS. Nafsu makan turun dan pasien mengalami
penurunan berat badan dalam kurun waktu 1 tahun. Tahun lalu berat badan pasien
59 kg dan terakhir kali di timbang bulan ini yaitu 39 kg, dalam satu tahun terjadi
penurunan berat badan turun sebanyak 20 kg.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran komposmentis, GCS
E4V5M6, tekanan darah 100/50 mmHg, frekuensi nadi 90x/menit, regular,
frekuensi napas 18x/menit, regular, suhu 37,3⁰C. Pada auskultasi ditemukan ronki
(+/+), Konjungtiva pucat (+/+), pada kulit di jumpai papul eritematosa hampir
diseluruh badan dan terdapat ekskoriasi, dijumpai plak putih disertai
pseudomembran pada keseluruhan rongga mulut.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin menurun
namun setelah dikoreksi hemoglobin naik mendekati normal. Pada
penatalaksanaan diberikan pengobatan sesuai keluhan dan protap pengobatan HIV
dan komplikasinya.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program Pengendalian HIV


AIDS dan PIMS Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. (2017).
2. Nyoman, L., Wisma, A. & Suryana, K. Spektrum Infeksi Oportunistik Pada
Klien Klinik Merpati RSUD Wangaya Periode Januari-Februari 2014. 1–7
(2014).
3. Kementerian kesehatan RI. Infodatin HIV AIDS. Kesehatan
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
AIDS.pdf (2020).
4. Interna Publishing. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (2014).
5. Hidayati, A. N., Rosyid, A. N., Nugroho, C. W. & Asmarawati, T. P.
Manajemen HIV / AIDS. (2014).
6. Kementrian Kesehatan republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV. Kementrian Kesehatan republik Indonesia
vol. 11
7. Ethiopia Federal HIV/AIDS Prevention and Control Office. Guidelines for
Management of Opportunistic Infections and Anti-Retroviral Treatment in
Adolescents and Adults in Ethiiopia, March 2008. 1–109 (2008).
8. Naidoo, K., Baxter, C. & Karim, S. S. A. When to start antiretroviral
therapy during tuberculosis treatment. NHI Public Acess 26, 35–42 (2014).
9. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengobatan
Antiretroviral. (2014).
10. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Dinas Kesehat. 163 (2017).
11. Cahyawati, F. Tatalaksana TB pada Orang dengan HIV / AIDS. Cermin
Dunia Kedokt. 45, 704–708 (2018).
12. Ghimire, A. et al. Enteric parasitic infection among HIV-infected patients
visiting Tribhuvan University Teaching Hospital, Nepal. BMC Res. Notes
9, 5–9 (2016).

45
46

13. Beeching, N. J., Jones, R. & Gazzard, B. Gastrointestinal opportunistic


infections. HIV Med. 12, 43–54 (2011).
14. CDC. cryptosporidiosis. Center of Desease Control And Prepention (2020).
15. Oral Manifestations. Natl. HIV Curric. 20, 1–42 (2021).
16. Center Of Desease Control Prepention. Pneumocystis pneumonia. cdc
(2021).
17. Tjampakasari, C. R. Infeksi Jamur Oportunistik Pneumocystis jirovecii.
Cermin Dunia Kedokt. 45, 917–921 (2018).
18. Kaplan, J. E. et al. Guidelines for the Prevention and Treatment of
Opportunistic Infections in Adults and Adolescents with HIV
Recommendations from the Centers for Disease Control and Prevention ,.
MMWR Recomm. Rep. Accessed:,
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/ (2020).

Anda mungkin juga menyukai