Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan disosiasi adalah perubahan kesadaran mendadak yang

mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan

disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama

beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.

Disosiasi timbul sebagai suatu pertahanan terhadap trauma. Pertahanan disosiatif

memiliki fungsi ganda untuk menolong korban melepaskan dirinya sendiri dari

trauma sambil juga menunda menyelesaikannya.1

Pada penderita didapatkan hilangnya fungsi seperti memori (amnesia

psikogenik), berjalan-jalan dalam keadaan trans (fugue).2 Gangguan tersebut

cukup lazim terjadi sebagai suatu pertahanan terhadap trauma, khususnya timbul

pada orang yang masa kanak-kanaknya mengalami kekerasan fisik atau seksual

dan sering timbul dalam bentuk komorbiditas dengan depresi mayor, gangguan

somatisasi, gangguan stress pasca trauma, penyalahgunaan zat, gangguan

kepribadian ambang, gangguan konduksi dan gangguan kepribadian antisosial.3

Fenomena disosiatif telah diamati dan dijelaskan selama ratusan tahun. Pada

akhir abad kedelapan belas, Franz Mesmer mengeksplorasi konsep disosiasi dari

perspektif hipnosis, dan, memang, mungkin dokter pertama yang

mendokumentasikan hubungan antara mereka yang mudah terhipnotis dan mereka

yang rentan terhadap disosiasi.4

Hal yang paling umum terlihat pada gangguan disosiatif adalah adanya

kehilangan (sebagian/seluruh) dari integrasi normal antara: ingatan masa lalu,


kesadaran akan identitas dan penghayatan dan kesadaran terhadap lingkungan.

Onset dan berakhirnya keadaan disosiatif sering kali berlangsung mendadak akan

tetapi jarang sekali dapat dilihat kecuali dalam interaksi atau prosedur teknik-

teknik tertentu seperti hipnosis.

Gangguan disosiatif ditandai oleh pelarian yang tidak disengaja dari

kenyataan yang ditandai oleh pemutusan antara pikiran, identitas, kesadaran dan

ingatan. Orang-orang dari semua kelompok umur dan ras, etnis dan latar belakang

sosial ekonomi dapat mengalami gangguan disosiatif. Hingga 75% orang

mengalami setidaknya satu episode depersonalisasi / derealization dalam hidup

mereka, dengan hanya 2% yang memenuhi kriteria penuh untuk episode kronis.

Wanita lebih mungkin didiagnosis menderita gangguan disosiatif daripada pria.11


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gangguan disosiatif (Dissociative Disorder) merupakan kumpulan gejala

kejiwaan yang menampilkan gangguan dalam identitas, memori, persepsi, dan

kesadaran dan termasuk gangguan identitas disosiatif (DID), amnesia disosiatif

(DA), fugue disosiatif (DF), dan gangguan depersonalisasi / derealization (DPD).5

Gangguan disosiatif adalah salah satu kondisi kejiwaan yang paling

kontroversial, serta paling menarik. Inti dari konseptualisasi disosiasi adalah

pemahaman bahwa kesadaran seseorang mungkin tidak sepenuhnya terintegrasi.

Dengan demikian, seorang pasien dapat mengalami perubahan yang berbeda

dalam kepribadian atau pengalaman, di mana pikiran, perasaan, atau tindakan

tidak secara logis terintegrasi dengan pengalaman referensial diri lainnya.4

Dalam penegakan diagnosis gangguan disosiatif harus ada gangguan yang

menyebabkan kegagalan mengkordinasikan identitas, memori persepsi ataupun

kesadaran, dan menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial,

pekerjaan dan memanfaatkan waktu senggang.

2.2 Epidemiologi

Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam

masyarakat. Tetapi juga gangguan disosiatif ini tidak jarang ada dalam kasus-

kasus psikiatri. Prevelensinya hanya 1 berbanding 10.000 kasus dalam populasi.

Dalam beberapa referensi bisa terlihat bahwa ada peningkatan yang tajam dalam
kasus-kasus gangguan disosiatif yang dilaporkan, dan menambah kesadaran para

ahli dalam menegakkan diagnosis, menyediakan kriteria yang spesifik, dan

menghindari kesalahan diagnosis antara gangguan disosiatif, schizophrenia atau

gangguan personal.1

Orang-orang yang umumnya mengalami gangguan disosiatif ini sangat

mudah dihipnotis dan sangat sensitif terhadap sugesti dan lingkungan budayanya,

namun tak cukup banyak referensi yang membetulkan pernyataan tersebut.1

Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini

mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiasi bisa terkena oleh orang di

belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.5

Hingga 75% orang mengalami setidaknya satu episode depersonalisasi /

derealization dalam hidup mereka, dengan hanya 2% yang memenuhi kriteria

penuh untuk episode kronis. Wanita lebih mungkin didiagnosis menderita

gangguan disosiatif daripada pria.11

2.3 Etiologi

Hampir semua kejadian disosiasi melibatkan trauma. Dengan demikian,

meskipun DSM-54 secara spesifik menghindari etiologi, dalam pengaturan

penelitian studi trauma dan studi disosiasi berjalan seiring. Gangguan disosiatif

belum dapat diketahui penyebab pastinya, namun biasanya terjadi akibat trauma

masa lalu yang berat, namun tidak ada gangguan organik yang dialami.4

Gangguan disosiatif biasanya berkembang sebagai cara mengatasi trauma.

