TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri yang ditandai dengan penurunan mood
yang mengakibatkan berkurangnya energi dan kehilangan minat dan kegembiraan [ CITATION
Nin15 \l 1033 ]. Episode depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan
bipolar. Jika berdiri sendiri disebut Depresi Unipolar. Simtom terjadi sekurang-kurangnya
dua minggu dan terdapat perubahan dari derajat fungsi sebelumnya [ CITATION Kem15 \l
1033 ].
2.2 Epidemiologi
Gangguan depresi dapat dialami oleh semua kelompok usia. Hasil Riskesdas 2018
menunjukkan gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15-24 tahun),
dengan prevalensi 6,2%. Pola prevalensi akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, tertinggi pada usia >75 tahun sebesar 8,9%, 65-74 sebesar 8,0% dan 55-
64 tahun sebesar 6,5% [ CITATION Yoe18 \l 1033 ]. Depresi diestimasikan mempengaruhi 264
juta manusia dari berbagai kalangan usia. Survei Kesehatan Mental Dunia yang diadakan di
17 negara menemukan bahwa rata-rata 1 di antara 20 orang dilaporkan mengalami episode
depresi di tahun sebelumnya[ CITATION Ism15 \l 1033 ] . Gangguan depresif berat adalah suatu
gangguan yang sering, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15%, kemungkinan setinggi
25% pada wanita. Insidensi gangguan depresif berat juga lebih tinggi daripada biasanya pada
pasien perawatan primer yang mendekati 10%, dan pada pasien medis rawat inap yang
mendekati 15% [ CITATION Ben17 \l 1033 ].
2.3 Etiologi
1. Faktor Organobiogenik
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi pada metabolit amin biogenik, seperti
asam 5-hydroxyindoleacetic(5-HLAA), asam homovanilic (HVA), dan 3-methoxy-4-
hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal (CSF)
pasien dengan gangguan mood.
Amin Biogenik
Norepinephrine dan serotonin adalah dua neurotransmitters yang paling terlibat
patofisiologi gangguan mood.
Norepinephrine
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respons klinis antidepresi
mungkin merupakan peran langsung system noradenergik pada depresi. Bukti
lain yang juga melibatkan reseptor B2-presipnatik pada depresi, yaitu aktifnya
reseptor yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin.
Reseptor B2-presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah pelepasan serotonin.
Dopamin
Aktifitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe
baru reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik
dan pascasinaptik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dan
gangguan mood. Dua teori baru tentang dopamin dan depresi adalah jalur
dopamin mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor
dopamin D1 mungkin menjadi hipoaktif pada depresi.
Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab
untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah serotonin yang berkurang dicelah sinap dikatakan
bertanggung jawab untuk terjadinya depresi.
2. Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood, tetapi
jalur penurunan sangat kompleks. Sulit untuk mengabaikan efek psikososial,
dan juga, faktor nongenetik kemungkinan berperan sebagai penyebab
berkembangnya gangguan mood, setidaknya pada beberapa orang.
Penelitian dalam keluarga
Generasi pertama, 2 sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat.
Penelitian yang berkaitan dengan adopsi
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara
genetik. Studi menunjukkan, anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan
mood berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut
dibesarkan oleh keluarga angkat.
Penelitian yang berhubungan dengan anak kembar
Pada anak kembar disigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak 15- 28%
sedangkan pada yang kembar monozigotik 53-69%.
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan (stress) dapat
mencetuskan terjadinya depresi. Episode pertama ini lebih ringan
dibandingkan episode berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya
stress sebelum episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai
neurotransmitter dan system sinyal interneuron. Termasuk hilangnya
beberapa neuron dan penurunan kontak sinaps. Dampaknya, seorang
berisiko tinggi mengalami episode berulang gangguan mood, sekalipun
tanpa stressor dari luar.
Faktor kepribadian
Semua orang, apapun pola kepribadianya, dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi- konvulsi,
histrionik dan ambang, beresiko tinggi untuk mengalami depresi
dibandingkan dengan gangguan kepribadian paranoid atau antisosial. Pasien
dengan gangguan distimik dan siklotimik berisiko menjadi gangguan
depresi berat. Peristiwa stressfull merupakan prediktor tekuat untuk kejadian
episode depresi. Riset menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stressor
akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi.
4. Faktor Psikodinamik pada Depresi
Teori pandangan klasik dari depresi termasuk 4 hal utama: (1) gangguan
hubungan ibu anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi
untuk rentan terhadap episode depresi berulang. (2) depresi dapat dihubungkan
dengan kenyataan atau bayangan kehilangan objek. (3) intropeksi merupakan
terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi penderitaan yang
berkaitan dengan kehilangan objek. (4) akibat kehilangan objek cinta,
diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci dan cinta, perasaan marah
yang diarahkan pada diri sendiri. Melanie Klein menjelaskan bahwa depresi
termasuk agresi kearah mencintai seperti dijelaskan Freud. Edward Bibring
menyatakan bahwa depresi adalah suatu fenomena yang terjadi ketika
seseorang menyadari terdapat perbedaan antara ideal yang tingi dengan
ketidakmampuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Edith Jacobson melihat
depresi sebagai berkurangnya kekuatan, misalnya pada anak tidak berdaya yang
menjadi korban penyiksaan orang tua. Silvano Arieti mengamati banyak pasien
depresi hidup untuk orang lain dibandingkan untuk dirinya sendiri. Dia merujuk
kepada orang yang menderita depresi, hidup dalam dominasi orang lain, dalam
prinsip, ideal, atau institusi secara individual (Ismail & Siste, 2015; Sadock &
Sadock, 2017).
