Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan. Pertama kali ditemukan
secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan
untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa
Yunani Thalasa berarti laut. (Buku Ajar Hematologi-Onkologi anak 2016)
Thalasemia, merupakan penyakit hemolitik herediter yangdisebabkan oleh efek genetic pada
pembentukan rantai globin. (Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia)
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan
salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga
hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang
normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari
dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Etiologi
Thalassemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada kromosom manusia. Gen
globin adalah bagian dari sekelompok gen yang terletak pada kromosom 11. Bentuk dari pada
gen beta-globin ini diatur oleh locus control region (LCR). Berbagai mutasi pada gen atau pada
unsur-unsur dasar gen menyebabkan cacat pada inisiasi atau pengakhiran transkripsi,
pembelahan RNA yang abnormal, substitusi, dan frameshifts. Hasilnya adalah penurunan atau
pemberhentian daripada penghasilan rantai beta-globin, sehingga menimbulkan sindrom
thalassemia beta.
Mutasi Beta-zero (ß0) ditandai dengan tidak adanya produksi beta globin, yang biasanya
akibat mutasi nonsense frameshift, atau splicing. Sedangkan mutasi beta-plus(ß+) ditandai
dengan adanya produksi beberapa beta-globin tetapi dengan sedikit cacat splicing. Mutasi
yang spesifik memiliki beberapa hubungan dengan faktor etnis atau kelompok berbeda yang
lazim di berbagai belahan dunia. Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi penyakit ini
mengikuti pola resesif autosomal, dengan individu heterozigot memiliki kelainan gen tersebut,
sedangkan pada individu heterozigot atau individu compound homozigot, kelainan itu
memanifestasi sebagai penyakit beta-thalassemia mayor atau intermedia.
Epidemiologi
Thlasemia α ditemukan terutama di asia tenggara dan kepulauan mediterania, thalasemia α+
tersebar di afrika, mediterania, timur tengan, india, asia tenggara. Angka kariernya mencapai 40-
80%.
Thalasemia β memiliki distribusi sama dengan thalasemia α. Dengan kecualian beberapa Negara,
frekuansinya lemah di afrika, tinggi di mediterania dan bervariasi di timur tengah, india dan asia
tenggara. HbE yang merupakan varian thalasemia sangat banyak dijumpai di india, birma, dan
beberapa Negara asia tenggara. Adanya interaksi HbE dan thalasemia β menyebabkan thalasemia
HbE sangat tinggi diwilayah ini. Tingginya frekuensi thalasemia juga mempengaruhi kekebalan
HbE ini. Terhadap malaria plasmodium valsifarum yang berat. Hal ini membuktikan penyakit ini
disebabkan oleh mutasi baru dan penyebarannya dipengaruhi oleh seleksi local oleh malaria.
Kenyataan bahwa mutasi tersebut berbeda disetiap populasi, menunjukkan seleksi ini baru terjadi
dalam beberapa ribu tahun. (Buku Ajar Hematologi-Onkologi anak 2016)
Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia adalah grup kelaian sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan
produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai
globin. Ada tiga tingkat klasifikasi thalasemia. Secara klinik dibagi menjadi 3 grup.
1. Thalasemia mayor sangat tergantung dengan tranfusi.
2. Thalasemia minor/karier tanpa gejala.
3. Thalasemia intermedia.
Klasifikasi ini memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan.
Bila thalasemia timbul pada populasi dimana variasi hemoglobin structural ada. Sering kali
diturunkan gen thalasemia dari satu orangtua dan gen varian hemoglobin dari orangtua lainnya.
Lebih jauh lagi, mungkin pula didaptkan thalasemia –α dan β bersamaan. Interaksi dari beberapa
gen ini menghasilkan gambaran klinis yang bervariasi mulai dari kematian dalam rahin samapai
sangat ringan.
Thalasemia diturunkan berdarsarkan hukum mendel, resesif atau ko-dominan. Heterozigot
biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot gejalanya lebih berat dari thalasemia
α atau β.
1. Thalasemia Alfa
Patologi molecular dan genetika pada genetika thalasemia alfa lebih komplek dari thalasemia
beta karena adanya dua gen α globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip normal alfa
globulin digambarkan αα/αα. Thalasemia αo, disebabkan beberapa delesi pada dua gen tersebut.
