Disusun Oleh :
INDANA ZULFA ( 2014901064 )
B. KLASIFIKASI
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin dan hem tetapi pada Thalassemia terjadi
gangguan produksi rantai α atau β. Dua kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap
kromosom (total dua gen β) sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap
kromosom (total empat gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α
dan dua subunit β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari
kuantitas protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein yang
seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi protein globin subunit
tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan menyebabkan defek pada seluruh
gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai globin β dapat menyebabkan defek yang
menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit, 2007).
C. ETIOLOGI
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara
genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin
beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen
pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak
normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila
kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang
masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat
sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya
masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat
beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang
berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia.
Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak
hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta
normal dari kedua orang tuanya.
D. PATOFISIOLOGI
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai
beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini
mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami
presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari
hemoglobin tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih.
Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada
suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan
bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer
adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran
sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam
folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan
destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian
biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau
beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi
antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang
tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
Pathway :
E. GEJALA KLINIS
Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan
tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi,
tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau
minor). Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia
hemolitik (Tamam, 2009)
Talasemia-β dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditentukan, yakni (1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik
hipokrom. (2) Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi
darah. (3) Talasemia-β intermedia: gejala di antara Talasemia β mayor dan minor. Terakhir
merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia-β (silent carrier) (Atmakusuma, 2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung pada
nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang diproduksi. Keempat
sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi Talasemia-α (silent carrier),
Talasemia-α trait (Talasemia-α minor), HbH diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops
fetalis) (Atmakusuma, 2009).
Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia-β mayor, penderita dapat
mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati
akibat anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ
tersebut, sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat,
lesu, sesak napas karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal
jantung dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam
usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran
tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah
patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa
pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi
meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihanzat besi bisa terkumpul dan
mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung
(Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya tidak
jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang
berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Anak tidak nafsu makan, diare,
kehilangan lemak tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat
dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali, ikterus
ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk
muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan tulang
panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Kadang-kadang ditemukan
epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu.
F. KOMPLIKASI
Akibat anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah
yang berulang ulang dan proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat
tinggi, sehingga di timbun dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung
dan lain lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai tanda
hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama disebabkan
oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah
diperiksa terlebih dahulu terhadap HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis,
diabetes melitus dan jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive
test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan
Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat
membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan
eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang
dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi
mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian
di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40%
dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi
mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika
dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah
eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x
MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan
untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13
cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada
penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada
ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah
dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada
dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2%
(anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai
abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb
A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F
10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S
dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan
menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan
penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini
berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan
variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2
(Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan
mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi
darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi
yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan
rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan
bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas, 2002;
Herdata, 2008)
1. Medikamentosa
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali
transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari subkutan melalui
pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai
transfusi darah.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek
kelasi besi.
Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel
darah merah
2. Bedah
Splenektomi, dengan indikasi:
limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur
hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan
suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
Transplantasi sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia
dengan lebih dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa
ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih berarti pada
anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki HLA-spesifik dan cocok
dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan transplantasi ini.
3. Suportif
Tranfusi Darah
Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan ini akan
memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi,
dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. Pemberian darah
dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
1. Definisi sirkulasi
Tubuh manusia terdiri dari beberapa organ tubuh yang tersusun secara terstruktur dan
sangat sistemik. Tiap organ dalam tubuh manusia memiliki fungsi dan tugas tersendiri.
Namun, organ-organ tersebut tidak akan bisa melakukan tugasnya bila asupan oksigen,
nutrisi serta zat-zat yang dibutuhkannya tidak sampai pada organ yang membutuhkannya
tersebut. Oleh karena itulah dikenal istilah sirkulasi dalam tubuh yang mengindikasikan
adanya sistem transportasi zat-zat dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh menuju tempa-tempat
atau organ-organ yang membutuhkannya (Ganong, 1998).
Sistem sirkulasi adalah sistem transport yang mensuplai zat-zat yang di absorbsi dari
saluran pencernaan dan oksigen ke jaringan, mengembalikan CO ke paru-paru dan produk-
produk metabolisme lainnya ke ginjal, berfungsi dalam pengaturan temperatur tubuh dan
mendistribusikan hormon-hormon dan zat-zat lain yang mengatur fungsi sel (Ganong,
1998).
