Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin
(Atmakusuma D. dan Setyaningsih I., 2014).
Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh
gangguan produksi hemoglobin, sehingga jumlah hemoglobin berkurang (Rund
dan Rachmilewitz, 2005). Kelainan hemoglobin pada thalasemia menyebabkan
eritrosit mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah merah menjadi
lebih pendek dari usia sel darah merah pada anak normal yaitu berusia 120 hari.
Hal ini menyebabkan terjadinya anemia dan menurunnya kemampuan
hemoglobin mengikat oksigen. Gejala awal yang muncul antara lain pucat,
lemas, tidak nafsu makan dan anemia (Rudolph, Hoffman, dan Rudolph, 2007).
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2006 sekitar
7% penduduk dunia diduga carrier Thalasemia, dan sekitar 300.000-500.000 bayi
lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalasemia tidak hanya ditemukan
disekitar Laut Tengah, tetapi juga di Asia Tenggara yang sering disebut sabuk
Thalasemia (WHO, 2006). Salah satunya Indonesia, dimana prevalensi penduduk
pembawa gen thalasemia di Indonesia berkisar 6-10% dari total jumlah
penduduk (Timan, 2002). Berdasarkan data Riskesdas prevalensi penderita
thalasemia di Indonesia adalah sebesar 0,1% dari total jumlah penduduk
Indonesia (Depkes, 2007).
Thalasemia merupakan suatu penyakit hematolgi yang sedang penulis
pelajari di Blok VIII yaitu “Hematologi dan Limfatik”. Oleh karena itu, penulis,
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang akan
melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi pada blok VIII ini dengan tema
“Thalasemia di Komunitas Peduli Kanker”

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa pengertian dari thalasemia?
2) Bagaimana patofisiologi dan klasifikasi pada penderita thalasemia?

1
3) Bagaimana cara mendiagnosis pada penderita thalasemia?
4) Bagaimana manifestasi klinis penderita thalassemia?
5) Bagaimana riwayat keluarga penderita thalasemia?
6) Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada penderita thalasemia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan TPP ini adalah memahami penyakit
Thalasemia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Dapat mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis thalasemia.
2) Dapat mengetahui cara mendiagnosis pada penderita thalasemia
3) Dapat mengetahui manifestasi klinis dari penderia thalassemia
4) Dapat mengetahui riwayat keluarga penderita thalasemia.
5) Untuk mengatahui terapi atau penatalaksanaan dan pencegahan yang
tepat pada penderita thalasemia.

1.4 Manfaat
1) Dapat mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis thalasemia.
2) Dapat mengetahui cara mendiagnosis pada penderita thalasemia
3) Dapat mengetahui riwayat keluarga penderita thalasemia.
4) Mampu memberikan terapi atau penatalaksanaan dan pencegahan pada
penderita thalasemia.
5) Dapat mengetahui peran dari komunitas peduli kanker pada penderita
thalassemia.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Talasemia


Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang di turunkan
pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara
1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut
dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut
(Permono dan Ugrasena, 2006).
Thalasemia adalah sejumlah kelainan darah bawaan berupa defisiensi pada
kecepatan produksi rantai globin yang spesifik dalam hemoglobin (Hockenberry

2
dan Wilson, 2009). Talasemia ialah sekelompok heterogen pada kelainan genetik
sintesis hemoglobin, ditandai oleh tiadanya atau berkurangnya sintesis rantai
globin. Pada α-talasemi sintesis rantai α globin berkurang, sedangkan pada β-
talasemi sintesis rantai globin-β tidak ada (dinyatakan sebagai βo-talasemi)
ataupun nyata berkurang (β+-talasemi). Tidak seperti hemoglobinopati yang
menyatakan keadaan abnormal kualitatif, talasemi sebagai akibat dari keadaan
abnormal kuantitatif sintesis rantai globin. Akibat berkurangnya sintesis rantai
globin berasal tidak hanya dari rendahnya hemoglobin intrasel, tetapi juga
kelebihan relatif rantai globin lainnya (Kumar V, Cotran RS dan Robbins SL,
2007).
Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau di dekat gen
globin.
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin,
yakni:
a. Perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid sequence) rantai
globin tertentu disebut hemoglobinopati struktural, atau
b. Perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan
produksi rantai globin tertentu, disebut thalasemia

Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik pada anak anak atau
orang dewasa, disebabkan oleh mutasi gen globin α atau β. Sedangkan, mutasi
berat gen globin ζ, ε, dan γ dapat menyebabkan kematian pada awal gestasi
(Atmakusuma, 2009).

2.2 Epidemiologi
Talasemia αo ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan
Mediterania, Talasemia α+ tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India
dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%. (Permono dan Ugrasena,
2006)
Talasemia β memiliki distribusi sama dengan Talasemia α. Dengan
kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di

3
Mediterania dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang
merupakan varian Talasemia sangat banyak dijumpai di India, Burma dan
beberapa negara Asia Tenggara. Adanya interaksi HbE dan Talasemia β
menyebabkan Talasemia HbE sangat tinggi di wilayah ini. Tingginya frekuensi
Talasemia mempengaruhi kekebalan HbE ini terhadap malaria plasmodium
falsiparum yang berat. Hal ini membuktikan penyakit ini disebabkan oleh mutasi
baru dan penyebarannya dipengaruhi oleh seleksi lokal oleh malaria. Kenyataan
bahwa mutasi tersebut berbeda di setiap populasi, menunjukkan seleksi ini baru
terjadi dalam beberapa ribu tahun (Permono dan Ugrasena, 2006).
Sebaran thalasemia terlentang lebar dari Eropa Selatan Mediteranian,
Timur Tengah, dan Afrika sampai dengan Asia Selatan, Asia Timur, Asia
Tenggara

Peta sebaran populasi thalasemia


Jenis Thalasemia Peta sebaran
Thalasemia- β. Populasi Mediteranian, Timur
Tengah, India, Pakistan, Asia
Tenggara, Rusia Selatan, Cina
jarang, di afrika, kecuali Liberia,
dan di beberpa bagian Afrika
Utara Sporadik: pada semua ras
Thalasemia- α. Terentang dari Afrika ke
Mediteranian, Timur Tengah,
Asia Timur dan Tenggara Hb
Bart’s hydrops syndrome dan
HbH disease sebagian besar
terbatas di populasi Asia
Tenggara dan Mediteranian.
(Atmakusuma, 2009)

2.3 Etiologi
Thalassemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada
kromosom manusia (Uthman, 2008). Gen globin adalah bagian dari sekelompok
gen yang terletak pada kromosom 11. Bentuk gen beta-globin ini diatur oleh

4
Locus Control Region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau pada unsur-unsur
dasar gen menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi,
pembelahan RNA yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah
penurunan atau pemberhentian penghasilan rantai beta-globin, sehingga
menimbulkan sindrom thalassemia beta (Galanello dan Origa, 2011).
Mutasi Beta-zero ditandai dengan tidak adanya produksi beta-globin yang
biasanya akibat mutasi nonsense, frameshift, atau splicing. Sedangkan mutasi
Beta Plus ditandai dengan adanya produksi beberapa beta-globin tetapi dengan
sedikit cacat splicing. Mutasi yang spesifik memiliki beberapa hubungan dengan
faktor etnis atau kelompok berbeda yang lazim di berbagai belahan dunia.
Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi penyakit ini mengikuti pola
resesif autosomal dengan individu heterozigot yang memiliki kelainan gen
tersebut, sedangkan pada pola individu heterozigot atau individu compound
homozigot, kelainan itu memanifestasi sebagai penyakit beta-thalassemia atau
intermedia (Galanello dan Origa, 2011).

