Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Thalasemia adalah sekumpulan heterogenus penyakit akibat dari
gangguan sintesis hemoglobin yang diwarisi secara autosom resesif. Thalessemia
juga merupakan sindroma kelainan darah herediter yang paling sering terjadi
didunia, sangat umum di jumpai disepanjang sabuk thalassemia yang sebagian besar
wilayahnya merupakan endemis malaria.
Heterogenitas molekular penyakit tersebut baik carrier thalassemia- maupun
carrier thalassemia- sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan pengelompokkan
populasi sehingga dapat dijadikan petanda genetik populasi tertentu. Karena
Indonesia termasuk dalam sabuk thalassemia dan sebagian besar wilayahnya endemis
malaria diduga kedua jenis thalassemia tersebut terdapat pada populasi Indonesia
yang cukup tinggi yaitu sebagai mekanisme mikroevolusi untuk menangkis malaria.
Beberapa penelitian, khususnya thalassemia-,telah dilaporkan Lanni (2002)
bahwa data terbaru yang cukup representatif yang mewakili 17 populasi di Indonesia
menunjukkan prefalensi carrier yang bervariasi yaitu 0 10 %. Sementara itu
keberadaan carrier thalassemia- di Indonesia masih kurang dicermati walaupun
telah dilaporkan bahwa prefalensinya cukup tinggi pada berbagai populasi di daratan
Asia atau Pasific. WHO (1987) memperkirakan ada 13.000-16.000 bayi thalassemia-
lahir setiap tahun di dunia. Jika mereka bisa mencapai usia dewasa, diperkirakan
ada sekitar 680.000 penderita thalassemia di Asia Tenggara.
Angka yang paling banyak disitasi di Indonesia adalah estimasi wong (1983)
yang memperkirakan hanya ada sekitar 0.5 % dari total penduduk Indonesia yang
membawa sifat kelainan darah dan angka ini jauh lebih rendah dari prefalansi carrier
thalassemia- yang diperkirakan mencapai 3.5 %. Namun, banyak peneliti percaya
bahwa prefalensi carrier thalassemia- di Indonesia jauh diatas yang diperkirakan
Wong tersebut. Dugaan tersebut juga didukung bukti-bukti bahwa cukup banyak bayi
yang terjaring di Rumah Sakit-Rumah Sakit terutama pada mereka yang mempunyai
pengaruh kuat unggun gen Mongoloid.
Namun, seberapa anak besar prevalensi carrier tersebut pada berbagai
populasi di Indonesia belum pernah dilaporkan secara rinci. Carrier thalassemia- di
Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Lie-Injo (1959) tentang kasus bayi Hb-Barts
hydrop fetalis di Jakarta. Wahidayat juga melaporkan kasus thalassemia- baik Hb-H
1
maupun bayi hydrop fetalis yang cukup banyak terjaring di Jakarta terutama pada
suku Cina. Sementara itu keberadaan thalassemia- pada populasi di Medan pertama
kali dilaporkan oleh Hariman bahwa dari 300 sampel darah tali pusar yang ditapis
2,5% di antaranya diduga carrier thalassemia- 0 dan 2,5% carrier thalassemia-+.
Keberadaan carrier thalassemia-0 perlu diwaspadai karena pasangan carrier
kelainan darah tersebut mempunyai kemungkinan 25% anak-anaknya akan lahir
sebagai bayi Hb-Barts hydrop fetalis dan akan segera meninggal setelah lahir atau
semasa janin.
Di samping itu, jika carrier thalassemia- 0 menikah dengan carrier
thalassemia-+ keturunanya juga berkemungkinan menderita Hb-H atau secara klinis
disebut dengan thalassemia- intermesia dan mayor. Sampai saat ini belum ada
tindakan kuratif yang memadai untuk mengatasi thalassemia mayor. Cangkok
sumsum tulang yang dilakukan selain tidak bersifat permanen juga mempunyai
survival rate yang rendah. Hai ini membutuhkan biaya yang cukup besar dan harus
dilakukan di luar negeri.
Terapi gen pada penderita thalassemia juga hanya dilakukan dalam tingkat
penelitian. Anjuran WHO (1984) terhadap penyakit ini adalah melakukan tranfusi
darah secara rutin dengan pemberian agen pengkelat besi dan pemberian beberapa
ajuvan yang bersifat antioksidan. Tindakan ini harus dilakukan terus menerus seumur
hidup dan diperlukan biaya yang cukup besar. Efek sampingnya juga cukup tinggi
jika dilakukan dengan tidak memadai. Salah satu tindakan yang harus dilakukan
adalah tindakan preventif dan kontrol baik berupa tindakan konseling genetik pra-
nikah sebagai pencegah terjadinya kasus baru thalassemia.
Sebelum kala pleistosen berakhir (kira-kira 10.000 tahun yang lalu) kedua
daratan tersebut masih bersatu . karena itu diduga bahwa populasi di Sumatera Utara
khususnya di Medan secara genetik berkaitan erat dengan populasi di semenanjung
Malaya.
Selain Geografis, kesamaan genetis juga ditunjukkan pada heterogenitas
molekular gen globin- dan jenis mutasi pada gen globin- baik pada suku Batak
maupun suku Melayu Sumatera lainnya mempunyai jenis yang sama dengan
populasi di daratan Asia Tenggara. Diketahui bahwa talasemia ini terbagi atas empat
bagian yaitu talasemia alfa () talasemia , talasemia , dan talasemia .
B. Tujuan
1. Tujuan umum

