Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan depresi dibawah naungan gangguan mood. Pembahasan emosi mencakup afek,
mood, emosi yang lain dan gangguan psikologis yang berhubungan dengan mood. Sehi
ngga dalam pembahasan gangguan depresi maka akan dibahas emosi dan mood. Emosi m
erupakan kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang b
erhubungan dengan afek dan mood. Emosi juga memiliki sinonim yaitu afek yang mer
upakan suasana perasaan hati seorang individu. Mood merupakan subjektivitas pere
sapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh ora
ng lain termasuk contohnya depresi, elasi dan marah.1
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati ata
u bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas,
kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (tidur, aktivitas seksual dan ri
tme biologik lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersona
l, sosial dan fungsi.1,2
a. Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedi
h dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi da
pat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari.3
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya ge
jala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangg
uan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi atau penurunan konsentrasi. Sedang
kan berdasarkan Maramis, depresif adalah suatu gangguan perasaan dengan cirri-ci
ri semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, ganggua
n tidur dan makan.4
b. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi. Gangguan depresi berat paling sering terjadi dengan prev
alensi seumur hidup sekitar 15% dan pada perempuan dapat mencapai 25% yang sekit
ar 10% persen mendapatkan perawatan primer sedangkan sisanya 15% dirawat rumah s
akit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%, sedangkan pada usia re
maja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat.1,
2
Jenis kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga
adanya perbedaan hormone, pengaruh melahirkan, perbedaan stressor psikososial a
ntara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang ketida
kberdayaan.1
Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% awitan diantara usia 20-50
tahun.Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia. Data
terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan penyalahgunaa
n zat.1,2
Status perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubung
an interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai. Wanita yang tidak men
ikah memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk menderita depresi dibandingk
an dengan yang menikah namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki.1
Faktor sosioekonomi dan budaya. Tidak ditemukan korelasi natara status sosioekon
omi dan gangguan depresi berat.1
c. Etiologi dan Patofisiologi
1. Faktor organobiologi
Hipotesis gangguan mood berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin bioge
nik seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA) dan asam homovanilic (HVA) yang
ada di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal. Norepinefrin dan serotonin ad
alah dua neurotransmitter yang paling telibat dalam patofisiologi gangguan mood.
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik anti depresan mu
ngkin merupakan peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Aktivitas dop

amine mungkin berkurang pada depresi ditandai dengan penemuan subtipe baru resep
tor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasin
aptik dopamine memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan mood. Sedangkan
pada serotonin pada orang dengan depresi biasanya akan berkurang. Serotonin berf
ungsi dalam meregulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan.1,2
2. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood dengan
jalur penurunan yang kompleks. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam keluar
ga menunjukkan bahwa generasi pertama lebih sering 2 sampai 10 kali mengalami de
presi berat.