Gangguan disosiatif paling sering terjadi pada anak-anak yang terkena pelecehan
fisik, seksual atau emosional jangka panjang. Bencana alam dan pertempuran juga

dapat menyebabkan gangguan disosiatif.11

Pendekatan psikoanalitik menyatakan amnesia terutama sebagai mekanisme

pertahanan di mana orang mengubah kesadarannya sebagai cara untuk

menghadapi suatu konflik emosional atau stresor eksternal. Gangguan ini dapat

terjadi pertama pada saat anak-anak namun tidak khas dan belum bisa

teridentifikasikan, dalam perjalanan penyakitnya gangguan disosiatif ini bisa

terjadi sewaktu-waktu dan trauma masa lalu pernah terjadi kembali, dan berulang-

ulang sehingga terjadinya gejala gangguan disosiatif.4

Trauma yang terjadi berupa:6

 Kepribadian yang labil

 Pelecehan seksual

 Pelecehan fisik

 Kekerasan rumah tangga

 Lingkungan sosial yang sering memperlihatkan kekerasan

2.4 Patofisiologi

(a) Genetik

Hingga saat ini, tidak ada penelitian yang membuktikan adanya

keterkaitan genetik dengan gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif lebih utama

disebabkan karena peristiwa traumatik.


(b) Neurobiologi

Proses neurobiologi mengenai gangguan disosiatif belum sepenuhnya

diketahui. Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara perubahan

fisiologis dengan gejala disosiatif. Menurut hipotesis yaitu semakin awal terkena

kekerasan atau trauma psikologis, maka perkembangan dari perubahan fisiologis

akan semakin cepat. Beberapa sistem neurotransmitter berkaitan dengan

perkembangan gangguan disosiatif, seperti : Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA)

Aksis, reseptor Glutamat/N-methyl-D-aspartat, Serotonin 5-HT2a, 5-HT2c,

Gama-aminobutyric acid (GABA), dan reseptor Opioid.

HPA aksis diketahui memiliki peran dalam mengatur respon stress.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa individu dengan gejala disosiatif

memiliki hiperaktivitas HPA aksis basal dengan meningkatnya kortisol dan

berkurangnya inhibisi dari feedback-negatif pituitari.

Menurut penelitian menggunakan neuroimaging, baik pada hewan atau

manusia, stress saat usia muda memperlihatkan hubungan dengan perubahan

struktur dari hippocampus. Volume amygdala dan hippocampal yang kecil

dilaporkan terdapat pada pasien dengan gejala disosiatif. Menurunnya volume

hippocampal dapat dijelaskan dengan pemaparan stress; hippocampus adalah

organ target utama untuk glukokortikoid, yang akan dilepaskan selama peristiwa

”stressful”, dan memperpanjang pemaparan untuk glukokortikoid terhadap

hippocampus yang dapat mengakibatkan atrofi progresif dari hippocampus.

Mekanisme yang jelas mengenai berkurangnya volume amygdala belum


diketahui. Mungkin terdapat neurotransmiter lain yang berperan dalam perubahan

ini. Berdasarkan penelitian D’Souza et al., gejala disosiatif mirip dengan psikosis,

yang berhubungan dengan menurunnya inhibitor GABA sehingga mengakibatkan

stimulasi reseptor serotonin terus menerus. Lysergic acid diethylamide (LSD),

dimethyltryptamine (DMT) bekerja sebagai agonis dari reseptor serotonin 5-HT2a

dan 5-HT2c juga mungkin berperan pada perubahan serotoin pada gejala

disosiatif.

Mekanisme serupa juga terdapat pada penggunaan obat antagonis reseptor

NMDA, ketamin, yang menyebabkan timbulnya fase disosiatif pada individu yang

sehat. Reseptor NMDA tersebar luas di korteks, juga di hippocampus dan

amygdala; berkurangnya neurotransmisi yang berkaitan dengan NMDA mungkin

berhubungan dengan fase disosiatif. Efek dari cannabinoids menjelaskan hipotesis

ini dimana cannabinoids memblok reseptor NMDA diluar antagonis non-

kompetitif NMDA dan tetap menyebabkan timbulnya gejala disosiatif.

2.5 Klasifikasi

Berdasarkan PPDGJ III, gangguan disosiatif dibedakan atau

diklasifikasikan atas beberapa pengolongan yaitu10 :

F44.0 Amnesia Disosiatif

F44.1 Fugue Disosiatif

F44.2 Stupor Disosiatif

F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan

F44.4-F44.7 Gangguan Disosiatif dari gerakan dan Penginderaan

F44.4 Gangguan motorik Disosiatif


F44.5 Konvulsi Disosiatif

F44.6 Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif

F44.7 Gangguan Disosiatif campuran

F44.8 Gangguan Disosiatif lainnya

F44.80 Sindrom Ganser

F44.9 Gangguan disosiatif YTT

Sedangkan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders edisi keempat (DSM IV) ada 4 diagnostik spesifik gangguan

dissosiatif:

