Anda di halaman 1dari 25

REFERAT BEDAH ANAK

APENDISITIS PADA ANAK

Oleh:
Biltinova Arum Miranti

dr. Heru

G99141059

dr. Suwardi, SpB, SpBA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks yang merupakan salah


satu penyebab terjadinya nyeri perut pada anak dan dapat berujung pada
kegawatdaruratan abdomen pada bagian bedah. Appendiks adalah suatu struktur
kecil berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari
caecum. Apendisitis dapat disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada
mukosa akibat infeksi bakteri.1,2 Diagnosis pada anak sulit dan kemungkinan
sekitar 30-60% terjadi perforasi, 50% dari kasus perforasi tersebetu sebelumnya
sudah menemui dokter. Resiko perforasi terbesar berada pada rentang usia 1
sampai 4 tahun (70-75%). Kesulitan dalam membedakan apendisitis dengan
kelainan nyeri perut lainnya serta meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas
yang berhubungan dengan perforasi menyebabkan apendisitis merupakan masalah
penting bagi klinisi. Lebih dari setengah pasien pediatri dengan apendisitis
terlambat didiagnosa dan perforasi sudah terjadi dan meningkatkan angka
mortalitas dan morbiditas. Konsultasi dini dengan ahli bedah, penggunaan
pemeriksaan penunjang berupa media imaging seperti CT scan, ultrasonografi,
laparoskopi, dapat mengurangi insidensi perforasi.3,4 Diagnosis apendisitis pada
anak-anak maupun dewasa didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
namun pada anak-anak cukup sulit untuk dilakukan sehingga

kejadian

misdiagnosis berkisar 28-57% pada anak dibawah usia 12 tahun dan hampir 100
% pada anak dibawah usia 2 tahun. Diagnosis dini pada bayi dan ank-anak dapat
mencegah

perforasi,

pembentukan

abses,

pengurangan biaya rumah sakit.5,6

komplikasi

postoperasi,

dan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
yang membentuk produk immunoglobulin. Appendiks adalah suatu struktur
kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait pada bagian awal dari caecum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada ileocaecal junction
terdapat valvula ileocecalis dan pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis. Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit
dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Appendiks terletak di
kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileocaecum dan merupakan
pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia
omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik
McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang
berjarak 1/3 dari SIAS kanan.2
Appendiks

vemiformis

disangga

oleh

mesoappendiks

(mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah


ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang arteri

ileocolica).

Orificiumnya

terletak

2,5

cm

dari

katup

ileocecal.

Mesoapendiknya merupakan ajringan lemak yang mempunyai pembuluh


darah apendicial dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.2
Struktur appendiks mirip dengan usus memiliki 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propia (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan elastik membentuk
jaringan saraf, pembuluh darah, dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa
terdapat limfonodi. Mukosa terdiri dari 1 lapis epitel kolumnar dan terdiri dari
kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan
berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada
pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior

digunakan sebagai

pegangan untuk mencari appendiks.7


Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans cacecum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan
menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju ke ileocaecal.8
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak
dan ruang geraknya bergantung pada mesoappendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang caecum,
dibelakang kolon ascendens, atau ditepi lateral kolon ascendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak appendiks.2

Jenis posisi appendiks:2


1. Promontorik

ujung

appendiks

menuju

arah

promontorium sacri
2. Retrocolic

: appendiks berada di belakang kolon

ascendens dan biasanya retroperitoneal.


3. Antecaecal

: appendiks berada didepan caecum

4. Paracaecal

: appendiks terletak horizontal di belakang

caecum
5. Pelvic descendens : appendiks menggantung ke arah pelvis
minor
6. Retrocaecal

intraperitoneal

atau

retroperitoneal;

appendiks berputar ke atas ke belakang caecum.


Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengilkuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula disekitar umbilikus.2
Pendarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis, cabang
dari arteri ileocaecalis, cabang dari arteri mesenterika superior. Arteri
appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.2
B. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke da;am lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tapaknya berperan pada
patogenesis apendisitis.9

Dinding appendiks terdiri dari jaringan limfa yang merupakan


bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh gut associated lympoid tisue (GALT) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengankatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfonogi disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.9
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun,
tidak ada lagi jaringan lympoid di appendiks dan terjadi obliterasi lumen
appendiks komplit.9
C. ETIOLOGI
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya
proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus
diantaranya hipeplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan sumbatan
karena cacing ascaris. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari
kebanyakan penyakit ini, namun ada beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya radang apendiks, diantaranya:10
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hiperplasi jaringan limphoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapa ditemui
pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya : fekalith ditemukan
40% pada kasus apendisitis akut sederhana, 65% pada kasus apendisitis

akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akkut
dengan ruptur.10
2. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadinya peningkatan
stagnansi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak
ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes Fragililis dan E.coli, lalu
Lactobacilus,

pseudomonas,

bacteriodes

splanchnicus.

Sedangkan

kuman menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan


aerob <10%.10
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan
kebiasaan makan pada keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat
memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.10
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan kurang serat mempunyai
risiko lebih tinggi daripada negara yang pola makannya banyak serat.
Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bengsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini ke pola makan yang
rendah serat, memiliki risiko apendisitis yang tinggi.10

D. PATOFISIOLOGI
Apendisitis

biasanya

disebabkan oleh

penyumbatan

lumen

appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, feklit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.11
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada
bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari
mukosa appendiks yang distensi. Obtruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi oleh mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas lumen
appendiks maksimal hanya 0,1ml. Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat
meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60 cmH 2O. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangren atau terjadi
perforasi.11
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saai inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor. 11
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan arteri akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah
kanan bawah. keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.11

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding arteri


yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak ada bentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massa

periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri


secara lambat.11
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi.

Sedangkan pada orang tua

perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.11


Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain sepertei vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan
ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai teta[i
mesih belum cukup kuat untuk menahan atau tegangan dalam cavum
abnormalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.11

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,


tetap akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan n ini dapan menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakann mengalami eksaserbasi akut.11
E. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan, antara lain:11
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik apendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium
atau sekitar umbilikus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap
diabdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tanajm
dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila
terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri
di perut pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal
3. Nafsu makan menurun
4. Obstipasi dan diare pada anak
5. Demam
Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala
awalnya yang sering ialah awalnya rewel dan tidak mau makan. anak sering
tidk bisa melukiskan nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering
diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.11
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru
dapat diketahui setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis
adalah nyeri perut, mual, muntah. Yang perlu diperhatikan ialah pada
kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual muntah. Pada kehamilan

10

lanjut caecum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan


tidak dirasakan diperut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
F. PEMERIKSAAN FISIK
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan
suhu antara aksila dan rectal 1C.11
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderitaberjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Pasien tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terdapat pada pasien
dengan perforasi. Penonjolan pada perut kanan bawah bisa dilihat pada
massa atau abses appendikuler.11
2. Palpasi
Dengan palpasi dan nyeri tekan didaerah titik Mc Burney
didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu11:
a. Nyeri tekan di titik Mc Burney
b. Nyeri lepas
c. Defans muskular lokal. Defans muskular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muskular mungkin
tidak ada, yang ada nyei pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
a. Nyeri tekan kanan bawah pada penekanan kiri (Rovsing)
b. Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
c. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
merjalan, batuk, mengedan.
11

Apendisitis infiltrat atau adanya abses appendikuler terlihat


dengan adanya penonjolan diperut kanan bawah.7
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena
ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.11
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan
pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvica akan didapatkan nyeri terbatas
sewaktu dilakukan colok dubur. Pada apendisitis pelvica tanda perut
sering meragukan, maka kunci diagnosis nyeri adalah terbatas waktu
dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan obturator merupakan pemeriksaan yang lebih
ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan pada m. Psoas lewat hiperekstensi ataua fleksi aktf. Uji
obturator untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan yang merupakan dinding panggul
kecil. Dengan grekan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.11
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah: akan didapatkan leukosistosis pada kasus
apendisitis akut terutama bila sudah terjadi komplikasi, Creaktif
protein meningkat. Pada appendikular infiltrat, LED meningkat.12
b. Pemeriksaan urin : urin untuk meilaht adanya eritrosit, leukosit, dan
bakteri lain dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
mneyingkirkan diagnosis banding sepertin infeksi saluran kemih atau
batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
apendisitis.12

