Anda di halaman 1dari 20

Neurosis

Santosh K. Chaturvedi dan Geetha Desai

Latar Belakang
Penggunaan istilah neurosis, telah digunakan secara luas dan tercantum
dalam ICD-10. Prevalensi neurosis bervariasi antar budaya tergantung bagaimana
gejala ini bertahan. Contohnya adalah penggunaan istilah neurasthenia. Istilah ini
digunakan secara luas di Negara Timur, Cina dan negara lain, gejalanya tidak
terlalu berbeda dengan depresi atau kelelahan kronis.
Chaturvedi dan Desai memberikan pandangan yang luas tentang konsep
neurosis. Mereka menjelaskan bahwa neurosis dianggap sebagai pola perilaku
maladaptif setelah situasi stres yang mengarah pada penghindaran tanggung jawab
dan situasi stres itu sendiri. Mereka berpendapat bahwa harus ada bukti stres,
reaksi terhadap stres harus maladaptif dan bukti kecenderungan kecemasan.
Situasi yang memicu kecemasan di masa lalu menimbulkan perasaan gugup,
depresi, atau gejala somatik yang berlebihan. Gejala ini mungkin tampak sulit
untuk diatasi sehingga membutuhkan dukungan dan pengertian dari teman,
keluarga dan tenaga profesional.

Pendahuluan
Istilah 'neurosis' masih banyak digunakan oleh dokter dan psikiater dalam praktik
klinis. Dalam ICD-10 semua gangguan neurotik diklasifikasikan ke dalam
gangguan neurotik terkait stres dan somatoform. Dalam DSM IV istilah tersebut
telah dieliminasi. Neurosis dianggap sebagai pola perilaku maladaptif atau reaksi
terhadap situasi stres, yang cenderung menghindari tanggung jawab alih-alih
menghadapi stres dan situasi stres itu sendiri. Terdapat faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam mendiagnosis gangguan neurologis sebagai berikut:
1. Harus ada bukti stres atau situasi penuh tekanan yang berhubungan dengan
perkembangan gejala.
2. Reaksi terhadap stres bersifat maladaptif yaitu alih-alih mengatasi dan
menghadapi stres namun justru cenderung untuk menghindari stres dan
konsekuensinya.
3. Adanya kecenderungan cemas. Situasi yang memicu kecemasan di masa lalu
menimbulkan kegugupan, depresi, atau gejala somatik yang berlebihan.
Adanya faktor tersebut perlu dipertimbangkan untuk mendiagnosis kelainan
neurotik. Kondisi stres biasanya berkaitan erat dengan faktor budaya. Aspek
budaya gangguan mental termasuk neurosis telah dipelajari secara luas.
Pengalaman dan perbedaan latar belakang budaya dapat memengaruhi diagnosis
dan memberikan gejala yang berbeda. Diagnosis neurosis dipengaruhi oleh
persepsi subjek tentang penyakitnya. Studi epidemiologis gangguan neurotik
menjadi kesulitan tertentu karena perbedaan konsep neurosis dan manifestasi
gangguan neurotik dalam setiap budaya.

Depresi neurotik
Depresi neurotik adalah salah satu diagnosis psikiatri yang paling umum
saat pasien datang ke klinik psikiatri, departemen rawat jalan psikiatri atau
fasilitas kesehatan mental. Meskipun pada umumnya konsep, etiologi dan
manajemen gangguan ini masih sulit dipahami. Pasien dengan gejala somatik,
gelisah, depresi, disforia atau gejala lain yang kurang jelas dianggap sebagai
depresi neurotik. Kategori ini juga digunakan untuk kasus depresi sebagai reaksi
terhadap faktor pencetus emosi (depresi reaktif atau reaksi depresi).
Di Negara Barat, sekitar empat dekade terakhir mengklasifikasikan
gangguan depresi memjadi gangguan dystimik, depresi atipikal, depresi
karakterologis, depresi kecil, dan lain sebagainya. Tetapi pada umumnya
digunakan diagnosis depresi neurotik. Terdapat kriteria diagnosis depresi neurotik
meliputi harus ada bukti stres yang muncul akhir-akhir ini yang diikuti dengan
perkembangan gejala. Reaksi terhadap stres harus bersifat maladaptif dan harus
ada sikap kecenderungan cemas. Situasi yang memicu kecemasan di masa lalu
menimbulkan rasa gugup, depresi, atau gejala somatik yang berlebihan.

Epidemiologi
Pasien dengan depresi neurotik pada umumnya menjalani rawat jalan. Angka
kejadian mencapai 25% -30% dari semua pasien psikiatri di rumah sakit jiwa
umum. Pada populasi umum, angka depresi neurotik mencapai 10-20 / 1000
populasi. Kasus ini lebih sering terjadi pada wanita dan kelompok umur antara 20
dan 35 tahun.

Gambaran klinis
Tanda dan gejala yang paling umum adalah perasaan sedih, murung,
berkurangnya minat terhadap aktivitas sehari-hari. Gejala tersebut dapat
berkurang apabila menghindari situasi yang membuat stres. Gejala umumnya
lebih buruk di malam hari. Pasien biasanya cenderung menyalahkan orang lain
atau lingkungan, dan menganggap dirinya bertanggung jawab atas gejalanya.