Homozigot dan heterozigot digambarkan beberapa delesi pada dua gen tersebut. Homozigot dan
heterozigot digambarkan -/- αα. Jarang sekali talasemia αo disebabkan oleh delesi bagian yang
mirip LCR α globin, 40 kb diatas kumpulan gen α globin. Atau pemutusan lengan pendek
kromosom 16. (buku ajar Hematologi-Onkologi Anak)
- Homozigot talasemia αo
Sindrom hidrops Hb Bart’s ini biasa terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya dalam waktu pendek
gambaran klinisnya adalah hidrop fetalis dengan edem permagna dan hepatospenomegali. Kadar
Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb bart 80%, sisanya Hb
Portland. Kelainan ini sering disertai hipoksemia gravidarum, perdarahan post partum dan
masalah karena hipertropi plasenta. Pemeriksaan otopsi memperlihatkan peningkatan kelaianan
bawaan. Beberapa bayi, berhasil diselamatkan dengan tranfusi tukar dan tranfusi berulang.
Pertumbuhan dan perkembangan bisa mencapai normal. (buku ajar Hematologi-Onkologi Anak)
2. Thalasemia Beta
Lebih 150 mutasi diketahui tentang thalasemia β, sebagian besar disebabkan perubahan pada satu
basa, dilesi atau insersi 1-2 basa pada bagian yang sangat berpengaruh. Hal ini bisa terjadi pada
intron, exon ataupun diluar gen pengkode. . (buku ajar Hematologi-Onkologi Anak)
Kelebihan rantai α mengendap pada mebran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan
pengrusakan precursor eritrosit yang hebat intrameduler. Kemungkinan melalui proses
pembelahannya atau proses oksidasi pada membran sel precursor. Eritrosit yang mencapai darah
tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membrane
sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit.
Sehingga anemia pada thalasemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan
umur eritrosit.. (buku ajar Hematologi-Onkologi Anak)
Diagnosis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan dan perut
membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis
yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan,
splenomegali dan hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa sampai 2-3 g%,
gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat
dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell
Jolly, poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan
diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb (Dewi.S. 2009 dan
Herdata.H.N. 2009).
Terapi
Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan secara
total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan komplikasinya.
Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai
globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi
mencegah kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi.
Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan
pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah
merah. Transfusi harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap bulannya (Herdata.H.N.2008
dan Tamam.M. 2009).
Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk mengatasi anemia.
Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan kadar Hb diatas 10 gr/dl namun
dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup
juga mengurangi hemopoesis yang berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi
Fe dari traktus digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB
dan dalam bentuk PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).
Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk mempertahankan
hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena berisiko terinfeksi bakteri dan virus
yang berasal dari darah donor seperti infeksi bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C,
hepatitis B dan HIV (Herdata N.H. 2009 dan Kartoyo P.dkk 2003).
Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan penumpukan zat besi pada
jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal. Akumulasi zat besi pada jaringan hati
mulai terjadi setelah dua tahun mendapat transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun
1998, melaporkan didapat gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30,
dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9
tahun (Priyantininsih R.D. 2010).
Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya dan apabila tidak dilakukan penanganan
yang serius dapat berakibat kematian. Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi
khelasi besi, yang sering digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian
obat ini pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.
Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis dan
hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).
Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter darah
terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah jumlah zat besi dalam
tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin, kemampuan transferin
mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh
transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk tidak
terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat menyebabkan
pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro.
Kelebihan zat besi terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi
di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung yang
berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang berkelebihan berakibat
pada gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih R.D.2010).
Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat besi dan
saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum > 1000 µg/L.
Ferritin merupakan suatu protein darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi
yang tersimpan dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi
tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak
spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk mendiagnosa
hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation. TIBC adalah suatu pengukuran
jumlah total besi yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin. Transferrin saturation
adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka
yang mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai untuk
mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat antara 20 dan 50 %.
Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di
atas normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan
biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala
klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis
yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat mengakibatkan
kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis sebagai akibat dari
penimbunan zat besi pada hati (Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).