3. Faktor sosial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode pertama dibanding
kan episode berikutnya. Teori yang ada terkait dengan hal tersebut adalah adanya
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Sehingga perubahan ini menyebabkan p
erubahan berbagai neurotransmitter dan system sinyal intraneuron, termasuk hilan
gnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinap dan berdampak pada sinap dan hal
tersebut dapat berdampak pada seorang individu berisiko tinggi mengalami episod
e berulang, gangguan mood, sekalipun tanpa stressor.1
Semua orang dengan dengan pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai den
gan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik da
n ambang berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingnya dengan gangguan ke
pribadian paranoid dan antisocial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimi
k berisikko menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stressful merupaka predict
or terkuat untuk kejadian episode depresi.1,2
Faktor psikodinamik pada depresi dikenal sebagai pandang klasik dari depresi dan
dituangkan kedalam teori yang ditemukan oleh Sigmund Freud dan dilanjutkan oleh
Karl Abraham. (1) gangguan hubungan ibu dan anak selama fase oral (10-18 bulan)
merupakan faktor predisposisi terhadap episode depresi berulang; (2) depresi da
pat dihubungkan dengan kenyataan atau bayangan kehilangan objek; (3) introjeksi
merupakan bangkitan mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang berkai
tan dengan kehilangan objek.; (4) akibat kehilangan objek cinta, diperlihatkan d
alam bentuk campuran antara benci dan cinta, perasaan marah yang diarahkan pada
diri sendiri Menurut Melanie Klein depresi termasuk agresi kearah mencintai. Sed
angkan Edward Bibring menyatakan bahwa depresi adalah suatu fenomena yang terjad
i ketika seseorang menyadari terdapat perbedaan antara ideal yang tinggi dengan
ketidakmampuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.2
4. Formulasi lain dari depresi
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik yang menghasilkan kecende
rungan seseorang menjadi depresi. Postulat Aaron Beck menyatakan trias kognitif
dari depresi mencakup (1) pandangan terhadap diri sendiri berupa persepsi negati
f terhadap dirinya (2) tentang lingkungan yakni kecenderungan menganggap dunia b
ermusuhan terhadapnya (3) tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan kega
galan.2
d. Perjalanan penyakit
Sebelum episode pertama teridentifikasi, sekitar 50% gangguan depresi berat memp
erlihatkan gejala depresi yang bermakna. Gejala depresi yang teridentifikasi din
i dan dapat teratasi lebih awal dapat mencegah berkembangnya gejala tersebut men
jadi episode depresi penuh. Pada pasien dengan gangguan depresi berat, meskipun
gejala mungkin telah ada, umumnya belum menunjukkan suatu premorbid gangguan ke
pribadian. Sekitar 50% pasien dengan episode depresi pertama terjadi sebelum usi
a 40 tahun biasanya dihubungkan dengan tidak adanya riwayat gangguan mood dalam
keluarga, gangguan kepribadian antisocial dan penyalahgunaan alkohol.1,2
Episode depresi yang tidak ditangani akan berlangsung 6
13 bulan. Kebanyakan pen
anganan episode depresi sekitar 3 bulan. Namun karena merujuk kepada prosedur ba
ku penatalaksaan gangguan depresi maka penatalksaan setidanya dilakukan selama
6 bulan agar tidak mudah kambuh.1
e. Tanda gejala
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adala

h gejala utama dari depresi. Pasien juga mungkin mengatakan perasaannya sedih, t
idak mempunyai harapan, dicampakkan atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi
kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan. Selain itu biasanya
terdapat pikiran untuk melakukan bunuh diri pada sekitar dua per tiga pasien dep
resi dan 10 sampai 15% diantaranya melakukan bunuh diri. Beberapa pasien depresi
terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangg
uan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang se
belumnya menarik bagi dirinya.1,2,4
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana merek
a mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah d
an pekerjaanm dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekita
r 80% pasien mengeluh masalah tidur khususnya terjaga dini hari (terminal insomn
ia) dan sering bangun dimalam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi. Keba
nyakan pasien juga mengalami penurunan nafsu makan demikian pula dengan bertamba
h dan menurun berat badannya serta mengalami tidur lebih lama dari biasanya.1,2,
4
Kecemasan adalah gejala tersering dari sepresi dan menyerang 90% pasien depresi.