Perasaan kecemasan, ketegangan dan kegugupan dapat disertai dengan gejala
otonom. Perasaan bersalah, depresi dan menyalahkan diri sendiri mungkin tidak
ada. Keluhan fisik umumnya berupa sakit kepala, nyeri seluruh tubuh, nyeri
punggung, perasaan lemah, kelelahan dan jantung berdebar. Nafsu makan
berkurang ringan namun kemungkinan ada periode makan berlebihan. Kurangnya
nafsu makan biasanya tidak menyebabkan penurunan berat badan. Gangguan yang
paling umum adalah kesulitan tidur atau terjaga sesekali. Atau, hipersomnia
mungkin ada. Bunuh diri biasanya bukan fitur depresi neurotik akan tetapi
terdapat upaya atau gerakan bunuh diri. Ciri-ciri kepribadian depresi mungkin
terbukti dalam beberapa kasus.
Dalam berbagai budaya pada dasarnya tidak ada istilah untuk
menggambarkan depresi dan keadaan emosi internal. Budaya tertentu tidak
menunjukkan kesedihan yang ekstrem. Dalam banyak budaya, suatu penyakit
dengan ciri depresi disebut dengan nama lokal lain (masalah saraf) untuk
menekankan ke sifat fisik penyakit sehingga dapat diterima, dari yang emosional
(yang mungkin tidak dapat diterima).
Shenjing shuairuo menjelaskan bahwa di kalangan orang Cina, neurasthenia
ditandai dengan perasaan kelelahan fisik dan mental, kesulitan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kelelahan dan pusing. Diserta keluhan fisik yang serupa
dengan depresi seperti kesulitan tidur, gangguan nafsu makan, disfungsi seksual,
sakit kepala dan mudah marah.
Anxiety neurosis
Perasaan takut dalam menanggapi suatu ancaman disertai respons fight-or-
flight merupakan fenomena universal. Respon ini sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan atau praktik budaya. Studi sebelumnya meneliti perbedaan budaya
menimbulkan gejala kecemasan yang berbeda. Dalam studi epidemiologis
terdapat perbedaan signifikan tingkat gangguan kecemasan di antara kelompok
etno-budaya. Orang Amerika Meksiko memiliki tingkat fobia sederhana yang
lebih tinggi. Studi lintas budaya telah menemukan perbedaan substansial dalam
gejala kecemasan. Perbedaan yang menonjol terkait jenis ketakutan, gejala dan
sindrom somatik, disosiatif dan afektif. Berbagai bentuk gangguan kecemasan
terkait budaya juga telah diidentifikasi termasuk koro di Asia selatan dan timur,
semen-loss anxiety syndrom (dhat, jiryan di India, sukra praneha di Srilanka, shen-
k'uei di Cina), taijinkyofusho di Jepang, serta berbagai sindrom nervous fatigue,
termasuk shinkeishitsu di Jepang, dan neurasthenia di Cina
DSM-IV dan ICD-10, mengelompokkan gangguan kecemasan menjadi
gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan fobia, dan gangguan panik.
1. Gangguan Kecemasan Umum (GAD)
- Epidemiologi
Tingkat prevalensi GAD berkisar 2,5-6,4%. Tingkat prevalensi dalam 1 tahun
sekitar 2% pada pria dan 4,3% pada wanita.
- Etiologi
GAD terjadi ketika individu rentan terpapar stres. Studi menunjukkan bahwa
15%-20% anggota keluarga pasien dengan GAD diantaranya kembar
monozigot cenderung memiliki prevalensi yang jauh lebih tinggi. Hal ini
menunjukkan faktor genetik merupakan salah satu penyebab GAD. Beberapa
teori menjelaskan faktor lain munculnya GAD akibat labilitas berlebihan
sistem saraf otonom. Teori perilaku kognitif mengusulkan bahwa GAD
disebabkan oleh respons yang salah dan tidak akurat terhadap bahaya yang
dirasakan. Terjadi distorsi pemrosesan informasi dan menurunnya kemampuan
seseorang untuk mengatasinya.
- Gambaran klinis
Gejala utama GAD berupa khawatir dan gelisah, cemas, ketegangan motorik
seperti gelisah, ketidakmampuan untuk rileks, sakit kepala, pegal pada
punggung dan bahu serta kekakuan otot. Dapat disertai hiperaktif otonom
seperti berkeringat, palpitasi, mulut kering, ketidaknyamanan epigastrium dan
pusing. Namun, intensitas dan frekuensi gejala ini lebih ringan dibandingkan
dengan gangguan kecemasan lainnya seperti gangguan panik, fobia sosial dan
fobia sederhana. Pasien sering mengeluh kesulitan berkonsentrasi, penurunan
daya ingat dan kepekaan tinggi terhadap kebisingan. Penampilan fisik pasien
seperti wajah tegang, adanya lipatan horizontal di dahi, tampak kurang
istirahat, gelisah, kulit pucat dan berkeringat. Gangguan tidur seperti kesulitan
tidur dan sering terbangun. Gejala GAD lain yang kurang menonjol adalah
kelelahan, gejala depresi, gejala obsesif, dan depersonalisasi.
- Diagnosis banding
GAD perlu dibedakan dari beberapa gangguan kejiwaan dan fisik yang umum.
Pada gangguan depresi, cemas sering merupakan gejala depresi dan depresi
juga dapat terjadi pada gangguan cemas. Oleh karena itu berguna untuk
membuat diagnosis berdasarkan keparahan dari dua jenis gejala disertai urutan
kemunculannya. Jadi, jenis gejala apa pun yang muncul terlebih dulu dan lebih
parah dianggap sebagai kondisi primer. Skizofrenia kadang awalnya hanya
mengeluh cemas. Untuk menghindari kesalahan diagnosis, pasien perlu ditanya
penyebab gejala kegelisahannya. Konsumsi alkhol atau narkoba dapat menjadi
penyebab GAD. Hal ini dapat menentukan apakah GAD itu primer atau
sekunder. Jika pasien melaporkan lebih banyak gejala kecemasan di pagi hari,
maka kemungkinan terjadi ketergantungan alkohol. Beberapa orang
mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan untuk mengurangi kecemasan mereka.
