Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

DISTIMIA

Disusun Oleh :
Risna Ningsih

2065050018

Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp. KJ (K), SH

dr. Herny Taruli Tambunan, M.Kes (KJ) Sp.KJ

dr. Imelda Wijaya, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JIWA

PERIODE 20 DESEMBER 2021 – 15 JANUARI 2022

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT

JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan distimia dinamakan sebagai distimik didalam Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorders edisi ketiga yang direvisi (DSM-V-R). Istilah terakhir
menyatakan bahwa gangguan distimik adalah bentuk ringan dari gangguan depresif berat dan
gangguan bipolar 1. Tetapi, beberapa data penelitian menyatakan bahwa walaupun gangguan
mungkin berhubungan, gangguan tersebut kemungkinan memiliki perbedaan biologis dan
psikososial yang mendasar. Satu perbedaan utama adalah apabila gangguan depresif berat
ditandai oleh episode gejala terpisah, gangguan distimik ditandai oleh gejala nonepisodik dan
kronis.1

Gangguan distimik harus dibedakan dengan gangguan depresi kronik, karena pada
gangguan distimik tidak pernah ditemukan episode gangguan depresi mayor. Apabila kondisi
ini terjadi pada anak atau remaja yang perlu diperhatikan manifestasinya dapat dalam bentuk
mudah marah. Hampir sepanjang hari pasien selalu mengeluh keadaan mood terdepresi atau
pada anak dan remaja mudah marah ditemukan, dan keluhan ini sudah berlangsung selama
sedikitnya 2 tahun.2 Paling sering pada perempuan (perempuan : laki-laki = 2-3 : 1), sering
muncul untuk pertama kalinya, pada usia akhir 20-an atau 30-an. Prevalensi selama hidup 6
% dan mulainya berangsur-angsur, sering pada orang yang mempunyai predisposisi untuk
depresi.3

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan suasana perasaan antara
lain faktor biologi termasuk didalamnya faktor genetic. Menurut penelitian, anak dari pasien
bipolar kemungkinan 18 kali lebih besar terkena gangguan suasana perasaan. Selain itu faktor
biologis lainnya yang menjadi penyebab adalah neurotransmitter, endokrin, ritme tidur, dan
aktifitas otak. Faktor psikologis dan faktor sosial juga dapat mempengaruhi angka kejadian
terjadinya gangguan suasana perasaan seseorang.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gangguan distimik adalah suatu gangguan kronis yang ditandai oleh adanya
mood yang terdepresi (atau mudah marah pada anak-anak dan remaja) yang
berlangsug hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari. Istilah
“distimia” yang berarti humor yang buruk (ill-humored), diperkenalkan di tahun 1980
dan diganti menjadi “gangguan distimik” di dalam DSM-IV. Sebelum tahun 1980,
sebagian besar pasien yang sekarang diklasifikasikan menderita gangguan distimik,
diklasifikasikan menderita neurosis depresif (juga disebut depresi neurotic), walaupun
beberapa pasien diklasifikasikan menderita kepribadian siklotimik.1
Distimia berarti suatu disforia temperamental yaitu suatu kecenderungan
bawaan untuk mengalami mood yang terdepresi. Sebaliknya, neurosis depresif
menyatakan pola berpikir dan perilaku yang maladaptive dan berulang yang
menyebabkan depresi. Pasien yang digambarkan menderita neurosis depresif sering
kali penuh kecemasan, obsesif, dan rentan terhadap somatisasi. Depresi
karakterologikal berarti suatu mood disforik yang merupakan kesatuan (integral)
dengan karakter pasien; di dalam DSM-VI, pasien dengan keluhan tersebut mungkin
lebih tepat diklasifikasikan menderita gangguan somatisasi.1