2
Mendeskripsikan pelaksanaan asuhan kebidanan pada Thalassemia dengan
menggunakan pola pikir ilmiah melalui pendekatan manajemen kebidanan
menurut Varney.
2. Tujuan khusus
Melaksanakan asuhan kebidanan pada Thalassemia dengan pendekatan
Varney, yang terdiri dari :

a. Melakukan pengkajian
b. Menginterpretasikan data dasar
c. Mengidentifikasi diagnosis / masalah potensial
d. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera
e. Mengembangkan rencana intervensi
f. Melakukan tindakan sesuai dengan rencana intervensi
g. Melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi Thalasemia
Thalasemia adalah kelainan kongenital, anomali pada eritropoeisis yang diturunkan
dimana hemoglobin dalam eritrosit sangat berkuarang, oleh karenanya akan terbentuk
eritrosit yang relatif mempunyai fungsi yang sedikit berkurang (Supardiman, 2002).
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat
berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005). Thalasemia
adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah
rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya penderita
thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering
lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Thalasemia terjadi akibat
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk
memproduksi hemoglobin sebagaimanamestinya.
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah
dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian
tubuh yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang
atau tidak ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh
tidak dapat terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi
menjalankan aktivitasnya secara normal. Thalasemia adalah sekelompok penyakit
keturunan yang merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari
keempat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin (Ganie, 2004). Nama
Thalassemia berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti lautan dan
anaemia (weak blood).
Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan darah ini pertama kali ditemui pada
pasien yang berasal dari negara-negara sekitar Mediterranean (TIF, 2010). Istilah
Thalassemia sekarang digunakan pada kelompok hemoglobinopati yang diklasifikasi
berdasarkan rantai globin spesifik di mana sintesisnya terganggu (Chen, 2006). Nama
Mediterranean anemia yang diperkenalkan oleh Whipple sebenarnya tidak tepat karena
kondisi ini bisa ditemuikan di mana saja dan sesetengah tipe thalasemia biasanya

4
endemik pada daerah geografi tertentu (Paediatric Thalassemia, Medscape). Menurut
Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan
gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin (Hb).
Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan. Pertama kali
ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-1927. Kata
Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan penduduk
Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut. (Permono, & Ugrasena, 2006)
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah
mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat,
badan sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang (NUCLEUS
PRECISE, 2010).
Thalasemia adalah kelainan herediter berupa defisiensi salah satu rantai globin pada
hemoglobin sehingga dapat menyebabkan eristrosit imatur (cepat lisis) dan menimbulkan
anemia (Fatimah, 2009). Thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti
laut. Yang dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini
pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali
ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada
tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran
limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan anemia splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama
penemunya. (Weatherall, 1965 cit Ganie 2005).
Thalasemia adalah kelompok dari anemia herediter yang diakibatkan oleh berkurang
nya sintesis salah satu rantai globin yang mengkombinasikan hemoglobin (HbA, 2 2).
Disebut hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam hemoglobin.
Nolmalnya HbA memiliki rantai polipeptida dan , dan yang paling penting thalasemia
dapat ditetapkan sebagai - atau thalassemia (Rudolph et al, 2002).
Thalassemia merupakan golongan penyakit anemia hemolitik yang diturunkan secara
autosom resesif, disebabkan mutasi gen tunggal, akibat adanya gangguan pembentukan
rantai globin alfa atau beta. Individu homozigot atau compound heterozygous, double
heterozygous bermanifestasi sebagai thalassemia beta mayor yang membutuhkan

5
transfusi darah secara rutin dan terapi besi untuk mempertahankan kualitas hidupnya
(Munthe, 1997 cit Bulan 2009).
Thalassemia adalah suatu kelainan genetik darah dimana produksi hemoglobin yang
normal tertekan karena defek sintesis satu atau lebih rantai globin. Thalassemia beta
mayor terjadi karena defisiensi sintesis rantai sehingga kadar Hb A(22) menurun dan
terdapat kelebihan dari rantai , sebagai kompensasi akan dibentuk banyak rantai dan
yang akan bergabung dengan rantai yang berlebihan sehingga pembentukan Hb F
(22) dan Hb A2 (22) meningkat (Weatherall, 2004).