2. Panic disorder (PD)
- Epidemiologi
Prevalensi serangan panik mencapai angka 10%. Morbiditas dan penurunan
kualitas hidup pada gangguan panik sebanding dengan depresi.
- Etiologi
Hipotesis biokimia menunjukkan kemungkinan adanya kelainan pada fungsi
reseptor alfa-2 dan disfungsi reseptor 5-HT. Menurut hipotesis hiperventilasi,
pasien dengan rasa cemas akan meningkatkan frekuensi pernapasan serta
respon simpatik sehingga terjadi penumpukan CO2 berlebih. Hiperventilasi
menghasilkan gejala yang mirip dengan serangan panik. Peningkatan frekuensi
nafas menimbulkan kekhawatiran yang meningkatkan tingkat kecemasan lebih
lanjut. Hal ini memicu terjadinya serangan panik.
- Gambaran klinis
Serangan panik pertama kali bersifat spontan. Gejala utama berupa rasa
takut yang ekstrem. Tanda fisik meliputi palpitasi, takikardia, dyspnea, dan
berkeringat. Serangannya singkat, dan biasanya berlangsung selama 10 hingga
30 menit, jarang lebih lama. Beberapa pasien mungkin mengalami
deperasionalisasi dan serangan sinkopal selama episode ini. Di sela-sela
serangan, pasien mungkin memiliki kecemasan antisipatif tentang serangan
lain. Hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis pernapasan dan gejala
lainnya. Komorbiditas PD sekitar 30%-90% pasien dengan PD memiliki
gangguan cemas dan sekitar 50% mengalami depresi berat. Sebuah studi
terhadap pasien yang dirujuk ke klinik rawat jalan psikiatri di Qatar
menemukan bahwa gangguan panik biasanya melibatkan rasa takut terhadap
kematian. Keyakinan budaya mungkin membuat munculnya gejala lain seperti
gejala psikotik. Ini sangat mungkin terjadi ketika perbedaan budaya membuat
gejala disosiatif lebih umum.
Sindrom ode-ori di Nigeria ditandai dengan gejala somatik yang menonjol
seperti perasaan panas di kepala, atau sensasi parasit yang merayap di kepala.
Sensasi cacing yang merayap di kepala adalah gejala somatik non-spesifik
umum di Afrika khatulistiwa yang mungkin merupakan gejala utama gangguan
panik atau gangguan kecemasan umum serta gangguan kejiwaan lainnya. Ode-
ori juga dapat dikaitkan dengan ketakutan paranoid serangan jahat oleh sihir.
Ketakutan seperti itu biasa terjadi dalam masyarakat di mana sihir dipraktekkan
atau menjadi bagian dari kepercayaan lokal.
- Diagnosis banding
Gangguan tiroid, paratiroid, adrenal dapat menyebabkan gejala serangan panik.
Gejala seperti nyeri dada, terutama pada pasien penyakit jantung mungkin
memerlukan tes jantung lebih lanjut. Serangan panik terikat situasional dapat
mengindikasikan kondisi seperti fobia, OCD, dan gangguan depresi.
3. Gangguan kecemasan fobia
Kelompok gangguan ini ditandai oleh kecemasan dan gejala fobia yang hanya
terjadi pada keadaan tertentu, menghindari situasi yang memicu kecemasan dan
juga pengalaman kecemasan antisipatif. Fobia umum adalah fobia sederhana,
fobia sosial, dan agorafobia.

Simple fobia
- Epidemiologi
Prevalensi fobia yaitu 4% pada pria dan 13% pada wanita.
- Etiologi
Fobia sederhana pada umumnya terjadi di masa kanak-kanak dan masa awal
remaja. Sebagian besar ketakutan masa kanak-kanak akan mereda dan jarang
sedikit bertahan sampai dewasa. Predisposisi yaitu genetik. Menurut teori psiko-
analitik, objek atau situasi fobia merupakan konflik utama yang menimbulkan
mekanisme pertahanan seperti penghindaran serta melarikan diri dari penderitaan
kecemasan yang serius.
- Gambaran klinis
Fobia terbatas pada situasi yang sangat spesifik seperti hewan tertentu, ketinggian,
guntur, kegelapan, terbang, ruang tertutup, kedokteran gigi, melihat darah dan rasa
takut terkena penyakit tertentu, dan lain sebagainya. Diagnosis dibuat ketika
seseorang terpapar pada situasi yang disebutkan di atas serta mengalami
manifestasi psikofisiologis kecemasan kemudian menghindari situasi yang
memicu ketakutan tersebut.
- Diagnosis banding
Gangguan fobia perlu dibedakan dari gangguan lain yang memiliki gejala rasa
takut. Hipokondria ditandai oleh rasa takut memiliki penyakit yang bertentangan
dengan pemeriksaan dokter. Fobia penyakit spesifik adalah rasa takut tertular
penyakit sehingga menghindari situasi yang dapat menyebabkan penyakit. Pasien
gangguan obsesif-kompulsif dapat menghindari pisau karena mereka memiliki
ketakutan obsesif membunuh seseorang, sedangkan pasien dengan fobia spesifik
menghindari pisau karena takut memotong diri mereka sendiri.
Fobia sosial
- Epidemiologi
Prevalensi fobia sosial hampir sama antara pada pria dan wanita. Prevalensi phobia
sosial diperkirakan mencapai 7% pada pria dan 9% pada wanita.
