Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam buku Synopsis of Psychiatry, gangguan depresi termasuk kedalam


kelompok gangguan mood. Mood merupakan subjektivitas peresapan emosi yang
dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain. Sedangkan,
emosi sendiri dapat diartikan sebagai kompleksitas perasaan yang meliputi psikis,
somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood. Dalam buku lain ,
arti kata emosi biasanya sinonim dengan afek, yaitu suasana perasaan hati seorng
individu.1
Depresi merupakan suatu kondisi mental yang ditandai dengan terganggunya
fungsi normal tubuh, suasana alam perasaan yang sedih, dan gejala penyerta berupa
perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, tidak dapat menikmati
kesenangan (anhedonia), kelelahan, tidak berdaya, rasa putus asa, dan ide bunuh
diri.2
Gangguan psikiatri ini paling banyak menimbulkan morbiditas, mortalitas,
dan bunuh diri bila dibandingkan dengan gangguan psikiatri lainnya. Prevalensi
seumur hidup depresi di dunia mencapai 17%. Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional di
Indonesia seperti ansietas dan depresi sebesar 6% dari populasi umum dengan
prevalensi paling tinggi di Sulawesi Tengah mencapai 11,6% dan untuk Sumatra
Selatan prevalensinya mencapai 4,6%.3,4
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa gangguan depresi cukup umum dan
perlu untuk ditanggulangi dan dicegah sedini mungkin. Oleh karena itu, sebagai
dokter layanan primer penting untuk mendiagnosis dan memberikan terapi yang
tepat pada pasien dengan gangguan depresi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Depresi adalah gangguan jiwa umum dengan manifestasi klinis berupa
mood depresif, penurunan minat atau kesenangan, penurunan energi, merasa
bersalah atau kurang percaya diri, gangguan tidur atau nafsu makan, dan
penurunan konsentrasi. Biasanya, depresi muncul bersamaan dengan gejala
kecemasan. Efek paling buruk dari depresi adalah ide bunuh diri. Penurunan
kognitif, afek, dan psikomotor pada depresi dapat mempengaruhi pemikiran,
perilaku, perasaan, dan fungsi sosial seseorang.5,6
Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala
psikologik antara lain menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa,
nafsu bekerja dan kurang bergaul, tidak dapat mengambil keputusan, mudah
lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain
penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan
gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, insomnia, dan konstipasi.7
Istilah depresi digunakan untuk mendeskripsikan kumpulan gejala dan
perilaku yang dominan muncul. Istilah depresi mencakup ganggan depresif
mayor, gangguan bipolar, gangguan afektif diinduksi zat, dan gangguan
afektif akibat keadaan medis umum. Identifikasi lebih lanjut diperlukan untuk
menegakkan diagnosis depresi sesuai dengan kriteria diagnosis masing-
masing, adanya penyalahgunaan zat tertentu, atau adanya kondisi medis yang
menyebabkan gangguan afektif.8

2.2 Epidemiologi
Depresi merupakan diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi di
dunia dan nomor empat penyebab disabilitas. Prevalensi depresi di seluruh
dunia berkisar antara 2,2% sampai 10,4%. Menurut Riskesdas tahun 2013,
prevalensi orang di atas 15 tahun dengan gangguan jiwa ringan atau gangguan
mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi yaitu sebesar 6%

2
3

atau sekitar 16 juta orang dari seluruh penduduk di Indonesia. Berdasarkan


jenis kelamin, wanita lebih banyak menderita depresi mayor dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 2:1. Rata-rata depresi terjadi pada dekade
kedua kehidupan, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi pada
kelompok umur lain.4,9
Depresi dapat diklasifikasikan menjadi depresi ringan, sedang, dan
berat. Gangguan depresi berat lazim ditemukan dengan prevalensi seumur
hidup sebesar 15%. Gangguan depresi berat lebih banyak pada perempuan
dengan presentase mencapai 25%. Insiden gangguan depresi berat yaitu 10%
pada pasien yang berobat di fasilitas kesehatan primer dan 15% di fasilitas
rawat inap.2

