PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa
mood depresif, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa
bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan
penurunan konsentrasi. Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan gejala
kecemasan. Efek paling buruk dari depresi adalah ide bunuh diri. Penurunan
kognitif, afek, dan psikomotor pada depresi dapat mempengaruhi pemikiran,
perilaku, perasaan, dan fungsi sosial seseorang.5,6
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala
psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa,
nafsu bekerja dan kurang bergaul, tidak dapat mengambil keputusan, mudah
lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain
penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan
gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi.7
Istilah depresi digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan gejala dan
perilaku yang dominan muncul. Istilah depresi mencakup ganggan depresif
mayor, gangguan bipolar, gangguan afektif diinduksi zat, dan gangguan
afektif akibat keadaan medis umum. Identifikasi lebih lanjut diperlukan untuk
menegakkan diagnosis depresi sesuai dengan kriteria diagnosis masing-
masing, adanya penyalahgunaan zat tertentu, atau adanya kondisi medis yang
menyebabkan gangguan afektif.8
2.2 Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia dan nomor empat penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh
dunia berkisar antara 2,2% sampai 10,4%. Menurut Riskesdas tahun 2013,
prevalensi orang di atas 15 tahun dengan gangguan jiwa ringan atau gangguan
mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6%
2
3
2.3 Etiologi
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya
gangguan jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinkan terjadinya
depresi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi metabolit amin
biogenik seperti 5-hydroxyindoleatic (5-HLAA), asam homovanilic
(HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah,
urin, dan cairan serebropinal pada pasien gangguan afektif.1
a. Amin Biogenik
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang
paling berperan dalam pasien gangguan afektif.
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi mungkin merupakan peran langsung sistem adrenergik pada
gangguan depresi. Sebagai contoh aktifnya reseptor tersebut
mengakibatkan penurunan jumlah pelepasan norepinefrin dan reseptor
ini pula terletak pada neuron serotonergik yang mengatur pelepasan
jumlah serotonin.
4
c. Dopamin
Terdapat dua teori terbaru yaitu jalur dopamin mesolimbik yang
mengalami disfungsi atau reseptor dopamin D1 yang hipoaktif
menimbulkan gejala depresi.
d. Serotonin
Aktivitas serotonin bertanggung jawab untuk kontrol afek, agresi,
tidur, dan nafsu makan.
2. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan,
namun jalur penurunan sangat kompleks. Penelitian dalam keluarga
didapatkan hasil bahwa generasi pertama memiliki kemungkinan 2 sampai
10 kali lebih sering mengalami depresi berat. Pada penelitian lain
didapatkan 2 dari 3 studi gangguan depresi berat diturunkan secara
biologis meskipun anak tersebut diadopsi keluarga lain. Penelitian pada
anak kembar monozigot didapatkan 53-69% sedangkan anak kembar
dizigot didapatkan 13-28% mengalami depresi berat.1
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan akan
menyebabkan terjadinya stres. Teori mengemukakan bahwa bila seseorang
mengalami stres sebelum timbul episode pertama maka terjadi perubahan
neurotransmiter, sistem sinyal intraneuron seperti penurunan kontak
sinaps dan hilangnya beberapa neuron sehingga mengakibatkan gangguan
episode berulang. Faktor lain yang berkaitan dengan stresor lingkungan
adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun, pasangan, dan
pekerjaan dapat mengakibatkan seseorang memiliki risiko depresi 2
sampai 3 kali lebih besar.1
4. Faktor Kepribadian
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi sesuai dengan
situasinya. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, histrionik, dan
ambang berisiko tinggi dibandingkan kepribadian paranoid, dan antisosial.
Riset menunjukkan pasien yang mengalami stresor dengan kepribadian
tidak percaya diri lebih sering mengalami depresi.1
5
5. Faktor Psikodinamik
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan antara lain;
a. Sigmund Freud dan Karl Abraham
Terdapat 4 hal utama yaitu: (1) gangguan hubungan ibu-anak fase
oral (10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi episode depresi
berulang; (2) depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata
maupun fantasi kehilangan objek; (3) intropeksi merupakan mekanisme
pertahanan atas kehilangan objek yang dicintai; (4) Kehilangan cinta
dapat diekspresikan campuran antara benci dan cinta, serta perasaan
marah pada diri sendiri.
b. Heinz Kohut
Depresi dikonseptualisasikan bermula dari teori self-phychology
bahwa perkembangan jiwa anak harus dipenuhi kedua orang tua dengan
memberikan rasa percaya diri, rasa positif, dan self-cohesion.
c. John Bowlby
Rusaknya keeratan hubungan awal dan trauma akibat perpisahan
pada anak merupakan faktor predisposisi depresi sedangkan kehilangan
pada dewasa memudahkan seseorang terkena depresi pada masa
dewasa.