2. Klasifikasi
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia terjadi
gangguan produksi rantai atau . Dua kromosom 11 mempunyai satu gen pada setiap
kromosom (total dua gen ) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen pada
setiap kromosom (total empat gen ). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua
subunit dan dua subunit . Secara normal setiap gen globin memproduksi hanya
separuh dari kuantitas protein yang dihasilkan gen globin , menghasilkan produksi
subunit protein yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan
produksi protein globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin akan
menyebabkan defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin
dapat menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
Thalassemia diklasifikasikan berdasarkan rantai globin mana yang mengalami
defek, yaitu Thalassemia dan Thalassemia . Pelbagai defek secara delesi dan nondelesi
dapat menyebabkan Thalassemia (Rodak, 2007).
a. Thalassemia
Oleh karena terjadi duplikasi gen (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16, maka
akan terdapat total empat gen (/). Delesi gen sering terjadi pada Thalassemia
maka terminologi untuk Thalassemia tergantung terhadap delesi yang terjadi, apakah
pada satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian dilihat lokai kedua
gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis) atau berbeda (trans). Delesi pada
satu gen dilabel + sedangkan pada dua gen dilabel o (Sachdeva, 2006).
1) Delesi satu gen / silent carrier/ (-/)
Kehilangan satu gen memberi sedikit efek pada produksi protein sehingga
secara umum kondisinya kelihatan normal dan perlu pemeriksaan laboratorium

6
khusus untuk mendeteksinya. Individu tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa
menurunkan kepada anaknya (Wiwanitkit, 2007).
2) Delesi dua gen / Thalassemia minor (--/) atau (-/-)
Tipe ini menghasilkan kondisi dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan anemia
ringan. Individu dengan tipe ini biasanya kelihatan dan merasa normal dan mereka
merupakan karier yang bisa menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2007).
3) Delesi 3 gen / Hemoglobin H (--/-)
Pada tipe ini penderita dapat mengalami anemia berat dan sering memerlukan
transfusi darah untuk hidup. Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai
dan menyebabkan akumulasi rantai di dalam eritrosit menghasilkan generasi
Hb yang abnormal yaitu Hemoglobin H (Hb H/ 4) (Wiwanitkit, 2007).
4) Delesi 4 gen / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat, penderita tidak dapat hidup dan biasanya meninggal
di dalam kandungan atau beberapa saat setelah dilahirkan, yang biasanya
diakibatkan oleh hydrop fetalis. Kekurangan empat rantai menyebabkan
kelebihan rantai (diproduksi semasa kehidupan fetal) dan rantai menghasilkan
masing-masing hemoglobin yang abnormal yaitu Hemoglobin Barts (4 / Hb Bart,
afiniti terhadap oksigen sangat tinggi) (Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (4, tidak
stabil) (Sachdeva, 2006).
b. Thalasemia
Thalassemia disebabkan gangguan pada gen yang terdapat pada kromosom 11
(Rodak, 2007). Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia disebabkan point
mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006). Penyakit ini diturunkan
secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis serta di
daerah dengan prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit, 2007).
1. Thalassemia o, Tipe ini disebabkan tidak ada rantai globin yang dihasilkan
(Rodak, 2007). Satu pertiga penderita Thalassemia mengalami tipe ini (Chen,
2006).
2. Thalassemia +, Pada kondisi ini, defisiensi partial pada produksi rantai
globin terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis rantai globin yang normal
dihasilkan pada keadaan ini (Rodak, 2007).
Secara klinis, Thalassemia dikategori kepada:
1) Thalassemia minor / Thalassemia trait(heterozygous) / (+) or (o)
2) Salah satu gen adalah normal () sedangkan satu lagi abnormal, sama ada
+ atau o. Individu dengan Thalassemia ini biasanya tidak menunjukkan