2.3 Etiologi
Gangguan depresi disebabkan oleh banyak faktor, seperti halnya
gangguan jiwa lain. Beberapa etiologi yang memungkinkan terjadinya
depresi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Organobiologi
Dilaporkan terdapat kelainan atau disregulasi metabolit amin
biogenik seperti 5-hydroxyindoleatic (5-HLAA), asam homovanilic
(HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah,
urin, dan cairan serebropinal pada pasien gangguan afektif.1
a. Amin Biogenik
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang
paling berperan dalam pasien gangguan afektif.
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinis
antidepresi mungkin merupakan peran langsung sistem adrenergik pada
gangguan depresi. Sebagai contoh aktifnya reseptor tersebut
mengakibatkan penurunan jumlah pelepasan norepinefrin dan reseptor
ini pula terletak pada neuron serotonergik yang mengatur pelepasan
jumlah serotonin.
4

c. Dopamin
Terdapat dua teori terbaru yaitu jalur dopamin mesolimbik yang
mengalami disfungsi atau reseptor dopamin D1 yang hipoaktif
menimbulkan gejala depresi.
d. Serotonin
Aktivitas serotonin bertanggung jawab untuk kontrol afek, agresi,
tidur, dan nafsu makan.
2. Faktor Genetik
Faktor ini merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan,
namun jalur penurunan sangat kompleks. Penelitian dalam keluarga
didapatkan hasil bahwa generasi pertama memiliki kemungkinan 2 sampai
10 kali lebih sering mengalami depresi berat. Pada penelitian lain
didapatkan 2 dari 3 studi gangguan depresi berat diturunkan secara
biologis meskipun anak tersebut diadopsi keluarga lain. Penelitian pada
anak kembar monozigot didapatkan 53-69% sedangkan anak kembar
dizigot didapatkan 13-28% mengalami depresi berat.1
3. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan akan
menyebabkan terjadinya stres. Teori mengemukakan bahwa bila seseorang
mengalami stres sebelum timbul episode pertama maka terjadi perubahan
neurotransmiter, sistem sinyal intraneuron seperti penurunan kontak
sinaps dan hilangnya beberapa neuron sehingga mengakibatkan gangguan
episode berulang. Faktor lain yang berkaitan dengan stresor lingkungan
adalah kehilangan orangtua sebelum usia 11 tahun, pasangan, dan
pekerjaan dapat mengakibatkan seseorang memiliki risiko depresi 2
sampai 3 kali lebih besar.1
4. Faktor Kepribadian
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi sesuai dengan
situasinya. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, histrionik, dan
ambang berisiko tinggi dibandingkan kepribadian paranoid, dan antisosial.
Riset menunjukkan pasien yang mengalami stresor dengan kepribadian
tidak percaya diri lebih sering mengalami depresi.1
5

5. Faktor Psikodinamik
Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan antara lain;
a. Sigmund Freud dan Karl Abraham
Terdapat 4 hal utama yaitu: (1) gangguan hubungan ibu-anak fase
oral (10-18 bulan) menjadi faktor predisposisi episode depresi
berulang; (2) depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata
maupun fantasi kehilangan objek; (3) intropeksi merupakan mekanisme
pertahanan atas kehilangan objek yang dicintai; (4) Kehilangan cinta
dapat diekspresikan campuran antara benci dan cinta, serta perasaan
marah pada diri sendiri.
b. Heinz Kohut
Depresi dikonseptualisasikan bermula dari teori self-phychology
bahwa perkembangan jiwa anak harus dipenuhi kedua orang tua dengan
memberikan rasa percaya diri, rasa positif, dan self-cohesion.
c. John Bowlby
Rusaknya keeratan hubungan awal dan trauma akibat perpisahan
pada anak merupakan faktor predisposisi depresi sedangkan kehilangan
pada dewasa memudahkan seseorang terkena depresi pada masa
dewasa.
6. Lain
Terdapat beberapa jenis obat yang dapat memicu terjadi gangguan
depresi yaitu (Muchid dkk, 2007):
a. Obat kardiovaskular : β-blocker, klonidin, metildopa
b. Obat sistem saraf pusat : barbiturat, benzodiazepin, fenitoin
c. Obat hormonal : estrogen, progestin, tamoxifen
d. Lain : indometasin, narkotika

