Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali
ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah,
dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia
satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau
anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya.1
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga
hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang
normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan
terjadilah anemia.2

3.2 Epidemiologi

Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen tunggal
dengan kasus yang terbanyak di dunia. Frekuensi pembawa atau carrier penyakit ini
(mempunyai gen terganggu tapi pemyakitnya tidak nampak) di masyarakat Indonesia cukup
tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita talasemia akan lahir dari suami istri yang keduanya carrier
talasemia, sehingga timbul ide pre-marital screening (pemeriksaan sebelum nikah) untuk
mendeteksi talasemia. Berdasarkan angka ini, diperkirakan lebih 2000 penderita baru
dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Biasanya lebih dari 30% penderita mengandung kadar
HbF yang tinggi dan 45% juga mempunyai HbE. Kadang-kadang ditemukan hemoglobin
patologik. 15

1
3.3 Etiologi
Adapun etiologi dari thalasemia adalah faktor genetik (herediter). Thalasemia
merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Penyebab
kerusakan tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia ) dan kelainan
hemoglobin ini karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh ;

1. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal)


misalnya : Pada HBS,HbF, HbD.
2. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa )rantai globin seperti pada
Thalasemia.2

3.4 Manifestasi Klinis

Pada dasarnya semua talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi,
tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor).
Hampir seluruh kasus talasemia β menunjukkan gejala sejak lahir. Penderita tampak pucat,
lemah, mudah terkena infeksi, sulit makan, dan gagal tumbuh. Sebagian besar penderita
mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik. Namun pada bentuk yang lebih
berat, penderita dapat mengalami anemia berat karena kegagalan pembentukan sel darah.
Dapat juga ditemukan splenomegali dan hepatomegali akibat anemia yang berat dan lama
sehingga perut tampak membuncit. Bila mendapatkan transfusi yang cukup maka
pertumbuhannya dapat normal sampai usia pubertas, dengan risiko kelebihan zat
besi/hemosiderosis.2

Pada thalasemia alfa minor, penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali atau
mengalami anemia ringan. Pada thalasemia beta, hampir semua anak memperlihatkan gejala
klinis sejak lahir, mengalami gangguan pertumbuhan, tidak nafsu makan, infeksi berulang dan
sering kelelahan. Bayi terlihat pucat dan didapatkan splenomegali. Pada penderita thalasemia
beta mayor, gambaran klinis yang dapat terlihat adalah:
a. Anemia berat pada umur 3-6 bulan yang normalnya terjadi pertukaran produksi
rantai gama ke rantai beta.
b. Terjadinya pembesaran limpa dan hati dikarenakan adanya pembentukan eritrosit
diluar sumsum tulang dan adanya penumpukan besi.

2
c. Deformitas tulang karena adanya perbesaran sumsum tulang mengakibatkan fasies
thalasemia serta penipisan pada korteks yang disebut gambaran rambut berdiri “hair on
end” pada hasil rontgen.

Gambaran wajah anak dengan thalasemia beta mayor dan foto rontgen

Diagnosa klinis thalasemia beta mayor biasanya dapat dilihat saat usia 6–24 bulan karena
adanya anemia mikrositik yang berat, ikterus ringan dan hepatosplenomegali. Anak yang
menderita thalasemia akan mengalami anemia ringan sampai berat dan gangguan pertumbuhan.4

3.5 Patofisiologi

Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin
satu atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis
rantai globin (rantai-α atau rantai-β) menyebabkan rantai globin yang tidak seimbang. Bila
pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β, yakni
berupa α2β2, maka pada thalassemia-β0, dimana tidak disintesis sama sekali rantai β, maka
rantai globin yang diproduksi berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada
thalassemia-α0, dimana tidak disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin yang
diproduksi berupa rantai β yang berlebihan (β4). 7

a. Thalasemia alfa

Rantai alfa merupakan protein menetap pada hemoglobin dewasa, oleh karena itu setiap
hemoglobin memiliki dua rantai alfa sebagai bagian dari konfigurasi kimia. Kromosom 16

3
beratanggungjawab untuk rantai alfa dan gen zeta. Ada dua gen dalam kromosom untuk
produksi rantai alfa dan satu gen untuk produksi rantai zeta. Jadi, setiap orang tua memberikan
kontribusi dua gen untuk produksi rantai alfa dan satu gen untuk rantai zeta. Dengan demikian,
setiap individu memiliki empat gen untuk memproduksi rantai alfa dan dua gen untuk rantai
zeta.16 Thalasemia alfa terjadi karena mutasi gen. Normalnya gen globin alfa terdiri dari empat
buah gen, oleh karena itu kondisi klinis penderita thalassemia dikategorikan berdasarkan
jumlah gen yang yang mengalami gangguan. Gangguan pada keempat gen alfa dapat
mengakibatkan kematian in-uterus. Gangguan pada tiga gen alfa dapat mengakibatkan anemia
yang cukup berat (HbH Disease). Pada kehidupan janin ditemukan Hb Barts.

b. Thalassemia-β
Pada dasarnya thalasemia beta timbul karena adanya presipitasi (pembentukan) rantai
alfa yang berlebih. Presipitasi ini membentuk inclusion bodies yang menyebabkan pecahnya
eritrosit intramedular dan berkurangnya masa hidup sel darah merah (Bakta, 2006).
Kromosom 11 berisi gen untukproduksi rantai epilepson, beta, gama, dan delta. Setiap orang
tua memberikan kontribusi satu gen untuk produksi dari masing-masing rantai. Oleh karena
itu, setiap individu memiliki dua gen untuk produksi salah satu rantai.9

3.7 Klasifikasi

Saat ini dikenal sejumlah besar sindrom thalasemia; masing-masing


melibatkan penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk

4
bermacam-macam jenis Hb yang ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang paling
penting dalam praktek klinis adalah sindrom yang mempengaruhi baik atau sintesis
rantai α maupun β.3

- Thalassemia-α
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin-α banyak
ditemukan di Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi
gen globin-α menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin-α
pada individu normal, dan empat bentuk thalassemia-α yang berbeda telah diketahui
sesuai dengan delesi satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini.
Genotip Jumlah gen α Presentasi Hemoglobin Elektroforesis
Klinis Saat Lahir > 6 bulan
αα/αα 4 Normal N N
-α/αα 3 Silent carrier 0-3 % Hb Barts N
--/αα atau –α/-α 2 Trait thal-α 2-10% HbBarts N
--/-α 1 Penyakit Hb H 15-30% Hb Hb H
Bart
--/-- 0 Hydrops >75% Hb Bart -
fetalis

Tabel 1. Thalassemia-α

Ket : N = hasil normal, Hb = hemoglobin, Hb Bart’s = γ4, HbH = β4

5
- Silent Carrier Thalasemia-α
Merupakan tipe thalassemia subklinik yang paling umum, biasanya ditemukan
secara kebetulan diantara populasi, seringnya pada etnik Afro-Amerika. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, terdapat 2 gen α yang terletak pada kromosom 16.

Pada tipe silent carrier, salah satu gen α pada kromosom 16 menghilang,
menyisakan hanya 3 dari 4 gen tersebut. Penderita sehat secara hematologis, hanya
ditemukan adanya jumlah eritrosit yang rendah dalam beberapa pemeriksaan.

Pada tipe ini, diagnosis tidak dapat dipastikan dengan pemeriksaan


elektroforesis Hb, sehingga harus dilakukan tes lain yang lebih canggih. Bisa juga
dicari akan adanya kelainan hematologi pada anggota keluarga (misalnya orangtua)
untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap pada salah satu orangtua
yang menunjukkan adanya hipokromia dan mikrositosis tanpa penyebab yang jelas
merupakan bukti yang cukup kuat menuju diagnosis thalasemia.

- Trait Thalasemia-α
Trait ini dikarakterisasi dengan anemia ringan dan jumlah sel darah merah
yang rendah. Kondisi ini disebabkan oleh hilangnya 2 gen α pada satu kromosom 16
atau satu gen α pada masing-masing kromosom. Kelainan ini sering ditemukan di
Asia Tenggara, India dan Timur Tengah.

Pada bayi baru lahir yang terkena, sejumlah kecil Hb Barts (γ4) dapat
ditemukan pada elektroforesis Hb. Lewat umur satu bulan, Hb Barts tidak terlihat
lagi, dan kadar Hb A2 dan HbF secara khas normal.

6
Gambar 4. Thalassemia alpha menurut hukum Mendel

- Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin α, merepresentasikan
thalassemia-α intermedia, dengan anemia sedang sampai berat, splenomegali, ikterus
dan jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang
diwarnai dengan pewarnaan supravital akan tampak sel-sel darah merah yang
diinklusi oleh rantai tetramer β (Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam
eritrosit, sehingga menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan
sebagai Heinz bodies.

Gambar 5. Pewarnaan supravital pada sapuan apus darah tepi Penyakit Hb H


yang menunjukkan Heinz-Bodies

7
- Thalassemia-α Mayor
Bentuk thalasemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen
globin-α, disertai dengan tidak ada sintesis rantai α sama sekali. Karena Hb F, Hb A,
dan Hb A2 semuanya mengandung rantai α, maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk.
Hb Barts (γ4) mendominasi pada bayi yang menderita dan karena γ4 memiliki afinitas
oksigen yang tinggi, maka bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga
mengandung sejumlah kecil Hb embrional normal (Hb Portland = δ2γ2) yang
berfungsi sebagai pengangkut oksigen.

Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi yang lahir
hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan gagal
jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan manajemen
neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan transfusi.

Thalassemia-β
Sama dengan thalassemia-α, dikenal beberapa bentuk klinis dari thalassemia-
β; antara lain :

- Silent Carrier Thalassemia-β


Penderita tipe ini biasanya asimtomatik, hanya ditemukan nilai eritrosit yang
rendah. Mutasi yang terjadi sangat ringan, dan merepresentasikan suatu
thalassemia- β+. Bentuk silent carrier thalassemia-β tidak menimbulkan kelainan
yang dapat diidentifikasi pada individu heterozigot, tetapi gen untuk keadaan ini,
jika diwariskan bersama-sama dengan gen untuk thalassemia-β°, menghasilkan
sindrom thalassemia intermedia.

Gambar 6. Thalassemia beta menurut Hukum Mendel

8
- Trait Thalassemia-β
Penderita mengalami anemia ringan, nilai eritrosit abnormal, dan
elektroforesis Hb abnormal dimana didapatkan peningkatan jumlah Hb A2, Hb F atau
keduanya. Individu dengan ciri (trait) thalassemia sering didiagnosis salah sebagai
anemia defisiensi besi dan mungkin diberi terapi yang tidak tepat dengan preparat besi
selama waktu yang panjang. Lebih dari 90% individu dengan trait thalassemia-β
mempunyai peningkatan Hb-A2 yang berarti (3,4%-7%).

Kira-kira 50% individu ini juga mempunyai sedikit kenaikan HbF, sekitar 2-
6%. Pada sekelompok kecil kasus, yang benar-benar khas, dijumpai Hb A2 normal
dengan kadar HbF berkisar dari 5% sampai 15%, yang mewakili thalassemia tipe δβ.

- Thalassemia-β Yang Terkait Dengan Variasi Struktural Rantai β


Presentasi klinisnya bervariasi dari seringan thalassemia media hingga seberat
thalassemia-β mayor.

Ekspresi gen homozigot thalassemia (β+) menghasilkan sindrom mirip anemia


Cooley yang tidak terlalu berat (thalassemia intermedia). Deformitas skelet dan
hepatosplenomegali timbul pada penderita ini, tetapi kadar Hb mereka biasanya
bertahan pada 6-8 gr/dL tanpa transfusi.

Kebanyakan bentuk thalassemia-β heterozigot terkait dengan anemia ringan.


Kadar Hb khas sekitar 2-3 gr/dL lebih rendah dari nilai normal menurut umur.
Eritrosit adalah mikrositik hipokromik dengan poikilositosis, ovalositosis, dan
seringkali bintik-bintik basofil. Sel target mungkin juga ditemukan tapi biasanya tidak
mencolok dan tidak spesifik untuk thalassemia. MCV rendah, kira-kira 65 fL, dan
MCH juga rendah (<26 pg). Penurunan ringan pada ketahanan hidup eritrosit juga
dapat diperlihatkan, tetapi tanda hemolisis biasanya tidak ada. Kadar besi serum
normal atau meningkat.

- Thalassemia-β° Homozigot (Anemia Cooley, Thalassemia Mayor)


Bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan
kedua kehidupan. Transfusi darah yang reguler diperlukan pada penderita ini untuk
mencegah kelemahan yang amat sangat dan gagal jantung yang disebabkan oleh
anemia. Tanpa transfusi, 80% penderita meninggal pada 5 tahun pertama kehidupan.

9
Pada kasus yang tidak diterapi atau pada penderita yang jarang menerima
transfusi pada waktu anemia berat, terjadi hipertrofi jaringan eritropoetik disumsum
tulang maupun di luar sumsum tulang. Tulang-tulang menjadi tipis dan fraktur
patologis mungkin terjadi. Ekspansi masif sumsum tulang di wajah dan tengkorak
menghasilkan bentuk wajah yang khas.

Gambar 7. Deformitas tulang pada thalassemia beta mayor (Facies Cooley)

Pucat, hemosiderosis, dan ikterus sama-sama memberi kesan coklat


kekuningan. Limpa dan hati membesar karena hematopoesis ekstrameduler dan
hemosiderosis. Pada penderita yang lebih tua, limpa mungkin sedemikian besarnya
sehingga menimbulkan ketidaknyamanan mekanis dan hipersplenisme sekunder.

Gambar 8. Splenomegali pada thalasemia

10
Pertumbuhan terganggu pada anak yang lebih tua; pubertas terlambat atau
tidak terjadi karena kelainan endokrin sekunder. Diabetes mellitus yang disebabkan
oleh siderosis pankreas mungkin terjadi. Komplikasi jantung, termasuk aritmia dan
gagal jantung kongestif kronis yang disebabkan oleh siderosis miokardium sering
merupakan kejadian terminal.

Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° homozigot yang


tidak ditransfusi adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat,
banyak ditemukan poikilosit yang terfragmentasi aneh (sel bizarre) dan sel target.
Sejumlah besar eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi.
Inklusi intraeritrositik yang merupakan presipitasi kelebihan rantai α, juga terlihat
pasca splenektomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi < 5 gr/dL kecuali mendapat
transfusi. Kadar serum besi tinggi dengan saturasi kapasitas pengikat besi (iron
binding capacity). Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar HbF yang
sangat tinggi dalam eritrosit.14

11
3.8 Diagnosis Thalasemia
A. Anamnesis

Penderita pertama datang dengan keluhan lemas anemia/pucat, tidak nafsu makan dan
perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies Cooley), ikterus,
gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.15

B. Pemeriksaan Fisik
 Tanda vital : Tekanan darah menurun, nadi brakikardia, suhu tubuh normal,
pernapasan meningkat
 Kulit : pucat dan ikterus ringan

 Jantung : Ejection systolic murmur gr 2


 Liver : teraba 4 cm di bawah arcus costae dextra, konsistensi kenyal
permukaan licin
 Spleen : teraba 5 cm di bawah arcus costae sinistra (Schuffner III)
 Limfadenopati negative

 Gangguan pertumbuhan tulang +/-

C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia ialah :


12
1. Darah

Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita thalasemia adalah :

 Darah rutin

Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit, ditemukan pula
peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan terjadi penurunan dari jumlah
trombosit.

 Hitung retikulosit

Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.

 Gambaran darah tepi

Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom. Pada gambaran
sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear drops sel dan target sel.

 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity

Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan anemia terjadi


karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan menurun, sedangkan TIBC
akan meningkat.

 LFT

13
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. Bila angka tersebut
sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis, obstruksi batu
empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat dan menandakan
adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan berakibat juga terjadi kelainan
dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb

Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis hemoglobin.


Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia saja, namun juga pada
orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini untuk melihat jenis
hemoglobin dan kadar Hb A 2. petunjuk adanya thalassemia α  adalah ditemukannya Hb
Barts dan Hb H. Pada thalassemia β  kadar Hb F bervariasi antara 10-90%, sedangkan
dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat aktif sekali. Ratio
rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan normal biasanya nilai
perbandingannya 10 : 3.

4. Pemeriksaan rontgen

14
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak mendapat
tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi berkurang, dan dapat
diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala. Apabila tranfusi tidak optimal
terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi
gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan gambaran yang khas,
disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada
anak besar, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum tulang
sehingga trabekula tampak jelas.9

Hair on end  Trabe kjeullas


tulang
 

3.9 Penatalaksanaan

1) Transfusi darah
Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan hematopoiesis
ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Transfusi dilakukan apabila dari
pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL
setelah 2x pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau
didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang akibat
thalassemia.
Cara pemberian transfusi darah
15
 Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb pratransfusi >6
gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15 mL/kg/kali dengan kecepatan 5
mL/kg/jam.
 Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15 g/dL22, sedangkan kadar Hb
pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang dari 9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara
9-10 g/dL dapat mencegah terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi darah
berlebih, dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.
 Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis gagal jantung
maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi 2-5 ml/kg/kali dan kecepatan
transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg per jam untuk menghindari kelebihan cairan/overload.
 Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO, Rh) untuk
meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan menggunakan darah leucodepleted yang
telah menjalani uji skrining nucleic acid testing (NAT) untuk menghindari/meminimalkan
tertularnya penyakit infeksi lewat transfusi.
 Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan dalam waktu 30 menit
sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak darah dikeluarkan dari bank darah hingga
selesai ditransfusikan ke tubuh pasien maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan
lebih cepat (durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.

 Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik furosemid


dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada pasien dengan masalah gangguan
fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar
Hb pratransfusi dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan dalam jumlah kecil
tiap satu hingga dua minggu.
 Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia berat interval
transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam.
 Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu pula dengan volume
darah yang sudah ditransfusikan. Data ini dievaluasi berkala untuk menentukan kebutuhan
transfusi pasien. Pasien tanpa hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200 mL
PRC/kg per tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai dengan panduan klinis dan laboratoris
masing- masing senter. Pada saat transfusi diperhatikan reaksi transfusi yang timbul dan
kemungkinan terjadi reaksi hemolitik. Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak
terbukti mengurangi kemungkinan reaksi transfusi.
16
2) Terapi Kelasi Besi

Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai sistem organ.
Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi kelebihan besi dan menurunkan
angka kematian pada pasien thalassemia.

Indikasi kelasi besi


Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak
terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah timbunan
besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari beberapa parameter seperti jumlah
darah yang telah ditransfusikan, kadar feritin serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/
liver iron concentration – LIC (biopsi, MRI, atau feritometer). LIC minimal 3000 ug/g berat
kering hati merupakan batasan untuk memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang
invasif sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi besi dimulai bila
kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL, atau saturasi transferin >70%, atau
apabila transfusi sudah diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.

Jenis dan Cara Pemberian Kelasi besi


Terapi kelasi besi memerlukan komitmen yang tinggi dan kepatuhan dari pasien dan keluarga.
Jenis kelasi besi yang terbaik adalah yang dapat digunakan pasien secara kontinu, dengan
mempertimbangkan efektifitas, efek samping, ketersediaan obat, harga, dan kualitas hidup
pasien. Tiga jenis kelasi besi yang saat ini digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan
deferasiroks.

 Desferoksamin

Desferoksamin merupakan terapi lini pertama pada anak. Desferoksamin adalah kelator besi
yang telah banyak diteliti dan terbukti menunjukkan efek yang dramatis dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas pasien thalassemia. Desferoksamin diberikan dengan dosis 30–60
mg/kg per kali, dengan kecepatan maksimal 15 mg/kg/jam dan total dosis per hari tidak
melebihi 4-6 gram.

Jarum dipasang di paha atau perut hingga mencapai dermis dan dihubungkan dengan syringe
pump. Jika pump tidak tersedia maka DFO dapat diberikan secara drip intravena, dalam NaCl
0,9% 500 mL. Asam askorbat (vitamin C) dapat meningkatkan ekskresi besi jika diberikan

17
bersamaan dengan desferoksamin, sehingga vitamin C dikonsumsi per oral dengan dosis 2-4
mg/kg/hari (100-250 mg) segera setelah infus desferoksamin dimulai.

Desferoksamin tidak disarankan pada pasien anak di bawah usia 2 tahun karena risiko
toksisitas yang lebih tinggi pada usia lebih muda dan pada pasien dengan timbunan besi
minimal. Desferoksamin dengan dosis lebih tinggi yaitu 60-100 mg/kg berat badan per hari,
24 jam per hari, 7 hari per minggu, secara intravena, diindikasikan pada pasien dengan
hemosiderosis berat dan disfungsi organ vital misalnya kardiomiopati atau gagal jantung.

 Deferipron (Ferriprox, DFP, L1)

Deferipron merupakan kelator oral yang telah banyak digunakan di dunia. Deferipron mampu
menurunkan timbunan besi dalam tubuh, bahkan lebih efektif menurunkan besi di jantung
dibandingkan desferoksamin. Dosis yang diberikan adalah 75-100 mg/kg per hari, dibagi
dalam 3 dosis, diberikan per oral sesudah makan.

 Deferasiroks (Exjade/DFX)

Deferasirox adalah kelator oral berupa tablet dispersible. Bioavailabilitas oralnya baik dan
waktu paruhnya panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali per hari. Dosis dimulai dari
20 hingga 40 mg/kg/hari. Tablet dicampurkan ke dalam air, jus apel, atau jus jeruk, dan
sebaiknya dikonsumsi dalam keadaan perut kosong 30 menit sebelum atau setelah makan.

3) Nutrisi Dan Suplementasi


Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat proses hemolitik,
peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang menyertainya seperti kelebihan besi,
diabetes, dan penggunaan kelasi besi. Idealnya pasien thalassemia menjalani analisis diet
untuk mengevaluasi asupan kalsium, vitamin D, folat, trace mineral (kuprum/ tembaga, zink,
dan selenium), dan antioksidan (vitamin C dan E). Pemeriksaan laboratorium berkala

18
mencakup glukosa darah puasa, albumin, 25-hidroksi vitamin D, kadar zink plasma, tembaga,
selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat, dan folat.

 Suplementasi vitamin D yang direkomendasikan adalah 50.000 IU sekali seminggu pada


pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di bawah 20 ng/dL, diberikan hingga mencapai
kadar normal. Suplemen kalsium diberikan pada pasien dengan asupan kalsium yang rendah.
 Vitamin E dapat melindungi membran eritrosit sehingga tidak mudah lisis dan secara
bermakna meningkatkan kadar Hb. Suplementasi vitamin E 10 mg/kg atau 2x200 IU/hari
selama 4 minggu dipercaya dapat meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma, dan dapat
menjaga enzim antioksidan pada eritrosit sehingga kadarnya mendekati nilai normal.

 Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di intraselular dan secara
efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C dengan dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari
diberikan bersama desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi.
 Pemberian asam folat direkomendasikan pula, karena defisiensi zat ini umum terjadi.
Pemberiannya terutama pada pasien yang merencanakan kehamilan. Asam folat diberikan
dengan dosis 1-5 mg/kg/hari atau 2x1 mg/hari.11

19
DAFTAR PUSTAKA

1. A.V. Hoffbrand and J.E. Pettit; alih bahasa oleh Iyan Darmawan : Kapita Selekta
Haematologi, edisi ke 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1996, hal 66-85
2. Atmakusuma, Djumhana. 2009. Thalassemia : Manifetasi Klinis, Pendekatan Diagnosis,
dan Thalssemia Intermedia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta :
InternaPublishing.
3. Berhman, RE; Kliegman, RM ; Arvin: Nelson Ilmu Kesehatan Anak, volume 2, edisi 15.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 2005, hal1708-1712
4. Cappellini., Cohen A., Porter J., Taher A., dan Vip Viprakasit. 2014. Guidelines For The
Management Of Transfusion Dependent Thalassemia (TDT). Cyprus: Thalassemia
International Federation.
5. Children's Hospital & Research Center Oakland. 2005. “What is Thalassemia and Treating
Thalassemia”.
6. Fatmasyithah, V., Rahayu, M. S. 2014. Gambaran Penderita Thalasemia Di Ruang Rawat
Anak Rumah Sakit Umum Cut Meutiaaceh Utara Tahun 2012. JESBIO. 3(5) : 1-6
7. Haemoglobinopathies. The Pathophysiology of Beta-thalassemia Major, C.B. Modell, from
theDepartment of Paediatrics, University College Hospital, London, J. clin. Path., 27, Suppl.
(Roy. Coll.Path.), 8, 12-18
8. Hassan R dan Alatas H. (2002). Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. bagian 19
9. Hematologi hal. 419-450 ,Bagian ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta
10. Kiswari, Rukman. 2014. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Penerbit Erlangga
11. MENKES. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Pedoman
nasional kedokteran tata laksana thalasemia.

12. Paediatrica Indonesiana, The Indonesian Journal of pediatrics and Perinatal Medicine,
volume 46, No.5-6. Indonesian Pediatric Society, Jakarta: 2006, page 134-138
13. Permono, H. BAmbang; Sutaryo; Windiastuti, Endang; Abdulsalam, Maria; IDG Ugrasena:
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak, Cetakan ketiga. Penerbit Badan Penerbit IDAI,
Jakarta : 2010, hlm 64-84
14. Petunjuk Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Talasemia.Jakarta:Subbagian
Hematologi,Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM,1997
15. Regar, J. 2009. Aspek Genetik Thalasemia. Jurnal Biomedik. 1(3) : 151-158

20
21

Anda mungkin juga menyukai