7
simptom dan biasanya terdeteksi sewaktu pemeriksaan darah rutin.
Meskipun terdapat ketidakseimbangan, kondisi yang terjadi adalah
ringan karena masih terdapat satu gen yang masih berfungsi secara
normal dan formasi kombinasi yang normal masih bisa terjadi
(Wiwanitkit, 2007). Anemia yang terjadi adalah mikrositik, hipokrom
dan hemolitik (Rodak, 2007). Penurunan ringan pada sistesis rantai
globin menurunkan produksi hemoglobin. Rantai yang berlebihan
diseimbangkan oleh peningkatan produksi rantai di mana keduanya
akan berikatan membentuk HbA2 / 22 (3.5-8%). Individu tersebut
sepenuhnya asimptomatik dan selain dari anemia ringan, tidak
menunjukkan manifestasi klinis yang lainnya (Sachdeva, 2006).
3) Thalassemia mayor / Cooley's Anemia (homozygous) (+o) or (oo)
or (++)
4) Pada kondisi ini, kedua gen rantai mengalami disfungsi (Wiwanitkit,
2007). HbA langsung tidak ada pada oo dan menurun banyak pada
++. Penyakit ini berhubungan dengan gagal tumbuh dan sering
menyebabkan kematian pada remaja (Motulsky, 2010). Anemia berat
terjadi dan pasien memerlukan transfusi darah (Rodak, 2007) dan gejala
tersebut selalunya bermanifestasi pada 6 bulan terakhir dari tahun
pertama kehidupan atas akibat penukaran dari sistesis rantai globin (Hb
F/ 22) kepada (Hb A / 22) (Yazdani, 2011).
5) Thalassemia intermedia (+/+) atau (o/+)
6) Simptom yang timbul biasanya antara Thalassemia minor dan mayor
(Rodak, 2007).
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS PRECISE, 2010)
a. Thalasemia Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan
penyakit yang ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah.
Akibatnya, penderita kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia.
Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun
sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk
memperpanjang hidupnya. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat
lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu,
juga bisa muncul gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies

8
cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk
ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras
untuk mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak
memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor
harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan
yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8
bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari
berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian sering pula si
penderita harus menjalani transfusi darah.
b. Thalasemia Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun
individu hidup normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau
thalasemia minor tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor
juga akan terjadi masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia
mayor. Pada garis keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor
dengan berbagai ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan
sering mengalami pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan
tetap ada di sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di
sepanjang hidupnya.
Secara molekuler talasemia dibedakan atas: (Behrman et al, 2004)
1. Talasemia a (gangguan pembentukan rantai a)
2. Talasemia b (gangguan pembentukan rantai b)
3. Talasemia b-d (gangguan pembentukan rantai b dan d yang letak gen-nya diduga
berdekatan).
4. Talasemia d (gangguan pembentukan rantai d)

3. Etiologi
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara
genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin
beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen
pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta.

9
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1
belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat
thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang
sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat
thalassemia.
Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya
dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat
thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen
thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia.
Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah
maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan
gen globin beta normal dari kedua orang tuanya. Sedangkan menurut (Suriadi,
2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia
dalam sel selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat Thalassaemia,
maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia
atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan
mempunyai darah yang normal. Apabila salah seorang dari orang tua menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka
akan menderita
Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia
adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya
tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka
anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat

10
Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga
menderita Thalassaemia mayor

4. Patofisiologi
a. Hemoglobin
Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri
dari zat besi (atom Fe) sedangkan globin suatu protein yang terdiri dari rantai
polipeptida. Hemoglobin manusia normal pada orang dewasa terdiri dari 2 rantai
alfa () dan 2 rantai beta () yaitu HbA (22 = 97%), sebagian lagi HbA2 (22 =
2,5%) dan sisanya HbF (22) kira-kira 0,5%.
Sintesa globin ini telah dimulai pada awal kehidupan masa embrio di dalam
kandungan sampai dengan 8 minggu kehamilan dan hingga akhir kehamilan. Organ
yang bertanggung jawab pada periode ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang
Karena rantai globin merupakan suatu protein maka sintesisnya dikendalikan oleh
gen tertentu. Ada 2 kelompok gen yang bertanggung jawab dalam proses
pengaturannya, yaitu kluster gen globin- yang terletak pada lengan pendek
autosom 16 (16 p 13.3) dan kluster gen globin- yang terletak pada lengan pendek
autosom 11 (11 p 15.4). Kluster gen globin- secara berurutan mulai dari 5 sampai
3 yaitu gen 5-2-1-2-1-2-1-1-3 (Evans et al., 1990). Sebaliknya
kluster gen globin- terdiri dari gen 5--G-A----3
Hemoglobin normal adalah terdiri dari dari Hb-A dengan dua polipeptida
rantai alpha dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau
kurangnya rantai beta dalam molekul hemoglobin, sehingga ada gangguan
kemampuan eritrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat
dalam rantai alpha, tetapi rantai beta memproduksi secara terus-menerus sehingga
menghasilkan hemoglobin defektif. Ketidakseimbangan polipeptida ini
memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah
merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
b. Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik

11
yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan
beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul
eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi
bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada
bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan
dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab
primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif
disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah
karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial
dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA
pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi
berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak
efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

5. Gejala Klinis
Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan
tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009). Semua
Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis
rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor).
Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia
hemolitik (Tamam, 2009).
Talasemia- dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditentukan, yakni (1) Talasemia- minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik
hipokrom. (2) Talasemia- mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada
transfusi darah. (3) Talasemia- intermedia: gejala di antara Talasemia mayor

12
dan minor. Terakhir merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia- (silent
carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia- terjadi pada Talasemia-, bergantung pada
nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai- yang diproduksi.
Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi Talasemia- (silent
carrier), Talasemia- trait (Talasemia- minor), HbH diseases dan Talasemia-
homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma, 2009).
Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia- mayor, penderita
dapat mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran
limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena
pembesaran kedua organ tersebut, sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit
(ulkus/borok), batu empedu, pucat, lesu, sesak napas karena jantung bekerja
terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal jantung dan pembengkakan tungkai
bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam usahanya membentuk darah yang
cukup, bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang
kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah. Anak-
anak yang menderita talasemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa
pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena
penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka
kelebihanzat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada
akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung (Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya
tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada
kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Anak tidak nafsu
makan, diare, kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat
infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatosplenomegali, ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada
tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system
eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan tulang panjang, tangan dan kaki
dapat menimbulkan fraktur patologis. Kadang-kadang ditemukan epistaksis,
pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu.

13
6. Tanda dan Gejala Lain dari Thalasemia

Thalasemia Mayor:
1. Pucat
2. Lemah
3. Anoreksia
4. Sesak napas
5. Peka rangsang
6. Tebalnya tulang kranial
7. Pembesaran hati dan limpa / hepatosplenomegali
8. Menipisnya tulang kartilago, nyeri tulang
9. Disritmia
10. Epistaksis
11. Sel darah merah mikrositik dan hipokromik
12. Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
13. Kadar besi serum tinggi
14. Ikterik
15. Peningkatan pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar
dan datar.
Thalasemia Minor
1. Pucat
2. Hitung sel darah merah normal
3. Kadar konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah
kadar normal Sel darah merah mikrositik dan hipokromik sedang.

7. Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi
darah yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam
darah sangat tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti
hepar, limpa, kulit, jantung dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi
alat tersebut (hemokromatosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma
ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda hiperspleenisme seperti
leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002).
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis

14
hepatis, diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada
hemosiderosis, karena peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008).

8. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas
formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut
order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan
dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah
91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false
negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit,
2007).
d. Model matematika

15
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV), RDW x MCH x (MCV) /Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia
(Wiwanitkit, 2007). Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC
digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah
defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada
penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat
dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula
MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala
lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin
di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah
Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan
kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai
abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia
Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi
Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan
Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual
Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini
berguna untuk diagnosa Thalassemia karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung

16
konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan
tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang
berlaku (Wiwanitkit, 2007).

9. Pencegahan
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan dan
penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.
Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan
yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek hemoglobin
yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita kelainan hemoglobin,
pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah dia juga membawa defek.
Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan ada resiko suatu defek yang
serius pada anak (khususnya Talasemia- mayor) maka penting untuk
menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
1. Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena karier Talasemia bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau
gabungan heterozigot.
b. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya
bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
Talasemia berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan penapisan
premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program

17
konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono,
& Ugrasena, 2006). Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda
berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan
MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya
meningkat pada Talasemia . Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang
bisa menganalisis gen rantai . Penting untuk membedakan Talasemia o(-/)
dan Talasemia +(-/-), pada kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat
keturunan Talesemia o homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah
memperlihatkan Talesemia heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai
utuh, kemungkinannya adalah Talasemia non delesi atau Talasemia dengan
HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa
DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk
mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
2. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel
darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu,
meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis
DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling),
pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan
kematian atau kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Teknik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama yang
digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan restriction
fragment length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage
atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan
dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang
merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan
untuk mendeteksi berbagai bentuk dan dari Talasemia secara langsung dengan
analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan
oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam

18
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan
diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung
oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region gen
globin melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan seluruh
prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal.
Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation system),
berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus, oligonukleotida (Permono,
& Ugrasena, 2006). Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat
ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA
janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage
analysis (Permono, & Ugrasena, 2006). Menurut Tamam (2009), karena penyakit
ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting
dibanding pengobatan.
Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1)
penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic
counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan
secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan
secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga
penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi
dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program
pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan
tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik
terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif
memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha
program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang
daripada program prospektif.