2.4 Klasifikasi
Menurut Permono dan Ugrasena (2006), Talasemia adalah grup kelainan
sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih
rantau globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin.
Menurut Wong et al. (2009); Rudolph, Hoffman, dan Rudolph (2007)
menjelaskan jenis thalasemia sebagai berikut:
1. Thalasemia minor (Thalasemia trait) adalah jenis thalasemia pembawa
sifat yang dibawa sejak lahir. Jenis thalasemia ini menghasilkan anemia
mikrositik ringan dan diturunkan dari salah satu orang tua. Penderita tidak
memerlukan transfusi darah selama kehidupannya.
2. Thalasemia intermedia adalah thalasemia berbentuk homozigot. Pasien
mengalami splenomegali dan mempunyai kadar hemoglobin stabil pada
60-90g/L tanpa transfusi. Penyakit β-thalasemia intermedia diturunkan
dari kedua orang tua yang menderita mikrositosis dan terdapat ciri β-
thalasemia pada elektroforesis hemoglobin.

5
3. Thalasemia mayor atau anemia cooley merupakan thalasemia yang terjadi
akibat penurunan sintesis rantai –γ (HbF) dan gangguan sintesis rantai β-.
Anak normal saat lahir, keluhan muncul pada usia 6-12 bulan dimana
anak mengalami penurunan hemoglobin secara drastis dan memerlukan
transfusi teratur.
Talasemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α-, β-, δβ- atau
Talasemia-εγδβ sesuai dengan rantai globin yang berkurang produksinya.
Pada beberapa Talasemia sama sekali tidak terbentuk rantai globin disebut α o
atau βo Talasemia, bila produksinya rendah α+ atau β+ Talasemia. Sedangkan
Talasemia δβ bisa dibedakan menjadi (δβ)o dan (δβ)+ dimana terjadi gangguan
pada rantai δ dan β (Permono dan Ugrasena, 2006). Bila Talasemia timbul
pada populasi di mana variasi hemoglobin struktural ada. Seringkali di
turunkan gen talasemia dari satu orang tua dan gen varian hemoglobin dari
orang tua lainnya. Lebih jauh lagi, mungkin pula didapatkan Talasemia-α dan
β bersamaan. Interaksi dari beberapa gen ini menghasilkan gambaran klinis
yang bervariasi mulai dari kematian dalam rahim sampai sangat ringan
(Permono dan Ugrasena, 2006). Talasemia diturunkan berdasarkan hukum
mandel, autosomal resesif atau kodominan. Heterozigot biasanya tanpa
gejala, homozigot atau gabungan heterozigot gejalanya lebih berat dari
Talasemia α atau β (Permono dan Ugrasena, 2006).

2.5 Patofisiologi
Patologi molekuler, bagaimana ketidakseimbangan rantai globin
mempengaruhi kegagalan eritropoiesis dan kecepatan pengrusakan eritrosit,
diperlukan untuk memahami patofisiologi talasemia.
2.5.1 Patologi Molekuler
Meskipun prinsipnya sama, mutasi talasemia α dan β berbeda.
a) Talasemia Beta
Lebih 150 mutasi telah diketahui tentang Talasemia β,
sebagian besar disebabkan perubahan pada satu basa, delesi atau
insersi 1-2 basa pada bagian yang sangat berpengaruh. Hal ini
bisa terjadi pada intron, ekson ataupun diluar gen pengode
(Permono dan Ugrasena, 2006).

6
Satu substitusi disebut mutasi non sense menyebabkan
perubahan satu basa pada ekson yang mengode kodon stop pada
mRNA. Hal ini menyebabkan terminasi sintesis rantai globin
menjadi lebih pendek dan tidak tahan lama. Satu mutasi lain yang
disebut frameshift menyebabkan 1-2 basa tidak dibaca sehingga
menghasilkan kodon stop baru. Mutasi pada intron, ekson atau
perbatasannya, mengganggu pelepasan ekson dari prekursor
mRNA. Misalnya satu substitusi pada GT atau AG pada
intronekson junction mengganggu pemisahan, beberapa mutasi
pada bagian ini menyebabkan penurunan produksi β globin.
Mutasi pada sekuen ekson menjadi menyerupai intron-ekson
junction mengaktivasi terjadinya pemisahan. Misalnya sekuen
yang menyerupai IVS-1 dan kodon 24-27 pada ekson 1 gen
globin β, mutasi pada kodon 19 (A-G), 26 (G-A) dan 27 (G-T)
menyebabkan penurunan jumlah mRNA karena splicing
abnormal dan substitusi asam amino pada mRNA normal yang
diterjemahkan menjadi protein. Hemoglobin abnormal yang
dihasilkan adalah hemoglobin Malay, E dan Knossos yang
memberikan fenotip Talasemia β minor (Permono dan Ugrasena,
2006).
Substitusi satu basa juga terjadi pada bagian kosong gen
globin β. Bila mengenai bagian promoter, menurunkan jumlah
transkripsi gen globin β dan menyebabkan Talasemia β minor.
Mutasi pada bagian akhir (3’) mempengaruhi prosesing mRNA
dan menyebabkan Talasemia β mayor (Permono dan Ugrasena,
2006).
Karena banyaknya mutasi pada Talesemia β, pasien yang
nampaknya homozigot mungkin merupakan heterozigot dari 2
lesi molekuler yang berbeda. Jarang sekali pasien dengan
Talasemia β memiliki Hb A2 normal, biasanya hal ini terjadi pada
gabungan Talasemia β dan δ (Permono dan Ugrasena, 2006).
Talasemia δβ dibagi menjadi (δβ)+ dan (δβ)O. Talasemia (δβ)+

7
dihasilkan oleh penggabungan gen δ dan β selama miosis,
menghasilkan varian fenotip Talasemia δβ. Pada Talasemia (δβ) O,
terjadi delesi gen δ dan β, dengan gen γ yang utuh. Delesi yang
lebih panjang yang juga mengenai LCR gen β globin,
menginaktifkan seluruh komplek gen dan menghasilkan
Talasemia (εγδβ)O (Permono dan Ugrasena, 2006).
b) Talasemia alfa
Patologi molekular dan genetik pada Talesemia α lebih
komplek dari Talesemia β, karena adanya 2 gen α globin pada
tiap pasang kromosom 16. Genotip normal α globulin
digambarkan αα/αα. Talasemia αo, disebabkan beberapa delesi
pada 2 gen tersebut. Homozigot dan heterozigot digambarkan -/-
dan -/αα. Jarang sekali Talasemia αo disebabkan oleh delesi gen
bagian yang mirip LCR α globin, 40 kb di atas kumpulan gen α
globin atau pemutusan lengan pendek kromosom 16 (Permono
dan Ugrasena, 2006).
Pada beberapa kasus terjadi delesi pada 1 bagian dari
pasangan gen α globulin, sedangkan yang lain utuh – α/αα.
Lainnya memiliki 2 gen globin tapi salah satu mengalami mutasi
sehingga menyebabkan inaktivasi sebagian atau seluruhnya
αTα/αα (Permono dan Ugrasena, 2006).
Delesi pada Talasemia α+ diklasifikasikan lebih lanjut dengan
2 varian umum yang menyebabkan hilangnya 3,7 atau 4,2 kb dari
DNA, disebut sebagai –α3,7 dan – α4,2. Diketahui kemudian
bahwa bentuk tersebut sangat heterogen tergantung dari kelainan
genetik yang mendasari delesi. Delesi ini diduga dari
penggabungan dan crossing over pasangan gen tersebut saat
meiosis. Menghasilkan kromosom dengan satu α dan kromosom
lain dengan triple α (Permono dan Ugrasena, 2006). Bentuk lain
Talasemia α yang disebabkan oleh mutasi, mirip Talasemia β.
Beberapa disebabkan oleh mutasi pada bagian awal dan
pemisahan yang menghasilkan rantai α yang sangat tak stabil dan
tidak bisa membentuk tetramer. Bentuk lain yang sering di