12

2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab
apendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.13
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya
abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis
banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.12,13
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke kolon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi
apendisitis pada jaringan sekitarnya dan dapat menyingkiran diagnosis
banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang
tinggi sebagai metode diagnostic untuk menegakkan diagnosis apendisitis
kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit.12
5. CT scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari apendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukan komplikasi seperti bila terjadi abses.13
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, appendiks dapat diviualisasikan secara
langsung. Teknik ini dilakukan dibawah pengaruh anestesi umum. Bila
pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks
meka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan
appendiks.13

13

Sistem Skor Alvarado


Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan
dari gambaran klinis saja, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara
anak, orangtua, dan dokter. Anak belum mampu mendeskripsikan keluhan
yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa.
Keadaan ini menyebabkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan
angka perforasi sebesar 20-30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas
dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah
banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi appendiktomi
negatif, salah satunya dengan instrumen skor alvarado. Skor alvarado
adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat, dan kurang invasif. Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat
sistem skoring yang didasarkan pada 3 gejala, 3 tanda, dan 2 temuan
laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan temuan pra operasi dan untuk
menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor alvarado ini
menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan
atau vomitus, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah, nyeri tekan
lepas, temperatur >37,2C, leukositosis dan netrofil >75%. Nyeri kuadran
kanan bawah dan leukosistosis memiliki nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga 8 faktor ini memberikan
jumlah skor 10.14
Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:
Gejala dan tanda:

Skor

Nyeri berpindah

Anoreksia

Mual-muntah

Nyeri fossa iliaka kanan

Nyeri lepas

Peningkatan suhu > 37,30C

Jumlah leukosit > 10103/L

2
14

Jumlah neutrofil > 75%

__________________________________________________
Total skor:

10

Keterangan Alavarado score :14


- Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
- Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
14

dipertimbangkan appendicitis akut

56

possible appendicitis tidak perlu operasi

79

appendicitis akut perlu pembedahan

- Penanganan berdasarkan skor Alvarado


14

: observasi

56

: antibiotic

7 10 : operasi dini
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis.12
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai
dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan
disertai dengan perasaan mual-muntah.12
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang
membingungkan.12

4. DHF
15

Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,


leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.12
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks.
Radang kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingoooforitis atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini
didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada
appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai
dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan
terasa nyeri.12
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina
didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada
kuldosentesis akan didapatkan darah.12
7. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri,
tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi
peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar
dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.12
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke
inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering
ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut.12

I. PENATALAKSAAN
16

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar
20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.12
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunanbangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintanganrintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi
menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi
abses yang jelas batasnya.12
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah.
Masalah ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli
bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene
dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.12
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti

peritonitis

purulenta

generalisata.

Oleh

karena

itu,

massa

periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk


mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan
massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
17

massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang


dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan
akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.11
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi.12
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.11
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.11
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periapendikular infiltrat :12
1.

Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.

2.

Diet lunak bubur saring

3.

Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang

aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi
abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
18

pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau


abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.12
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan
nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,
tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.12
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena
apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka
apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi
dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam,
bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit
demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai
minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari
penderita di RT.12
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu
tentang :
-

LED

Jumlah leukosit

Massa

Periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :


1.

Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen

2.

Pemeriksaan fisik :
-

Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh


(diukur rectal dan aksiler)

Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat


19

Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.

Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal


Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1.

Bila LED telah menurun kurang dari 40

2.

Tidak didapatkan leukositosis

3.

Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa

sudah tidak mengecil lagi.


Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
-

Apakah penderita sudah bed rest total

Pemakaian antibiotik penderita

Kemungkinan adanya sebab lain.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau


tidak ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular
yang fix, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai
melalui insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut
dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi.12
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1.

Cutis

6.

MOI

2.

Sub cutis

7.

M. Transversus

3.

Fascia Scarfa

8.