2.4 Gambaran Klinis


Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami
depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka
menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik
bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97 persen) mengeluh tentang
6

penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesaikan tugas,


mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi
untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80 persen pasien mengeluh
masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering
terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi.
Kecemasan adalah gejala tersering dari depresi dan menyerang 90 persen
pasien depresi.1
Berikut merupakan beberapa gejala depresi (ringan, sedang dan berat)
berdasarkan PPDGJ – III :
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
- Afek depresi (sedih, murung, lesu, menangis)
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas.
Gejala lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan suram dan pesimis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan terganggu
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang – kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang dan berat hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang.
7

2.5 Penegakan Diagnosis


Menurut PPDGJ-III, depresi dimasukan ke dalam gangguan suasana
perasaan (mood/afektif) yang diberi kode diagnosis F32. Depresi dapat
diklasifikasikan menjadi depresi ringan, sedang, dan berat dengan atau tanpa
ciri psikotik. Kriteria diagnosis depresi mengacu pada gejala utama dan gejala
tambahan, serta berdasarkan onset penyakit.
Kriteria diagnosis depresi adalah sebagai berikut:10
1. Gejala utama
a. Afek depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah bekerja meskipun bekerja sedikit saja)
dan menurunnya aktivitas.
2. Gejala lainnya
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri sendiri atau bunuh
diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
3. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
4. Kategori diagnosis depresi ringan (F.32.0), sedang (F.32.1), dan berat
(F.32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).
Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu
diagnosis gangguan depresi berulang (F.33.-).

Selain itu, pedoman diagnostik untuk masing-masing kategori depresi


adalah sebagai berikut:
8

1. Episode depresi ringan (F.32.0)


a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala tambahan
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e. Hanya sedikit kesulitan dari pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukan.
2. Episode depresi sedang (F.33.1)
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
tersebut di atas
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
tambahan
c. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga.
3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik (F.32.2)
a. Tiga gejala utama depresi harus ada
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala tambahan, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat.
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
9

e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,


pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik (F.32.3)
a. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F.32.2 tersebut
di atas
b. Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan, atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab akan hal itu.
Halusinasi auditorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh. Halusinasi olfaktorik biasanya berupa bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada
stupor.
c. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
afek atau tidak serasi afek (mood congruent).
Kriteria lain untuk menentukan diagnosis depresi berat yaitu
berdasarkan kriteria DSM-IV-TR, yaitu sebagai berikut:2
1. Lima atau lebih gejala di bawah telah ada selama periode waktu 2 minggu
dan menunjukkan perubahan fungsi sebelumnya serta setidaknya satu
gejalanya diantara mood menurun atau kehilangan minat atau kesenangan.
a. Mood menurun hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contohnya perasaan sedih
atau kosong) atau pengamatan orang lain (contohnya tampak bersedih)
b. Menurunnya minat atau kesenangan yang nyata pada semua, atau
hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari
(seperti yang ditunjukkan laporan subjektif atau pengamatan orang
lain).
c. Penurunan berat badan yang bermakna walaupun tidak diet atau berat
badan bertambah (contohnya perubahan lebih dari 5% berat badan
dalam sebulan), atau menurun mauun meningkatnya nafsu makan
hampir setiap hari.
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
10