Perubahan asupan makanan dan istirahat dapat menyebabkan timbulnya penyakit lai
n secara bersamaan seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit paru obstrukt
if kronik dan penyakit jantung. Gejala lain termasuk haid tidak normal dan menur
unnya minat serta aktivitas seksual.2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi pada orangtua dapat dihubungkan de
ngan status ekonomi yang rendah, kehilangan pasanganm berbarengan dengan penyaki
t fisik dan isolasi sosial.1
Gangguan depresi ditandai oelh rasa lelah yang berkepanjangan dan sulit untuk ko
nsentrasi, gangguan tidur (terutama bangun pagi cepat dan bangun beberapa kali s
aat tidur), nafsu makan berkurang, kehilangan berat badan, dan keluhan somatik.1
f. Kriteria diagnosis
Tabel 1. Kriteria diagnostik gangguan depresi berat menurut DSM-IV-TR
A. Pasien mengalami gangguan mood terdepresi (contoh: sedih atau perasaan kosong
) atau kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau leb
ih ditambah 4 atau lebih gejala-gejala berikut ini:
- Tidur: insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
- Minat: menurunnya minat atau kesenangan hampir pada semua kegiatan hampir sepa
njang waktu
- Rasa bersalah: perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa t
idak berharga hampir sepanjang waktu
- Energi: kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu
- Konsentrasi: menurunnya kemampuan untuk berpikir/ konsentrasi; sulit membuat k
eputusan hampir sepanjang waktu
- Selera makan: menurun atau meningkat
- Psikomotor: agitasi atau retardasi
- Bunuh diri: pikiran berulang tentang mati/ ingin bunuh diri.
B. Gejalanya tidak memenuhi untuk kriteria episode campuran (episode
depresi berat dan episode manik).
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan bermakna secara klinik atau
hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
(contoh: penyalahgunaan obat atau medikasi) atau kondisi medik
umum (hipotiroidisme).
E. Gejalanya tidaklah lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya
setelah kehilangan seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari
dua bulan atau ditandai hendaya fungsi yang jelas, preokupasi rasa
ketidakbahagian yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau
retardasi mental.
g. Skala penilain objektif untuk depesi
Skala penilain objektif yang dapat digunakan dalam praktik dokter atau dokumenta
si keadaan klinik pasien depresi adalah The Zung Self Rating depression scale ya

ng terdiri dari 20 item skala pelaporan. Skor normal kurang dari 34, skor depres
i adalah lebih dari 50. Skala tersebut meliputi indeks global intensitas gejala
depresi pasien, termasuk kecendrungan ekspresi dari depresi.1
The raskin depression scale adalah suatu skala nilai klinik yang mengukur beratn
ya depresi pasien yang dilaporkan oleh pasien dan dokter pengamat, pada 5 point
skala dari 3 dimensi meliputi pelaporan verbal, penampilan prilaku, dan gejala s
ekunder. Skala berkisar antara 3-13. Skor normal adalah 3, dan skor depresi adal
ah 7 atau lebih.1
h. Pemeriksaan status mental
1. Deskripsi umum:
Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala yang paling sering, meskipun
agitasi psikomotor juga terlihat terutama pada pasien usia lanjut. Meremas tanga
n dan menarik rambut merupakan gejala dari agitasi. Secara sederhana, pasien dep
resi memiliki postur tubuh yang dibungkukkan tidak ada gerakan spontan, sedih da
n memalingkan wajah. Pada pemeriksaan klinis, pasien depresi memperlihatkan kese
luruhan gejala dari kemunduran psikomotor yang tampak serupa dengan pasien skizo
frenia katatonik.1
2. Mood, afek dan perasaan:
Gejala kunci adalah depresi, walaupun sekitar 50% pasien menyangkal perasaan dep
resi dan tidak tampak depresi. 1
3. Suara:
Pengurangan jumlah dan volume bicara; mereka merespon pertanyaan dengan satu-sat
u kata dan memperlihatkan perlambatan menjawab pertanyaan. Pemeriksa dapat menun
ggu 2 atau 3 menit untuk pasien menjawab pertanyaan.1
4. Gangguan persepsi:
Gangguan depresi berat dengan cirri psikotik mempunyai waham atau halusinasi. Ba
hkan tanpa waham dan halusinasi, beberapa dokter menyebut psychotic depression u
ntuk kemunduran secara keseluruhan seperti membisu, tidak mandi dan kotor. 1
Mood congruent adalah suatu kondisi yang pada saat bersamaan pada pasien depres
i ditemukan adanya waham dan halusinasi yang menetap, selain itu juga ditemukan
perasaan bersalah, tidak berharga, kegagalan, penderitaan dan keadaan terminal p
enyakit somatik (kanker atau kerusakan otak). 1
Gambarannya adalah ketidakesesuaian isi waham dan halusinasi dengan mood depresi
. Ketidaksesuaian antara isi waham dengan mood pada pasien meliputi tema grandio
se tentang kemampuan yang berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang berharga seb
agai contoh, pasien percaya bahwa seseorang tersiksa karena dia adalah Messiah.