8
populasi Asia Tenggara, mutasi satu basa kodon terminasi UAA
CAA. Sehingga diterjemahkan menjadi glutamin dan mRNA
akan dibaca terus sampai tercapai kodon stop lain. Sehingga
dihasilkan α globin yang lebih panjang tapi dalam jumlah sedikit,
disebut Hb Constant Spring sesuai dengan nama kota di Jamaika
dimana kelainan ini ditemukan pertama kali. Jumlahnya 2- 5%
dari populasi di Thailand dan negara-negara Asia Tenggara.
Mutasi kodon terminasi bisa bermacam-macam. Satu mutasi pada
sekuen 3 gen α globin, yang sering ditemukan di Timur Tengah,
adalah AATAA – AATAAG, bagian yang memberi signal
poliadenilasi globin mRNA. Suatu proses yang menstabilisasi
mRNA saat berpindah ke sitoplasma. Mutasi ini menghasilkan
penurunan produksi rantai α yang bermakna (Permono dan
Ugrasena, 2006).

Sebagai tambahan, didapatkan sindrom Talasemia α dengan


retardasi mental ringan (ATR). Dengan penelitian klinis dan
molekuler diketahui 2 sindrom, oleh kromosom 16 (ATR-16) dan
kromosom X (ATR-X). ATR-16 berhubungan dengan retardasi
mental ringan dan delesi bagian akhir lengan pendek kromosom
16, berdiri sendiri atau bersamaan translokasi kromosom. ATR-X
diikuti retardasi mental berat, dan disebabkan oleh mutasi pada
XH2 kromosom X. Gen yang dihasilkan berhubungan dengan
faktor transkripsi yang mengatur gen α globin dan fase awal
pertumbuhan susunan saraf pusat dan traktus renalis fetus
(Permono dan Ugrasena, 2006).
2.5.2 Patologi Seluler
Pada Talasemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali
produksi rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan
sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai-α atau rantai-β)
menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada
keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai
α dan rantai β, yakni berupa α2β2, maka pada Talasemia-β0, di mana

9
tidak disintesis sama sekali rantai β, maka rantai globin yang
diproduksi berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada
Talasemia-αo, di mana tidak disintesis sama sekali rantai α, maka
rantai globin yang diproduksi berupa rantai β yang berlebihan (β4)
(Atmakusuma dan Setyaningsih, 2009).
a) Talasemia Beta
Kelebihan rantai α mengendap pada membran sel eritrosit dan
prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prekursor
eritrosit yang hebat intra meduler. Kemungkinan melalui proses
pembelahan atau proses oksidasi pada membran sel prekursor.
Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies
yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran
sel, akibat pelepasan heme dan denaturasi hemoglobin dan
penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada Talesemia
β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur
eritrosit (Permono dan Ugrasena, 2006).
Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan
membuat rantai γ, menghasilkan HbF extra uterine. Pada
Talesemia β sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai α lebih
kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk
HbF. Sehingga HbF mengikat pada talesemia β. Seleksi seluler
ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Beberapa faktor
genetik mempengaruhi respons pembentukan HbF ini. Kombinasi
faktor-faktor ini mengakibatkan peningkatan HbF pada talesemia
β. Produksi rantai δ tidak terpengaruh pada Talesemia β, sehingga
HbA2 meningkat pada heterozigot (Permono dan Ugrasena,
2006).
Kombinasi anemia pada Talesemia β dan eritrosit yang kaya
HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat
yang menstimulasi prosuksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan
peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan
tulang, peningkatan absorpsi besi, metabolisme rate yang tinggi
dan gambaran klinis talesemia β mayor. Penimbunan lien dengan

10
eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa. Juga diikuti
dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit di dalam
limpa, sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme
(Permono dan Ugrasena, 2006).
Beberapa gejala ini bisa dihilangkan dengan transfusi yang
bisa menekan eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan
besi. Hal ini bisa dimengertikan dengan memahami metabolisme
besi. Di dalam tubuh besi terikat oleh transferin, dalam
perjalanan ke jaringan, besi ini segera diikat dalam timbunan
molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak bisa merusak sel.
Pada pasien dengan kelebihan zat besi, timbunan ini bisa
dijumpai di semua jaringan, tapi sebagian besar di sel
retikuloendothelial, yang relatif tidak merusak. Juga di miosit dan
hepatosit yang bisa merusak. Kerusakan tersebut diakibatkan
terbentuknya hidroksil radikal bebas dan kerusakan akibat
oksigen (Permono dan Ugrasena, 2006).
Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya
radikal bebas. Pada orang dengan kelebihan besi, transferin
menjadi tersaturasi penuh dan fraksi besi tidak terikat transferin
bisa terdeteksi di dalam plasma. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di
jantung, hati dan kelenjar endokrin. Mengakibatkan kerusakan
dan gangguan fungsi organ (Permono dan Ugrasena, 2006).
Gambaran klinis tersebut bisa dikaitkan dengan gangguan
produksi globin, dan kelebihan rantai pada maturasi dan umur
eritrosit. Dan akibat penumpukan zat besi akibat peningkatan
absorpsi dan transfusi. Sehingga mudah dimengerti mengapa ada
bentukan lebih ringan dari yang lain. Gambaran klinis ini
dipengaruhi jumlah ketidakseimbangan rantai globin. Termasuk
Talesemia α, Talesemia β minor dan segregasi gen yang
mengakibatkan peningkatan HbF (Permono dan Ugrasena, 2006)
a) Talasemia Alfa

11
Dengan adanya HbH dan Bart’s, patologi seluler
Talesemia α berbeda dengan Talesemia β. Pembentukan
tetramer ini mengakibatkan eritropoesis yang kurang
efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring
dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses
hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini
semakin berat karena HbH dan Bart’s adalah
homotetramer, yang tidak mengalami perubahan allosterik
yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti
mioglobin, mereka tidak bisa melepaskan oksigen pada
tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan
Bart’s sebanding dengan beratnya hipoksia (Permono dan
Ugrasena, 2006).
Patofisiologi Talesemia α sebanding dengan jumlah
gen yang terkena. Pada homozigot (-/-) tidak ada rantai α
yang diproduksi. Pasien memiliki Hb Bart’s yang tinggi
dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya cukup,
karena hampir semua merupakan Hb Bart’s, fetus tersebut
sangat hipoksik. Sebagian besar pasien lahir mati dengan
tanda-tanda hipoksia intrauterin. Bentuk heterozigot
talesemia αo dan – α+ menghasilkan ketidakseimbangan
jumlah rantai tetapi pasiennya mampu bertahan dengan
penyakit HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, adaptasi terhadap anemianya sering
tidak baik, karena HbH tidak berfungsi sebagai pembawa
oksigen (Permono dan Ugrasena, 2006). Bentuk
heterozigot Talasemia αo (-/αα) dan delesi homozigot
Talesemia α+ (-α/-α) berhubungan dengan anemia
hipokromik ringan, mirip Talesemia β. Meskipun pada
Talesemia αo ditemukan eritrosit dengan inklusi, gambaran
ini tidak didapatkan pada Talesemia α+. Hal ini
menunjukkan diperlukan jumlah kelebihan rantai β tertentu