- Etiologi
Faktor genetik dan stresor lingkungan merupakan penyebab fobia sosial. Adanya
kekhawatiran yang tidak semestinya bahwa orang lain akan mengkritik juga
mampu menimbulkan fobia sosial.
- Gambaran klinis
Dalam fobia sosial, kecemasan berlebihan dialami pada situasi di mana orang
tersebut diamati dan dapat dikritik. Mereka cenderung menghindari situasi seperti
itu. Situasi termasuk restoran, kantin, pesta makan malam, seminar, rapat dewan,
dan lain-lain. Bentuk fobia sosial Jepang taijinkyofusho memberikan contoh
interaksi kepercayaan budaya dan praktik dengan kecemasan. Gejala intinya
adalah ketakutan bahwa seseorang akan menyinggung atau membuat orang lain
merasa tidak nyaman melalui perilaku sosial dan presentasi diri yang tidak wajar
termasuk menatap, muka merah, memancarkan bau atau memiliki cacat fisik atau
bentuk. Sebuah penelitian terhadap mahasiswa Jepang-Amerika dengan sampel
orang dewasa di Hawaii menunjukkan bahwa gejala taijinkyofusho secara
substansial berkorelasi dengan gejala fobia sosial. Meskipun tidak ada perbedaan
tingkat gejala antara siswa Asia dan barat, gejala taijinkyofusho ditemukan di
antara individu yang kurang terakulturasi, memberikan dukungan pada anggapan
bahwa perbedaan Fitur taijinkyofusho terkait dengan budaya Jepang. Ada juga
perbedaan dalam nilai yang diberikan psikiater di Jepang dan Amerika Serikat
pada perasaan viktimisasi, orang Jepang memandang mereka sebagai lebih atau
kurang normal sementara rekan-rekan Barat mereka, ketika berhadapan dengan
kasus-kasus Jepang, cenderung melihat perasaan seperti penganiayaan atau
berkhayal. Ini menyebabkan psikiater Barat mendiagnosis kasus taijinkyofusho
Jepang sebagai paranoid
skizofrenia. Lebih jauh lagi, sementara penderita taijinkyofusho merasa menjadi
korban dari gejalanya, perasaan viktimisasi terutama diekspresikan dalam hal rasa
malu atau tidak menyenangkan, gejala-gejala tersebut dianggap timbul pada orang
lain.
Diagnosis banding
Pasien dengan fobia sosial mengalami kecemasan hanya ketika dihadapkan dengan
stimulus fobia tidak seperti pada gangguan panik. Seorang pasien agorafobik sering
dikompromikan oleh kehadiran orang lain dalam situasi memprovokasi kecemasan,
sedangkan pasien dengan fobia sosial mungkin menjadi lebih cemas di hadapan orang
lain. Diferensiasi dari gangguan kepribadian penghindaran cemas mungkin sulit dan
penilaian perlu dilengkapi dengan riwayat kasus pribadi yang terperinci dan
wawancara ekstensif. Penghindaran mungkin merupakan gejala depresi, tetapi akan
disertai dengan gejala depresi khas lainnya. Subjek dengan gangguan kepribadian
skizofrenia memiliki kurangnya minat dalam interaksi daripada ketakutan
bersosialisasi seperti pada fobia sosial.
Agoraphobia
Epidemiology
Prevalensi satu tahun agoraphobia tanpa gangguan panik bervariasi antara 1,7 dan 3,8
persen dan prevalensi seumur hidup adalah sekitar 6 hingga 10 persen.
Etiologi
Teori kognitif menjelaskan asal usul agorafobia yang disebabkan oleh kesalahan
interpretasi gejala fisik atau somatik minor. Namun, teori-teori ini tidak dapat
menjelaskan rasa takut, ketika gejala fisik kecil mendahului gangguan atau
konsekuensi dari itu. Teori biologi menunjukkan bahwa serangan kecemasan awal
yang tidak terduga dihasilkan dari rangsangan lingkungan yang bekerja pada individu
yang memiliki kecenderungan biologis. Freud memandang agorafobia sebagai timbul
dari penggantian simbolis dari keinginan yang ditekan dan pandangan ini tetap ada
dalam psikoanalisis modern juga.
Neuros
is 199
Gambaran klinis
Pasien agorafobik menghindari situasi di mana bantuan tidak mudah tersedia. Istilah
agoraphobia mencakup ketakutan tidak hanya pada ruang terbuka tetapi juga situasi seperti
toko yang penuh sesak, ruang tertutup, jalan-jalan yang sibuk dan di mana pun ada kesulitan
melarikan diri dengan segera atau mudah ke tempat yang aman. Ini adalah salah satu
gangguan fobia yang paling berpengaruh. Dua kelompok gejala dijelaskan dalam agorafobik,
serangan panik dan kesadaran gelisah tentang pingsan dan menjadi gila. Individu yang terkena
dampak parah menjadi benar-benar terikat rumah, terutama wanita, menjadikan mereka istri
rumah terikat rumah! Sebagian besar pasien kurang cemas ketika ditemani oleh orang yang
dipercaya atau anggota keluarga. Gejala depresi, depersonalisasi, dan pemikiran obsesif juga
mungkin ada.
Diagnosis banding Diagnosis
banding mencakup semua gangguan medis yang menyebabkan gejala kecemasan atau depresi.
Diagnosis banding psikiatris meliputi gangguan depresi mayor, fobia sosial, gangguan
kecemasan umum, gangguan panik, gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian
menghindar dan gangguan kepribadian dependen.