Fascia transversalis

4.

Fascia Camfer

9.

Pre Peritoneum

5.

Aponeurosis MOE

10.

Peritoneum

Garis insisi pada appendiktomi:15


1. Insisi Gridiron
Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi dengan otot oblikus
eksternal, melewati titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dan umbilikus.
2. Lanz transverse incision
20

Insisi dilakukan pada 2 cm dibawah pusat, insisi tranversal pada garis


midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih
baik daripada insisi gridiron.
3. Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm dibawah umbilikus sampai
di atas pubis.
4. Insisi McBurney
Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis
umum.
5. Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari inisisi McBurney. Dilakukan jika
appendiks terletak paracaecal atau retrocaecal dan terfiksir.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.11
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :11
1.

nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh

2. Suhu tubuh naik tinggi sekali.


3. Nadi semakin cepat.
4. Defans muskular yang menyeluruh
5. Bising usus berkurang
6. Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :6
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal
21

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk


kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.12
K. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas
dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.11

22

BAB III
PENUTUP

Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks. Apendisitis akut


dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bekteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Gejala berupa nyeri abdominal, mualmuntah biasanya pada fase awal, nafsu makan menurun, obstipasi dan diare pada
anak, demam.
Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan di titik Mc Burney, nyeri
lepas, defans muskular lokal. Pada rangsangan peritoneum didapatkan Rovsing
sign, Blumberg sign, nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas
dalam, merjalan, batuk, mengedan. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk
apendisitis adalah pemeriksaan laboratorium darah dan urin, abdominal X-Ray,
USG, barium enema, CT scan, laparoscopi
Skor alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat, dan kurang invasif untuk mendiagnosis apendisitis akut.
Dalam sistem skor alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri,
anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah,
nyeri tekan lepas, temperatur >37,2C, leukositosis dan netrofil >75%. Nyeri
kuadran kanan bawah dan leukosistosis memiliki nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga 8 faktor ini memberikan jumlah skor
10.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadovsky, Richard. 2001. Diagnosis of Acute Appendicitis in Children.


http://www.aafp.org/afp/20010115/tips/8.
2. Van De Graaff. 2001.Human Anatomy 6th Ed. New York: Mc Graw
Hill.
3. Richard E, et al. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed.
Philladelpia: Saunders. Chapter 324.
4. Sola JE, Bride W, Rachadell J. 2000. Current Diagnosis and
Management Appendicitis in Children. Miami: University of Miami.
Vol 15.
5. Stephen et al.2003. The Diagnosis of Accute Appendicitis in a
Pediatric Population. Massacussets: Departement Of Pediatric Surgery
Massacussets General Hospital. Vol 38.
6. Rothrock SG, Pagame J. 2000. Accute Appendicitis in Children.
Orlando: Departemenet of Emergency Medicine Orlando Medical
Media Center. 30-39
7. Gartner LP, Hiatt JL. 2002. Color Textbook of Histology 3rd Ed.
Massacusstes: Saunders.
8. Sadler TW. 2002. Langmans Medical Embriology 9th Ed. New York:
Mc Graw Hill.
9. Guyton AC, Hall JE.2006. Textbook of Medical Physiology 11th Ed.
Philadelphia: Saunders.
10. Bashin SK et al. 2007. Vermiform Appendix and Accute Appendicitis.
JK Science.
11. De Jong W, Sjamsuhidajat R.2004. Buku ajar ilmu bedah Ed.2. Jakarta:
EGC.
12. Craig S. Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/article/773895overview
13. Humes DJ, Simpson J. 2007. Accute Appendicitis. BMJ.
14. Khan I. 2005. Application of Alvarado Scorring System in Diagnosis
of Accute Appendicitis. J Ayub Medical Collection.
15. Noor UA, Putra DA, Oktaviati, Syaiful RA, Amaliah. 2011.
Penatalaksanaan Apendisitis. Jakarta: Bedah Umum Departemen Ilmu

24

Bedah

FKUI/RSCM.

http://generalsurgery-fkui-

blogspot.com/2011/05/penatalaksanaan -apendisitis.html.

25

Anda mungkin juga menyukai