12
untuk menghasilkan β4 tetramer. Yang menarik adalah
bentuk heterozigot non delesi talasemia α (αTα/αTα)
menghasilkan rantai α yang lebih sedikit, dan gambaran
klinis penyakit HbH (Permono dan Ugrasena, 2006).
2.6 Manifestasi Klinik
Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan
tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi,
tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya
(mayor atau minor). Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan,
khususnya anemia hemolitik (Tamam, 2009) Talasemia-β dibagi tiga sindrom
klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni
1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik
hipokrom.
2) Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada
transfusi darah.
3) Talasemia-β intermedia: gejala di antara Talasemia β mayor dan
minor. Terakhir merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia-β
(silent carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung
pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang
diproduksi. Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi
Talasemia-α (silent carrier), Talasemia-α trait (Talasemia-α minor), HbH
diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma, 2009).
Menurut Permono dan Ugrasena, 2006 manifestasi klinis pada talasemia,
antara lain:
2.6.1 Talasemia Beta
Hampir semua anak dengan talasemia β homozigot dan
heterozigot, memperlihatkan gejala klinis sejak lahir, gagal
tumbuh, kesulitan makan, infeksi berulang dan kelemahan umum.
Bayi nampak pucat dan didapatkan spenomegali. Pada stadium ini
tidak ada tanda klinis lain dan diagnosis dibuat berdasarkan adanya
kelainan hematologi. Bila menerima transfusi berulang,
pertumbuhannya biasanya normal sampai pubertas. Pada saat itu

13
bila mereka tidak cukup mendapat terapi kelasi (pengikat zat besi),
tanda-tanda kelebihan zat besi mulai nampak. Bila bayi tersebut
tidak mendapat cukup transfusi, tanda klinis khas talasemia mayor
mulai timbul. Sehingga gambaran klinis talasemia β dapat dibagi
menjadi dua:
a) cukup mendapat trasfusi
b) dengan anemia kronis sejak anak-anak
Pada anak yang cukup mendapat transfusi, pertumbuhan dan
perkembangannya biasanya normal, splenomegali biasanya tidak
ada. Bila terapi kelasi efektif, anak ini bisa mencapai pubertas dan
terus mencapai usia dewasa secara normal. Bila terapi kelasi tidak
adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukan zat besi.
Efeknya mulai nampak pada akhir dekade pertama. Adolescent
growth spurt tidak akan tercapai, komplikasi hati, endokrin dan
jantung akibat kelebihan zat besi mulai nampak. Termasuk
diabetes, hipertiroid, hipoparatiroid dan kegagalan hati progresif.
Tanda-tanda seks sekunder akan terlambat atau tidak timbul.
Kausa kematian tersering pada penimbunan zat besi adalah
gagal jantung yang dicetuskan oleh infeksi atau aritmia, yang
timbul di akhir dekade kedua atau awal dekade ketiga.
Gambaran klinis pasien yang tidak mendapat transfusi adekuat
sangat berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan sangat terlambat.
Pembesaran Lien yang progresif sering memperburuk anemianya
dan kadang-kadang diikuti oleh trombositopenia. Terjadi perluasan
sumsum tulang yang mengakibatkan demormitas tulang kepala,
dengan zigoma yang menonjol, memberikan gambaran khas
mongoloid. Perubahan tulang ini memberikan gambaran radiologis
yang khas, termasuk penipisan dan peningkatan trabekulasi tulang-
tulang panjang termasuk jari-jari. Dan gambaran lain hair on end
pada tulang tengkorak. Anak-anak ini mudah terinfeksi, yang bisa
mengakibatkan penurunan mendadak kadar hemoglobin. Karena
peningkatan jaringan eritropoesis, yang tidak efektif, pasien

14
mengalami hipermetabolik, sering demam dan gagal tumbuh.
Kebutuhan folatnya meningkat, dan kekurangan zat ini bisa
memperburuk anemianya. Karena pendeknya umur eritrosit,
hiperurikemi dan gout sekunder sering timbul. Sering terjadi
gangguan perdarahan, yang bisa disebabkan oleh trombositopenia
maupun kegagalan hati akibat penimbunan zat besi, hepatitis virus
maupun hemopoesis ekstrameduler. Bila pasien ini bisa mencapai
pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan zat besi.
Dalam hal ini berasal dari kelebihan absorpsi di saluran
pencernaan.
2.6.2 Talasemia-β intermedia
Tidak semua talasemia β homozigot dan heterozigot
memerlukan transfusi sejak lahir. Istilah talasemia β intermedia
dipakai mulai kondisi yang hampir seberat talasemia β, dengan
anemia berat dan gangguan pertumbuhan, sampai kondisi yang
hampir seringan karier talasemia β, yang hanya bisa diketahui dari
pemeriksaan rutin hematologi. Pada varian yang lebih berat
didapatkan gangguan pertumbuhan, perubahan tulang dan gagal
tumbuh sejak awal, penatalaksanaanya tidak dibedakan dengan
thalasemia yang tergantung transfusi. Pada kasus lain didapatkan
pasien dengan tumbuh kembang yang baik, keadaan yang hampir
stabil dan spenomegali ringan maupun sedang. Pada pasien ini
komplikasi bisa timbul dengan bertambahnya umur. Termasuk
perubahan tulang, osteoporosis progresif sampai fraktur spontan,
luka di kaki, defisiensi folat, hiperplenisme, anemia progresif, dan
efek penimbunan zat besi karena peningkatan absorpsi di saluran
cerna.
2.6.3 Karier Talasemia beta
Hampir tanpa gejala, dengan anemia ringan dan jarang
didapatkan splenomegali.
2.6.4 Homozigot Talasemia αo
Sindrom hidrops Hb Bart's ini biasanya terjadi dalam rahim.
Bila hidup hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah

15
hidrops fetalis dengan edem permagna dan hepatosplenomegali.
Kelainan ini sering disertai toksemia gravidarum, perdarahan
postparum dan masalah karena hipertrofi plasenta. Pemeriksaan
otopsi memperlihatkan peningkatan kelainan bawaan. Beberapa
bayi, berhasil diselamatkan dengan transfusi tukar dan transfusi
berulang. Pertumbuhan dan perkembangan bisa mencapai normal

2.6.5 HbH disease( Talasemia αα/α+)


Ditandai dengan anemia dan splenomegali sedang. Memiliki
variasi klinis, beberapa tergantung transfusi, sedangkan sebagian
besar bisa tumbuh normal tanpa transfusi.
2.6.6 Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul
gejala sama sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah
yang tampak lebih pucat.
2.6.7 Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami
anemia ringan dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer,
dapat menjadi carrier.
2.7 Cara Diagnosa
2.7.1 Tanda dan Gejala Thalasemia
Wong et al. (2009) menjelaskan tahap awal penderita thalasemia
mengalami gejala anemia yang diikuti dengan demam tanpa
diketahui penyebabnya, pola makan yang buruk dan limpa yang
membesar. Berikut adalah tanda dan gejala thalasemia secara umum:
a) Anemia
Kelainan produksi hemoglobin secara kronis dan
destruksi eritosit menyebabkan anemia berat (Price dan
Wilson, 2006). Anemia yang terus berlanjut
menyebabkan berkurangnya suplai oksigen kejaringan
tubuh (Orkin et al., 2009). Akibatnya penderita
mengalami gejala hipoksia kronis berupa sakit kepala,
nyeri prekordial, nyeri tulang, penurunan toleransi
terhadap aktivitas, dan anoreksia (Wong et al., 2009).
b) Kelainan pertumbuhan