1
5. Pikiran:
Pandangan negatif terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi piker mereka sering me
liputi rasa kehilangan, rasa bersalah, pikiran bunuh diri, dan kematian. Sekitar
10% dari semua pasien depresi menunjukkan gejala gangguan pikiran, biasanya dal
am isi pikirnya adalah hambatan dan kemiskinan.1
5. Sensorium dan kognitif:
Kebanyakan pasien depresi tidak terganggu orientasinya baik orang, tempat dan wa
ktu meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai minat untuk menjawab pertanyaa
75% dari pasie
an tentang subjek tersebut selama wawancara. Sedangkan sekitar 50
n depresi mempunyai hendaya kognitif, kadang-kadang ditunjukkan sebagai pseudode
mentia depresi. Umumnya pasien mengeluhkan tidak mampu konsentrasi dan gampang l
upa. 1
6. Kontrol impuls:
Sekitar 10 sampai 15% melakukan bunuh diri dan dua pertiganya mempunyai ide untu
k bunuh diri. Pasien dengan cirri psikotik biasanya mempertimbangkan untuk membu
nuh orang sebagai manifestasi waham, walaupun banyak pasien depresi kurang tenag
a atau motivasi untuk mengikuti suara hati untuk melakukan kejahatan. Pasien den
gan depresi berisiko tinggi untuk bunuh diri ketika energi mereka mulai meningka
t. 1
7. Pertimbangan dan tilikan:

Penilaian sikap dan perilaku pasien terkini, selama wawancara. Tilikan pasien de
presi terhadap gangguannya sering berlebihan: mereka selalu menekankan gejalanya
, gangguannya, dan masalah hidup mereka. Ini menyulitkan untuk meyakinkan pasien
bahwa perbaikan dapat terjadi. 1
8. Hal dapat dipercaya:
Pada wawancara dan perbincangan, pasien depresi terlalu melebihkan hal buruk dan
meminimalkan hal baik. 1
i. Terapi
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama
, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostik lengkap pada pasien
harus dilakukan. Ketiga, rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala
saat itu tetapi kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaup
un terapi saat ini yang menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan
pada pasien secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga dikaitakn
dengan meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan d
emikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor didalam kehidupan
pasien.1
1. Rawat inap
Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, risiko
bunuh diri atau membunuh dan kemampuan pasien yang menurun drastic untuk mendap
atkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang cepat serta rus
aknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi rawat inap.1,2
2. Terapi psikososial
Sebagian besar studi menunjukkan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah
terapi yang paling efektif untuk gangguan depresi berat. Tiga jenis psikoterapi
jangka pendek yaitu:1
a. Terapi kognitif
Sejumlah studi menunjukkan bahwa terapi kognitif efektif dalam penatalaksanaan
gangguan depresi berat dan sebagian besar studi menunjukkan bahwa terapi ini set
ara efektivitasnya dengan farmakoterapi. Terapi kognitif dikembangkan dengan Aar
on Beck dan memfokuskan pada distorsi kognitif yang diperkirakan ada pada ganggu
an depresi berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap aspek n
egatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistis mengenai konsekuens
i. Contohnya apati dan kurang tenaga adalah pengharapan pasien mengenai kegagala
n disemua area. Tujuan terapi ini adalah untuk meringankan episode depresif dan
mencegah kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi
begatif; mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif serta me
latih respons perilaku dan kognitif baru.
b. Terapi interpersonal
Terapi ini dikembangkan oleh Gerald Klerman yang memfokuskan pada satu atau dua
masalah interpersonal pasien saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pe
rtama, masalah interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini cenderung
terlibat didalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresif saat ini.