19
10. Penatalaksaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi
yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian
deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk
mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam
waktu lebih dari 12 jam.
a. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi).
b. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),
karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada
bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang.
Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas,
2002; Herdata, 2008)
1. Medikamentosa, Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan
setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin
lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50
mg/kg berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah. Vitamin C
100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi
besi. Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang
umur sel darah merah
2. Bedah Splenektomi, dengan indikasi: impa yang terlalu besar, sehingga
membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal

20
dan bahaya terjadinya ruptur. hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi
250 ml/kg berat badan dalam satu tahun. Transplantasi sumsum tulang telah
memberi harapan baru bagi penderita thalasemia dengan lebih dari seribu
penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa ditemukannya
akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada
anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik
dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3. Suportif, Tranfusi Darah Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5
g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang
adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk
PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.

21
B. Konsep Dasar Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi dengan Thalasemia

I. Pengkajian
Pengkajian data subyektif dan data obyektif menggunakan konsep refocusing atau
menggunakan data focus yang disesuaikan dengan kebutuhan klien, berlandaskan teori
yang ada untuk menegakkan diagnosis.
A. Data Subyektif
1. Identitas
a. Identitas klien
Nama :
Umur/Tanggal lahir : Pada penderita thalasemia mayor yang gejala
klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak anak
berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada
thalasemia minor biasanya anak akan dibawa ke
RS setelah usia 4 tahun.(Nursalam, 2005)
Jenis Kelamin : Untuk mencocokkan identitas sesuai nama anak,
serta menghindari kekeliruan bila terjadi kesamaan
nama dengan anak yang lain.
Tanggal MRS :
Diagnosa medis :
b. Identitas orang tua
Nama ayah :
Nama ibu :
Usia ayah/ibu :
Pendidikan ayah/ibu : Latar belakang pendidikan ibu mempengaruhi
sikapnya dalam memilih pelayanan kesehatan dan
pola konsumsi yang berhubungan juga dengan
peningkatan berat badan ibu semasa hamil. Ibu
yang berpendidikan rendah sulit menerima inovasi
dan sebagian besar kurang mengetahui pentingnya
perawatan pra kelahiran. (Fajriyah, N. 2008)
Pekerjaan ayah/ibu :
Agama :

22
Suku/bangsa : Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar
laut Tengah (Mediteranial) seperti Turki, Yunani,
dll. Di Indonesia sendiri thalasemia cukup banyak
dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit
darah yang banyak diderita.(Dochterman, Joanne
McCloskey, dkk. 2004)

Alamat :
2. Riwayat Kesehatan Klien
a. Riwayat kesehatan sekarang
1) Keluhan utama
Contoh:Keluhan utama yang dialami anak saat datang memeriksakan diri
pada pengkajian didapatkan anak terlihat lemah, pucat, tak ada nafsu
makan .(Ngastiyah, 1997)
2) Riwayat perjalanan penyakit dan upaya untuk mengisi
( Pada riwayat perjalanan penyakit, disusun cerita yang kronologis, terinci
dan jelas pada dokumentasi SOAP mengenai keadaan kesehatan pasien
sejak sebelum terdapat keluhan sampai klien dibawa berobat)

b. Riwayat Kesehatan yang Lalu


1) Riwayat kehamilan dan kelahiran :
- Riwayat antenatal :
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam
adanya faktor resiko talasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka
ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak
setelah lahir.(Wong, 2001)

- Riwayat intranatal :
- Riwayat postnatal :
2) Riwayat imunisasi :
3) Riwayat alergi :
4) Riwayat penyakit yang pernah di derita :
5) Riwayat operasi/pembedahan :
6) Riwayat tumbuh kembang :
Riwayat Pertumbuhan :

23
Contoh : Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak,
adalahkecil untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan
seksual, seperti tidak ada pertumbuhan ramput pubis dan ketiak,
kecerdasan anak juga mengalami penurunan. Namun pada jenis
thalasemia minor, seringterlihat pertumbuhan dan perkembangan anak
normal. (Moorhead, Sue, dkk. 2007.)