1. Amnesia Disosiatif

2. Fugue Disosiatif

3. Gangguan Identitas Disosiatif

4. Gangguan Depersonalisasi

1. Amnesia Disosiatif1

Definisi

Gejala amnesia adalah sering ditemukan pada amnesia disosiatif, fuga

disosiatif, dan gangguan identitas disosiatif. Amnesia disosiatif adalah

diagnosis yang tepat jika fenomena disosiatif terbatas pada amnesia. Kunci

kesalahan dari amnesia disosiatif adalah ketidakmampuan untuk mengingat

informasi yang baru saja diterima di dalam ingatan pasien .. Informasi yang

dilupakan biasa- nya tentang cara menegangkan atau mengatasi masalah


dalam kehidupan seseorang. Ketidakmam-puan untuk mengingat informasi

tidak dapat dije-laskan oleh kelupaan yang biasanya, dan tidak termasuk

bukti-bukti keberadaan setiap gangguan otak dasar. Informasi untuk

informasi baru. Bentuk umum dari amnesia disosiatif melibat-kan amnesia

untuk identitas pribadi seseorang tetapi daya ingat informasi umum adalah

keseluruhan. Gambaran klinis tepat kebalikan gambaran klinis yang

ditemukan pada demensia, di mana pasien dapat mengingat tetapi melupa-

kan informasi umum, seperti apa yang mereka makan saat makan siang.

Berkurangnya untuk amnesia, pasien dengan amnesia disosiatif sekali lagi

bersama dan sepenuhnya masuk akal. Seba- liknya, pada kebanyakan

amnesia karena suatu kondisi medis umum (seperti pascakejang dan amnesia

toksik), pasien mungkin memerlukan kon- fusi dan memiliki keselamatan

yang terdisorganisasi. Tipe amnesia lain (sebagai contoh, transien global

amnesia dan amnesia pascagegar) adalah penggunaan dengan amnesia

anterograd, yang tidak dapat dilakukan pada pasien dengan amnesia

disosiatif.

Epidemiologi

Amnesia adalah gejala disosiatif yang paling sering, karena terjadi pada

hamper semua gangguan disosiatif. Amnesia disosiatif diperkirakan

merupakan gangguan disosiatif yang paling sering, Sementara data

epidemiologis tentang semua gang disosiatif terbatas dan tidak pasti. Namun

demikian, amnesia disosiatif diperkirakan lebih sering terjadi pada wanita

dibandingkan laki-laki dan lebih sering pada dewasa muda diban- dingkan
dewasa yang lebih tua. Karena masalah-masalah yang berkaitan dengan

masalah-masalah dan traumatik, masalah-masalah yang mungkin meningkat

selama masa-masa yang sulit dan masalah-masalah alam, kasus-kasus

amnesia yang terkait dengan hubungan dengan lingkungan rumah tangga-

seperti contoh, contoh-contoh yang menarik dan penyikatan anak-anak-anak-

anak-anak yang kemungkinan sulit dipelihara.

Etiologi dan Patofisilogi

Proses neuroanatomis, neurofisiologis, dan neuro- kimiawi dalam

penyimpanan dan konfigurasi ingatan jauh lebih dipahami sekarang

dibandingkan pada satu pembaruan yang lalu. Pertaruhan antara daya ingat

jangka pendek dan daya ingat jangka panjang, peran sentral hipokhamma, dan

peran sistem neurotransmiter telah diperjelas. Kompleksitas dan pemahaman

tentang memori yang baru diterjemahkan menyebabkan amnesia disosiatif.

Namun, sebagian besar pasien dengan amnesia disosiatif tidak mampu

mengumpulkan ingatan tentang peristiwa yang menegangkan dan traumatik.

Jadi, isi memori emosional jelas berkaitan dengan patofisiologi dan penyebab

gangguan. Satu pemikiran yang cukup relevan tentang orang normal adalah

yang sering dipelajari ter tergantung pada keadaan (tergantung negara) -yaitu,

tergantung pada konteks di mana belajar terjadi. Informasi yang dipelajari

atau dilakukan selama suatu diskusi tertentu (sebagai contoh, saat

mengemudikan kendaraan), kondisi farmakolo- gis (sebagai contoh, sambil

minum alkohol), atau keadaan neurokimiawi yang ditanyakan terkait dengan

situasi dan kondisi tertentu, atau pada situasi tertentu,


Berdasarkan DSM IV, ciri penting amnesia disosiatif adalah ketidak

mampuan mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya terkait

traumatik atau tekanan, yang terlalu luas untuk dijelaskan sebagai kelupaan

biasa. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

identitas disosiatif, fugue disosiatif, posttraumatic stress disorder (PTSD),

gangguan stress akut, atau gangguan somatik, dan bukan hasil dari efek

psikologi langsung dari zat atau saraf atau kondisi medis umum. Gangguan

mungkin disebabkan oleh perubahan neurobiologik di otak karena stress

traumatik.

Gejala Klinik

Meskipun jarang, amnesia disosiatif terjadi secara spontan,

peristiwa yang biasanya ditemukan, traumas, emosional, pencetus yang berisi

konflik, dan konflik psiko-logis, sebagai contoh, beberapa bencana alam di

mana pasien dapat dilepaskan atau keta -utan besar akan menghidupinya.

Bagaimana mengungkapkan impuls (seksual atau agresif) yang dikhayalkan

atau aktual yang tidak dapat diatasi oleh pasien juga dapat disetujui sebagai

pencetus. Amnesia mungkin mengambil bagian dalam hubungan gelap di

luar pernikahan yang diterima pasien sebagai tidak dapat diterima sebagai

diagnosa, tidak diperlukan untuk diagnosa, mulai sering kali tiba-tiba, dan

pasien dapat memahami apa yang telah mereka perbuat mengingat daya

ingatnya. Beberapa pasien menjadi marah karena kehilangan daya ingat

tersebut, tetapi yang lain- nya tampak acuh atau tidak berbeda. Pada pasien

yang tidak menyadari kehilangan daya ingatnya yang dicurigai oleh dokter
menderita gangguan disosiatif, sering kali bermanfaat untuk menanya- kan

pertanyaan tertentu yang mungkin mengungkapkan gejala.

Faktor Resiko

Orang-orang dengan pengalaman gangguan psikis kronik, seksual

ataupun emosional semasa kecil sangat beresiko besar mengalami

gangguan amnesia disosiatif. Anak-anak dan dewasa yang juga memiliki

pengalaman kejadian yang traumatik, misalnya perang, bencana,

penculikan, dan prosedur medis yang invasif juga dapat menjadi faktor

resiko terjadinya gangguan amnesia disosiatif.

Diagnosis

Kriteria diagnosis amnesia disosiatif berdasarkan DSM IV antara

lain :

1. Gangguan dominan adalah satu atau lebih episode ketidakmampuan

mengingat kembali informasi pribadi penting, biasanya pada trauma atau

stress alami yang terlalu luas untuk dijelaskan oleh lupa biasa.

2. Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

identitas disosiatif, fugue disosiatif, gangguan stress post trauma,

gangguan stress akut, atau gangguan somatic dan tidak disebabkan oleh

efek psikologi secara langsung dari zat (seperti penyalahgunaan obat,

pengobatan), atau kondisi neurologic atau kondisi medis secara umum

(seperti gangguan amnesia karena trauma kepala).


3. Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang

sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.

Terapi

Tidak ada perawatan berbasis bukti yang ada untuk amnesia disosiatif.

Studi pengobatan sering memiliki keterbatasan metodologis, seperti regresi

terhadap rata-rata, ukuran sampel yang tidak memadai, dan desain non-acak.

Antidepresan dapat secara efektif mengobati depresi komorbid. telah

digunakan dalam wawancara yang dibantu obat untuk membantu pemulihan

ingatan, dengan beberapa hasil yang beragam.7

Wawancara dapat memberikan petunjuk bagi klinisi tentang adanya

pencetus yang traumatik secara psiologis. Barbiturat kerja sedang dan kerja

singkat, seperti thiopental (Pentothal) dan natrium amo-barbital disediakan

oleh intravvena, dan benzo- diazepin dapat digunakan untuk membantu pasien

memilih ingatannya yang telah dihapus. Hipnosis dapat digunakan sebagai

cara untukmem- buat pasien cukup santai mengingat apa yang dilupakan.

Pasien ditempatkan dalam keadaan somnonen, pada tempat di mana hambatan

dihilangkan mental, dan materi yang dilupakan timbul dalam kesadaran dan

selanjutnya dipahami kemari. Jika ingatan yang hilang telah diperoleh,

psikoterapi biasanya diminta untuk membantu pasien memasukkan ingatan ke

dalam kesadarannya
2. Fugue Disosiatif1

Definisi

Fugue disosiatif merupakan kondisi ketika seseorang yang

mengalami amnesia disosiatif tiba-tiba melakukan perjalanan yang jauh

dari rumah atau tempat kerjanya tanpa direncanakan. Pada pasien fugue

terdapat ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting identitas

sebelumnya (nama, keluarga, pekerjaan) dan terkadang pasien fugue

mengadopsi sebagian atau lengkap identitas baru. Selain itu, ingatan

terhadap peristiwa traumatik terakhir atau keadaan yang penuh tekanan

juga hilang.1

Epidemiologi

Data epidemiologi untuk semua gangguan disosiatif terbatas dan

fugue disosiatif sendiri jarang ditemukan1. Fugue disosiatif biasanya

disebabkan oleh peristiwa traumatik atau penuh tekanan sehingga

insidennya mungkin meningkat atau paling sering terjadi selama perang,

setelah bencana alam, dan krisis pribadi dengan konflik internal yang

berat1. Angka prevalensi fugue dissosiatif menurut DSM-IV-TR pada

populasi umum sekitar 0,2 persen.

Fugue disosiatif banyak dialami oleh dewasa terutama pada tahun

kedua dekade ke empat dan distribusinya hampir sama antara laki-laki dan

perempuan.1

Etiologi
Penyalahgunaan alkohol berat dapat mempredisposisikan

seseorang dengan gangguan pencernaan, penyebab gangguan diperkirakan

didiagnosis secara psikologis. Faktor pemotivasi inti tam- paknya adalah

keinginan untuk menarik diri dari pengalaman yang menguntungkan

emosional. Pasien dengan gangguan mood dan gangguan kepribadian

tertentu (misalnya, gangguan kepribadian ambang, histrionik, dan skizoid)

terpredisposisi dengan perkembangan fuga disosiatif. Berbagai stresor dan

faktor pribadi mempro- disposisikan seseorang dengan perkembangan fuga

disosiatif. Faktor psikososial adalah stresor perka- winan, finansial,

pekerjaan, dan yang berkaitan dengan peperangan. Ciri predisposisi

lainnya adalah depresi, upaya membunuh diri sendiri, pemulihan organik

(khusus epilepsi), dan edisi penyalahgu naan zat. Di mana ada trauma

kepala juga mem-predisposisikan seseorang dengan fuga disosiatif.

Gejala Klinik

Sama halnya dengan amnesia disosiatif, pada pasien fugue

disosiatif ditemukan amnesia yaitu ketidakmampuan mengingat kembali

informasi identitas personal namun individu masih dapat belajar sesuatu

yang baru. Pasien fugue disosiatif berkelana bertujuan, biasanya jauh dari

rumah, selama beberapa hari tiap kalinya, sangat jarang terjadi hingga

berbulan-bulan.

Selama berkelana pasien akan mengalami amnesia secara

menyeluruh terhadap kehidupan masa lalunya. Lupa akan idetitas, seperti

nama, keluarga dan tempat dia tinggal sebelumnya. Pada saat onset fugue
terjadi, pasien tidak akan menyadari dirinya terkena amnesia. Jika pasien

kembali ke dirinya sebelumnya, pasien dapat mengingat hal-hal sebelum

onset fugue terjadi, namun pasien tetap lupa pada apa yang terjadi selama

periode fuguenya.

Pada awalnya, pasien dengan fugue disosiatif mungkin terlihat

normal sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, kebingungan mulai

tampak terlihat. Kebingungan ini mungkin hasil dari realisasi bahwa

pasien tidak mampu mengingat masa lalunya. Pasien kemudian menyadari

ada sesuatu yang salah tidak lama setelah mereka melarikan diri dalam

beberapa jam sampai beberapa hari. Pada beberapa kasus, pasien mungkin

menelepon ke rumah atau meminta bantuan polisi setelah mengalami

kesukaran saat menemukan diri mereka berada di tempat yang tak dikenal

dan dalam keadaan yang tidak dapat mereka jelaskan.

Pasien dengan fugue disosiatif tidak menunjukkan kelakuan

patologis atau memperlihatkan adanya ingatan tertentu dari kejadian yang

traumatik, mereka biasanya tenang, biasa, bekerja dengan pekerjaan

sederhana, hidup sederhana, dan umumnya tidak melakukan hal-hal yang

dapat menarik perhatian ke arahnya.2,5

Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk fugue disosiatif bedasarkan DSM IV antara

lain1 :
1) Gangguan yang predominan adalah terjadinya perjalanan mendadak yang

tidak diharapkan berupa meninggalkan rumah, tempat, pekerjaan dan ia

tidak mampu mengingat masa lalunya.

2) Kebingungan tentrang indetitas persoanal atau perkiraan dari indetitas baru

(sebagian atau utuh).

3) Gangguan tidak terjadi secara khusus selama perjalanan gangguan

indetitas dan tidak disebabkan efek fisiologis langsung dari penggunaan

zat (misalnya penyalahgunaan zat, pengobatan) atau kondisi medik

umum (misalnya epilepsi lobus temporalis).

4) Gejala menyebabkan distress yang bermakna atau hendaya dalam bidang

sosial, pekerjaan atau fungsi area yang penting.

3. Gangguan Identitas Disosiatifq

Definisi

Gangguan identitas disosiatif adalah nama yang digunakan DSM-

IV-TR untuk gangguan yang biasanya dikenal sebagai gangguan

kepribadian multiple/majemuk. Gangguan identitas disosiatif adalah

gangguan disosiatif kronis, dan penyebabnya terutama melibatkan

peristiwa traumatic, biasanya penyiksaan seksual atau fisik di masa kanak-

kanak. Gangguan identitas disosiatif biasanya dianggap sebagai gangguan

disosiatif yang paling serius walaupun beberapa klinisi yang mendiagnosis

berbagai pasien dengan gangguan ini telah memberi kesan bahwa mungkin

terdapat keparahan dalam rentang yang lebih luas daripada sebelumnya

dianggap
Epidemiologi

Perkiraan prevalensi gangguan ini bervariasi menurut laporan riset

maupun laporan tidak resmi mengenai gangguan identitas disosiatif. Pada

suatu titik, sejumlah peneliti yakin bahwa gangguan identitas disosiatif

sangat jarang; pada titik lain, beberapa peneliti yakin bahwa gangguan

identitas disosiatif sangat banyak yang tidak dikenali.

Pasien yang didiagnosis gangguan identitas disosiatif sebagian

besar adalah perempuan. Gangguan ini paling lazim ditemukan pada masa

remaja akhir dan dewasa muda, dengan usia diagnostik rerata adalah 30

tahun. Gangguan identitas disosiatif sering terjadi bersamaan dengan

gangguan jiwa lain, termasuk gangguan ansietas, gangguan mood,

gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan terkait zat, gangguan

makan, gangguan tidur dan gangguan stress pasca trauma.

Etiologi

Penyebab gangguan identitas disosiatif tidak diketahui walaupun

riwayat pasien hampir semua (mendekati 100 persen) melibatkan peristiwa

traumatik, paling sering di masa kanak-kanak. Umumnya empat tipe faktor

penyebab telah diidentifikasi; peristiwa hidup traumatik, kerentanan

terhadap gangguan, faktor lingkungan, serta tidak adanya dukungan

eksternal.

Diagnosis dan Gambaran Klinis

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Identitas Disosiatif:


1. Adanya dua atau lebih identitas atau keadaan kepribadian yang

berbeda (masing-masing dengan pola penerimaan, berkaitan dengan,

dan berpikir mengenai lingkungan dan diri sendiri- masing-masing

relatif berlangsung lama)

2. Sedikitnya dua dari identitas atau keadaan kepribadian ini mengambil

kendali perilaku seseorang secara berulang

3. Ketidakmampuan mengingat kembali informasi pribadi yang penting

dan terlalu luas untuk dijelaskan dengan keadaan lupa yang biasa

4. Gangguan ini tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth,

hilang kesadaran atau perilaku kacau selama intoksikasi alkohol) atau

keadaan medis umum (cth, bangkitan parsial kompleks). Catatan: pada

anak, gejalanya tidak dikaitkan dengan teman main khayalan atau

permainan khayalan lain

4. Gangguan depersonalisasi

Definisi

DSM-IV-TR menandai gangguan depersonalisasi sebagai

perubahan menetap atau berulang dalam persepsi diri bahwa perasaan

seseorang akan realitasnya secara sementara hilang. Pasien dengan

gangguan depersonalisasi dapat merasakan bahwa mereka adalah mekanis,

dalam mimpi, atau terlepas dari tubuh tertentu. Episode ini bersifat ego-

distonik dan pasien menyadari kenyataan gejala ini. Depersonalisasi

adalah perasaan bahwa tubuh atau pribadi adalah asing dan tidak nyata.
Epidemiologi

Sebagai pengalaman terpisah dari kehidupan banyak orang,

depersonalisasi adalah fenomena yang lazim dan tidak selalu bersifat

patologis. Sejumlah studi menunjukkan bahwa depersonalisasi singkat

dapat terjadi pada sebanyak 70 persen populasi tertentu tanpa perbedaan

siginifikan antara laki-laki dan perempuan. Anak sering mengalami

depersonalisasi ketika mereka mengembangkan kapasitas kesadaran diri

dan orang dewasa sering mengalami rasa tidak nyata sementara ketika

mereka bepergian ke daerah baru dan asing.

Informasi mengenai epidemiologi depersonalisasi patologis hanya

sedikit. Pada sejumlah kecil studi terkini, depersonalisasi ditemukan

terdapat pada perempuan sedikitnya dua kali lebih sering dibandingkan

laki-laki; gangguan ini jarang ditemukan pada orang berusia di atas 40

tahun. Awitan usia rerata kira-kira 16 tahun.

Etiologi

Depersonalisasi dapat disebabkan oleh penyakit psikologis,

neurologis, atau sistemik. Penyebab sistemik mencakup gangguan

endokrin pada tiroid dan pankreas. Pengalaman depersonalisasi telah

diamati pada pasien epilepsy, tumor otak, gangguan sensorik, dan trauma

emosional; dan fenomena depersonalisasi disebabkan oleh stimulasi listrik

pada korteks lobus temporalis selama bedah saraf. Depersonalisasi dapat

disebabkan oleh serangkaian zat termasuk alkohol, barbiturat,

benzodiazepine, scopolamine, marijuana dan hampir setiap zat fensiklidin


(PCP) atau halusinogenik. Ansietas dan depresi adalah faktor predisposisi

seperti halnya stress berat yang dialami contohnya dalam peperangan atau

kecelakaan mobil. Depersonalisasi adalah gejala yang sering terjadi pada

gangguan ansietas, gangguan depresif dan skizofrenia.

Diagnosis

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Depersonalisasi:

1. Pengalaman berulang atau menetap mengenai rasa terlepas dari, dan

seolah-olah seseorang adalah seorang pengamat luar dari proses mental

atau tubuh seseorang (cth, rasa seperti ia berada dalam mimpi)

2. Selama pengalaman depersonalisasi, uji realitas tetap baik

3. Depersonalisasi menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna

atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lainnya

Pengalaman depersonalisasi tidak hanya terjadi selama perjalanan

gangguan jiwa lain, seperti skizofrenia, gangguan panic, gangguan

stress akut, atau gangguan disosiatif lain, dan tidak disebabkan efek

fisiologis dari suatu zat (cth, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau

keadaan medis umum (cth, epilepsi lobus temporalis

5. Gangguan Disosiatif yang Tidak tergolongkan

Diagnosis gangguan disosiatif yang tidak tergolongkan diterapkan untuk

gangguan dengan gambaran disosiatif tetapi tidak memenuhi kriteria

diagnostik amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan identitas

disosiatif dan gangguan depersonalisasi. Kriterianya menurut DSM-IV-TR

adalah sebagai berikut:


Kategori ini dimasukkan untuk gangguan yang gambaran dominannya

adalah gejala disosiatif (y.i., gangguan fungsi kesadaran, daya ingat,

identitas, atau persepsi lingkungan yang biasanya terintegrasi) yang tidak

memenuhi kriteria diagnostik gangguan disosiatif spesifik. Contohnya

mencakup:

1. Gambaran klinis serupa dengan gangguan identitas disosiatif tetpai

tidak memenuhi kriteria diagnostic gangguan ini. Contohnya

mencakup tampilan yang (1) tidak terdapat dua atau lebih keadaan

kepribadian yang berbeda atau (2) tidak terdapat amnesia untuk

informasi pribadi

2. Derealisasi yang tidak disertai depersonalisasi pada orang dewasa

3. Keadaan disosiasi yang terjadi pada seseorang yang mengalami

periode persuasi yang panjang dan sangat memaksa (cth., pencucian

otak, pembentukan kembali pikiran, atau indoktrinasi saat ditahan)

4. Gangguan trance disosiatif; gangguan tunggal atau episodik keadaan

kesadaran, identitas, atau daya ingat yang khas pada lokasi atau

kebudayaan tertentu. Trance disosiatif melibatkan penyempitan

kesadaran di sekeliling atau perilaku atau gerakan stereotipik yang

dialami yaitu berada di luar kendali seseorang. Trance “kemasukan”

melibatkan penggantian rasa identitas pribadi yang biasanya oleh

identitas baru, dikaitkan dengan pengaruh roh, kekuatan, dewa, atau

orang lain dan disertai gerakan “involuntar” stereotipik atau amnesia

dan mungkin merupakan gangguan yang paling lazim ditemukan di


Asia. Contohnya mencakup amok (Indonesia), bebainan (Indonesia),

latah (Malaysia), piblokto (artic), ataque de nervios (amerika latin),

dan kemasukan (India). Gangguan disosiatif atau trance bukan

merupakan bagian dari normal praktik religious atau budaya kolekif

yang diterima luas.

5. Hilang kesadaran, stupor, atau koma yang tidak disebabkan oleh

keadaan medis umum

6. Sindrom Genser : pemberian jawaban yang tidak akurat terhadap

pertanyaan-pertanyaan (cth., 2 ditambah 2 sama dengan 5) yang tidak

disebabkan oleh amnesia disosiatif atau fugue disosiatif.

Gangguan Trance disosiatif

Kriteria Diagnostik :

A. Baik (1) atau (2)

1. Trance, y.i., perubahan sementara yang jelas pada keadaan kesadaran

dan hilangnya rasa identitas pribadi yang biasa tanpa penggantian

oleh identitas pribadi yang biasa tanpa penggantian oleh identitas

pengganti, disertai sedikitnya salah satu berikut ini:

a) Penyempitan kesadaran akan sekeliling, atau fokus selektif dan

sangat sempit yang tidak biasa terhadap stimulus lingkungan

b) Perilaku atau gerakan stereotipik yang dialami seolah-olah

berada di luar kendali seseorang

2. Trance “kemasukan”, perubahan tunggal atau episodik keadaan

kesadaran yang ditandai dengan penggantian rasa identitas pribadi


biasa oleh identitas baru. Hal ini dikaitkan dengan pengaruh roh,

kekuatan, dewa, atau orang lain, seperti yang dibuktikan oleh satu

(atau lebih) keadaan dibawah ini:

a) Perilaku atau gerakan stereotipik dan ditentukan oleh budaya

yang dialami seolah-olah dikendalikan oleh agen yang

“memasuki”

b) Amnesia penuh atau sebagian untuk peristiwa tersebut

B. Keadaan trance atau trance “kemasukan” tidak diterima sebagai praktik

budaya kolektif atau praktik religius

C. Keadaan trance atau trance “kemasukan” menimbulkan penderitaan yang

secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan dan area

fungsi penting lain

D. Keadaan Trance atau trance “kemasukan” tidak hanya terjadi selama

periode psikotik (termasuk gangguan mood dengan ciri psikotik dan

gangguan psikotik singkat) atau gangguan identitas disosiatif dan tidak

disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat atau keadaan medis umum

2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila

tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan

pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.

Masuk rumah sakit diindikasikan bagi pasien yang memiliki

kecenderungan untuk membahayakan dirinya atau orang lain, ketika efek dari
penggunaan terapi obatnya harus dipantau atau ketika diagnosis sementara belum

dapat ditentukan. Perawatan di rumah sakit memungkinkan pasien untuk

memisahkan diri dari pengaruh lingkungan, penganiayaan fisik dan seksual, dan

stress yang mungkin telah memicu reaksi atau episode amnesia, kelakuan

kompulsif. Hal ini juga melindungi mereka disaat masa membingungkan dalam

hidup mereka. Indikasi lain adalah ketika mereka pernah mencoba atau memiliki

tanda atau ide untuk bunuh diri.8

Farmakoterapi9

Tujuan dari perawatan untuk gangguan disosiatif adalah untuk membantu

pasien dengan aman mengingat dan memproses memori yang menyakitkan,

mengembangkan keterampilan koping, dan, dalam kasus gangguan identitas

disosiatif, untuk mengintegrasikan identitas yang berbeda ke dalam satu orang

fungsional. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada obat yang berhubungan

langsung dengan mengobati disosiasi itu sendiri. Sebaliknya, obat-obatan

digunakan untuk memerangi gejala tambahan yang biasanya terjadi dengan

gangguan disosiatif.11

Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penanganan awal, walaupun tidak

ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien

diberikan resep berupa anti-depresan karena sebagian besar pasien juga

mengalami depresi, antipsikotik digunakan jika timbul tingkah laku pasien yang

membahayakan (psikotik), dan obat anti-konvulsan sebagai mood stabilizer.