Program terapi ini biasanya terdiri dari atas 12 sampai 16 sesi dan ditandai den
gan pendekatan terapeutik yang aktif. Fenomena intrapsikik seperti mekanisme def
ense dan konflik internal, tidak diselesaikan. Perilaku khas seperti tidak asert
if, keterampilan sosial terganggu dan pikiran terdistorsi dapat diselesaikan tet
api hanya dalam konteks pengertiannya terhadap hubungan interpersonal
c. Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptif mengaki
batkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin sekaligus peno
lakan dari masyarakat. Pemusatan perhatian pada perilaku maladaptif didalam tera
pi diharapkan pasien dapat belajar berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa sehi
ngga mereka memperoleh dorongan positif.
3. Farmakoterapi
Antidepresan merupakan terapi gangguan depresif berat yang efektif dan spesifik.
Penggunaan farmakoterapi spesifik diperkirakan dapat melipat-gandakan kemungki
nan bahwa pasien dengan gangguan depresi berat akan pulih. Meskipun demikian mas

alah tetap ada dalam terapi gangguan depresi berat seperti: sejumlah pasien tida
k memberikan respon terhadap terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini te
rsedia membutuhkan 3 sampai 4 minggu hingga memberikan pengaruh terapeutik yang
bermakna, walaupun obat tersebut dapat mulai menunjukkan pengaruhnya lebih dini
dan relatif sampai saat ini semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bil
a overdosis serta memiliki efek samping.1,2
SSRI seperti fluoxetine, paroksetin (Paxil), dan sertralin (Zoloft), juga buprop
ion, venlafaksin (Efexxor), nefazodon, dan mirtazapin (Remeron). Efek samping da
ri antidepresan adalah dapat mengakibatkan kematian jika dikonsumsu overdosis. T
risiklik dan tetrasiklik adalah antidepresan yang paling mematikan. Efek sampin
g lainnya adalah dapat menyebabkan hipotensi.4
Kesalahan klinis yang sering terjadi adalah penggunaan dosis yang terlalu rendah
dalam jangka waktu singkat. Kecuali terjadi efek samping, dosis antidepresan h
arus dinaikkan sampai kadar maksimum yang direkomendasi atau dipertahankan kadar
tersebut setidaknya selama 4 atau 5 minggu sebelum percobaan obat dapat dinggap
tidak berhasil. Terapi antidepresan harus dipertahankan setidaknya 6 bulan atau
selama episode sebelumnya, bergantung mana yang lebih lama. Terapi profilaksis
perlu dipertimbangkan jika melibatkan gagasan bunuh diri yang bermakna atau gang
guan fungsi psikosial.1,5
Alternatif terapi obat lainnya adalah elektrokonvulsif dan fototerapi. Terapi e
lektokonvulsif biasa digunakan ketika pasien tidak memberikan respons terhadap f
armakoterapi atau tidak dapat mentoleransi farmakoterapi.1

BAB III
PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan pada pasien Ny.LN ditemukan adanya gejala-gejala seperti
gangguan mood terdepresi (sedih) disertai dengan kehilangan minat selama sekitar
4 bulan. Selain itu juga terdapat gangguan tidur, merasa tidak bertenaga atau l
etih, menurunnya kemampuan untuk berpikir dan mengingat serta berkonsentrasi dan
juga pasien mengaku memiliki gagasan untuk bunuh diri. Gejala tersebut juga dis
ertai dengan adanya halusinasi auditorik berupa perintah untuk melakukan sesuatu
yang jahat dan waham curiga terhadap tamu yang sedang berkunjung ke rumahnya. S
emua gejala yang ditemukan tersebut menyebabkan pasien saat ini memiliki ganggua
n dalam fungsi sosial. Sehingga dari semua hasil pemeriksaan tersebut pada pasie
n dapat ditegakkan diagnosis gangguan atau episode depresif berat dengan gejala
psikotik berdasarkan kriteria DSM-IV-TR.2
Diagnosis banding seperti skizofrenia dapat disingkirkan jika merujuk pada krite
ria masing-masing penyakit tersebut. Kriteria DSM-IV-TR untuk skizofrenia berlan
gsung paling sedikit enam bulan; penurunan fungsi yang bermakna dalam bidang pek
erjaan, hubungan interpersonal dan fungsi kehidupan pribadi; pernah menglami gej
ala psikotik aktif dalam bentuk khas selama periode tersebut; dan tidak ditemui
gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autism atau
gangguan organik. Pada kasus ini, kejadian berlangsung kurang dari enam bulan de
ngan tidak ditemukannya penurunan fungsi yang cukup bermakna, tidak pernah menga
lami psikotik aktif dalam bentuk yang khas dan juga disertai dengan gangguan moo
d mayor. Sehingga diagnosis banding skizofrenia dapat disingkirkan.1
Pada pasien ini diberikan terapi berupa antipsikotik atipikal berupa risperidone

, antidepresan yaitu fluoxetine dan juga obat anti-kolinergik yaitu trihexypheni


dil. Obat antipsikotik atipikal ini mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor
serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah terhadap reseptor dopamin (D2), a1 dan a
2 adrenergik, serta histamin. Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala
positif (waham, halusinasi), maupun gejala negatif (upaya pasien yang menarik d
iri dari lingkungan). Risperidon dimetabolisme di hati dan diekskresi di urin. D
engan demikian perlu dilakukan pengawasan terhadap fungsi hati. Secara umum risp
eridon ditoleransi dengan baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramid
al sangat minimal dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis anjurannya adala
h 2-6 mg/hari. Pada pasien ini diberikan dosis 2x2 mg/hari sebagai initial dose.
5
Tablet trihexyphenidyl diberikan jika efek ekstrapiramidal muncul. Gejala terseb
ut seperti distonia akut, akatisia dan sindrom parkinsonisme (tremor,bradikinesi
a,rigiditas). Obat ini tergolong obat antikolinergik sehingga efek terhadap geja
la ektrapiramidal.Pada pasien ini sudah tepat untuk pengobatan gejala psikotikny
a dengan diberikan antipsikotik untuk menghilangkan gejala positif dan negatif y
ang ada pada pasien. 5
Fluoxetine merupakan merupakan golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhib
itors). Fluoxetine memiliki mekanisme kerja mempengaruhi kimiawi pada otak yang
mungkin menjadi tidak seimbang sehingga dapat menyebabkan gejala depresi, panik
, cemas atau obsesif-kompulsif. Fluoxetine digunakan untuk menmgobati gangguan d
epresif mayor, bulimia nervosa, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panic dan g
angguan disforik premenstruasi. Fluoxetine ini biasa digunakan bersamaan dengan
obat lain seperti olanzapine yang merupakan antipsikotik atipikal. Kombinasi ini
biasa digunakan untuk depresi akibat gangguan bipolar (depresi manik) atau depr
esi yang telah diberi dua obat lainnya namun tidak berhasil mengatasi gejala.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock s Concise Textbook of Clinical Psychiatry
. 3rd Edition. 2008. USA Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, Wolters Kl
uwer Business. P 200-18.
2. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku A
jar Psikiatri. 2010. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. p 209-22.
3. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi Kedua. 2009. Sura
baya: Airlangga University Press.
4. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Keti
ga. 2007. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Unika Atmajaya.
5. Setiabudy, Rianto. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. 2007. Jakarta: Gaya
Baru.

Anda mungkin juga menyukai