Anda di halaman 1dari 23

PENUGASAN TINJAUAN PUSTAKA

Blok 11: Hematopoietik dan Limforetikuler


“ Talasemia “

Pembimbing: dr. Catarina Budyono, SpPD

Oleh:

Ajeng Retno Wulandari (H1A017004)

Kelompok 1

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2018
A. Definisi Talasemia
Talasemia (Mediterranean anemia) adalah kelainan darah bawaan yang
ditandai dengan jumlah hemoglobin dan sel darah merah dalam tubuh yang
berkurang dari normalnya. Penyakit bawaan pada anak ini biasanya
disebabkan karena kelainan genetik [5]. Talasemia juga termasuk dalam
kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau di dekat gen globin. Mutasi
tersebut yang nantinya menimbulkan dua perubahan pada rantai hemoglobin
yaitu perubahan struktur rangkaian asam amino (hemoglobinopati struktural)
dan perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai globin
tertentu (Talasemia)[1].

B. Klasifikasi Talasemia

Secara molekular, Talasemia dibedakan atas :

1. Talasemia α ( gangguan pembentukan rantai α )

2. Talasemia β (gangguan pembentukan rantai β )

3. Talasemia β - δ (gangguan pembentukan rantai β- δ yang letak gennya


berdekatan)

4. Talasemia δ ( gangguan pembentukan rantai δ )

Talasemia α
Ditandai dengan penurunan sintesis rantai α globin karena delesi salah satu
sampai keempat gen α globin yang seharusnya ada. Talasemia dapat dibagi
menjadi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Talasemia α tipe delesi

Yaitu kehilangan gen α karena persilangan yang tidak seimbang ( unequal


cross over ) sehingga menghilangkan satu bahkan dua gen α. Gejala klinis
yang timbul tergantung jumlah gen α yang utuh, mulai dari yang paling
ringan (hampir normal) sampai yang paling berat dimana bayi lahir mati
atau sesaat sesudah lahir.
b. Talasemia α tipe nondelesi

Bentuk ini tidak dijumpai delesi gen α, namun terjadi mutasi gen yang
menyebabkan gangguan pada rantai globin α.

Talasemia α juga diklasifikasikan berdasar jumlah gen α globin yang hilang,


yaitu sebagai berikut :

a. Silent Carrier

Disebabkan oleh delesi satu gen α globin. Dalam hal ini, tubuh tetap
melakukan sintesis rantai α globin walaupun terdapat satu gen yang
mengalamai delesi sehingga penderita tidak akan merasakan tanda dan
gejala apapun, bahkan bisa menjalankan hidup secara normal dan sehat.

b. Talasemia α minor / Talasemia α trait

disebabkan oleh delesi dua gen α globin sehingga sel darah merah menjadi
lebih kecil dari biasanya, baik di kromosom yang sama atau satu dari
masing-masing kromosom.

c. Kelainan Hemoglobin H / HbH disease

Disebabkan oleh delesi tiga dari empat kromosom gen α globin, sehingga
sintesis rantai α tertekan dan membentuk tetramer yang tidak stabil dari
kelebihan β-globin ( HbH )

d. Talasemia α major / Talasemia α homozigot / hydrops fetalis

disebabkan oleh delesi keempat gen α globin. Dalam hal ini, tubuh
kehilangan hemoglobin yang signifikan sehingga menyebabkan terjadinya
anemia yang parah.

Talasemia β

Berbeda dengan Talasemia α, Talasemia β lebih banyak disebabkan oleh mutasi,


walaupun ada juga yang disebabkan oleh persilangan tak seimbang. Selain itu
juga, gen β hanya mengandung satu gen yang disebut βT . Tetapi untuk
kepentingan klinis umumnya dibedakan antara β 0 -Talasemia yaitu tidak adanya
pembentukan rantai globin dan β+ -Talasemia yaitu adanya pengurangan produksi
rantai globin. Berdasarkan pada tingkat keparahan anemia dan defek genetic serta
jumlah gen baik homozigot maupun heterozigot, Talasemia β diklasifikasikan
berdasarkan :

a. Talasemia mayor

Keadaan ini menimbulkan satu dari dua sindrom ; (1) ditandai dengan
anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan keduabelas dari
kehidupan ( Talasemia β mayor) dan (2) ditandai dengan anemia moderat
yang timbul setelah usia 1-2 tahun (Talasemia β intermedia).