Gangguan obsesif-kompulsif Gangguan
obsesif-kompulsif adalah sindrom yang melemahkan yang ditandai oleh obsesi dan
komposisi. Obsesi adalah pikiran yang berulang dan terus-menerus, impuls atau gambar yang
dialami sebagai mengganggu dan tidak pantas dan menyebabkan kecemasan dan kesusahan
yang nyata. Kompulsi adalah perilaku berulang atau tindakan mental yang orang tersebut
merasa dipaksa untuk melakukan dalam menanggapi obsesi.
Epidemiologi
Prevalensi OCD adalah sekitar 1,9-2,5%. Sebuah penelitian yang dilakukan di berbagai
budaya melaporkan tingkat OCD yang konsisten di berbagai negara kecuali Taiwan.
200 SK Chaturvedi dan G. Desai
Gambaran klinis
Obsesi yang umum adalah tentang kontaminasi, keraguan, gejala tubuh, kebutuhan
akan simetri, agresivitas, agama, penistaan dan seks. Kompulsi yang umum adalah
memeriksa, mencuci, menghitung, perlu bertanya atau mengakui simetri, dan
ketepatan dan penimbunan. Faktor budaya dapat memengaruhi bentuk dan isi
obsesi dan komposisi. Isi pemikiran tertentu terjadi lebih sering daripada yang lain
dan menimbulkan pertanyaan apakah variasi dalam frekuensi ini mencerminkan
karakteristik budaya pasien yang diteliti atau merupakan fitur bawaan dari
gangguan tersebut.
Kekhawatiran Obsessional menyangkut ketidakmampuan untuk mengendalikan
impuls berbahaya seseorang. Ini dikaitkan dengan iblis yang dianggap memaksa
mereka, pada individu-individu yang imannya tidak cukup kuat untuk melawan
kejahatan. Dalam studi pasien OCD yang terlihat di klinik psikiatri Arab Saudi dan
Mesir, tema obsesi dan komposisi yang paling umum adalah agama. Muslim
asuhan menekankan pada ritual keagamaan. Gejala OCD kemudian melibatkan
pengulangan dan perjuangan internal dengan pikiran terlarang karena ini
menimbulkan kecemasan terbesar bagi individu. Dalam konteks agama Muslim
ortodoks, pengulangan pemikiran dan tindakan yang moderat tampak normal
setidaknya bagi orang yang menderita. Ini mungkin berkontribusi pada tingkat
kehadiran wawasan yang relatif rendah.
Sebagian besar obsesi tentang kotoran dan kontaminasi terlihat umum di India.
Obsesi dengan konten agresif jarang terjadi. Kode etik Hindu menyediakan
beragam ritual pemurnian. Dirt menyiratkan makna yang berbeda dalam budaya
yang berbeda. Kotoran berarti kuman / debu untuk pasien Barat, tetapi
menyiratkan kontaminasi tinja untuk pasien India.
Gangguan Disosiosiatif atau Konversi Gangguan
konversi dan disosiatif sebelumnya dianggap sebagai subtipe histeria. Tema umum
yang digunakan bersama oleh gangguan histeris
adalah hilangnya sebagian atau seluruh fungsi bagian tubuh atau hilangnya integrasi
normal antara ingatan masa lalu, kesadaran akan identitas dan sensasi langsung, dan
kontrol atas gerakan tubuh. Neurosis histeris diyakini secara bertahap menjadi jarang di
Barat meskipun itu adalah diagnosis umum di negara-negara berkembang. Penurunan
histeria di Barat telah disertai oleh kenaikan kompensasi dalam insiden kecemasan dan
depresi. Konversi dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan perasaan atau ide
terlarang, sebagai semacam komunikasi ketika komunikasi verbal langsung dihalangi.
Beberapa sindrom yang terikat budaya seperti latah dan amuk mewakili cara
mengekspresikan kemarahan dan kemarahan ketika tidak diperbolehkan secara budaya. Ini
dianggap sebagai varian histeria. Ada kecenderungan untuk menghindari penggunaan
istilah histeria mengingat maknanya yang beragam dan beragam. Dalam DSM-IV,
kelompok gangguan ini mencirikan gejala atau defisit yang melibatkan fungsi motorik atau
sensorik sukarela. Amnesia disosiatif, fugue, dan gangguan identitas dikelompokkan
bersama dalam kategori gangguan disosiatif yang terpisah. Dalam ICD-10 kondisi ini
diklasifikasikan sebagai gangguan disosiatif.
Kelainan konversi
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup memiliki gejala konversi dilaporkan sekitar 33%; namun,
kelainan konversi jauh lebih jarang terjadi, dan di banyak negara Barat dan negara maju,
kelainan konversi telah hilang. Beberapa penelitian dari unit psikiatri rumah sakit umum
melaporkan bahwa 5% hingga 16% dari konsultasi psikiatri didiagnosis sebagai kelainan
konversi. Rasio perempuan terhadap laki-laki bervariasi dari 2: 1 hingga 5: 1.
Etiologi
Teori biologi menyarankan disfungsi hemisfer yang tidak dominan pada pasien dengan
gangguan konversi. Teori psikososial termasuk teori psikoanalitik
konflik intra-psikis yang berubah menjadi gejala fisik. Teori sosial-budaya
menyarankan pertobatan sebagai bentuk komunikasi perasaan bermuatan emosi yang
ditekan oleh pengekangan pribadi atau budaya.
Gambaran klinis Gambaran
klinis terutama gejala motorik seperti gaya berjalan abnormal, bermanifestasi sebagai
mengejutkan, ataksia dengan sentakan kasar dan ketidakmampuan untuk berdiri tanpa
dukungan (astasia-abasia). Pseudoseizures, kebutaan histeris dan gejala sensorik
seperti anestesi, hiperestesi dan parestesia adalah gejala konversi yang umum. Muntah
psikogenik, retensi urin, pseudocyesis (pseudo-kehamilan), globus hystericus
(perasaan benjolan di tenggorokan), dan beberapa gangguan visual dijelaskan di
bawah gangguan konversi.