16
Penderita thalasemia dapat mengalami gejala kelainan
pertumbuhan berupa postur tubuh yang kecil
(Hockenberry dan Wilson, 2009). Kelainan postur tubuh
ini disebabkan oleh tulang mengalami keterlambatan
pertumbuhan akibat anemia (Orkin et al., 2009).
c) Kelainan pada tulang
Hipertropi jaringan eritropoitik menyebabkan sumsum
tulang mengalami perluasan (Nelson, Kliegman dan
Arvin, 2000). Kondisi ini mengakibatkan kelainan pada
tulang seperti gejala kepala membesar, penonjolan tulang
parietal dan frontal, pangkal hidung menjadi datar,
maksila membesar, geligi seri sentral dan mata tampak
oriental (Wong et al., 2009).
d) Rona wajah kelabu dan hiperpigmentasi kulit
Rona wajah kelabu dengan bercak kecoklatan terjadi
akibat penumpukan zat besi yang mengendap di lapisan
dermis (Hockenberry dan Wilson, 2009; Rudolph,
Hoffman, dan Rudolph, 2007).
Kelainan di atas bisa terjadi pada penderita thalsemia yang jarang
menerima transfusi (Orkin et al., 2009).
2.7.2 Temuan Laboratorium
a) Talasemia Beta
Pertama kali datang biasanya Hb berkisar 2-8 g/dL.
Eritrosit terlihat hipokromik dengan berbagai bentuk dan
ukuran, beberapa makrosit yang hipokromik, mikrosit dan
fragmentosit. Didapatkan basophilic stippling dan eritrosit
berinti selalu nampak di darah tepi, setelah splenektomi sel-
sel ini akan muncul dalam jumlah yang lebih banyak. Hitung
retikulosit hanya sedikit meningkat, jumlah leukosit dan
trombosit masih normal, kecuali bila di dapatkan
hipersplenisme. Pemeriksaan sumsum leukosit dan trombosit
masih normal, kecuali bila didapatkan hipersplenisme.
Pemeriksaan sumsum tulang memperlihatkan peningkatan
sistem eritroid dengan banyak inklusi di perkusor eritrosit,

17
yang lebih nampak dengan pengecatan metil-violet yang bisa
memperlihatkan endapan α globin.
Kadar HbF selalu meningkat dan terbagi diantar eritorosit.
Pada talasemia βo tidak didapatkan HbA, hanya HbF dan
HbA2. Pada talasemia β kadar HbF berkisar 20> 90%. Kadar
HbA2 biasanya normal dan tidak memiliki arti diagnosis.
Penelitian in vitro sintesis globin, memperlihatkan kelebihan
rantai α diatas rantai non α (Permono dan Ugrasena, 2006).
b) Karier Talasemia Beta
Didapatkan penurunan ringan Hb, dengan penurunan
MCH dan MCV yang bermakna. Hapusan darah
memperlihatkan hipokromik, mikrositik dan basophilic
stippling dalam berbagai tingkatan. pada 4-6% kasus , HbA2
meningkat 2 kali normal, 50% kasus memperlihatkan
peningkatan HbF (Permono dan Ugrasena, 2006).
c) Homozigot Talasemia αo
Kadar Hb 6-8 g/dL dengan eritrosit hipokromik dan
beberapa berinti. Kadar Hb Bart's 80%, sisanya Hb Portland
(Permono dan Ugrasena, 2006).
d) Karier Talasemia Alfa
Didapatkan anemia hipokromik ringan dengan penurunan
MCH dan MCV yang bermakna. Hb elektroforesis normal
dan pasien hanya bisa didiagnosis dengan analisis DNA.
Pada masa neonatus didapatkan Hb Bart's 5-10%, tapi tidak
didapatkan HbH pada masa dewasa. Kadang bisa didapatkan
inklusi pada eritrosit karier talasemia α (Permono dan
Ugrasena, 2006).
e) Karier Talasemia alfa silent
Memiliki gambaran darah yang abnormal, tetapi dengan
Hb elektroforese normal. Saat lahir 50% kasus memiliki Hb
Bart's 1-3% tapi tidak adanya Hb Bart's tidak menyingkirkan
diagnosis ini (Permono dan Ugrasena, 2006).
2.8 Tata Laksana
Anak yang menderita thalasemia membutuhkan beberapa terapi untuk
mempertahankan kadar hemoglobin, membuang penumpukkan zat besi dalam

18
tubuh akibat transfusi, mendukung pertumbuhan dan perkembangan, serta
mempertahankan aktivitas anak (Orkin et al., 2009). Terapi yang diberikan
berupa tindakan suportif, preventif dan kuratif antara lain berupa transfusi,
pemberian kelasi besi, splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang (Rund dan
Rachmilewitz, 2005). Pemberian transfusi dilakukan untuk mempertahankan
kadar hemoglobin dalam kisaran 10-12 g%. Penderita β thalasemia mayor
mendapatkan transfusi setiap 3 – 4 minggu secara teratur (Rudolph, Hoffman
dan Rudolph, 2007). Menurut Arceci, Hann, dan Smith (2006) pemberian
transfusi sel darah merah membantu mencegah anemia, menstimulasi
eritropoisis, mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara normal
serta memperpanjang kelangsungan hidup penderita thalasemia mayor. Sebelum
dilakukan transfusi pertama kali, penderita dilakukan pemeriksaan kadar besi
dan folat dalam darah, serta diberikan vaksin hepatitis B. Efek samping dari
transfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph,
Hoffman dan Rudolph, 2007).
Terapi lainnya yang diberikan pada penderita thalasemia adalah terapi kelasi
besi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan penumpukan zat besi di
intraseluler dan zat besi yang terikat di ekstraseluler (Arceci, Hann, dan Smith,
2006). Kelasi besi dapat berupa:
1) Deferioksamin.
Deferioksamin diberikan melalui subkutan (Tomlinson dan Kline,
2005). Kelasi ini diberikan ketika kadar ferritin serum mencapai 1000
mg/dL atau setelah 10-20 kali transfusi (Gatot, Amalia, Sari, dan
Chozie, 2007).
2) Deferiprone dan Deferasirok
Deferiprone dan deferasirok diberikan melalui oral. Kelasi ini
diberikan pada penderita yang tidak bisa menggunakan deferioksamin
(Berdoukas dan Modell, 2008) atau dapat juga dikombinasikan dengan
deferioksamin (Arceci, Hann, dan Smith, 2006).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI (2011), penderita thalasemia


mendapatkan kelasi besi dengan dosis sebagai berikut:
1) Deferioksamin (DFO) atau Desferal.

19
Dosis DFO yang diberikan pada anak ≤ 3 tahun 15-20 mg/kg
bb/hari, anak > 3 tahun mendapat dosis 40-60 mg/kg bb/hari dan bila
mengalami gangguan jantung mendapatkan dosis 100 mg/kg bb/hari.
Rute pemberian injeksi subkutan menggunakan pompa khusus selama 8-
12 jam/hari sebanyak 5-7 kali pemberian/minggu, jika mendapat dosis
60-100 mg/kg bb/hari maka diberikan via infus selama 24 jam berturut-
turut setiap hari. Jika kadar feritin serum cukup tinggi pemberian
dikombinasikan dengan deferipron/ferriprox dosis 75-100 mg/kg bb/hari
selama 6-12 bulan (Amalia, 2012).
Deferioksamin memberikan dampak positif dalam menurunkan
kelebihan zat besi di dalam darah, namun pemberian dalam dosis tinggi
memberikan efek samping. Berikut efek samping pemberian
deferioksamin :
a) Eritema lokal pada area insersi infus dan menyebabkan respon
inflamasi yang ditandai dengan pembentukan nodul subkutan
(Orkin, Nathan, Ginsburg, Look, Fisher dan Lux, 2009;
Tomlinson dan Kline, 2005).
b) Deferioksamin dengan dosis tinggi yang diberikan dalam jangka
waktu lama menyebabkan kerusakan retina sehingga terjadi
abnormalitas fungsi retina (Orkin et al., 2009; Tomlinson dan
Kline, 2005). Hal ini menyebabkan gangguan lapang pandang
bahkan sampai buta warna (Arceci, Hann, dan Smith, 2006).
c) Pemberian pada pasien dengan kondisi rematoid arthritis dan
kemampuan penyimpanan zat besi yang normal dapat
menimbulkan penurunan neurologi seperti bingung, mual,
muntah dan koma (Orkin et al., 2009).