Umumnya disebabkan karena kekurangan Hb A (α2β2). Selain itu,


ketidakmampuan untuk memproduksi rantai β menyebabkan rantai α
berlebihan dan mengendap dalam sel sehingga menimbulkan gangguan
terhadap berbagai fungsi sel serta terjadi fagositosis dan degradasi
sebagian eritroblast yang mengalami endapan tersebut oleh makrofag
sumsum tulang. Perjalanan penyakit biasanya singkat sehingga perlu
dilakukan transfus untuk memperbaiki anemia dan menekan gejala
sekunder(deformitas tulang) namun penderita yang sering ditransfusi akan
mengalami gagal jantung dan hemokromatosis akibat kelebihan besi yang
progresif.

b. Talasemia minor

Pemeriksaan apusan darah tepi biasanya menunjukkan anemia ringan


dengan derajat bervariasi. Umumnya hemoglobin yang ditemukan adalah
Hb A dan yang khas adalah proporsi Hb A2 meningkat sekitar 4-7 % dari
total hemoglobin.

c. Talasemia intermedia
Gambaran klinis dan derajat keparahan berada diantara bentuk mayor dan
minor. Umumnya penderita cukup sehat dan hanya membutuhkan transfusi
darah saat terjadinya infeksi. [4,5]

C. Epidemiologi Talasemia
Talasemia merupakan penyakit genetik yangi memiliki jenis dan
frekuensi terbanyak di dunia. Talasemia dikenal dengan istilah anemia
mediterania, namun istilah tersebut kurang tepat karena penyakit ini
dapat ditemukan dimana saja di belahan dunia khususnya di beberapa
wilayah yang dikenal sebagai sabuk Talasemia.
Indonesia termasuk dalam wilayah sabuk Talasemia, yaitu Negara
dengan frekuensi gen (angka pembawa sifat) Talasemia yang tinggi.
1. Data yang didapat dari seluruh rumah sakit pendidikan menunjukkan
bahwa pasien Talasemia mayor terdaftar sekitar 7670 di seluruh
Indonesia.[2] Distribusi Talasemia mayor di Indonesia dapat dilihat
pada gambar berikut yang dimuat dalam PERMENKES (2018).

Berdasarkan data Pusat Talasemia, Departemen Ilmu Kesehatan


Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan bulan mei 2014 terdapat 1.723
pasien dengan rentang usia terbanyak yaitu antara 11-14 tahun. Selain
itu, jumlah pasien baru terus meningkat hingga 75-100 orang/tahun,
sedangkan usia tertua pasien hingga saat ini adalah 43 tahun,
diantaranya sudah berkeluarga dan memiliki keturunan, bahkan sudah
lulus menjadi sarjana.[2]
D. Etiologi Talasemia
Talasemia alpha secara umum disebabkan oleh delesi pada gen alpha
globin. Termasuk dalam kategori kelainan genetik yang diekspresikan
ketika kedua gen berpasangan terpengaruh dan disebut juga sebagai
pewarisan autosomal recessive. Dalam hal ini gen yang bertanggung
jawab untuk sintesis hemoglobin rusak, mengalami mutasi atau
menghilang sama sekali [5]

E. Patofisiologi Talasemia

Pada Talasemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi
baik satu rantai globin atau lebih sehingga sintesis rantai globin menjadi
tidak seimbang. Hal tersebut disebabkan karena penurunan kecepatan
sintesis salah satu jenis rantai globin.

Dalam keadaan normal, sintesis rantai globin seimbang antara rantai α dan
β yaitu α2β2.

Pada Talasemia β0, rantai β tidak disintesis sama sekali dan terjadi
produksi berlebih rantai α (α4). Sedangkan Talasemia α 0, rantai α tidak
disintesis sama sekali dan terjadi produksi berlebih rantai β (β4).

Talasemia β

Rantai α yang berlebihan merupakan ciri khas pada pathogenesis


Talasemia ini. Meskipun rantai globin α2γ2 (HbF) masih tetap di produksi
pasca kelahiran, hal tersebut tidak cukup untuk mengkompensasi
defisiensi α2β2 (HbA). Ini menunjukkan bahwa produksi rantai globin β
dan γ tidak cukup untuk mengikat rantai α yang berlebih.
Rantai α yang berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai
globin lainnya, akan berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam
sumsum tulang dan dalam sel progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini
akan menimbulkan gangguan pematangan prekursor eritroid dan
eritropoiesis yang tidak efektif sehingga umur eritrosit menjadi pendek.
Akibatnya timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut akan menjadi pendorong
proliferasi eritroid yang terus menerus dalam sumsum tulang yang
inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudia akan
menyebabkan defprmitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan
dan metabolism.

Anemia dapat timbul lagi dengan adanya hemodilusi akibat


hubungan langsung darah karena ekspansi sumsum tulang dan adanya
splenomegaly.

Pada limpa yang membesar makin banyak sel darah merah yang terjebak
maka makin banyak sel untuk kemudian difagosit.

Pada sumsum tulang hiperplasia akan meningkatkan absorpsi dan muatan


besi. Transfusi yang teratur terus menerus juga menambah muatan besi.
sehingga terjadi penimbunan besi di jaringan pada berbagai organ yang
diikuti kerusakan organ tersebut bila besi tidak dikeluarkan.