Gangguan disosiatif
Orang normal memiliki rasa kesatuan diri dan pengalaman penyatuan diri ini terdiri
dari integrasi pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang ke dalam kepribadian yang
unik. The key dysfunction in the dis- sociative disorder is the loss of the unitary state
of consciousness.
Aetiology
Hypnotizability, suggestibility and dissociation seem to be inter-related. A high
degree of hypnotiz- ability is noted among dissociative disorder patients. Another
postulation is that dissociation could be due to the deficiency or reduction of men- tal
energy that is responsible for the unitary sense of self by binding various
psychological functions together. If there is a psychological trauma, the binding
power of the personal self is impaired and certain psychological functions escape
from its con- trol. Psychoanalysts have proposed a conflict model in which a strong
ego protects itself from psycho- logical pain through the operation of a defensive
mechanism of repression, which manifests phe- nomenologically as dissociation.
Neuros
is 201
Clinical presentations
Dissociative amnesia The main feature is loss of memory of important recent, usually
traumatic events. Invariably the onset is sudden, and very often the events are physi- cally or
emotionally traumatic, like accidents or unexpected bereavements. Amnesia may be local-
ized and rarely complete or generalized. Personal identity usually remains unchanged and an
appa- rent unconcern about the memory loss is observed frequently. Dissociative amnesia is
generally short- lasting and self-limited.
Dissociative fugue Dissociative fugue has all the features of dissociative amnesia, along with
an apparently purposeful jour- ney away from home or place of work during which self-care
is maintained. After establishing a new residence, occupation and identity, the person has no
memory of the past and is not aware that the memories are missing. Fugue often remits
sponta- neously and recurs rarely. The memories of events during the fugue state may be
recalled under hyp- nosis. Those patients with conflict may require pro- longed
psychotherapeutic interventions.
Dissociative identity disorder This is also known as multiple personality disorder and has
been reported predominantly in the West and is rare in the developing countries. The impor-
tant characteristic feature of multiple personality disorder is the presence of two or more
distinct personalities within a single individual with only one of them being manifest at a
time. The cause of this disorder is largely unknown; however, trau- matic events in childhood
either of physical or sex- ual abuse is commonly reported. The change from one personality to
another is often sudden and dra- matic. Each personality is complete, with its own memories,
characteristic personal preferences and behavioral patterns. The personalities may be of either
sex and may be disparate and extremely opposite. Nothing unusual is found in the mental
status of these patients except for amnesia for the
202 SK Chaturvedi and G. Desai
events occurred during the previous personality. Often prolonged interviews and
multiple contact with the patient may lead the clinician to arrive at a diagnosis of
multiple personality disorder.
Trance and possession disorder The central feature of dissociative trance disorder
is the temporary alteration in the state of con- sciousness or loss of customary
sense of personal identity without replacement by an alternate iden- tity. An
associated narrowing of the awareness of surroundings and also some stereotyped
behav- iours maybe present. Episodes occur in discrete attacks and there is
amnesia for the trance state. In possession attacks, an episodic alteration in the
state of consciousness is characterized by the replacement of customary sense of
personal iden- tity by a new identity. These could be stereotyped and culturally
determined behaviours or movements that are experienced as being controlled by
the pos- sessing agent. Trance and possession states can occur in various religious
and cultural contexts. It becomes a disorder only when it occurs involuntar- ily or
is unwanted and also when it intrudes into ordinary activities by occurring outside
religious or other culturally accepted situations. Possession states and trance is
common in the Indian subcontinent.
Other dissociative phenomenons of interest are latah and amok. Latah is well
described among Malaysians. It is characterized by hypersensitivity to fright or
startle, often with echopraxia, echolalia, command obedience, and dissociative or
trance like behaviour. Amok is characterized by homicidal frenzy, preceded by
brooding and followed by amnesia.
Somatoform disorder
Somatoform disorders are characterized by physical complaints for which no
obvious, serious and demonstrable organic findings can be discerned. There is
some evidence or presumption that psy- chological factors, stresses or conflicts
seem to be
initiating, exacerbating and maintaining the somatic symptoms.
Somatization disorder
Epidemiology
Lifetime prevalence of somatization disorder in the general population is estimated to be
0.1 or 0.2 per cent. Female to male ratio is 5 to 1. Higher rates of somatic symptoms in
Hispanic psychiatric patients with depression and also for Hispanic community
respondents regardless of psychological status have been identified.
Diagnosis
According to DSM-IV, for the diagnosis of somatiza- tion disorder, there should be four
pain symptoms, two gastrointestinal symptoms, one sexual and one pseudo-neurological
symptom, beginning before 30 years of age. On the other hand, ICD-10 criteria require at
least two years of multiple and variable physical symptoms with no adequate physical
explanation, persistent refusal to accept advice and some degree of impairment of
functioning.
Aetiology
Somatization as social communication includes the use of bodily symptoms to manipulate
or control relationships. Psychoanalytic theories suggest that hysteria represents a
substitution of somatic symp- toms for repressed instinctual impulses. Neuro-
psychological tests demonstrate equal bifrontal impairment of the cerebral hemispheres
and non- dominant hemispheric dysfunctions in patients with somatization disorder. Other
aetiological fac- tors include heightened awareness of bodily sensa- tions,
misinterpretations of normal sensations as evidence of illness, excessive anxious
preoccupation with illness and early loss or separation from parents. Familial and genetic
factors are also impli- cated in the etiopathogenesis of somatization disorder.
