Anda di halaman 1dari 11

Hipertensi

a. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan di mana tekanan
darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg.(Joint
National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure VII/ JNC- VII, 2003)1
b. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu2 :
1. Hipertensi essensial atau primer yaitu hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya ( 90% kasus)
2. Hipertensi sekunder yang penyebabnya dapat ditentukan (10% kasus), antara lain
kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit
kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain.

Menurut JNC –VII (2003) hipertensi diklasifikasikan sebagai berikut:

Perubahan klasifikasi tekanan darah dari kategori JNC 6 kepada JNC 7 adalah
sebagai berikut1 :
c. Faktor resiko hipertensi
Faktor resiko hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu2 :
1. Faktor resiko yang tidak dapat di ubah
Faktor resiko yang melekat pada penderita hipertensi dan tidak dapat diubah,
antara lain: umur, jenis kelamin dan genetik.
a. Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi, dengan bertambahnya umur,
resiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Pada usia lanjut hipertensi
terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah sistolik. Kejadian
ini disebabkan oleh perubahan struktur pembuluh darah besar.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pria memounyai resiko
sekitar 2,3 kali belih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik
dibandingkan perempuan, karena pria diduga memiliki gaya hidup yang
cenderung meningkatkan tekanan darah. Namun, setelah memasuki
menopause, prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat. Bahkan setelah
usia 65 tahun, hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan
pria akibat faktor hormonal.
c. keturunan ( genetik )
riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensu juga meningkatkan resiko
hipertensi terutama hipertensi essensial atau primer. Faktor genetik juga
berperan dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.
2. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Kegemukan atau obesitas
Berat badan atau indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan
tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab
hipertensi, akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar.
Resiko relatif untuk menderiita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan seseorang dengan berat badan normal.
b. Merokok
Zat- zat kimia beracun seperti niotin dan karbon monooksida yang dihisap
melalui roko akan memasuki sirkulasi darah dan merusak lapisan pembuluh
darah arteri, zat tersebut mengakibatkan proses arterosklerosis dan tekanan
darah tinggi. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi akan semakin
meningkatan resiko kerusakan pembuluh darah arteri.
c. Kurang aktivitas fisik
Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan darah dan
bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan.
d. Konsumsi garam berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan
keluar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan
tekan darah.
e. Dislipidemia
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
kemudian mengakibatkan peningkatan tahanan perifer pembuluh darah
sehingga tekanan darah meningkat.
f. Konsumsi alkohol berlebih
g. Psikososial dan stress
Stress dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebihkuat, sehingga tekanan
darah meningkat.
d. Diagnosis hipertensi
Tidak semua penderita hipertensi mengenali atau merasakan keluhan maupun gejala,
sehingga hipertensi sering dijuluki sebagai pembunuh diam-diam (silent killer)2.
Keluhan keluhan yang tidak spesifik pada penderita hipertensi antara lain:
 sakit kepala
 gelisah
 jantung berdebar-debar
 penglihatan kabur
 pusing, mudah lelah dan lain-lain.

Gejala akibat komplikasi hipertensi yang mungkin dijumpai sebagai berikut:

 gangguan penglihatan
 gangguan saraf
 gangguan jantung
 gangguan fungsi ginjal
 gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan kejang, perdarahan pembuluh
darah otak yang akan mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga
koma.

Di pelayanan kesehatan primer/Puskesmas, diagnosis hipertensi ditegakkan


oleh dokter, setelah mendapatkan penigkatan tekanan darah dalam dua kali
pengukuran dengan jarak satu minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila
tekanan darah >140/90 mmHg, bila salah satu baik sistolik maupun diastolik
meningkat sudah cukup untuk menegakkan diagnosis hipertensi.

e. Tatalaksana Hipertensi
Tatalaksana hipertensi meliputi non farmakologis dan farmakologis. Strategi
pengobatan hipertensi didasarkan pada stadium peningkatan tekanan darah. Pada
tahap prahipertensi, dianjurkan untuk melakukan modifikasi gaya hidup. Sedangkan
hipertensi tahap 1 modifikasi gaya hidup dikombinasikan dengan terapi obat tunggal
(biasanya dianjurkan diuretik tipe thiazide). Pada hipertensi tahap II, dianjurkan untuk
modifikasi gaya hidup namun terapi awal bersifat agresif dan biasanya
dikombinasikan antara dua obat misalnya dieuretik tipe thiazide dikombinasi dengan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blocker (ARB),
calcium channel blocker (CCB), atau beta-blocker 2.
1. Tatalaksana non-farmakologis 2
- Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup dapat membantu mencegah atau menunda timbulnya
hipertensi dan menurunkan tekanan darah pada pasien yang sudah mengalami
hipertensi. Rekomendasi JNC 7 cukup universal untuk praktik kesehatan yang baik
yaitu menjaga berat badan normal, tidak merokok, berolahraga, dll. Selain mencegah
atau mengurangi tekanan darah tinggi, modifikasi ini mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular lainnya.
- Penurunan berat badan
Dengan mempertahanan indeks masa tubuh normal ( 18,5-24,9 kg/m 2) dapat
membantu mengontrol tekanan darah. Sebab setiap penurunan berat badan 10 kg
maka akan menurunkan tekanan darah sistolik antara 5-10 mmHg.
- Diet
Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) adalah diet bagi pasien
hipertensi dengan meningkatkan konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk
susu rendah lemak dan mengurangi konsumsi lemah jenuh dan lemak total. Diet ini
dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 8-14 mmHg.

- Diet asupan natrium


Dengan membatasi asupan natrium sebesar 2000 mg per hari dapat
menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 5-10 mmHg. Terutama pada pasien yang
mengkonsumsi obat ACE inhibitor dan ARB, karena obat tidak akan efektif apabila
asupan natrium tetap tinggi.
- Aktifitas fisik
Aktivitas fisik aerobik yang teratur setidaknya 30 menit per harinya dapat
menurunkan tekanan darah sistolik hingga 9 mmHg.
2. Pengobatan farmakologi 2
Obat antihipertensi merupakan pengobatan standar dalam menurunkan TD
yang meningkat secara kronis dan diindikasikan jika terapi non farmakologis tidak
adekuat. Sebanyak 2/3 pasien tidak dapat mencapai tekanan darah yang optimal hanya
dengan mengandalkan monoterapi sehingga diperlukan kombinasi 2 sampai 4 obat.
JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai pengobatan tahap awal.
Jenis-jenis obat anti hipertensi :
a. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh melalui
buang air kecil, sehingga volume cairan tubuh berkurang, tekanan darah turun
dan beban jantung lebih ringan. Populasi lanjut usia lebih rentan mengalami
dehidrasi dan hipotensi ortostatik akibat penggunaan thiazide. Bila terjadi
hipokalemia, berikan suplemen kalium atau tambahan potasium-sparing diuretic
seperti spironolactone, atau gunakan kombinasi obat-obatan seperti tremterene/
hydrochlorothiazide.
Loop diuretik diindikasikan untuk pengobatan hipertensi terutama dengan
gangguan fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus (GFR) < 30-50 mL/menit/m 2),
gagal jantung kongestif, dan hipertensi resisten1.
Diuretik hemat kalium / inhibitor reseptor aldosteron memiliki mekanisme
kerja dengan menghambat keluarnya kalium di tubulus ginjal distal, sedangkan
penghambat saluran natrium bekerja dengan memblokir saluran natrium secara
langsung dan penyekat aldosteron bekerja dengan cara mengikat reseptor
aldosteron di tubulus distal untuk mencegah aktivasi aldosteron dari saluran
natrium distal. Spironolakton dan eplerenon juga memblokir aktivitas aldosteron di
di jantung, ginjal, dan pembuluh darah. Kekurangan dari agen ini adalah terjadinya
hiperkalemia dan pada penggunaan spironolakton dapat menyebabkan efek yang
terkait dengan progesteron seperti ginekomastia.
b. Penyekat beta (β-blockers)
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan laju nadi
dan daya pompa jantung. Obat golongan β-blockers dapat menurunkan mortalitas
dan morbiditas pasien hipertensi lanjut usia, menurunkan resiko penyakit jantung
koroner, prevensi terhadap serangan infark miokard ulangan dan gagal jantung.
Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita asma bronkial. Pemakaian pada
penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia.
Walaupun farmakokinetik dan farmakodinamik berbagai jenis β-blockers
berbeda-beda, efikasi antihipertensinya hampir serupa. Atenolol, metoprolol dan
bisoprolol bersifat kardioselektif dengan kelarutan terhadap lipid yang rendah,
sehingga lebih umum dipilih pada populasi lanjut usia. Obat β-blockers yang
bersifat lipofilik (seperti propanolol) dapat menembus sawar darah otak sehingga
berefek sedasi, depresi dan disfungsi seksual. β-blockers terutama golongan non-
selektif seperti nadolol dan propanolol merupakan kontraindikasi bagi pasien
dengan gangguan reaktif saluran nafas yang berat.
Terutama pada populasi usia lanjut, β-blockers secara umum dapat
menyebabkan bradikasria, abnormalitas konduksi, dan gagal jantung terutama bila
dosis awal terlalu tinggi atau pasien mempunyai riwayat penurunan fungsi
ventrikel kiri. Perhatian khusus harus diberikan bila β-blockers diberikan bersama
dengan obat golongan kronotropik negatif seperti diltiazem, verapamil, atau
digoksin. Pemberian β-blockers tidak boleh secara langsung dihentikan, harus
ditirtasi perlahan untuk meminimalisasi refleks takikardia (rebound).
c. ACE inhibitor dan ARB
ACE inhibitor dan ARB mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron
(RAAS) dengan mekanisme yang berbeda. ACE inhibitor memblokir konversi
peptidaangiotensin I menjadi angiotensin II (vasokontriktor apoten), sedangkan
ARB langsung menempati reseptor subtipe I angiotensin II. Baik ACEI maupun
ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga meringankan beban jantung. ACEI
maupun ARB diindikasikan terutama pada pasien hipertensi dengan gagal jantung,
diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronik.
Obat ini dianggap aman dan sama efektifnya, namun karena mekanisme kerja
ARB lebih langsung menyebabkan efek samping yang lebih sedikit. ACE onhibitor
biasanya menyebabkan angioderma, batuk (hingga 15% pasien), gagal ginjal akut,
hiperkalemia, anemia, kolestasis, dan neutropenia. ARB juga dapat menyebabkan
angioderma walau insidennya hanya 1 banding 100, hiperkalemia dan gagal ginjal
akut. Kedua kelas obat ini dikontraindikasikan selama kehamilan.
d. Golongan calsium chanel blocker (CCB)
calsium chanel blocker (CCB) menghambat masuknya kalsium ke dalam sell
pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga
arteri perifer. Ada dua kelompok obat CCB yaitu dihidropyridin dan
nondihidropyridin keduanya efektif untuk pengobatan hipertensi pada lanjut usia.
Secara keseluruhan, CCB diindikasikan untuk pasien yang memiliki resiko tinggi
penyakit koroner dan untuk pasien diabetes.
Kelompik nondihidropyridin (seperti diltiazem dan verapamil) mempunyai
efek inotropik dan kronotropik negatif sehingga sangat bai diberikan pada pasien
dengan fibrilasi atrial dan takikardi supraventrikuler. Kelompok dihidropyridin
(seperti amlodipine dan felodipine) aman diberikan pada pasien dengan gagal
jantung, hipertensi atau angina stabil kronik.
f. Hipertensi dan penyakit jantung
Efek utama hipertensi pada jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload yang harus diatasi jantung saat berkontraksi dan perkembangan
aterosklerosis pada arteri koroner. 3
a. Hipertrofi Ventrikel Kiri dan Disfungsi Diastolik
Tekanan arteri yang tinggi (peningkatan afterload ) meningkatkan tegangan
dinding ventrikel kiri yang kemudian dikompensasi dengan hipertrofi. Hipertrofi
konsentrik (tanpa dilatasi) adalah pola kompensasi normal meskipun kondisi yang
meningkatkan TD akibat volume sirkulasi yang meningkat (seperti aldosteronisme
primer) menyebabkan hipertrofi eksentrik dengan dilatasi runag jantung. LVH
menyebabkan peningkatan kekakuan ventrikel kiri dan disfungsi diastolik yang
ditunjujjan dengan peningkatan tekanan pengisian LV saat diastol yang
mengakibatkan kongesti paru.
Temuan fisik pada LVH meliputi impuls dorongan LV pada palpasi dada
yang mengindikasikan adanya peningkatan massa otot. Hal ini biasanya disertai
dengan suara jantung 4 (S4) akibat kontraksi atrium terhadap ventrikel kiri yang
kaku. LVH merupakan prediktor terkuat terhadap morbiditas kardiak pada
penderita hipertensi. Derajat hipertrofi berkorelasi dengan perkembangan gagal
jantung kongesti, angina, aritmia, infark miokard, dan kematian jantung
mendadak.
b. Disfungsi sistolik
Meskipun LVH awalnya merupakan mekanisme kompensasi, pada akhirnya
peningkatan massa LV menjadi tidak cukup dalam menjaga keseimbangan
tegangan dinding yang tinggi akibat peningkatan tekanan pada hipertensi sistemik.
Karena kapasitas kontraksi LV memburuk, disfungsi sistolik akan terjadi
(menyebabkan penurunan curah jantung dan kongesti paru). Disfungsi sistolik
juga diprovokasi oleh perkembangan penyakit arteri koroner yang menyebabkan
periode iskemik miokard.
c. Penyakit arteri koroner
Hipertensi kronis merupakan kontributor utama dalam perkembangan iskemia
dan infark miokard. Komplikasi ini merefleksikan kombinasi perkembangan
aterosklerosis koroner (penurunan suplai oksigen miokard) dan beban kerja
sistolik yang tinggi (peningkatan kebutuhan oksigen). Sebagai tambahan,
hipertensi memiliki insiden komplikasi paska infark miokard yang lebih tinggi,
seperti ruptur dinding ventrikel, pembentukan aneurisma LV, dan gagal jantung
kongesti.
Daftar pustaka

1. jeffery martin, M.D. EAS. Hypertension Guidelines : Revisiting the JNC 7


Recommendations. The Journal Of Lancaster General Hospital. vol 3-no 3
2008;3(3):91-97.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman-Teknis-Penemuan-dan-


Tatalaksana-Hipertensi.pdf. Published online 2013:1-58.

3. Leonard S.Lilly. Patofisiologi Penyakit Jantung, Edisi 6. 2019 :320-342

Anda mungkin juga menyukai