2.4 Patofisiologi
Teori biologik memfokuskan pada abnormalitas norepinefrin (NE) dan serotonin (5-
HT). Hipotesis katekolamin menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh rendahnya kadar
NE otak, dan peningkatan NE menyebabkan mania. Pada beberapa pasien kadar MHPG
(metabolit utama NE rendah). Hipotesis indolamin menyatakan bahwa rendahnya
neurotransmiter serotonin (5-HT) otak menyebabkan depresi dan peningkatan serotonin (5-
HT) dapat menyebabkan mania. Hipotesis lain menyatakan bahwa penurunan NE
menimbulkan depresi dan peningkatan NE menyebabkan mania, hanya bila kadar serotonin
5-HT rendah.
Mekanisme kerja obat antidepresan mendukung teori ini – antidepresan klasik trisiklik
memblok ambilan kembali (reuptake) NE dan 5-HT dan menghambat momoamin oksidase
inhibitor mengoksidasi NE. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya
perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake
Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian
obat MAOI (Mono Amine Oxidase Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik
yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi
depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil.
Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE
(Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan
bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat
dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-
gejala depresi. Penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme
otak di lobus frontalis menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental
ritmik sirkadian pada pasien-pasien depresi (Katzung, 2007).
2.7 Tatalaksana
1. Terapi Non-farmakologi
a. Terapi Kognitif / Cognitive Behavioral Therapy
Terapi kognitif bertujuan untuk meringankan episode depresif dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji kognisi
negatif, mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif serta melatih
respons perilaku dan kognitif yang baru. Sejumlah studi terkontrol yang paling baik
menunjukkan bahwa kombinasi terapi kognitif dan farmakoterapi lebih efektif
daripada bila hanya satu terapi yang digunakan (Sadock & Sadock, 2017).
b. Terapi Interpersonal
Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal.
Kedua, masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat dalam mencetuskan atau
melanjutkan gejala depresif. Semua uji menunjukkan bahwa terapi interpersonal
efektif dalam penatalaksanaan gangguan depresif berat, khususnya mungkin
membantu menyelesaikan masalah interpersonal (Sadock & Sadock,2017). Terapi
ini diberikan untuk membantu pasien mengembangkan strategi coping yang lebih
baik dalam mengatasi stressor kehidupan sehari-hari. Pemberian psikoterapi dan
obat lebih efektif. Pasien juga dapat bertahan lebih lama menggunakan obat bila ia
dalam proses psikoterapi (Ismail & Siste, 2015).
c. Terapi Berorientasi Psikoanalitik
Tujuan psikoterapi ini adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadian seseorang, bukan hanya untuk meredakan gejala (Sadock &
Sadock, 2017).
d. Terapi Keluarga
Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan merusak perkawinan pasien atau fungsi
keluarga atau jika gangguan mood bertambah atau dipertahankan oleh situasi
keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan anggota keluarga yang mengalami
gangguan mood di dalam kesejahteraan psikologis seluruh keluarga, terapi keluarga
juga memeriksa peranan seluruh keluarga di dalam mempertahankan gejala pasien
(Sadock & Sadock, 2017).
2. Terapi Farmakologis
a. Tricyclic Anti-Depresant (TCA)
TCA merupakan anti depresi generasi pertama bersama MAO Inhibitor. Golongan
obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter di otak. Dari
beraneka jenis antidepresi trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas
hambatan ambilan kembali neurotransmitter. Ada yang sangat sensitive terhadap
norepinefrin, ada yang sensitive terhadap serotonin, dan ada pula yang sensitif
terhadap dopamin. Obat yang termasuk dalam golongan ini dan tersedia adalah
imipramine, desmetilimipramine, dan amitriptilin (Gunawan, Nafrialdi, & Elysabeth,
2013).
b. MAO Inhibitor
MAO inhibitor bekerja dengan cara menutup jalur degradasi intraneural utama untuk
neurotransmitter amin sehingga amin dapat lebih banyak menumpuk pada simpanan
prasinaptik dan dilepaskan. MAO tidak banyak digunakan lagi kecuali moklobemid
(Gunawan, Nafrialdi, & Elysabeth, 2013).
c. Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI merupakan anti depresi generasi kedua. Golongan obat ini secara spesifik
menghambat ambilan serotonin. Obat yang termasuk golongan ini adalah fluoxetine,
paroxetin, sertralin, fluvoxamin, dan sitalopram. Masa kerjanya panjang antara 15-24
jam, fluoxetinee paling panjang 24-96 jam. Golongan obat ini kurang memperlihatkan
pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik, atau histaminergik, sehingga efek
sampingnya lebih ringan (Gunawan, Nafrialdi, & Elysabeth, 2013).
d. Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
SNRI merupakan anti depresi generasi ketiga yang bekerja dengan menghambat
ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Obat yang termasuk golongan ini adalah
venlafaxine (Gunawan, Nafrialdi, & Elysabeth, 2013).
Bibliography
Gunawan, S. G., Nafrialdi, R. S., & Elysabeth. (2013). Farmakologi dan Terapi . Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Indrayani, Y. A., & Wahyudi, T. (2018). Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia. Jakarta: INFODATIN.
Ismail, R., & Siste, K. (2015). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Kemenkes. (2015).
Ninaprilia, Z., & Rohmani, C. F. (2015). Gangguan Mood Episode Depresi Sedang. Lampung: Universitas
Lampung.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2017). Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.