Clinical picture
The main clinical features are multiple, recurrent, and frequently changing physical
symptoms, which have usually been present for several years. Most patients have long
and complicated history of con- sulting several doctors. Symptoms include the gas-
trointestinal sensations, multiple skin symptoms, sexual complaints and menstrual
irregularities. The presentation of bodily symptoms in most cul- tures, regardless of
source, constitutes an idiom of distress. In many cultures, the presentation of per-
sonal or social distress in the form of somatic com- plaints is the norm. In the past,
somatization was believed to be a phenomenon in non-western coun- tries, now it is
established that it is a world wide phenomenon, though it appears common in devel-
oping countries. In an effort to explain such cultural differences, models that
incorporate mind/body schemas prevalent in various cultures have been studied. In
the West, the mental and medical health is seen as arising out of mind and body
respectively. In non-western countries the body is understood as a whole rather than a
dualistic model seen in the West.
The types of symptoms presented in different cultural settings are diverse. In
Latin America, cer- tain somatoform disorders are described. Ataque de nervios is
commonly reported in Puerto Rican and Caribbean subjects. It commonly follows
stressful events and manifests as somatization and dissocia- tive symptoms, with
dramatic behavioral correlates. Ataques are common in women, particularly those
who are older, unmarried and with low levels of education. The common somatic
manifestations of ataque de nervios are headache, trembling, palpita- tions, stomach
disturbances, a sensation of heat rising to the head, numbness of extremities and at
times pseudo-seizures, fainting or unusual spells. Hot and cold syndromes are the
cultural dimen- sions reported by Puerto Ricans that may affect their health use
patterns is the 'hot–cold' theory of disease and therapies.
Hwa byung is a Korean folk illness label com- monly used by patients suffering
from a multitude
Neuros
is 203
of somatic and psychological symptoms, including constricted, oppressed, or pushing-up
sensations in the chest, palpitations, heat sensations, flushing, headache, epigastric mass,
dysphoria, anxiety, irri- tability and difficulty in concentration. It is said to be a common
condition that afflicts less-educated, middle-aged married women in times of stress.
Somatic neurosis is a chronic neurotic syndrome among Muslim women in India
who report multiple somatic symptoms. This somatic neurosis is differ- ent from anxiety
neurosis and depressive neurosis. Socio-cultural factors may be contributing to these
differences.
Hypochondriasis
Epidemiology
Six-month prevalence rate of 4% to 6% among general medical patients population have been
reported. There are no significant differences in social status, education, and marital status.
The age of onset is most commonly between 20 and 30 years of age.
Aetiology
Major aetiological theories suggest a role of ampli- fication and augmentation of normal
bodily sensa- tions; psycho-dynamically as a derivative of aggressive or oral drives; as a
defence against guilt or low self-esteem; as a socially learned illness behaviour eliciting
interpersonal rewards; and as a psychiatric syndrome characterized by functional somatic
symptoms, fear of disease, bodily preoccu- pation and the persistent pursuit of medical care.
Clinical features
There are mainly physical complaints without any demonstrable underlying organic
pathology, which are described with minute specific details. The symp- toms reflect no
recognizable disease pattern. There is also a persistent refusal to accept the advice and
204 SK Chaturvedi and G. Desai
reassurance of several different doctors that there is no physical illness or
abnormality underlying the symptom. In hypochondriacal disorder, the patient
tends to ask for investigations to determine or con- firm the nature of the
underlying disease.
The culture-related syndrome koro involves an intense acute fear that the penis
is shrinking into the body and when involution is complete, the suf- ferer will die.
Koro affects individuals who are vulner- able due to pre-existing anxiety, sexual,
reproductive and relationship concerns, recent stressful life events, and, perhaps,
suggestibility. This is a cultural variant of hypochondriacal disorder.
Somatoform pain disorder
The essential feature of this disorder is the presence of pain that is not fully
accounted for by a general medical, neurological or specific psychiatric disor- der.
Somatoform pain disorders are quite common not only in psychiatric clinics, but
also in other medical and surgical specialties, where it goes undetected. Pain
disorder is diagnosed twice as fre- quently in women as in men and the peak age of
onset are in the fourth and fifth decades.
Psychodynamic theorists suggest that the aches and pains may be a symbolic
expression of an intra- psychic conflict. Biological theorists implicate the role of
serotonin and endorphins in the central nervous system's modulation of pain.
Another pop- ular theory called gate-control theory describes that the different
nerve impulses from peripheral noci- ceptors are modulated by stimulation of
other sen- sory afferent fibres.
Clinical features
The patients with pain disorder constitute a hetero- geneous group with various
sites and nature of pain symptoms, like low back pain, headache, facial pain and
chronic pelvic pain. The pain is of sufficient severity to cause distress or
impairment of function- ing. Psychological factors are considered to have an
important role in the onset, severity, exacerbation or
maintenance of the pain. Pain patients are also found to have substance abuse disorders as
they tend to use alcohol, analgesics or other substances in an attempt to reduce the pain.
Major depressive disorder is one of the commonest comorbid psychi- atric disorders in
patients with pain disorder.
Neurasthenia
Neurasthenia, also known as chronic fatigue syn- drome (CFS), is a condition of uncertain
cause com- monly ascribed to the effect of stresses of modern life on the human nervous
system. Many physicians have observed that the symptoms of chronic fatigue are not
readily explained by organic disease or psy- chiatric conditions. Consequently, it became
regarded as a 'medically unexplained' condition. In ICD-10 the syndrome is included under
'other neurotic disorders'. Neurasthenia is the commonest neurotic disorder in China (see
above). In a survey conduced in China neurasthenia was nearly twice as commonly
diagnosed than depressive neurosis. This term is readily accepted by the medical practi-
tioners there and has lesser stigma attached to it.