2) Deferiprone (DFP) atau Ferriprox.


DFP merupakan kelasi besi jenis oral dengan dosis 75-100 mg/kg
bb/hari, dosis dibagi dalam tiga kali pemberian dengan jarak minimal 6
jam, bisa diberikan sebelum dan sesudah makan (Amalia, 2012).

20
Efeksamping deferiprone antara lain agranulositosis yang terjadi pada
0,5-1% pasien dan neutropenia yang terjadi pada lebih dari 5% pasien
yang mendapat terapi ini. Komplikasi lainnya yaitu arthropathy,
defisiensi zinc, gejala gastrointestinal dan abnormalitas hasil tes fungsi
hepar (Orkin et al., 2009).
3) Deferasiroks (DFX) atau Exjade.
Deferasiroks merupakan kelasi besi dosis tunggal jenis oral yang
mudah larut dalam air. Dosis yang diberikan adalah 20-40 mg/kg bb/hari
(Amalia, 2012). Efek samping pemberian deferasiroks yang paling
sering adalah gejala gastrointestinal. Efek samping lainnya yaitu
peningkatan kadar kreatinin darah, namun hanya terjadi pada sebagian
kecil pasien (Orkin et al., 2009).
Terapi lainnya yang dapat dilakukan pada penderita thalasemia adalah
splenektomi. Terapi ini dilakukan pada anak yang mendapat transfusi lebih dari
200–220 ml eritrosit per kilogram berat badan setiap tahun. Tujuan splenektomi
adalah mengurangi gejala tekanan yang disebabkan dari hipertropi limpa
(Rudolph, Hoffman dan Rudolph, 2007), menambah ketahanan hidup eritrosit
transfusi, mengurangi kebutuhan darah dan meningkatkan harapan hidup anak
(Arceci, Hann, dan Smith, 2006).
Tiga minggu sebelum dilakukan splenektomi penderita diberikan vaksin
pneumokokus dan haemophilus influenza tipe B (Arceci, Hann, dan Smith,
2006). Setelah operasi diberikan asam folat 1 mg/hari untuk mempertahankan
kadar folat eritrosit (Rudolph, Hoffman, dan Rudolph, 2007). Penelitian yang
dilakukan oleh Bulan (2009) di RSUP Karyadi Semarang menunjukkan terdapat
20% pasien yang telah dilakukan splenektomi dari total pasien thalasemia.
Jenis terapi kuratif yang dapat dilakukan pada penderita thalasemia adalah
transplantasi sumsum tulang. Terapi ini merupakan tindakan yang dianggap
dapat menyembuhkan thalasemia (Rudolph, Hoffman dan Rudolph, 2007).
Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan antara penderita thalasemia dan
saudara kandung yang dinyatakan sehat. Karakteristik pretransplantasi adalah
hepatomegali lebih dari 2 cm dibawah garis tepi costal, fibrosis portal pada

21
pemeriksaan biopsi hati dan keefektifan terapi deferioksamin sebelum
transplantasi (Arceci, Hann dan Smith, 2006)

2.9 Pencegahan
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan
dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.
Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan
yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek
hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita kelainan
hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah dia juga
membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan ada
resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β mayor) maka
penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
a) Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah,
penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa
dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya
bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut
ditawari diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus
dengan Talasemia β berat. Bila populasi tersebut menghendaki
pemilihan pasangan, dilakukan penapisan premarital yang bisa
dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program
konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil penapisan
Talasemia (Permono dan Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit,
bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar
HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila
kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis

22
gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo (-/αα) dan
Talasemia α+ (-α/-α), pada kasus Universitas Sumatera Utara
pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo
homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah
memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan
gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi
atau Talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan
dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting untuk
memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk mencari
kemungkinan variasi struktural Hb (Permono dan Ugrasena, 2006).
b) Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai
globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat
kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah
banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari
sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-
12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian
atau kelainan pada janin (Permono dan Ugrasena, 2006). Tehnik
diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis
pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari
mutasi. Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction
(PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi
pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk
mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung
dengan analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan
kemampuan oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual,
membuka jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi
dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya

23
diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi
label 32P spesifik untuk memperbesar Universitas Sumatera Utara
region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen
globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi
sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam
(Permono dan Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis
prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation
system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,
oligonukleotida (Permono dan Ugrasena, 2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini,
kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada
DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan
RELP linkage analysis (Permonodan Ugrasena, 2006).

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita thalasemia sebagian besar
disebabkan oleh transfusi, akibat dari kelasi besi (Rudolph, Hoffman, dan
Rudolph, 2007), dan penumpukan zat besi (Malik, Syed, dan Ahmed, 2009).
Pemberian transfusi dapat menyebabkan alergi Leukosit yang ditandai dengan
demam dan muntah, alergi plasma dapat menimbulkan reaksi syok
anaphylactic yang ditandai dengan penurunan tekanan darah dan
pembengkakan beberapa jaringan, dan penularan infeksi melalui transfusi
berupa parasit malaria serta virus AIDS (Orkin et al., 2009).
Komplikasi dapat terjadi pada beberapa organ, yaitu:

1) Tulang
Perubahan yang terjadi pada tulang merupakan kompensasi
dari ekspansi eritroid yang menyebabkan perubahan kosmetik
seperti: penonjolan prontal dan parietal, pembesaran maksila yang
mengakibatkan penonjolan pada gigi, tulang hidung melebar dan
tulang menjadi rentan terhadap cidera akibat ekspansi sumsum
tulang (Orkin et al., 2009).

24
2) Limpa
Limpa merupakan penyaring darah dan membuang partikel
yang tidak normal dalam darah. Pada penderita thalasemia sel- sel
darah yang tidak terpakai tertahan dalam limpa dan menyebabkan
pembesaran pada limpa. Kondisi ini bersifat irreversibel, diatasi
dengan tindakan splenektomi (Orkin et al., 2009).
3) Jantung
Pemberian transfusi pada penderita dapat menyebabkan
kelebihan zat besi yang disimpan dalam jantung, jika terus
tersimpan maka dapat menyebabkan pembesaran jantung dan detak
jantung menjadi tidak teratur sehingga pompa jantung menjadi
tidak optimal (Malik, Syed, dan Ahmed, 2009; Orkin et al., 2009).
4) Hepar
Pembesaran hepar (hepatomegaly) terjadi karena penumpukan
zat besi pada parenkim hepar, selain itu virus hepatitis yang
ditularkan melalui transfusi menyebabkan hepatitis aktif yang
kronis yang dapat berlanjut ke dalam kondisi sirosis hepatis dan
kanker hati (Orkin et al., 2009).
5) Endokrin
Gangguan endokrin pada penderita thalasemia dapat berupa
gangguan produksi growth hormone yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan (Orkin et al., 2009) pada masa
pubertas penderita dapat mengalami keterlambatan kematangan
seksual seperti menarche yang terlambat dan menstruasi tidak
teratur (Malik, Syed, dan Ahmed, 2009). Gangguan kelenjar
parathyroid menimbulkan gejala hipokalsemi dan hiperposfatemia.