2.2 Epidemiologi
Gangguan distimik merupakan gangguan yang sering ditemukan di antara
populasi umum, yang mengenai 3-5% dari semua orang, yang mengenai antara
setengah dan sepertiga dari semua pasien klinik. Sekurangnya satu penelitian
melaporkan prevalensi gangguan distimik di antara remaja yang muda adalah kira-
kira 8% pada laki-laki dan 5% pada perempuan. Gangguan distimik adalah lebih
sering pada wanita yang berusia kurang dari 64 tahun dibandingkan laki-laki pada
setiap usia. Gangguan distimik juga lebih sering ditemukan di antara orang yang tidak
menikah dan orang muda dan pada orang dengan penghasilan yang rendah. Selain itu,
gangguan distimik seringkali ada bersama-sama dengan gangguan mental lain,
khususnya gangguan depresif berat, gangguan kecemasan (khususnya gangguan
panik), penyalahgunaan zat, dan kemungkinan gangguan kepribadian ambang. Pasien
dengan gangguan distimik tersebut kemungkinan menggunakan berbagai macam
medikasi psikiatrik, termasuk antidepresan, obat antimanik, sebagai contoh litium
(Eskalith) dan carbamazepine (Tegretol) dan sedative-hipnotik.1

2.3 Etiologi
Tema utama tentang penyebab gangguan distimik adalah apakah gangguan ini
berhubungan dengan diagnosis psikiatrik lain, termasuk gangguan depresif berat dan
gangguan kepribadian ambang. Pada saat ini, kita tidak dapat mencapai kesimpulan
akhir, tetapi sama seperti sebagian besar diagnosis psikiatrik, pasien yang
didefinisikan dengan kriteria DSM-VI memiliki bermacam-macam heterogenitas
proses penyakit, sebagai contoh, tidur REM (rapid eye movement) yang menurun dan
riwayat keluarga adanya gangguan mood.1
a. Faktor Biologis
Beberapa penelitian parameter biologis di dalam gangguan distimik
mendukung klasifikasi gangguan distimik dengan gangguan mood. Penelitian lain
mempertanyakan hubungan tersebut. Satu hipotesis yang diambil dari data adalah
bahwa dasar biologis untuk gejala gangguan distimik dan gangguan depresif berat
adalah serupa, tetapi dasar biologis untuk patofisiologi dasra kedua gangguan
adalah berbeda.1
Penelitian Tidur. Penurunan latensi tidur REM dan meningkatnya densitas
REM adalah dua pertanda keadaan depresi pada gangguan depresif berat yang
juga ditemukan pada sebagian pasien dengan gangguan distimik. Beberapa
peneliti menemukan data pendahuluan yang mengarahkan adanya kelainan tidur
tersebut pada pasien dengan gangguan distimik memperkirakan respons terhadap
obat antidepresan.1
Pemeriksaan Neuroendokrin. Dua sumbu neuroendokrin yang paling banyak
dipelajari dalam gangguan depresif berat dan gangguan distimik adalah sumbu
adrenal dan sumbu tiroid, yang masing-masing di uji dengan menggunakan
dexamethasone-suppression test (DST) dan thyrotropine-releasing hormone
(TRH) stimulation test. Walaupun penelitian tidak sepenuhnya konsisten, sebagian
besar penelitian menyatakan bahwa pasien dengan gangguan distimik adalah lebih
kecil kemungkinannya memiliki hasil yang abnormal pada DST dibandingkan
pasien dengan gangguan depresif berat. Penelitian TRH-stimulation test adalah
sedikit jumlahnya tetapi memberikan data pendahuluan yang menyatakan bahwa
kelainan pada sumbu tiroid mungkin merupakan suatu variabel sifat yang
berhubungan dengan penyakit kronis. Hipotesis tersebut didukung oleh
meningkatnya presentasi umum pasien dengan gangguan distimik yang memiliki
kelainan sumbu tiroid jika dibandingkan dengan control normal.1