Aetiology
Clinical observation of patients with CFS have led to the investigation of a number of
hypotheses about the underlying pathophysiological mechanisms. It could be caused by
chronic infections such as Brucellosis or Epstein–Barr virus infection. Other hypotheses
include immune dysfunction, sleep abnormalities and cardiovascular or respiratory
abnormalities. Neuroendocrine abnormalities like adrenal dysfunc- tion, abnormal
serotonergic function and cerebral perfusion abnormalities are reported in CFS.
Clinical features
Primary complaints in neurasthenia are tiredness and fatigue. This fatigue lasts for months
to years, and typically begins soon after a viral fever or expo- sure. In addition to fatigue,
the syndrome is
characterized by myalgias and cognitive changes such as forgetfulness and poor
concentrations.
Patients may complain of sexual weakness also, which needs to be addressed in
the light of cultural background, and needs to differentiate from dhat syndromes in
men or women. In young males in the Indian subcontinent, dhat syndrome manifests
as bodily, mental or sexual weakness attributed to loss of semen, by masturbation,
sexual activity or loss of 'semen' in the urine. In women, tiredness, fatigue and
exhaustion is attributed to passage of normal vaginal discharge, this is considered as
loss of vital elements, akin to semen in men.
In Japan, other types of neurasthenia are recog- nized namely – neurasthenia,
neurasthenic reaction or reactive neurasthenia and pseudo-neurasthenia. In China,
neurasthenia orshenjingshuairoumeaning weakness of nerves are reported by
intellectual indi- viduals with probable sociopolitical factors underly- ing the cause. In
Taiwan neurasthenia is regarded as a clinical entity and called as shinkeishitsu, which
is characterized by obsessive and introverted person- ality traits and sociophobic
symptoms.
The role of cultural factors in the development, presentation, and management
of neurotic disorders needs to be appreciated. The explanatory models employ the
cultural formulation to get an under- standing of the disorder. The neurotic symptoms
reflect a cry for help, an indication of the failing coping methods and need for support
and under- standing from their family, friends and professionals. These need to be
understood and addressed under the unique cultural framework of the individual.
Further reading/sources
Barlow, DH (2003). Anxiety and its Disorders. New York:
Guilford Press. Barsky, AJ and Klerman, GL (1983). Overview: hypo-
chondriasis, bodily complaints and somatic styles. American Journal of Psychiatry,
140, 273–283. Bass, C. and Potts, S. (1993). Somatoform disorders. InRecent
Advances in Clinical Psychiatry, ed. KG Grossman. Edinburgh: Churchill
Livingstone, pp. 143–163.
Neuros
is 205
Brown, TA (1997). The nature of generalized anxiety dis- order and pathological worry.
Current evidence and con- ceptual model. Canadian Journal of Psychiatry, 42, 817–825.
Chaturvedi, SK (1993). Neurosis across culture.
International Review of Psychiatry, 5, 181–194. Chaturvedi, SK and Joseph, S.
(2005). Neurotic, stress- related and somatoform disorders. In Handbook of Psychiatry – A
South Asian Perspective, ed. D. Bhugra, G. Ranjith, and V. Patel. By word. New Delhi: Viva
Publishers, pp. 247–270. Clark, DA, Beck, AT and Beck, JS (1994). Symptom differences in
major depression, dysthymia, panic disor- der and generalized anxiety disorder. American
Journal of Psychiatry, 151, 205–209. Escobar, JI (1995) Transcultural aspects of dissociative
and somatoform disorders. Psychiatric Clinics of North America, 18, 555–569. Gelder, M.,
Gath, D. and Mayou, R. (eds.) (1996). Anxiety, obsessive compulsive and dissociative
disorders. In Oxford Textbook of Psychiatry, 3rd edn. New York: Oxford University Press
Inc. Halligan, PW, Bass, C. and Marshall, JC (2001). Contemporary Approaches to the Study
of Hysteria. Oxford: Oxford University Press. Kaplan, HI and Sadock BJ (eds.) (1995).
Anxiety disor- ders. In Comprehensive Textbook of Psychiatry, 6th edn. Baltimore: Williams
dan Wilkins. Kirmayer, LJ, Allan Young, A. and Hayton, BC (1995). The cultural context of
anxiety disorders. Psychiatric Clinics of North America, 18, 503–521. Lipowski, ZJ (1998).
Somatization. The concept and its clinical application. American Journal of Psychiatry, 145,
1358–1368. Mace, CJ (1992a). Hysterical conversion I. A history.
British Journal of Psychiatry, 161, 369–377. Mace CJ (1992b). Hysterical
conversion II. A critique.
British Journal of Psychiatry, 161, 378–389. Marks, IM (1969). Fears and
Phobias. London:
Heinemann. Marshall, JR (1997). Panic disorder: a treatment update.
Journal of Clinical Psychiatry, 58(1), 36–42. Noyce, R. and Hoehn-Saric, R.
(1998). The Anxiety
Disorders. Cambridge: Cambridge University Press. Pearce, S., Miler, A.
(1993). Chronic pain. In Recent Advances in Clinical Psychiatry, ed. KG Grossman.
Edinburgh: Churchill Livingstone, pp. 123–142. Ross, GA, Miller, SD, Reagon, P. et al.
(1990). Structured interview data on 102 cases of multiple personality

Anda mungkin juga menyukai