e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati


orang lain, tidak hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan atau
menjadi lebih lamban).
f. Lelah atau hilang energi hampir setiap hari
g. Perasaan tidak berarti atau bersalah yang tidak sesuai atau berlebihan
(yang dapat menyerupai waham) hampir setiap hari (tidak hanya
menyalahkan diri atau rasa bersalah karena sakit)
h. Menurunnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-
raguan hampir setiap hari (baik laporan subjektif atau diamati orang
lain)
i. Pikiran berulang mengenai kematian (bukan hanya rasa takut mati),
gagasan bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau
upaya bunuh diri atau suatu rencana spesifik untuk melakukan bunuh
diri.
2. Gejala tidak memenuhi kriteria episode campuran
3. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi yang lain.
4. Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat (misalnya
penyalahgunaan obat atau dalam proses pengobatan) atau kondisi medis
umum (misalnya hipotiroidisme).
5. Gejala sebaiknya tidak disebabkan karena berkabung, setelah kehilangan
orang yang dicintai, gejala bertahan hingga lebih lama 2 bulan, atau
ditandai hendaya fungsi yang nyata, preokupasi patologis mengenai
ketidakberartian, gagasan bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi
psikomotor.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan tambahan dalam penegakkan diagnosis depresi dapat
menggunakan algoritma MINI (Mini International Neuropsychiatric
Interview). Alat ini merupakan rangkaian pertanyaan yang harus dijawab
pasien dengan jawaban ya tau tidak. MINI untuk gangguan depresi dibuat
oleh Lecrubier dan Sheehan pada tahun 1998 dan dialihkan bahasakan oleh
11

Yayasan Depresi Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal


Pelayanan Medik.11

2.7 Differntial Diagnosis


1. Distimia
Gangguan distimik merupakan gangguan jiwa dengan ciri khas
perasaan yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan
diri dari masyarakat, hilang minat, serta inaktivitas dan tidak produktif.
Menurut DSM-IV-TR, adanya gejala-gejala tersebut minimal dua tahun
(satu tahun untuk anak dan remaja) serta tidak pernah memiliki episode
depresif berat, manik, atau hipomanik. Gambaran distimik sering
bertumpang tindih dengan depresi berat. Pada gangguan distimik, gejala
subjektif lebih dominan daripada gejala objektif. Gejala seperti inersia,
letargi, dan anhedonia sering terlihat pada pagi hari, dan sebaliknya, gejala
seperti agitasi, ganggan nafsu makan dan libido, serta retardasi psikomotor
kurang nampak pada gangguan distimia.2
2. Gangguan Campuran Cemas dan Depresi
Gangguan ini menggambarkan pasien dengan gejala ansietas dan
depresi yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan ansietas atau
gangguan afektif. Kombinasi gejala depresi dan ansietas, terutama gejala
somatik, seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan rasa perut yang
bergejolak sering tidak didiagnosis dengan gangguan ini. Gangguan ini
dapat menimbulkan hendaya fungsional yang bermakna, sehingga
gangguan ini lazim ditemukan di pelayanan primer dan klinik kesehatan
jiwa rawat jalan.2

2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Farmakologi
a. Golongan trisiklik
Golongan trisiklik bekerja dengan cara memblok reuptake
serotonin dan norepinefrin, sehingga kadar serotonin dan norepinefrin
12

di dalam otak meningkat. Contoh obat dari golongan ini adalah


amitriptilin, imipramin, klomipramin, maprotlin dan amoksapin.12
b. Golongan inhibitor monoaminoksidase (MAOI)
Golongan MAOI bekerja dengan cara mencegah oksidase
monoamin yang berperan dalam oksidasi norepinefrin. Contoh obat
dari golongan ini adalah moklobemid.12
c. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan SSRI bekerja dengan menghambat reuptake serotonin
sehingga jumlah serotonin dalam otak meningkat. SSRI merupakan
golongan obat yang paling sering digunakan dalam terapi karena efek
samping yang lebih ringan daripada golongan MAOI atau Trisiklik.
Contoh obat dari golongan ini adalah flouxetin, setralin, paroxetine,
dan sitalopram. 12

Dalam penggunaan obat antidepresan, perlu diketahui efek samping


obat yang mempengaruhi beberapa sistem organ, yaitu: 12

a. Efek kolinergik, seperi mulut kering, mata kabur angguan


akomodasi, meningkatnya tekanan intraokuler, konstipasi, hipotensi
postural, retensi urin, berkeringat, dan ileus
b. Efek susunan saraf pusat, seperti pusing, lelah, bingung, tremor,
disartria, insomnia, kejang, mendadak jatuh, dan eksaserbasi gejala
psikotik
c. Kardiovaskuler, seperti hipotensi, sinus takikardi, aritmia, dan
konduksi atrioventrikuler terganggu
d. Hematologis, seperti depresi sumsum tulang, leukopenia,
agranulositosis, purpura, trombositopenia, anemina hemolitik, dan
hiponatremia
e. Lain-lain, seperti hipotermia, hipertermia, gangguan pernapasan,
gangguan libido, exantema, tinitus,keluhan gastrointestinal,
gangguan hepar, dan berat badan bertambah.
2. Perawatan di rumah sakit, bila:
a. Terapat disabilitas dalam melakukan kegiatan akibat depresi
13