b. Faktor Psikososial
Teori psikodinamika tentang perkembangan gangguan distimik menyatakan
bahwa gangguan disebabkan oleh kesalahn perkembangan kepribadian dan ego,
yang memuncak dalam kesulitan dalam beradaptasi pada masa remaja dan dewasa
muda. Sebagai contoh, Karl Abraham berpendapat bahwa konflik depresi berpusat
pada sifat oral dan anal-sadistik. Sifat anal adalah termasuk pengurutan yang
berlebihan (excessive orderliness), bersalah, dan permasalahan terhadap orang
lain, sifat anak didalilkan merupakan pertahanan terhadap preokupasi dengan
masalah anal dan dengan disorganisasi, permusuhan, dan preokupasi terhadap diri
sendiri. Mekanisme pertahanan utama yang digunakan adalah pembentukan reaksi
(reaction formation). Harga diri yang rendah, anhedonia, dan introversi seringkali
disertai dengan karakter depresif.1
Di dalam “Mourning and Melancholia” Sigmund Freud berpendapat bahwa
suatu kerentanan terhadap depresi dapat disebabkan oleh kekecewaan
interpersonal pada awal kehidupan yang menyebabkan hubungan cinta ambivalen
saat dewas; kehilangan yang nyata atau yang mengancam pada kehidupan dewasa
selanjutnya memicu depresi. Orang yang rentan terhadap depresi adalah yang
tergantung secara oral dan memerlukan pemuasan narsitik yang terus menerus.
Jika tidak mendapatkan cinta, kasih saying, dan perawatan, mereka menjadi
terdepresi secara klinis. Jika orang tersebut mengalami kehilangan yang nyata,
mereka menginternalisasikan atau mengintroyeksikan objek yang hilang dan
mengalihkan kemarahannya padanya dan dengan demikian kepada dirinya
sendiri.1
Teori kognitif tentang depresi juga berlaku pada gangguan distimik. Teori ini
menyatakan bahwa ketidaksesuaian antara situasi nyata dan situasi yang
dikhayalkan menyebabkan menurunnya harga diri dan rasa putus asa.
Keberhasilan terapi kognitif di dalam pengobatan beberapa pasien dengan
gangguan distimik mungkin mendukung model teoritis tersebut.1

2.4 Gejala Klinis


Gangguan distimik merupakan suatu gangguan kronis yang ditandai bukan
saja oleh episode penyakit, tetapi malahan oleh adanya gejala secara menetap. Namun
demikian, pasien gangguan ditimik dapat memiliki suatu variasi temporal di dalam
keparahan gejalanya. Gejala sendiri adalah serupa dengan gejala untuk gangguan
depresif berat, dan adnya mood yang terdepresi ditandai oleh perasaan muram,
murung, kesedihan, atau berkurangnya dan tidak adanya minat pada aktivitas pasien
biasanya adalah pusat dari gangguan. Keparahan gejala depresif dalam gangguan
distimik biasanya lebih kecil daripada gangguan depresif berat, tetapi tidak adanya
episode yang terpisah adalah hal yang paling mengarahkan pada diagnosis gangguan
distimik.
Pasien dengan gangguan sistimik kadang-kadang dapat sarkastik, nihilistik,
memikirkan hal yang sedih, membutuhkan, dan mengeluh. Mereka dapat juga tegang
dan kaku dan menolak intervensi terapeutik, kendatipun mereka dating secara teratur
pada perjanjian. Sebagai akibatnya, klinisi mungkin merasa marah terhadap pasien
dan mungkin bahkan menjadi acuh tak acuh terhadap keluhan pasien. Menurut
definisinya, pasien gangguan distimik tidak memiliki adanya gejala psikotik.
Gejala penyerta adalah perubahan nafsu makan dan pola tidur, harga diri yang
rendah, hilangnya energi, retardasi psikomotor, penurunan dorongan seksual, dan
preokupasi obsesif dengan masalah kesehatan. Pesimisme, keputusasaan, dan
ketidakberdayaan dapat menyebabkan pasien gangguan distimik terlihat sebagai
masokistik. Tetapi, jika pesimisme diarahkan ke luar, pasien dapat bersikap kasar
terhadap dunia dan mengeluh bahwa mereka telah diperlakukan buruk oleh sanak
saudaranya, anak-anak, orang tua, teman sejawat, dan oleh sistem.
Gangguan di dalam fungsi sosial kadang-kadang merupakan alasan mengapa
pasien dengan gangguan distimik mencari pengobatan. Pada kenyataannya,
perceraian, pengangguran, dan masalah sosial adalah masalah yang sering ditemukan
pada pasien tersebut. Mereka mungkin mengeluh bahwa mereka mengalami kesulitan
di dalam berkonsentrasi dan melaporkan bahwa prestasi sekolah atau kerjanya adalah
terganggu. Karena keluhan penyakit fisik, pasien dapat membolos dari kerja dan
situasi sosial. Pasien gangguan distimik mungkin memiliki masalah perkawinan yang
disebabkan oleh disfungsi seksual (sebagai contoh, impotensi) atau dari
ketidakmampuan untuk mempertahankan keintiman secara emosional.
Diagnosis Penyerta. Seperti yang disebutkan sebelumnya, diagnosis gangguan
distimik seringkali dibuat untuk orang-orang yang juga menderita gangguan mental
lainnya. Data menyatakan bahwa komorbiditas gangguan distimik dengan gangguan
mental lainnya merupakan prediktor negatif yang penting dari suatu prognosis baik.
Yaitu, adanya gangguan depresif kronis, tidak terobati tampaknya membatasi
kecepatan dan luasnya perbaikan yang dapat diperoleh pasien pada gangguan lain.
Gangguan komorbid yang sering ditemukan adalah gangguan depresif berat dan
gangguan berhubungan dengan zat.
Depresi Ganda. Diperkirakan 40% pasien dengan gangguan depresif berat juga
memenuhi kriteria untuk gangguan distimik. Kombinasi gangguan tersebut seringkali
dinamakan depresi ganda (double depression). Data yang ada mendukung kesimpulan
bahwa pasien dengan depresi ganda memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan pasien dengan hanya gangguan depresif berat. Pengobatan pasien
dengan depresi ganda harus diarahkan pada kedua gangguan, karena pemulihan gejala
episode depresif berat pada pasien tersebut masih meninggalkan mereka dengan
gangguan psikiatrik yang bermakna.
Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Lain. Pasien dengan gangguan distimik
umumnya memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan berhubungan dengan
zat. Komorbiditas tersebut dapat terlihat sebagai logis, mengingat kecenderungan
pasien gangguan distimik untuk mengembangkan metode untuk mengatasi keadaan
terdepresi kronis yang dialaminya. Dengan demikian, pasien dengan gangguan
distimik kemungkinan menggunakan alcohol, stimulan (sebagai contoh, kokain) atau
marijuana, pemilihan kemungkinan tergantung terutama pada konteks sosial pasien.
Adanya diagnosis komorbid penyalahgunaan zat menimbulkan suatu dilema
diagnostik bagi klinisi, karena banyak zat dapat menyebabkan gambaran gejala yang
tidak dapat dibedakan dari gejala gangguan distimik.

2.5 Diagnosis
Kriteria diagnostik memerlukan adanya mood yang terdepresi pada sebagian
besar waktu untuk sekurangnya 2 tahun (atau 1 tahun untuk anak-anak dan remaja).
Untuk memenuhi kriteria diagnostik, pasien tidak boleh memiliki gejala yang lebih
baik dilaporkan sebagai gangguan depresif berat. Pasien tidak boleh memiliki episode
manik atau hipomanik. DSM-V memungkinkan klinisi untuk menentukan apakan
onset adalah awal (sebelum usia 21 tahun) atau akhir (usia 21 tahun dan lebih).
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Distimik :
A. Mood terdepresi untuk sebagian besar hari, lebih banyak hari dibandingkan tidak,
seperti yang ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan orang lain,
selama sekurangnya 2 tahun. Catatan: pada anak-anak dan remaja, mood dapat
mudah tersinggung (iritabel) dan lama harus sekurangnya 1 tahun.
B. Adanya saat terdepresi, dua (atau lebih) berikut :
1. Nafsu makan yang buruk atau makan berlebihan
2. Insomnia atau hipersomnia
3. Energi lemah atau lelah
4. Harga diri yang rendah
5. Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan
6. Perasaan putus asa
C. Selama periode 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak atau remaja) gangguan, orang
tidak pernah tanpa gejala dalam kriteria A dan B selama lebih dari 2 bulan pada
suatu waktu
D. Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama gangguan (1
tahun untuk anak-anak dan remaja) yaitu gangguan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan depresif berat kronis, atau gangguan depresif berat, dalam remisi
parsial.
Catatan: mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya asalkan terdapat
remisi lengkap (tidak ada tanda atau gejala yang bermakna selama 2 bulan)
sebelum perkembangan gangguan distimik. Di samping itu, setelah 2 tahun awal
(1 tahun pada anak-anak) dari gangguan distimik, mungkin terdapat episode
gangguan depresif berat yang menumpang pada kasus tersebut, kedua diagnosis
dapat diberikan jika memenuhi kriteria untuk episode depresif berat.
E. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode hipomanik,
dan tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan siklotimik.
F. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan psikotik kronis,
seperti skizofrenia atau gangguan delusional.
G. Gejala tidak merupakan efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya,
hipotiroidisme)
H. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Sebutkan jika
Onset awal : jika onset sebelum usia 21 tahun
Onset lambat : jika onset pada usia 21 tahun atau lebih
Sebutkan (untuk 2 tahun terakhir gangguan distimik)
Dengan ciri atipikal