6. Lain
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan
depresi yaitu (Muchid dkk, 2007):
a. Obat kardiovaskular : β-blocker, klonidin, metildopa
b. Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenitoin
c. Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
d. Lain : indometasin, narkotika
2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Golongan trisiklik
Golongan trisiklik bekerja dengan cara memblok reuptake
serotonin dan norepinefrin, sehingga kadar serotonin dan norepinefrin
12
2.9 Pencegahan
Menurut Mrazek dan Haggerty dalam penelitian Barrera et al (2010)
pencegahan terbagi atas 3 sublevel yaitu:
14
2.10 Prognosis
Pada pemberian terapi yang sesuai, gejala depresi pada pasien dapat
menurun 70-80%, meskipun sekitar 50% penderita tidak memberikan respon
dalam permulaan terapi. Dua puluh persen pasien depresi yang tidak diobati
selama setahun akan memiliki gejala yang dapat menjadi dasar penegakan
diagnosis depresi atau empat puluh persen diantaranya mengalami remisi
parsial. Remisi parsial atau riwayat depresi sebelumnya meningkatkan risiko
adanya gangguan depresi berulang dan resistensi pengobatan.16
BAB III
KESIMPULAN
1. Depresi adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan kognitif, afek,
dan psikomotor yang mempengaruhi fungsi sosialnya. Depresi dapat dibagi
menjadi depresi ringan, sedang, dan berat dengan pemenuhan masing-masing
kriteria diagnosis.
2. Depresi banyak terjadi di dunia dengan prevalensi wanita dan usia dua puluh-
an akibat etiologi multifaktorial yang mendasarinya.
3. Terapi yang digunakan adalah obat antidepresan, perawatan rumah sakit bila
perlu, terapi suportif, terapi kognitif perilaku, dan terapi kejang listrik bila
perli.
4. Gangguan depresi lebih baik dicegah dengan skrining gangguan depresi
menggunakan berbagai jenis kuesioner karena pasien dengan depresi
gejalanya tidak akan menghilang.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ismail R, Siste K. Gangguan Depresi dalam Buku Ajar Psikiatri. 2nd ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral science/ clinical psychiatry. 10th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007. p. 527.
3. Semple, David, Smyth, editors. Oxford handbook of psychiatry: anxiety and
related disorder. 1st ed. London: Oxford University Press; 2005. p. 338-55.
4. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
20 2013.pdf.
5. Marcus, Marina, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren, Dan Chisholm,
Shekhar Saxena. Depression: A Global Public Health Concern. 2012.
Available at:
http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_dep
ression_wfmh_2012.pdf
6. Ashwani, Arya & Verma Preeti. A Review on Pathophysiology,
Classification, and Long Term Course of Depression. International Jurnal of
Pharmacy 3(3); 2012. p. 90-96
7. Blazer, D.G. Depression in Late Life: Review and commentary. J
Gerontology Med Sci 58A(3);2003. p. 249-265
8. Tesar, George E. Recognition and Treatment of Depression. 2010. Available
at:http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/
psychiatry-psychology/recognition-treatment-of-depression/#bib3
9. Kessler, RC. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Journal of
National Institute of Health 34;2013. p. 119-138
10. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI. Jakarta.
1998.
11. Muchid, A., Chusun, Wurjati, R., Komar, Z., Istiqomah, SN., Purnama, NR.,
Rostilawati., dkk. Pharmaceutical Care Unit Penderita Gangguan Depresi.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis. 2007.
12. Maramis, Willy Ffaf. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Jakarta:EGC;
2009.
13. Bennet, C., Jones, RB., Smith, D.. Prevention Strategies For Adolescent
Depression. Adv in Pysc Treatment 20: 2014. p.116-124.
14. Ambarwati, WN. Keefektivan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) Sebagai
Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi
Makati Boyolali. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret;
2009.
15. Barrera, AZ., Torres, LD., Munoz, RF. Prevention of Depression: The State
of The Science at The Beginning of The 21th Century. Inter Review of Psyc,
19(6); 2007. p.655–670.
16. Halverson, Jerry L. Depression; 2019.. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a6
17