25
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Tempat Pelaksanaan


TPP ini dilaksanakan di Jalan Rajawali II, RT 22, Kelurahan Pipa Reja,
Kecamatan Talang aman.
3.2 Waktu Pelaksanaan
TPP ini dilaksanakan pada Selasa,27 September 2016.
3.3 Subjek Tugas Mandiri

26
Subjek tugas mandiripada tugas pengenalan profesi blok VIII adalah pasien
thalasemia.
3.4 Alat dan Bahan
1) Alat Tulis
2) Daftar Tilik
3) Kamera
3.5 Langkah Kerja
1) Konsultasi kepada pembimbing
2) Membuat dan mengajukan proposal kepada pembimbing
3) Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditandatangani
pembimbing
4) Meminta surat pengantar TPP ketempat/lokasi pada bagian akademik,
berdasarkan bukti surat persetujuan pembimbing
5) Melaksanakan TPP
6) Mencatat hasil TPP
7) Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
TPP dilaksanakan dikediaman anak J seorang penderita thalassemia
berumur 5 tahun. Hasil wawancara kelompok TPP 6 dengan orang tua anak J
adalah
Nama : J
Umur : 5 tahun

27
No Pertanyaan Keterangan
1 Bagaimana gejala awal yang Suhu badan panas, wajah sering pucat putih,
dirasakan? bibir tidak berwarna merah lagi
2 Sejak kapan gejala awal Sejak masih bayi kurang lebih berumur 10
dirasakan? bulan
3 Apakah terdapat gejala lain? Sering batuk dan pilek, pernah mimisan satu
kali pada usia 9 bulan
4 Bagaimana kondisi anak pada Anak lahir dengan berat 3,5 kg, panjang 50
saat lahir? cm.
5 Bagaimana pertumbuhan anak Pertama kali duduk pada usia 6-7 bulan
ketika bayi? Pertama kali jalan pada usia 11 bulan 3
minggu
Pertama kali berbicara lancar pada usia 2
tahun 6 bulan
6 Bagaimana riwayat imunisasi Lengkap mulai dari Hepatitis
anak? B,BCG,DPT,Polio, dan campak.
Hanya campak yang tidak sesuai jadwal yaitu
pada usia 9 bulan.
7 Apakah anak diberikan ASI dan Pada saat awal kelahiran diberikan ASI,
makanan pendamping ASI? setelah 2 minggu tidak nafsu lagi dan
diberikan susu.
Makanan pendamping asi yang diberikan
adalah bubur sum dan pormina.
Pada usia 11 bulan baru diberi nasi.
8 Apa penyebab anak telat Pada usia 9 bulan anak mengalami batuk
imunisasi? pilek, diare dan demam
9 Apakah ada riwayat penyakit Pada saat dilahirkan anak terkena ikterus yaitu
dahulu? kondisi kulit kuning dan bola mata berwarna
kuning
10 Bagaimana aktivitas sebelum Anaknya aktif tidak terlihat lesu atau lemas
didiagnosa Thalassemia?
11 Umur berapa pertama kali Sejak berumur 1 tahun 10 bulan
didiagnosa Thalassemia?
12 Bagaimana didiagnosa Pada saat itu anak terkena batuk pilek dan
Thalasemia? demam kemudian di bawa ke puskesmas,

28
kemudia dinyatakan dokter anemia dan di
rujuk ke Rumah sakit untuk diperiksa
darahnya, kemudian didapatkan bahwa Hb
anak pada saat itu adalah 4.
13 Kegiatan apa saja yang sekarang Anak belajar di TK dan ikut pengajian pada
dilakukan? sore hari.
14 Gejala apa saja yang masih sering Mudah memar, pucat, tangan sakit bila
dirasakan? ditarik, gigi yang gampang rapuh, sering
sesak nafas, spenomegali dan hepatomegali
15 Apa saja makanan yang Telur, ikan, sayur bayam tapi hanya kuahnya,
dikonsumsi oleh anak? buah seperti kates, pisang dan jeruk, serta
susu.
16 Pengobatan atau terapi apa saja Transfusi darah awalnya 3 kantong tiap bulan
yang sudah pernah diterima atau sekarang tranfusi 2 – 3 kantong tiap 3 minggu.
dilakukan? Dengan komponen darah PRC
obat :
Anemolat folid acid 1 mg 5 x 1,
Exjade 500 mg1 x 1,
Santa-e 200 mg 2 x 1.
17 Apakah ada efek samping setelah Setelah transfusi anak selalu mimisan dan
pemberian transfusi? pernah alegi
18 Apakah ada perubahan yang Menjadi lebih bugar, terjadi perubahan sifat
dirasa setelah menerima menjadi lebih ceria.
pengobatan atau terapi?
19 Bagaimana pertumbuhan Badan terlihat lebih kecil dari anak seusianya,
penderita di banding anak pertumbuhan terganggu,
seusianya? TB: 100 cm, BB: 15 kg
20 Apakah wajah terlihat Anak J mempunyai mongoloidface walaupun
mongoloidface? tidak tampak begitu khas
21 Bagaimana riwayat thalassemia Anak J memiliki dua orang saudara sepupu
pada keluarga dari pihak ibu yang menderita thalassemia
juga

Dan juga didapat beberapa hasil Laboratorium dari anak J yang abnormal
Tanggal : 9 Juni 2016

29
No Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Interprestasi
1 Hematologi HB 6.5 11.3 – 14.1 g/dL Anemia
Eritrosit 2.62 4.40 -4,48 106/mm3 Eritrositopenia
Ht 19 37 – 41 % Menurun
Trombosit 161 217 – 497 103/ L Trombositopenia
MCV 74.0 81 – 95 fL Mikrositter
MCH 25 25 – 29 Pg Hipokrom
MCHC 34 29 – 31 g/dL Naik
Eeosinofil 8 1–6 % Eeosinofilia
Netrofil 47 50 – 70 % Netrofilpenia
Retikulosit 2.5 0.5 – 1.5 % Meningkat
2 Kimia Klinik Bilirubin 1.96 0.1 – 1.0 mg/dL Meningkat
Hati Total
Bilirubin 0.57 0 – 0.2 mg/dL Meningkat
Direk
Bilirubin 1.39 <0.8 mg/dL Meningkat
Indirek
SGOT 44 0 – 32 U/L Meningkat
SGPT 55 0 - 31 U/L Meningkat
3 Imunoserologi Ferritin 3311 13 – 400 ng/mL Tinggi

4.2 Pembahasan

Pada TPP ini didapat hasil yaitu Anak J berusia 5 tahun pertama kali

didiagnosis mengalami Thalasemia mayor pada usia 1 tahun 10 bulan.

Mulai dari berusia 10 bulan anak J sudah terlihat pucat dan suhu badan panas.
Pada usia 1 tahun 10 bulan anak J mengalami batuk pilek serta mimisan
sehingga dibawa kepuskesmas. Lalu disarankan untuk kerumah sakit karena
mengalami anemia. Hal ini sesuai dengan teori, dimana biasanya penderita

Thalasemia mayor lahir normal. Dan keluhan muncul pada usia 6 – 12

bulan dimana anak mengalami penurunan hemoglobin secara drastis dan


memerlukan transfusi teratur.
Anak J lahir dengan berat badan normal yaitu 3,5 kg dan panjang 50
cm. Walaupun, saat bayi sudah terlihat kuning namun tidak ada gejala lain.
Perkembangan Anak J normal yaitu mulai duduk saat berusia 6 – 7 bulan,