2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk gangguan distimik pada dasarnya adalah serupa
dengan gangguan depresif berat. Banyak zat dan penyakit medis dapat menyebabkan
gejala depresif kronis. Dua gangguan khususnya penting untuk dipertimbangkan di
dalam diagnosis banding gangguan distimik, gangguan depresif ringan dan gangguan
depresif singkat rekuren.
1. Gangguan Depresif Ringan.
Ditandai oleh episode gejala depresif yang kurang parah dibandingkan gejala
pada gangguan depresif berat. Perbedaan antara gangguan distimik dan gangguan
depresif ringan terutama pada sifat episodik gejala pada gangguan depresif ringan.
Di antara episode, pasien dengan gangguan depresif ringan memiliki mood yang
eutimik, sedangkan pasien dengan gangguan distimik tidak memiliki periode
eutimik.
2. Gangguan Depresif Singkat Rekuren
Ditandai oleh periode singkat (kurang dari 2 minggu) selama mana terdapat
episode depresif. Pasien dengan gangguan dapat memenuhi kriteria diagnostik
untuk gangguan depresif berat jika episodenya lebih panjang. Pasien dengan
gangguan depresif singkat rekuren berbeda dari pasien gangguan distimik atas dua
hal; a) mereka memiliki gangguan episodik; b) keparahan gejalanya adalah lebih
besar.

2.7 Terapi
Menurut sejarahnya, pasien dengan gangguan distimik tidak mendapatkan
pengobatan atau dipandang sebagai calon untuk psikoterapi jangka panjang
berorientasi-tilikan. Data modern menawarkan dukungan objektif bukan hanya untuk
terapi kognitif, terapi perilaku, dan farmakoterapi. Kombinasi farmakoterapi dan
terapi kognitif maupun perilaku mungkin merupakan pengobatan yang paling efektif
untuk gangguan. Terapi lain mungkin bermanfaat, tetapi manfaatnya masih perlu
dibuktikan pada penelitian yang terkendali dengan baik.
1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah suatu teknik dimana pasien diajarkan cara berpikir dan
berkelakuan yang baru untuk menggantikan sikap negatif yang salah terhadap
dirinya sendiri, dunia, dan masa depan. Terapi ini merupakan program terapi
jangka pendek yang diarahkan pada masalah saat ini dan pemecahannya.
2. Terapi Perilaku
Terapi perilaku untuk gangguan depresif didasarkan pada teori bahwa depresi
disebabkan oleh hilangnya pendorong positif sebagai akibat perpisahan, kematian,
atau perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Berbagai metode pengobatan berpusat
pada tujuan spesifik untuk meningkatkan aktivitas, untuk mendapatkan
pengalaman menyenangkan, dan untuk mengajarkan pasien bagaimana bersantai.
Mengganti perilaku pribadi pada pasien terdepresi dipercaya merupakan cara yang
paling efektif untuk mengubah pikiran dan perasaan depresi yang menyertai.
Terapi keputusasaan yang dipelajari pada beberapa pasien yang tampaknya
menghadapi setiap tantangan kehidupan dengan rasa ketidakmampuan.
3. Psikoterapi berorientasi-tilikan (psikoanalitik)
Psikoterapi individual berorientasi tilikan adalah modalitas terapi yang paling
sering dilakukan untuk gangguan distimik, dan banyak klinisi percaya bahwa ini
merupakan terapi yang terpilih. Pendekatan psikoterapeutik berusaha untuk
menghubungkan perkembangan dan pemeliharaan gejala depresif dan ciri
kepribadian maladaptif dengan konflik yang tidak terpecahkan pada masa anak-
anak awal. Tilikan ke dalam ekuivalen depresif (seperti penyalahgunaan zat) atau
ke dalam kekecewaan masa anak-anak sebagai pendahulu terhadap depresi
dewasa dapat digali melalui terapi. Hubungan sekarang yang ambivalen dengan
orang tua, teman, dan orang lain di dalam kehidupan pasien sekarang ini
diperiksa. Pengertian pasien tentang bagaimana mereka mencoba memuaskan
kebutuhan yang berlebihan akan persetujuan luar untuk mengatasi harga diri yang
rendah dan suatu super ego yang keras adalah tujuan penting di dalam terapi.
Gangguan distimik melibatkan suatu keadaan depresi kronis yang menjadi
cara hidup orang tertentu. Mereka secara sadar mengalami dirinya sendiri berada
di dalam belas kasih dari objek internal yang menyengsarakan yang tidak henti-
hentinya menyiksa mereka. Biasanya dipandang sebagai super ego yang keras,
perwakilan internal mengkritik mereka, menghukum mereka atas tidak
dimilikinya sifat-sifat yang dikehendaki oleh harapan, dan biasanya terlibat di
dalam perasaan kesengsaraan dan kesedihan mereka. Pola mungkin disertai
dengan kecenderungan mengalahkan diri sendiri, karena mereka tidak merasa
bahwa mereka pantas berhasil. Mereka juga memiliki perasaan putus asa yang
berlangsung lama karena kebutuhan emosional tidak pernah mereka dipuaskan
oleh orang yang penting di dalam kehidupan mereka. Pandangan pasien yang
suram terhadap kehidupan dan pesimisme pasien tentang hubungan menyebabkan
ramalan pemenuhan diri, banyak orang menghindari dirinya karena teman-
temannya tidak menyenangkan.
4. Terapi interpersonal
Di dalam terapi interpersonal untuk gangguan distimik, pengalaman
interpersonal pasien sekarang ini dan cara mereka mengatasi stress dinilai untuk
menurunkan gejala depresif dan meningkatkan harga diri. Terapi interpersonal
terdiri kira-kira 12-16 sesi mingguan dan dapat dikombinasikan dengan medikasi
antidepresan.
5. Terapi keluarga dan kelompok
Terapi keluarga dapat membantu pasien dan keluarganya untuk menghadapi
gejala gangguan, khususnya jika sindrom subafektif yang didasarkan secara
biologis tampaknya akan timbul. Terapi kelompok dapat membantu pasien yang
menarik diri untuk mempelajari cara baru mengatasi masalah interpersonalnya di
dalam situasi sosial.
6. Farmakoterapi
Karena kepercayaan teoritis umum yang telah dipegang lama bahwa gangguan
distimik terutama merupakan gangguan yang ditentukan secara psikologis, banyak
klinisi menghindari penggunaan antidepresan pada pasien dengan gangguan ini.
Banyak peneliti telah mengalami keberhasilan terapeutik dengan penggunaan
antidepresan pada gangguan. Tatapi, pada umumnya data menyatakan bahwa
inhibitor monoamine oksidase (MAOIs) mungkin lebih bermanfaat dibanding obat
trisiklik. Relative baru diperkenalkan inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin
(SSRIs) yang ditoleransi dengan baik telah menyebabkan obat sering digunakan
oleh pasien dengan gangguan distimik. Laporan pendahuluan menyatakan bahwa
SSRI mungkin merupakan obat terpilih untuk gangguan. Demikian juga, laporan
awal menyatakan bahwa bupropion mungkin merupakan pengobatan yang efektif
untuk pasien dengan gangguan distimik. Simpatomimetik, seperti amfetamin, juga
telah digunakan pada pasien tertentu.
Kegagalan Percobaan Terapeutik. Percobaan terapeutik suatu antidepresan di
dalam pengobatan gangguan distimik harus menggunakan dosis maksimal yang
dapat ditoleransi selama sekurangnya 8 minggu sebelum klinisi menganggap
bahwa percobaan tersebut adalah tidak efektif. Jika percobaan suatu obat tidak
berhasil, klinisi harus mempertimbangkan ulang diagnosis, khususnya tentang
kemungkinan adanya gangguan medis dasar (khususnya suatu gangguan tiroid)
atau gangguan defisitatensi dewasa. Jika pertimbangan ulang diagnosis banding
masih memberikan gangguan distimik sebagai diagnosis yang paling mungkin,
klinisi dapat mengikuti strategi pengobatan yang sama yang dilakukan pada
gangguan depresif berat. Secara spesifik, klinisi dapat berusaha memperkuat
antidepresan pertama dengan menambahkan litium (Eskalith) atau
triiodothyronine (Cytomel), walaupun strategi penguatan untuk gangguan distimik
tersebut belum diteliti. Atau klinisi dapat memutuskan untuk mengganti menjadi
suatu antidepresan dari kelas obat yang berbeda sama sekali. Sebagai contoh, jika
percobaan dengan suatu SSRI tidak berhasil, klinisi dapat mengganti menjadi
bupropion atau suatu MAOI.
7. Perawatan di rumah sakit
Perawatan di rumah sakit biasanya tidak diindikasikan untuk pasien gangguan
distimik, tetapi adanya gejala yang parah, inkapasitas sosial atau profesioanl yang
nyata, membutuhkan prosedur diagnostik yang luas, dan gagasan bunuh diri
semuanya merupakan indikasi untuk perawatan di rumah sakit.

2.8 Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan gangguan distimik adalah bervariasi.
Penelitian di masa depan mungkin menyatakan bahwa penggunaan obat antidepresif
baru, sebagai contoh fluoxetine (Prozac) dan bupropion (Wellbutrin) atau psikoterapi
spesifik (sebagai contoh, terapi kognitif dan perilaku) memiliki efek positif pada
perjalanan dan prognosis gangguan distimik. Data yang tersedia tentang pengobatan
sebelumnya menyatakan bahwa hanya 10-15% pasien dengan gangguan distimik yang
berada dalam remisi 1 tahun setelah diagnosis awal. Kira-kira 25% dari semua pasien
gangguan distimik tidak pernah mencapai pemulihan yang lengkap.
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan distimik adalah gangguan mood yang terdepresi, dikarakteristikan dengan


perjalanan penyakit yang kronik dengan onset yang tiba-tiba. Gangguan distimik harus
dibedakan dengan gangguan depresi kronik, karena pada gangguan distimik tidak pernah
ditemukan episode gangguan depresi mayor.

Pasien dengan distimia sering memiliki pandangan yang suram atau negatif dalam
hidupnya dengan perasaan ketidakmampuan dalam dirinya. Berdasarkan definisinya, kondisi
ini telah berlangsung sekurang-kurangnya 2 tahun pada dewasa dan 1 tahun pada anak-anak
dan remaja. Gejala klinis dari distimia diikuti : a) Berfikiran negatif, pesimistik dan
berpandangan suram; b) Mood terdepresi; c) Gelisah; d) Cemas; e) Gejala Neurovegetative
seperti tidur terganggu dan perubahan nafsu makan, letargi, biasanya kurang ditandai
daripada yang terlihat dalam episode depresi mayor; f) Anhedonia.

Distimia kemungkinan lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki.


Keadaan ini juga lebih sering pada keluarga biologis tingkat pertama pasien dengan riwayat
episode depresif daripada populasi umum.

Pada kasus yang lebih berat, pengobatan dengan antidepresan psikopterapi individual
atau terapi kognitif dapat berguna. Rawat inap biasanya tidak diindikasikan kecuali jika
pasien ingin bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan Harold I,M.D, Sadock Benjamin J,M.D, Grebb Jack A. M.D. Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I, Penerbit Binarupa Aksara,
Jakarta, 2010. Hal: 855-860.
2. Ismail R. Irawati, Siste Kristina. Buku Ajar Psikiatri, Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2010. Hal: 223-229.
3. Tomb David a,M.D. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2004. Hal: 52.
4. Puri Basant K, Laking Paul J, Treasaden Ian H. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2, EGC.
Jakarta. 2011. Hal:180-181.
5. Junko Ishizaki and Masaru Mimura. Dysthymia and Apathy: Diagnosis and
Treatment. Depression Research and Treatment. 2011.
6. Hawari, Dadang. Manajemen stress, cemas, dan depresi. Jakarta. 2011. Hal: 3-17.
7. Kusumawardhani AAAA. Terapi fisik dan psikofarmaka di bidang psikiatri. Dalam
buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2013. Hal: 381-4.
8. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Rongkas dari PPDGJ III
dan DSM-V. Jakarta. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2013.

Anda mungkin juga menyukai