Talasemia α

Umumnya sama dengan Talasemia β, namun terdapat beberapa


perbedaan utama yaitu Talasemia ini terjadi akibat delesi atau mutasi rantai
globin α. Hilangnya rantai globin α tunggal tidak berdampak pada fenotip.
Sedangkan kehilangan 3 dan 4 gen globin α memberi fenotip yaitu tingkat
penyakit berat menengah (moderat) yang disebut HbH disease. Sedangkan
Talasemia α0 homozigot tidak dapat bertahan hidup dan disebut Hb-Bart’s
hydrops syndrome.

Perbedaan lainnya yaitu Talasemia α bermanifestasi pada masa


fetus karena rantai α dimiliki oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa tidak
seperti pada Talasemia β. Selain itu, sifat yang ditimbulkan karena
produksi berlebih dari tiap gen juga berbeda. Pada Talasemia α terjadi
dengan defek pada rantai globin α sehingga rantai globin β dan γ
diproduksi secara berlebih menimbulkan tetramer yang larut yakni γ4 , Hb
Bart’s dan β4. Garis besar patofisiologi Talasemia α diperlihatkan pada
gambar 2 [1]

F. Manifestasi Klinis Talasemia

Talasemia β

1. Silent carier / pembawa sifat tersembunyi

Kelainan genotype : dengan variasi mutasi β yang heterogen, hanya


sedikit terjadi gangguan produksi rantai β, sehingga rasio hamper
normal antara rantai β dan α tanpa menyebabkan kelainan hematologis.

Gambaran fenotipe : tampilan klinis normal dengan kadar


hemoglobin normal, kadar HbA2 normal dan kemungkina ada
mikrositosis ringan.

2. Talasemia β minor / trait


Gambaran klinis : kadang ditemukan hepatomegali dan
splenomegaly.

Gambaran Laboratoris : ditemukan anemia hemolitik ringan yang


tidak bergejala, kadar hemoglobin antara 10-13 g%, jumlah eritrosit
normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan gambar mikrositik
hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptosit. Sum-sum tulang
menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang, eritropoiesis
sedikit tidak efektif. Kadar HbA2 kadang tinggi antara (3,5-8%).
Kadar HbF antara 1-5%.

3. Talasemia β mayor

Gambaran klinis : biasa ditemukan pada anak usia 6 bulan sampai 2


tahun dengan klinis anemia berat. Bila tidak diobati dengan
hipertransfusi yang bertujuan untuk mencapai kadar Hb tinggi maka
akan terjadi peningkatan hepatosplenomegali, icterus, perubahan
tulang yang nyata karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi
akibat hiperplasia eritroid yang ekstrim.

Gambaran Radiologis : menunjukkan gambaran khas “hair on end”.


Tulang panjang menjadi tipis akibat ekspansi sumsum tulang sehingga
dapat mengakibatkan fraktur patologis. Wajah menjadi khas berupa
menonjolnya dahi, tulang pipi, dan dagu atas. Pertumbuhan fisik dan
perkembangan menjadi terhambat.

Gambaran laboratoris : kadar Hb rendah sekitar 3 atau 4 g%.


Eritrosit hipokrom, sangat poikilositosis termasuk sel target, sel
teardrop, dan eliptosit. Terbentuk fragmen eritrosit dan mikroeritrosit
akibat sintesis rantai globin yang tidak seimbang. Darah tepi
ditemukan eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV
antara 50-60 fL. Sel darah merah khas yaitu ukuran besar dan sangat
tipis, biasanya wrinkled dan dan mengandung hemoglobin clump.
Hitung retikulosit antara 1%-8% dimana nilai ini tidakberkaitan
dengan hiperplasia eritroid dan hemolysis yang terjadi. Rantai globin α
yang berlebih merusak membrane sel dan menyebabkan kematian
prekursor sel darah merah intramedula sehingga menimbulkan
eritropoiesis inefektif. Elektroforesis Hb menunjukkan HbF, sedikit
peningkatan HbA2, HbA tidak ada sama sekali atau menurun. Sumsum
tulang menunjukkan hiperplasi eritroid dengan rasio eritroid dan
myeloid kurang lebih 20:1. Besi serum sangat meningkat, tetapi total
iron binding capacity (TIBC) normal atau sedikit meningkat. Saturasi
transferrin 80% atau lebih. Ferritin serum biasa meningkat.

4. Talasemia β intermedia

Kelainan genotip : homozigot, heterozigot, pewarisan bersama


dengan Talasemia α, peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai
globin γ, bentuk mutasi gen lain.

Gambaran Laboratoris : Elektroforesis Hb menunjukkan HbF2


100%, HbA2 sampai dengan 7% dan HbA0 0-80% bergantung pada
fenotipe penderita.

Gambaran klinis : bervariasi dari bentuk anemia ringan, sedang


sampai dengan berat dan tidak dapat mentoleransi aktivitas berat
disertai fraktur patologik. Dijumpai muatan besi berlebih walaupun
tidak mendapat Transfusi darah. Eritropoiesis meningkat namunt idak
efektif sehingga menyebabkan peningkatan turnaver besi dalam
plasma,yang kemudian merangsang penyerapan besi vi saluran cerna.

Talasemia α

1. Silent carier

Gambaran klinis : normal, tidak ditemukan kelainan hematologis.


Tidak ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan
kriteria hematologis.

2. Talasemia α minor / Talasemia α trait


Gambaran klinis : normal, anemia ringan dengan peningkatan
eritrosit yang mikrositik hipokrom

3. HbH disease

Kelainan genotipe, gambaran fenotipe dan laboratorium :


mengalami anemia hemolitik ringan sampai ssedang dengan kadar
Hb antara 7-10 g% dan retikulosit antara 5-10%. Terdapat
pembesaran limpa. Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia
eritroid.

Dapat terjadi retardasi mental bila lokus atau loki dekat cluster gen
α pada kromosom 16 bermutasi atau ko-delesi dengan cluster gen
α.

Terjadi krisis hemolitik bila penderita mengalami infeksi, hamil,


atau terpapar dengan obat-obat oksidatif. Krisis inilah yang
menjadi penyebab terdeteksinya kelainan lain, karena biasanya
menunjukkan gambaran klinik normal.

Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokromik degan poikilositosis


nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka ragam. HbH
mudah teroksidasi. Inclusion bodiesmengubah bentuk dan sifat
viskoelastik eritrosit menyebabkan umur eritrosit menurun.

4. Talasemia α homozigot / hydrops fetalis

Kelainan genotipe, gambaran fenotipe dan laboratorium : Bayi


yang lahir dengan hydrops fetalis akan mengalami edema karena
penumpukan cairan serosa dalam jaringan fetus akibat anemia
berat. Fetus menunjukkan anemia, edme, asites,
hepatosplenomegali berat dan kardiomegali. Saat lahir bayi
menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Rongga sumsum tulang
melebar dengan hiperplasia eritroid yang nyata. Kehamilan dengan
hydrops fetalis berbahaya bagi ibu karena dapat menyebabkan
toksemia dan perdarahan berat pasca partus. [1]

G. Penegakan Diagnosis Talasemia

Talasemia ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan


fisis, dan laboratorium. Manifestasi klinis Talasemia mayor umumnya sudah
dapat dijumpai sejak usia 6 bulan.

1. Anamnesis :
 Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.
 Pada Talasemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan
pada usia yang lebih tua.
 Riwayat transfusi berulang; anemia pada Talasemia mayor
memerlukan transfusi berkala.
 Riwayat keluarga dengan Talasemia dan transfusi berulang.
 Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya
hepatosplenomegali.
 Etnis dan suku tertentu; angka kejadian Talasemia lebih tinggi pada
ras Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara.
Talasemia paling banyak di Indonesia ditemukan di Palembang
9%, Jawa 6-8%, dan Makasar 8%.
 Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat.

2. Pemeriksaan Fisik
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada
anak dengan Talasemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera
ikterik, facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata
melebar, maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal
tumbuh, gizi kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan
hiperpigmentasi kulit.

3. Laboratorium
a) Darah perifer lengkap (DPL)
 Anemia yang dijumpai pada Talasemia mayor cukup berat dengan kadar
hemoglobin mencapai <7 g/dL.
 Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan Talasemia trait dan hemoglobinopati.
 Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat Talasemia (trait), Talasemia δβ, dan high Persisten fetal
hemoglobine (HPFH)13,Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL
(mikrositik) dan mean corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg
(hipokromik).
 Talasemia mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18
pg.
 Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada Talasemia, dan juga
pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit
dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes).
b) Gambaran darah tepi
 Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan
teardrop),mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer,
sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan
diseritropoiesis)
 Total hitung dan neutrofil meningkat
 Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia,neutropenia,
dan trombositopenia.

c) Red Cell Distribution Width (RDW)


RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki
RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada
Talasemia mayor. Talasemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang
uniform sehingga tidak hanya sedikit ditandai dengan peningkatan RDW.
Talasemia mayor dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang
tinggi nilainya.
d) Retikulosit
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien
Talasemia memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan
pada anemia defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah.
e) High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
1. Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai
untuk mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin
secara presumtif. Pemeriksaan alternatif dapat dilakukan jika
varian hemoglobin yang terdeteksi pada HPLC relevan dengan
klinis pasien.
2. HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus Talasemia β
berat, kecuali pasien telah menerima transfusi darah dalam
jumlah besar sesaat sebelum pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi
sama sekali pada Talasemia β0 homozigot, sedangkan HbA
masih terdeteksi sedikit pada Talasemia β+. Peningkatan HbA2
dapat memandu diagnosis Talasemia β trait.
 Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.
 HbA2 3,6-4,2% pada Talasemia β+ ringan.
 HbA2 4-9% pada Talasemia heterozigot β0 dan β+ berat.4) HbA2 lebih
dari 20% menandakan adanya HbE. Jikahemoglobin yang dominan
adalah HbF dan HbE, maksesuai dengan diagnosis Talasemia β/HbE.
3. HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis Talasemia.
 HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya
akibat kondisi defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi
defisiensi besi sebelum melakukan HPLC ulang untuk
menilai kuantitas subtipe Hb.
 Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya
defisiensi besi, namun tidak menyingkirkan kemungkinan
Talasemia trait. Bila defisiensi besi telah disingkirkan,
nilai HbA2 normal, namun indeks eritrosit masih sesuai
dengan Talasemia, maka dapat dicurigai kemungkinan
Talasemia α, atau koeksistensi Talasemia β dan δ.
f) Elektroforesis Hemoglobin
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis
cellose acetat membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF
(alkali denaturasi modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan
elektroforesis menggunakan capillary hemoglobin electrophoresis.
g) Analisis DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular Talasemia,
yang dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:
1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi:
 Diagnosis Talasemia β mayor yang telah banyak
menerima transfusi. Diagnosis dapat diperkuat dengan
temuan Talasemia β heterozigot (pembawa sifat
Talasemia beta) pada kedua orangtua
 Identifikasi karier dari Talasemia β silent, Talasemia βdengan
HbA2 normal, Talasemia α0, dan beberapa Talasemia α+.
 Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.
2. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal [2]

Gambar : Alur diagnosis Talasemia, yang dimuat dalam


PERMENKES (2018)