Riwayat Perkembangan
Contoh: Pada thalasemia mayor, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering terlihat
perkembangan anak normal. (Moorhead, Sue, dkk. 2007)

c. Riwayat Kesehatan Keluarga


1) Riwayat penyakit menular
2) Riwayat penyakit menurun
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa Apakah
orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko
terkena talasemia mayor.Biasanya ada turunan dari orang tua yang
mengandung Hb S juga. Dapat hanya ayah sajabilasalah satu orang tua
misalnya ayah yang mengandung HbS, anemia tidak terlalu berat. (Guyton
& Hall. 1997.

d. Pola Fungsional Kesehatan


Kebutuhan Dasar Keterangan
Pola Nutrisi Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah
makan, sehingga BB rendah dan tidak sesuai
usia.(Ngastiyah, 1997)
Pola Eliminasi Pada anak dengan talasemia pola eliminasi juga akan
menurun, berhubungan dengan asupan nutrisi dan elektrolit
yang berkurang. (Margan Speer, Kathleen. 2007)
Pola Istirahat Anak lebih senang tiduran dan kebanyakan anak
menghabiskan waktunya hanya untuk tidur(Margan Speer,
Kathleen. 2007)
Pola Personal Anak akan selalu membutuhkan pertolongan
Hygiene saat mandi, ganti baju dan lainnya, karena

24
berhubungan dengan kondisinya yang lemah.
(Ngastiyah, 1997)
Pola Aktivitas Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak
lebih banyak tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
(Ngastiyah, 1997)

e. Riwayat Psikososiokultural Spiritual


1) Komposisi, fungsi dan hubungan keluarga (Genogram)
Dari data ini dapat diketahui antara lain apa keluarga pasien termasuk
keluarga batih (nuclear family) atau keluarga besar (extended family), yang
masing-masing mempunyai implikasi dalam praktik pengasuhan anak.
Selain itu, terdapatnya perkawinan dengan keluarga dekat (konsanguinasi)
antara ayah dan ibu juga berpengaruh terhadap penyakit bawaan/keturunan
(Matondang, dkk. 2000)
2) Keadaan lingkungan rumah dan sekitar
3) Kultur dan kepercayaan yang mempengaruhi kesehatan

B. Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum
Kesadaran : composmentis / apatis / somnolen / spoor / koma / delirium
Tanda Vital : Tekanan Darah :
Nadi : Nadi 100 140 kali / menit.
(Pantiawati, 2010)

Suhu : normal (36.5 37,5 C), apabila suhu


36 C merupakan gejala awal
hipotermi dan apabila suhu > 37,5 C
merupakan gejala awal hipertermi.
Pernapasan : normalnya 40 x/menit, apabila < 30 x/
menit atau> 60 x/menit bayi sukar
bernafas, 5% - 10% karena bayi
mengalami 4 penyesuaian utama yang
dilakukan belum dapat memeroleh
kemajuan dalam perkembangan.
Panjang Badan : normalnya 48 53 cm

Antropometri : Tinggi badan

25
Berat : sebelum sakit :
saat ini :
LILA : Matondang, dkk (2000) menyatakan pada anak
berumur 1-5 tahun, LILA saja sudah dapat
menunjukkan status gizi, dengan interpretasi
sbb : < 12,5 cm (gizi buruk), 12,5-15,5 cm
(gizi kurang), >13,5 cm (gizi baik).
Lingkar kepala : Lingkar kepala kurang dari 33 cm. (Pantiawati,
2010)
Lingkar dada : Lingkar dada kurang dari 30 cm. (Pantiawati,
2010)
Lingkar perut :
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe mulai dari inspeksi, palpasi,
auskultasi dan perkusi.
Inspeksi
Kulit : Pada Kasus Thalasemia, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah
sering mendapat transfusi darah warna kulit akan menjadi kelabu
seperti besi.Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam
jaringan kulit (hemosiderosis) (Ngastiyah, 1997)
Kepala :
Wajah :
Mata : Pada kasus thalasemia Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan.
(Wong, 2001)
Telinga :
Hidung :
Mulut : Pada kasus thalasemia Mulut dan bibir terlihat Kehitaman.(Wong
2001)
Leher :

Dada : Pada kasus Thalasemia, dada kiri menonjol karena adanya pembesaran
jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.(Wong, 2001)
Abdomen : Pada kasus Thalasemia perut Terlihat pucat (Wong, 2001)
Genetalia eksterna :
Anus :
Ekstremitas :

26
Palpasi:
Kepala :
Wajah :
Mata :
Telinga :
Hidung :
Mulut :
Leher :
Dada :

Abdomen : Pada kasus Thalasemia. ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek
nomegali) (Ngastiyah, 1997)
Genetalia eksterna :
Anus :
Ekstremitas :
Auskultasi :
Perkusi :