b. Lingkungan keluarga kurang mendukung dalam roses penembuhan


pasien
c. Mempunyai risiko bunuh diri
d. Mempunyai riwayat penyakit lain yang perlu ditangani oleh tenaga
kesehatan
3. Terapi psikologis
a. Terapi suportif
Pada terapi suportif, pasien diberikan kehangatan, empati,
perhatian, dan optimistik. Selain itu, pasien dibantu dalam mencari
masalah yang membuat pasien merasa depresi, kemudian dibantu
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Identifikasi faktor pencetus
dan bantu pasien dalam mengkoreksinya. Jika terdapat masalah
eksternal seperti pekerjaan, bantu dalam menyelesaikan masalahnya.
b. Terapi kognitif perilaku
Terapi kognitif perilaku diberikan pada pasien depresi ringan
ataupun sedang. Terapi ini memberikan pasien latihan keterampilan
dan berbagi pengalaman-pengalaman sukses. Pasien juga dilatih
untuk mengenal dan menghilangkan pikiran negatif, sehingga
mencegah kambuhnya kembali depresi tersebut.
4. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik diberikan sebagai terapi pasien depresi jika:
a. Pasien masih belum sembuh setelah pengobatan selama 6 minggu
atau lebih
b. Kondisi pasien menuntut untuk remisi segera, seperti adanya
keinginan untuk bunuh diri
c. Depresi dengan gejala psikotik
d. Pasien yang tidak toleransi terhadap obat, seperti pasien dengan usia
tua yang mempunya penyakit jantung.

2.9 Pencegahan
Menurut Mrazek dan Haggerty dalam penelitian Barrera et al (2010)
pencegahan terbagi atas 3 sublevel yaitu:
14

1. Pencegahan universal ditargetkan kepada seluruh komunitas, seperti


edukasi dengan kampanye kesehatan tanpa melihat faktor risiko seseorang.
2. Pencegahan selektif ditargetkan kepada komunitas yang memiliki faktor
risiko berdasarkan karakteristik demografi.
3. Pencegahan sesuai indikasi ditargetkan kepada seseorang yang memiliki
tanda atau gejala klinis awal (subsindromal).
Menurut Bennet et al (2014) bentuk pencegahan dapat dikategorikan
menjadi 3 bagian; (1) primer yaitu mencegah kejadian gangguan jiwa pada
suasana yang sebenarnya tidak memiliki risiko terjadinya depresi; (2) sekunder
yaitu deteksi dengan menggunakan instrumen sesusai usia dan pengobatan dini
pada pasien depresi; (3) tersier yaitu meminimalisir disabilitas akibat gangguan
depresi.13
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah teknik pengobatan dan
pencegahan terhadap beberapa gangguan jiwa seperti depresi. Banyak
penelitian dengan metode CBT yang berbeda dalam mencegah gangguan
depresi pada remaja akan tetapi penelitian Clarke et al dalam Barrera et al
(2010) menunjukkan hasil penelitian yang terbaik dengan metode 15 kali sesi
CBT dengan pertemuan keluarga sebanyak 3 kali dibandingkan pengobatan
biasa. Pencegahan gangguan depresi pada dewasa yang dilakukan Munoz dan
Ying dalam Barrera et al (2010) dengan metode CBT sebanyak 8 kali dalam
grup kecil untuk melihat faktor risiko berupa onset, jenis kelamin, perceraian,
sosioekonomi rendah, dan etnis. Pencegahan gangguan depresi pasca persalinan
menggunakan skoring Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) dengan
beberapa variasi frekuensi masih belum ditemukan berapa kali pertemuan dan
kapan waktu intervensi yang terbaik.14,15
Penelitian Paykel dalam Barrera et al (2010) menunjukkan pasien akut
(episode pertama) yang menerima cognitive therapy (CT) sebanyak 16 sesi
dengan 6 dan 14 minggu setelah pertemuan terakhir sebagai tambahan memiliki
angka kejadian (29%) relaps setelah 48 minggu terapi terakhir dilakukan
dibandingkan pasien yang menerima pengobatan saja.15
15