H. Diagnosis Banding Talasemia


Pasien dengan bentuk Talasemia ringan perlu dibedakan dengan
anemia defisiensi besi. Pasien dengan Talasemia memiliki MCV lebih
rendah, jumlah eritrosit normal atau meningkat, saturasi transferin dan
feritin bisa meningkat atau normal. Sedangakan bentuk Talasemia
berat perlu dibedakan dari hemoglobinopati lainnya.[6]
I. Terapi Talasemia
1. Transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk
menekan hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh
kembang anak. Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat
individual pada setiap pasien. Transfusi dilakukan apabila dari
pemeriksaan laboratorium terbukti pasien menderita thalassemia
mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x pemeriksaan dengan selang
waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi atau didapatkan nilai Hb
>7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau deformitas tulang
akibat thalassemia. (Level of evidence IV)
2. Kelasi besi
Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang
diberbagai sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah
komplikasi kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada
pasien thalassemia. Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi
kelebihan besi yaitu mengikat besi yang tidak terikat transferin di
plasma dan mengeluarkan besi dari tubuh. Kelasi dimulai setelah
timbunan besi dalam tubuh pasien signifikan, yang dapat dinilai dari
beberapa parameter seperti jumlah darah yang telah ditransfusikan,
kadar feritin serum, saturasi transferin, dan kadar besi hati/ liver iron
concentration – LIC (biopsi, MRI, atau feritometer).
LIC minimal 3000 ug/g berat kering hati merupakan batasan untuk
memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan yang invasif
sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian kelasi
besi dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000
ng/mL, atau saturasi transferin >70%, atau apabila transfusi sudah
diberikan sebanyak 10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.
3. Nutrisi dan Suplementasi
Pasien thalassemia umumnya mengalami defisiensi nutrisi akibat
proses hemolitik, peningkatan kebutuhan nutrisi, dan morbiditas yang
menyertainya seperti kelebihan besi, diabetes, dan penggunaan kelasi
besi.
Idealnya pasien thalassemia menjalani analisis diet untuk
mengevaluasi asupan kalsium, vitamin D, folat, trace mineral
(kuprum/tembaga, zink, dan selenium), dan antioksidan (vitamin C dan
E). Pemeriksaan laboratorium berkala mencakup glukosa darah
puasa,albumin, 25-hidroksi vitamin D, kadar zink plasma,
tembaga,selenium, alfa- dan gamma-tokoferol, askorbat, dan folat.
Tidak semua pemeriksaan ini didapatkan di fasilitas kesehatan.
Analisis Cochrane menyebutkan belum ada penelitian uji acak
terkontrol yang melaporkan keuntungan pemberian suplementasi zink
pada thalasemia yang berkaitan dengan kadar zink darah. Namun
pemberian suplementasi zink memberikan manfaat yang bermakna
pada kecepatan tinggi tubuh dan densitas tulang.
Suplementasi vitamin D yang direkomendasikan adalah 50.000 IU
sekali seminggu pada pasien dengan kadar 25-hidroksi vitamin D di
bawah 20 ng/dL, diberikan hingga mencapai kadar normal. Suplemen
kalsium diberikan pada pasien dengan asupan kalsium
yang rendah.
Rekomendasi diet berbeda pada tiap pasien bergantung pada
riwayat nutrisi, komplikasi penyakit, dan status tumbuh kembang.
Hindari suplementasi yang mengandung zat besi. Diet khusus
diberikan pada pasien dengan diabetes, intoleransi laktosa, wanita
hamil, dan pasien dalam kelasi besi. Konsumsi rokok dan alcohol
harus dihindari.
Rokok dapat menyebabkan remodeling tulang terganggu, dan dapat
mengakibatkan osteoporosis. Konsumsi alkohol menyebabkan proses
oksidasi besi terganggu dan memperberat gangguan fungsi hati.
Nutrien yang perlu diperhatikan pada pasien thalassemia adalah zat
besi. Makanan yang banyak mengandung zat besi atau dapat
membantu penyerapan zat besi harus dihindari, misalnya daging
merah, jeroan, dan alkohol. Makanan yang rendah zat besi, dapat
mengganggu penyerapan zat besi, atau banyak mengandung kalsium
dapat dikonsumsi lebih sering yaitu sereal dan gandum. Pendapat lain
menyebutkan pasien dalam terapi kelasi besi tidak perlu membatasi
diet dari makanan tertentu, karena dikhawatirkan dapat semakin
mengurangi kualitas hidup pasien.
Stres oksidatif dan defisiensi anti-oksidan umum terjadi pada
thalassemia walaupun tanpa kondisi kelebihan besi. Rendahnya kadar
enzim superoksid dismutase (SOD) yang berperan untuk mengatasi
stres oksidatif dan tingginya radikal oksigen bebas dapat mengurangi
kadar vitamin E pada pasien thalassemia. Vitamin E berperan untuk
mengurangi aktifitas platelet dan mengurangi stress oksidatif. Vitamin
E dapat pula melindungi membran eritrosit sehingga tidak mudah lisis
dan secara bermakna meningkatkan kadar Hb. Suplementasi vitamin E
10 mg/kg atau 2x200 IU/hariselama 4 minggu dipercaya dapat
meningkatkan kadar Hb dan askorbat plasma, dan dapat menjaga
enzim antioksidan pada eritrosit sehingga kadarnya mendekati nilai
normal.
Vitamin C berperan untuk memindahkan besi dari penyimpanan di
intraselular dan secara efektif meningkatkan kerja DFO. Vitamin C
dengan dosis tidak lebih dari 2-3 mg/kg/hari diberikan bersama
desferoksamin untuk meningkatkan ekskresi besi.
Pemberian asam folat direkomendasikan pula, karena defisiensi zat
ini umum terjadi. Pemberiannya terutama pada pasien yang
merencanakan kehamilan. Asam folat diberikan dengan dosis 1-5
mg/kg/hari atau 2x1 mg/hari. Folat dapat diberikan pada pasien
thalassemia sejak awal walau pasien belum mendapat Transfusi rutin.
Penelitian lain menyebutkan asam folat hanya diberikan pada pasien
bila kadar Hb pratransfusinya <9 g/dL, karena belum terjadi
eritropoiesis hiperaktif sehingga tidak memerlukan asam folat untuk
pembentukan eritrosit.
4. Splenektomi
Transfusi yang optimal sesuai panduan saat ini biasanya dapat
menghindarkan pasien dari tindakan splenektomi, namun
splenektomi dapat dipertimbangkan pada beberapa indikasi di bawah
ini:
a. Kebutuhan transfusi meningkat hingga lebih dari 200-250 mL PRC
/kg/tahun atau 1,5 kali lipat dibanding kebutuhan biasanya (kebutuhan
transfusi pasien thalassemia umumnya 180 mL/kg/tahun).
b. Kondisi hipersplenisme ditandai oleh splenomegali dan leukopenia
atau trombositopenia persisten, yang bukandisebabkan oleh penyakit
atau kondisi lain.
c. Splenektomi dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah secara
signifikan hingga berkisar 30-50% dalam jangka waktu yang cukup
lama. Splenomegali masif yang menyebabkan perasaan tidak nyaman
dan berisiko untuk terjadinya infark dan ruptur bila terjadi trauma.
Klinisi perlu mencermati kemungkinan splenomegali yang
disebabkan pemberian tranfusi darah yang tidak adekuat. Pada kondisi
tersebut ukuran limpa dapat mengecil dengan transfuse darah adekuat
dan kelasi besi yang intensif selama beberapa bulan kemudian
dilakukan evaluasi ulang apakah tindakan splenektomi dapat
dihindari. Mengingat risiko komplikasi splenektomi yang berat, maka
splenektomi sedapat mungkin dihindari dan hanya dilakukan dengan
indikasi yang kuat. Pasien yang terindikasi splenektomi sedapat
mungkin menunda splenektomi hingga pasien berusia 5 tahun untuk
mengurangi risiko terjadinya sepsis berat pasca tindakan.
5. Transplantasi sumsum tulang
Penelitian yang dilakukan oleh Hongeng dkk melaporkan
keberhasilan penggunaan transplantasi stem sel dari donor yang tidak
memiliki kekerabatan dengan metode haplo identical macth. Tindakan
ini dapat dipertimbangkan apabila tidak tersedia donor yang
sama/related-donor. Transplantasi sebaiknya dilakukan sedini mungkin
apabila telah didapatkan donor yang sesuai dan tersedia layanan pusat
transplantasi. Saat ini luaran transplantasi cukup baik bila
dibandingkan dengan tahun 1980-an dan 1990-an. Angka harapan
hidup dapat mencapai 90% dan angka harapan hidup tanpa penyakit
sekitar 80%.
6. Vaksinasi
Vaksin pneumokokus diberikan sejak usia 2 bulan, kemudian
dibooster pada usia 24 bulan.Booster kembali dilakukan tiap 5 hingga
10 tahun. Bila perlu dilakukan pemeriksaan kadar antibodi
pneumokokus. Vaksinasi hepatitis B wajib dilakukan karena pasien
mendapatkan transfusi rutin. Pemantauan dilakukan tiap tahun dengan
memeriksakan status hepatitis. Pasien dengan HIV positif ataupun
dalam pengobatan hepatitis C tidak diperkenankan mendapatkan
vaksin hidup. Vaksin influenza diberikan tiap tahun. Status vaksinasi
perlu diperhatikan lebih serius pada pasien yang hendak menjalani
splenektomi. Vaksin merupakan upaya imunoprofilaksis untuk
mencegah komplikasi pasca-splenektomi [2].
J. Komplikasi dan Prognosis Talasemia
Anemia yang berat dan lama sering mengakibatkan
terjadinya gagal jantung. Transfusi darah yang berulang-ulang dan
adanya proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah
sangat tinggi, sehingga ditimbun dalam berbagai jaringan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal ini dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah mengalami rupture
dengan trauma yang ringan. Kadang-kadang talasemia disertai oleh
tanda hipersplenisme seperti leukopenia dan trombopenia.
Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung [4].
K. Pencegahan Talasemia