3. Pemeriksaan Neurologis/Refleks
Pada neonates, pemeriksaan reflex yang dilakukan antara lain :
Refleks moro :
Refleks tonoc neck :
Refleks rooting :
Refleks sucking :
Refleks graps :
Refleks babinski :
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
Dilakukan pemeriksaan Elektroforesis hemoglobin untuk menegakkan
diagnosis Thalasemia (Nursalam, 2005)
Hasil hapusan darah tepi didapatkan gambaran anisositosis, hiprokomi,
poikilotosis, sel target (fragmentosit dan banyak sel normoblas).
(Ngastiyah, 1997)

Pemeriksaan USG:
Pemeriksaan Diagnostik Lainnya:
Foto Rontgen tulang kepala : gambaran hair on end, korteks menipis,
diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada korteks. Foto tulang
pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga
trabekula tampak jelas.(Margan Speer, Kathleen. 2007)
5. Data Rekam Medis

27
Tindakan dan terapi yang telah didapat sebelum bertemu dengan pengkaji

Tanggal/ Terapi/Tindakan yang telah Pelaksana


Jam berikan

II. INTERPRETASI DATA DASAR


Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan
diagnosis dan masalah yang spesifik.

Diagnosis :
Diagnosis kebidanan adalah diagnosis yang ditegakkan oleh profesi (bidan) dalam lingkup
praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosis kebidanan.
Masalah : Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi
darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi
dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun di dalam berbagai jaringan
tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain-lain. (Margan Speer,
Kathleen. 2007)

Kebutuhan : Pemberian KIE/pendidikan

III.IDENTIFIKASI DIAGNOSIS/MASALAH POTENSIAL


Langkah ini diambil berdasarka diagnosis dan masalah aktual yang telah diidentifikasi.
Pada langkah ini juga dituntut untuk merumuskan tindakan antisipasi agar
diagnosis/masalah potensial tersebut tidak terjadi.

IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN TINDAKAN SEGERA


Langkah ini mencakup rumusan tindakan emergensi/darurat yang harus dilakukan.
Rumusan ini mencakup tindakan segera yang bias dilakukan secara mandiri, kolaborasi,
atau bersifat rujukan.
Contoh : Pada kasus thalasemia kebutuhan tindakan segeranya adalah melakukan
transfusi darah. (Ngastiyah, 1997)

28
V. INTERVENSI
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh sebagai kelanjutan manajemen
terhadap diagnosis dan masalah yang telah diidentifikasi.
Contoh :
1. Lakukan observasi TTV
Rasional:Deteksi dini adanya komplikasi
2. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam melakukan tindakan
Rasional:Antisipasi kerjasama dalam asuhan kebidanan
3. Berikan makanan peroral yang cukup gizi, tetapi tidak boleh diberikan makanan
yang mengandung besi seperti; hati atau sayuran seperti kangkung, bayem atau
makanan lain yang mengandung besi.
Rasional: Pada kasus Thalasemia memberikan makanan peroral dapat
memperbaiki kondisi tubuh dan menghindari kelebihan zat besi. (Ngastiyah, 1997)
4. Melakukan transfusi ulang
Rasional:Dapat mencegah komplikasi lebih lanjut serta memperbaiki anemia
tersebut hanya dengan memberikan transfusi darah dan pemberian transfusi harus
diberikan berulang-ulang. (Ngastiyah, 1997)
5. Melakukan transfusi setiap ada tanda-tanda seperti anak lemas dan nafsu makan
berkurang
Rasional:Kesehatan anak akan tetap terjaga dengan melakukan transfusi darah
(Ngastiyah, 1997)
6. Sebaiknya Semua kebutuhan pasien harus di tolong
Rasional: Pada thalasemia mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
sebagai akibat penyakitnya yang berat dan lama karena anemia di derita sepanjang
umurnya. Anak sangat lemah, tak bergairah, bahkan berbicara saja jarang.
(Nursalam, 2005)
7. Berikan penjelasan mengenai penyakit kepada orang tua klien
Rasional:Pada umumnya orang tua pasien tidak mengerti mengenai penyakit
anaknya. Mereka hanya mengatakan bahwa anaknya pucat, tidak nafsu makan dan
tidak seperti anak lain yang seumur. Mereka tidak mengetahui bahwa penyebab
penyakit tersebut dari orang tua. (Nursalam, 2005)
VI. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan dilakukan dengan efisien dan aman sesuai dengan rencana asuhan yang telah
disusun. Pelaksanaan ini bias dilakukan seluruhnya oleh bidan atau sebagian dikerjakan
oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya.

29
VII. EVALUASI
Evaluasi merupakan penilaian tentang keberhasilan dan keefektifan asuhan kebidanan
yang telah dilakukan. Evaluasi didokumentasikan dalam bentuk SOAP.

30

Anda mungkin juga menyukai