Saat ini tidak ada obat yang disetujui FDA untuk pengobatan DD. Dokter

dapat mempertimbangkan obat yang disetujui FDA (mis., Obat anti ansietas,
antidepresan, atau antipsikotik) untuk mengobati gejala mood dan kecemasan

yang terjadi bersamaan yang terkait dengan DD.5

Antidepresan dapat secara efektif mengobati depresi komorbiditas.

Derivatif Barbiturate atau benzodiazepine telah digunakan dalam wawancara yang

dibantu obat untuk membantu pemulihan memori, dengan beberapa hasil yang

beragam.7

Akan lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa Paroxetine dan Naloxone

adalah satu-satunya agen farmakologis yang dipelajari melalui RCT dan

ditemukan memiliki bukti sederhana untuk mengendalikan gejala depersonalisasi

dan gejala disosiatif yang komorbid dengan PTSD dan BPD. Hasil meta-analisis

ini harus ditafsirkan dengan hati-hati mengingat heterogenitas tinggi dan sedikit

literatur tentang RCT pada berbagai subtipe DD.

Obat-obat antipsikotik atipikal golongan Benzioxazole seperti

Aripiprazole (Abilify), golongan Dibenzodiazepine seperti Olanzapine (Zyprexa),

Quetiapine (Seroquel) dan golongan Fenotiazine seperti Ziprasidone (Geodon)

dapat menjadi obat pilihan dalam mengobati gangguan disosiasi. Obat

antidepressan golongan Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti

Escitalopram dapat mengurangi gejala cemas pada gangguan disosiasi. Selain itu,

dapat pula digunakan obat antikonvulsan golongan Benzodiapine seperti Keppra

(Levetiracetam) dan golongan Feniltriazin seperti Lamotrigine (Lamictal).

Obat – obatan yang dapat di gunakan dalam penanggulangan gangguan

disosiatif9

1. Naloxone (1,6-4mg/hari)
2. Fluoxetine (60mg/hari)

3. Paroxetine (max 60mg/hari)

4. Lamotrigine (250mg/hari selama 7-8 minggu)

Psikoterapi11

Psikoterapi yang berbeda digunakan untuk mengobati episode disosiatif

untuk mengurangi frekuensi gejala dan meningkatkan strategi koping untuk

pengalaman disosiasi. Beberapa terapi yang lebih umum meliputi:

1. Terapi perilaku kognitif (CBT) membantu mengubah pemikiran

negatif dan perilaku yang terkait dengan depresi. Tujuan dari terapi

ini adalah untuk mengenali pikiran-pikiran negatif dan untuk

mengajarkan strategi koping.

2. Terapi perilaku dialektik (DBT) berfokus pada pengajaran

keterampilan koping untuk memerangi dorongan yang merusak,

mengatur emosi dan meningkatkan hubungan sambil

menambahkan validasi. Melibatkan pekerjaan individu dan

kelompok, DBT mendorong berlatih teknik perhatian seperti

meditasi, mengatur pernapasan dan menenangkan diri.

3. Desensitisasi dan pemrosesan ulang mata (EMDR) dirancang

untuk mengurangi tekanan yang terkait dengan ingatan traumatis.

Ini menggabungkan teknik CBT belajar kembali pola pikir dengan

latihan stimulasi visual untuk mengakses kenangan traumatis dan

menggantikan keyakinan negatif yang terkait dengan yang positif.


1.7 Prognosis

Prognosis untuk gangguan disosiatif berbeda-beda untuk setiap jenisnya.

Prognosis bergantung pada waktu timbulnya gejala. Semakin lama gejala yang

timbul, maka prognosis akan semakin buruk. Amnesia disosiatif dan fugue

disosiatif memiliki prognosis yang baik apabila waktu timbulnya gejala tidak

terlalu lama dan memberikan respon yang baik terhadap pengobatan.

2.8 Pencegahan

Anak- anak yang secara fisik, emosional dan seksual mengalami

gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami gangguan mental yang dalam

hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang demikian, maka

segeralah diberikan penanganan, karena diketahui bahwa jika menanamkan

sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil

yang maksimal, dengan penanganan yang minimal.5


BAB III

KESIMPULAN

Secara umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan

sebagai adanya kehilangan ( sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah

kendali sadar) meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan peng-inderaan-

an segera (awareness of identity and immediate sensations) serta kontrol terhadap

gerak tubuh.

Gangguan disosiatif bukanlah penyakit yang umum ditemukan dalam

masyarakat. Dalam beberapa studi, mayoritas dari kasus gangguan disosiatif ini

mengenai wanita 90% atau lebih, Gangguan disosiatif bisa terkena oleh orang di

belahan dunia manapun, walaupun struktur dari gejalanya bervariasi.

Ada beberapa penggolongan dalam gangguan disosiatif, antara lain adalah

Amnesia Disosiatif, Fugue Disosiatif, Gangguan Identitas Disosiatif dan

Gangguan Depersonalisasi.

Penatalaksanaan dengan menggali kondisi fisik dan neurologiknya. Bila

tidak ditemukan kelainan fisik, perlu dijelaskan pada pasien dan dilakukan

pendekatan psikologik terhadap penanganan gejala-gejala yang ada.

Anda mungkin juga menyukai