Terdapat 2 pendekatan target dalam pencegahan Talasemia yaitu


secara retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif yaitu
dengan melakukan penelusuran terhadap anggota keluarga dengan
riwayat menderita Talasemia mayor. Sementara pendekatan prospektif
dengan melakukan skrining untuk mengidentifikasi karier Talasemia
pada populasi tertentu. Namun. secara garis besar pencegahan terhadap
Talasemia adalah sebagai berikut :

a. Edukasi

Masyarakat harus diberi pengetahuan tentang penyakit yang


bersifat genetik dan diturunkan, terutama tentang Talasemia dengan
frekuensi kariernya yang cukup tinggi di masyarakat. Pendidikan
genetika harus diajarkan di sekolah, demikian pula pengetahuan
tentang gejala awal Talasemia. Media massa harus dapat berperan lebih
aktif dalam menyebarluaskan informasi tentang Talasemia, meliputi
gejala awal, cara penyakit diturunkan dan cara pencegahannya.
Program pencegahan Talasemia harus melibatkan banyak pihak terkait.
Sekitar 10% dari total anggaran program harus dialokasikan untuk
penyediaan materi edukasi dan pelatihan tenaga kesehatan.

b. Skrining Karier
Skrining Talasemia ditujukan untuk menjaring individu karier
Talasemia pada suatu populasi, idealnya dilakukan sebelum memiliki
anak untuk mengidentifikasi individu dan pasangan karier, dan
menginformasikan kemungkinan mendapat anak dengan Talasemia dan
pilihan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya. Target utama
skrining adalah penemuan β- dan αo Talasemia, serta Hb S, C, D, E.15
Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik
keluarga berencana, klinik antenatal, saat pranikah, atau pada saat bayi
baru lahir. Pada daerah dengan risiko tinggi dapat dilakukan program
skrining khusus pranikah atau sebelum memiliki anak.

c. Konseling genetika

Informasi dan konseling genetika harus tersedia ditempat skrining


karier dilakukan. Tenaga kesehatan tidak boleh memaksa orang untuk
menjalani skrining dan harus mampu menginformasikan pada peserta
skirining bila mereka teridentifikasi karier dan implikasinya. Prinsip
dasar dalam konseling adalah bahwa masing-masing individu atau
pasangan memiliki hak otonomi untuk menentukan pilihan, hak untuk
mendapat informasi akurat secara utuh, dan kerahasiaan mereka
terjamin penuh. Hal yang harus diinformasikan berhubungan dengan
kelainan genetik secara detil, prosedur obstetri yang mungkin dijalani
dan kemungkinan kesalahan diagnosis pranatal. Informasi tertulis
harus tersedia, dan catatan medis untuk pilihan konseling harus
tersimpan. Tanggung jawab utama seorang konselor adalah
memberikan informasi yang akurat dan komprehensif yang
memungkinkan pasangan karier menentukan pilihan yang paling
mungkin mereka jalani sesuai kondisi masing-masing.

d. Diagnosis Pranatal

Diagnosis pranatal meliputi skrining karier Talasemia saat


kunjungan pranatal pada wanita hamil, yang dilanjutkan dengan
skrining karier pada suaminya bila wanita hamil tersebut teridentifikasi
karier. Bila keduanya adalah karier, maka ditawarkan diagnosis
pranatal pada janin serta pengakhiran kehamilan bila ada risiko gen
Talasemia homozigot. Saat ini, program ini hanya ditujukan pada
Talasemia β+ dan βO yang tergantung transfusi dan sindroma Hb
Bart’s hydrops.
Diagnosis pranatal dapat dilakukan antara usia 8-18 minggu
kehamilan.Metode yang digunakan adalah identifkasi gen abnormal
pada analisis DNA janin. Pengambilan sampel janin dilakukan melalui
amniosentesis atau biopsi vili korialis.
Biopsi vili korialis lebih baik, karena bila dilakukan oleh tenaga
ahli, pengambilan sampel dapat dilakukan pada usia kehamilan yang
lebih dini, yaitu pada usia gestasi 9 minggu. Namun WHO
menganjurkan biopsi vili korialis pada usia gestasi 10- 12 minggu,
karena pada usia kurang dari 10 minggu ditemukan risiko malformasi
janin. Seluruh prosedur pengambilan sampel janin harus dilakukan
oleh ahli fetomaternal dengan panduan USG kualitas tinggi. Risiko
terjadinya abortus pada biopsi villi korialis sekitar 1-2% bila dilakukan
oleh tenaga ahli.15 Sedangkan tindakan amniosentesis, yaitu
mengambil cairan amnion, umumnya efektif dilakukan pada usia
kehamilan > 14 minggu. Hal ini dikarenakan untuk menjaring sel-sel
janin yang baru lepas dalam jumlah cukup ke dalam cairan amnion.
Teknik ini relatif lebih mudah, namun mempunyai kelemahan pada
usia kehamilan yang lebih besar.
Teknik lain yang juga sudah dikembangkan adalah isolasi darah
janin (fetal nucleated red blood cell) sebagai sumber DNA janin dari
darah perifer ibu. DNA janin dianalisis dengan metode polymerase
chain reaction (PCR). Untuk mutasi Talasemia, analisis dilakukan
dengan Southern blot analysis, pemetaan gen (gene mapping), dan
restriction fragmen length polymorphism (RFLP) analysis. Seiring
dengan munculnya trauma akibat terminasi kehamilan pada ibu hamil
dengan janin yang dicurigai mengidap Talasemia mayor, saat ini
sedang dikembangkan diagnosis pranatal untuk Talasemia β sebelum
terjadinya implantasi janin dengan polar body analysis.

L. KESIMPULAN
Talasemia adlah sekelompok penyakit genetic yang diakibatkan
oleh ketidakseimbangan pembuatan salah satu rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin. Talasemia digolongkan berdasarkan
penurunan sintesis rantai asama amino yang terkena, dengan dua jenis
utamasa yaitu talasemia α dan talasemia β. Semua penderita talasemia
akan mengalami gejala anemia tetapi berat ringannya anemia
bervariasi, tergantung tingkat keparahan talasemia.

Daftar Pustaka

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014). Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. VI. Jakarta: Interna Publishing
2. PERMENKES (2018). PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN TATA LAKSANA THALASEMIA ; pp.1-90
3. Healt Technology Assessment Indonesia. 2010. Pencegahan
Thalassemia. Dirjen Bina Pelayanan Medik ; Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
4. Regar, J. (2009). Aspek Genetik Talasemia. Volume 1, Nomor 3,
November , hlm. 151-158 ; Jurnal Biomedik
5. Krishnan, N et all. 2013. Management of Thalassemia. International
Research Journal of Pharmacy
6. Papadakis M A, McPhee, S J. 2013 Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York: Mc Gwar Hill Education: 2013

Anda mungkin juga menyukai