Sirkulasi dalam tubuh manusia terbagi dalam dua jenis yang sirkulasi sistemik dan
sirkulasi paru-paru. Kedua sistem sirkulasi tersebut saling bekerja sama untuk
mendistribusikan zat-zat yang penting dibutuhkan oleh tubuh, antara lain oksigen dan
berbagai nutrisi lainnya (Sloane, 2007).
Sirkulasi sistemik adalah bagian dari sistem kardiovaskuler yang membawa darah
beroksigen dari jantung, untuk tubuh, dan kembali terdeoksigenasi darah kembali ke
jantung. Istilah ini kontras dengan sirkulasi paru-paru. Sirkulasi sistemik yang biasanya juga
disebut sebagai sirkulasi utama adalah proses dimana darah, yaitu sebagai pembawa hormon
dan zat-zat yang diperlukan tubuh ini dipompakan melalui sistem tertutup pembuluh-
pembuluh darah oleh jantung. Dari ventrikel kiri, darah dipompakan melalui arteri-arteri
dan anteriol ke arterile ke kapiler-kapiler, dimana darah berada dalam keadaan seimbang
dengan cairan interstitial. Kapiler-kapiler mengalirkan darah melalui venula ke dalam vena
dan kembali ke atrium kanan (Ganong, 1998).
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi ateros klerosis, penyakit jantung koroner / katup dan penyakit
screbiovakuolar, episode palpitasi, perpirasi.
Tanda :
- Kenaikan TD (pengukuran serial dan kenaikan TD diperlukan untuk menaikkan diagnosis.
- Hipotensi postural (mungkin berhubungan dengan regimen otak).
- Nada denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis.
- Denyut apical : Pm, kemungkinan bergeser dan sangat kuat.
- Frekuensi/irama : Tarikardia berbagai distrimia.
- Bunyi, jantung terdengar S2 pada dasar S3 (CHF dini) S4 (pengerasan vertikel kiri /
hipertrofi vertical kiri).
c. Integritas ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi eufuria atau jarah kronis (dapat
mengidentifikasi kerusakan serebral ) faktor-faktor inulhfel, hubungan keuangan yang
berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontiniu perhatian, tangisan yang
meledak, gerak tangan empeti otot muka tegang (khususnya sekitar mata) gerakkan fisik
cepat, pernafasan mengelam peningkatan pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal sakit ini atau yang lalu
e. Makanan/Cairan
Gejala : Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi
lemak, tinggi kolestrol, mual, muntah, perubahan berat badan (meningkatkan/menurun)
riwayat pengguna diuretik.
Tanda :
- Berat badan normal atau obesitas
- Adanya edema (mungkin umum atau tertentu)
- Kongestiva
- Glikosuria (hampir 10% hipertensi adalah diabetik).
f. Neurosensori
Gejala :
- Keluhan pening/pusing
- Berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan
setelah beberapa jam)
- Episode kebas dan kelemahan pada satu sisi tubuh
- Gangguan penglihatan
- Episode epistaksis
Tanda : - Status mental perubahan keterjagaan orientasi, pola isi bicara, efek, proses fikir
atau memori.
g. Nyeri/Ketidak nyamanan
Gejala :
- Angma (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung)
- Nyeri hilang timbul pada tungkai/klaudikasi
- Sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
- Nyeri abdomen / massa
h. Pernapasan
Gejala :
- Dispenea yang berkaitan dengan aktivitas kerja
- Riwayat merokok, batuk dengan / tanpa seputum
Tanda :
- Distres respirasi
- Bunyi nafas tambahan
- Sianosis
i. Keamanan
Gejala :
- Gangguan koordinas / cara berjalan
- Hipotesia pastural
Tanda :
- Frekuensi jantung meningkat
- Perubahan trauma jantung (takipnea)
j. Pembelajaran/Penyebab
jantung, DM
5. Diagnosa keperawatan
1. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin
2. Resiko Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan sirkulas
6. Perencanaan
Tabel 1
Intervensi Keperawatan Sirkulasi