2.10 Prognosis
Pada pemberian terapi yang sesuai, gejala depresi pada pasien dapat
menurun 70-80%, meskipun sekitar 50% penderita tidak memberikan respon
dalam permulaan terapi. Dua puluh persen pasien depresi yang tidak diobati
selama setahun akan memiliki gejala yang dapat menjadi dasar penegakan
diagnosis depresi atau empat puluh persen diantaranya mengalami remisi
parsial. Remisi parsial atau riwayat depresi sebelumnya meningkatkan risiko
adanya gangguan depresi berulang dan resistensi pengobatan.16
BAB III
KESIMPULAN

1. Depresi adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan kognitif, afek,
dan psikomotor yang mempengaruhi fungsi sosialnya. Depresi dapat dibagi
menjadi depresi ringan, sedang, dan berat dengan pemenuhan masing-masing
kriteria diagnosis.
2. Depresi banyak terjadi di dunia dengan prevalensi wanita dan usia dua puluh-
an akibat etiologi multifaktorial yang mendasarinya.
3. Terapi yang digunakan adalah obat antidepresan, perawatan rumah sakit bila
perlu, terapi suportif, terapi kognitif perilaku, dan terapi kejang listrik bila
perli.
4. Gangguan depresi lebih baik dicegah dengan skrining gangguan depresi
menggunakan berbagai jenis kuesioner karena pasien dengan depresi
gejalanya tidak akan menghilang.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail R, Siste K. Gangguan Depresi dalam Buku Ajar Psikiatri. 2nd ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral science/ clinical psychiatry. 10th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007. p. 527.
3. Semple, David, Smyth, editors. Oxford handbook of psychiatry: anxiety and
related disorder. 1st ed. London: Oxford University Press; 2005. p. 338-55.
4. Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%
20 2013.pdf.
5. Marcus, Marina, M. Taghi Yasamy, Mark van Ommeren, Dan Chisholm,
Shekhar Saxena. Depression: A Global Public Health Concern. 2012.
Available at:
http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_dep
ression_wfmh_2012.pdf
6. Ashwani, Arya & Verma Preeti. A Review on Pathophysiology,
Classification, and Long Term Course of Depression. International Jurnal of
Pharmacy 3(3); 2012. p. 90-96
7. Blazer, D.G. Depression in Late Life: Review and commentary. J
Gerontology Med Sci 58A(3);2003. p. 249-265
8. Tesar, George E. Recognition and Treatment of Depression. 2010. Available
at:http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/
psychiatry-psychology/recognition-treatment-of-depression/#bib3
9. Kessler, RC. The Epidemiology of Depression Across Cultures. Journal of
National Institute of Health 34;2013. p. 119-138
10. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI. Jakarta.
1998.
11. Muchid, A., Chusun, Wurjati, R., Komar, Z., Istiqomah, SN., Purnama, NR.,
Rostilawati., dkk. Pharmaceutical Care Unit Penderita Gangguan Depresi.
Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis. 2007.
12. Maramis, Willy Ffaf. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Jakarta:EGC;
2009.
13. Bennet, C., Jones, RB., Smith, D.. Prevention Strategies For Adolescent
Depression. Adv in Pysc Treatment 20: 2014. p.116-124.
14. Ambarwati, WN. Keefektivan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) Sebagai
Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi
Makati Boyolali. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret;
2009.
15. Barrera, AZ., Torres, LD., Munoz, RF. Prevention of Depression: The State
of The Science at The Beginning of The 21th Century. Inter Review of Psyc,
19(6); 2007. p.655–670.
16. Halverson, Jerry L. Depression; 2019.. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a6

17

Anda mungkin juga menyukai