30
pertama kali berjalan saat berusia 11 bulan dan berbicara lancar saat berusia 2
tahun 6 bulan meskipun sebelumnya sudah berbicara namun kurang jelas.
Anak J hanya meminum ASI sampai berusia 2 minggu, setelah itu diberikan
susu formula. Dan mulai makan nasi pada usia 11 bulan. Untuk riwayat
imunisasi Anak J mengaku lengkap diberikan imunisasi dan sesuai jadwal.
Hanya saat imunisasi campak yang seharusnya diberikan pada usia 9 bulan
diunsur karena pada saat itu Anak J mengalami demam, diserta mencret.
Barulah Anak J mendapat imunisasi campak pada usia 10 bulan.
Pada saat ini, anak J masih beraktifitas normal, dia terlihat aktif
bermain, mengaji dan baru saja masuk TK. Meskipun, anak J masih sering
mengeluhkan beberapa gejala seperti, pucat dikarenakan kadar hemoglobin
yang rendah, badan mudah memar karena trombositopenia, badan yang terasa
sakit bila ditarik, gigi yang rapuh karena kekurangan kalsium, sering
mengalami sesak nafas dikarenakan kadar hemoglobin yang rendah sehingga
tidak bisa memasok oksigen secara meksimal dan perut yang membuncit
dikarenakan hepatomegali dan splenomegali.
Untuk mengatasi gejala dan mencegah timbulnya komplikasi anak J
rutin tranfusi darah, dengan komponen darah PRC. Pada awal didiagnosis
thalassemia anak melakukan tranfusi 3 kantong darah tiap satu bulan sekali,
namun sekarang mengalami peningkatan dimana tranfusi harus rutin
dilakukan tiap tiga minggu dengan menghabiskan 2 – 3 kantong darah.
Setelah melakukan tranfusi anak J terlihat lebih bugar dan menjadi lebih ceria
dikarenakan beberapa gejala pada thalasemia bisa dihilangkan dengan
transfusi yang bisa menekan eritropoesis. Namun, sering melakukan tranfusi
mengakibatkan efek samping seperti, meningkatnya akumulasi zat besi dalam
tubuh sehingga anak J mengalami hiperpigmentasi, hepatomegali, dan
spelonmegali. Sehingga sangat penting untuk memberi Terapi kelasi besi
yang bertujuan untuk menghilangkan penumpukan besi di intraseluler dan zat
besi yang terikat di ekstraseluler. Pada anak J mengonsumsi obat Exjade 500
mg yang merupakan golongan deferasirox. Selain itu anak J juga
mengonsumsi obat Santa-e 200 mg dan Anemolat folat acid 1 mg yang
merupakan vitamin E dan asam folat.

31
Untuk makan sehari-hari orang tua Anak J sudah dianjurkan dokter
untuk tidak memberikan makanan yang banyak mengandung zat Besi.
Sehingga, Anak J hanya makan seperti telur ikan dan terkadang sayur hanya
kuahnya saja. Anak J juga suka memakan buah-buahan seperti pepaya,
pisang, dan jeruk. Untuk ukuran makannya Anak J tidak bisa makan dalam
porsi besar. Terkadang dia hanya makan 5 sendok lalu sudah mengeluh sakit.
Hal ini kemungkinan karena pembesaran hepar dan lien yang dialami anak J
sehingga gasternya terdesak.
Untuk pertumbuhan anak J terlihat lebih kecil dan kurus dibanding
anak seumurannya. BB anak J hanya 15 kg dngan TB 100 cm. Dimana
normlanya anak berusia 5 tahun memiliki BB sekitar 18 – 19 kg dan TB 109
– 110 cm. Kelainan ini disebabkan oleh tulang yang mengalami
keterlambatan pertumbuhan akibat anemia. Pada pemeriksaan
laboratoriumnya pun kadar Bilirubin, SGOT dan SGPT meningkat yang
menandakan adanya hemolisis darah.
Anak J juga memiliki bentuk wajah yang khas, walaupun tidak begitu
terlihat namun bila diperhatikan bersama dengan penderita thalassemi lainnya
terlihat wajah yang hampir mirip. Wajah yang khas pada penderita
thalassemia disebut mongoloid face. Ia mengalami pelebaran tulang
tengkorak dengan tulang frontal menonjol, pelebaran maksila dan mandibula.
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan. Pada anak
J yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, kedua saudara kandung
dan orang tuanya tidak ada yang mengalami thalassemia. Hanya saja, anak J
memiliki dua orang sepupu dari pihak ibu yang menderita thalasemia.

32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Thalasemia merupakan kelainan yang diturunkan karena terjadi mutasi
atau delesi pada gen yang menyandikan salah satu rantai globin
sehingga terjadi penurunan kecepatan sintesis, atau ketidaan sintesis,
dari rantai yang setara.
2. Gejala klinis dari Thalasemia adalah anemia berat, hepatosplenomegali,
serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
3. Gambaran Laboratorium yaitu, kadar Hb dan eritrosi rendah, reticulosit
meningkat Feritin serum biasanya meningkat, dan kadar Ht menurun
4. Terapi yang diberikan pada pederita thalassemia adalah transfuse yang

biasanya pada pasien thalassemia mayor rutin dilakukan. Pemberian

obat kelasi besi sangat penting untuk mengurangi kelebihan besi pada
tubuh.
5.2 Saran
1. Kepada Keluarga dan penderita Thalasemia
a. Melakukan transfusi secara teratur diusahakan agar kadar Hb
selalu diatas 6 mg/dL.
b. Mengontrol kadar besi darah dan fungsi hati serta ginjal
c. Mengonsumsi obat yang diberikan secara teratur dan dengan
dosis yang tepat
2. Kepada Mahasiswa
a. Untuk lebih memahami lagi tentang kelainan thalasemia
sehingga bisa memberi edukasi kepada masyarakat tentang
thalasemia

33
b. Mempersiapkan TPP dengan lebih maksimal sehingga hasil yang
didapat bisa sesuai dengan yang diharapkan

DAFTAR PUSTAKA

Arceci, R.J., Hann, I.M., dan Smith, O.P. (2006). Pediatric hematology (3rd ed.),
Australia: Blackwell Publishing.
Atmakusuma, D., 2009. Thalassemia Manifestasi Klinis, Pendekatan Diagnosis, dan
Thalassemia Intermedia. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus,
S.K., dan Setiati, S.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing
Departemen Kesehatan RI. (2007). Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Galanello, R. dan Origa, R. 2011. Beta Thalassemia. Orphanet Journal of Rare
Diseases. 5 (1)
Hockenberry, M.J., dan Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing.
(8th ed.). St. Louis: Mosby Elseiver.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7 nd ed , Vol. 1. Jakarta :
EGC, 2007
Malik, S., Syed, S., dan Ahmed, N., (2009). Complication in transfusion–dependent
patient of ß-thalassemia major. Med Scient 25: 4, 678-682.
Orkin, S.H., Nathan, D.G., Ginsburg, D., Look, A.T., Fisher. D.E., dan Lux, S.E.
(2009). Hematology of infancy and childhood (7th ed.). Philadelphia: Saunder
Elsevier.
Permono dan Ugrasena.2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: IDAI
Price, S.A., dan Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. (Brahm U.Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari dan Dewi
Asih Mahanani, penerjemah). Jakarta: EGC.
Rudolph, A.M., Hoffman, J.I.E., dan Rudolph, C.D. (2007). Buku ajar pediatri.
(Samik Wahab dan Sugiarto, penerjemah). Jakarta: EGC.
Timan, I.S. (2002). Some hematological problems in Indonesia. International
Journal of Hematology. 76: 286-290.

34
Weatherall D.J. 1965. Historical Introduction. In: Weatherall DJ (ed). The
Thalassemia syndrome. Blackwell Scientific. Oxford(1)
Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., dan Schwartz, P.
(2009). Keperawatan pediatrik (edisi 6) (Andry Hartono, Sari Kurnianingsih,
dan Setiawan, penerjemah). Jakarta: EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai