Anda di halaman 1dari 18

Step 6 : Belajar Mandiri

Step 7 : Sasaran Belajar

1. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi bipolar


Data WHO (2017) menunjukkan gangguan bipolar mempengaruhi sekitar 60 juta
orang di seluruh dunia. Sekitar 1 dari setiap 100 orang dewasa terkena gangguan bipolar
pada beberapa titik dalam kehidupan mereka. Biasanya dimulai antara usia 15 sampai 19
tahun dan jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Pada lakilaki dan perempuan mempunyai
kemungkinan sama untuk terkena gangguan bipolar (RCPpsych, 2015). Anak-anak juga
dapat mengalami gangguan bipolar, penyakit ini biasanya berlangsung seumur hidup
(MentalHealth, 2017).

Setiap tahun 2,9% populasi Amerika Serikat didiagnosis menderita gangguan


bipolar, dan hampir 83% kasus tergolong parah (Mind, 2017). Prevalensi gangguan
bipolar I menunjukkan data yang sama besar antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan
pada gangguan bipolar tipe II, menunjukkan prevalensi pada perempuan lebih besar
daripada laki-laki. Depresi atau distimia yang terjadi pertama kali pada prapubertas
memiliki risiko untuk menjadi gangguan bipolar (Kusumawardhani, 2012).

Gangguan depresi berat masih berada di urutan prevalensi seumur hidup tertinggi
dari gangguan psikiatri (Kaplan & Sadock’s, 2015). Usaha bunuh diri terjadi hingga 50%
pasien dengan gangguan bipolar, dan 10 hingga 19% individu dengan gangguan bipolar I
bunuh diri (Wells et al., 2015). Tingkat prevalensi seumur hidup untuk depresi berat
adalah 5 sampai 17 persen.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan Faktor risiko bipolar


Etiologi
Etiologi gangguan bipolar, belum diketahui secara pasti. Bisa terjadi karena berbagai
faktor seperti faktor genetika dan psikososial. Para peneliti juga berpendapat bahwa
disregulasi heterogen terjadi dari neurotransmitter di otak. Gangguan jiwa bipolar adalah
penyakit gangguan jiwa yang bukan disebabkan tekanan psikologis, melainkan karena
terjadinya.

Faktor Resiko
Faktor genetik

Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti (Jiwo,
2012). Data keluarga menunjukkan bahwa apabila dari salah satu orang tua memiliki
gangguan mood, seorang anak akan memiliki risiko antara 10 dan 25 persen mewarisi
gangguan mood. Jika kedua orang tua terkena bipolar, risiko ini berpengaruh besar
terhadap anaknya.

Faktor Biokimia

 Serotonin : Serotonin sangat penting bagi tubuh manusia karena bermanfaat


dalam mengelola suasana hati. Serotonin telah menjadi neurotransmiter
aminogen biogenik yang terkenal dikaitkan dengan depresi. Identifikasi
beberapa subtipe serotonin juga meningkatkan kegembiraan dalam grup riset
tentang pengembangan pengobatan depresi yang lebih spesifik.

 Dopamine : Dopamin disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari


substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata
ganglia basalis. Apabila terjadi penurunan dopamin akan menyebabkan
terjadinya episode depresi, sebaliknya peningkatan dari dopamin akan
menyebabkan terjadinya episode mania.

 Noreepinefrine : Norepinefrin diduga memberi input penting pada kontrol


sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi, gerakan dan
tekanan darah

 Gangguan neurotransmitter lainnya : Walaupun belum merupakan suatu


kesimpulan, neurotransmiter asam amino (terutama gammaamino butyric acid
– GABA) dan peptida neuroaktif (terutama vasopressin dan opiat endogen)
dikatakan berperan dalam patofisiologi gangguan mood. GABA (gamma
aminobutyric acid) adalah Neurotransmiter penghambat utama pada SSP dan
berperan penting dalam mengatur kecemasan dan mengurangi stres. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kelainan pada GABA mungkin berperan
gangguan mood yang parah. Sebagai Neurotransmiter penghambat, GABA
memfasilitasi koordinasi aktivitas kortikal yang dapat mempengaruhi
kemampuan pemrosesan kognitif. Dengan demikian perubahan pada sistem
GABAergic dapat menyebabkan gangguan pada pasien gangguan bipolar.

Faktor Psikososial

 Faktor Stres Lingkungan


Hubungan antara kehidupan yang penuh stress dengan episode suasana
hati yang pertama telah dilaporkan untuk kedua pasien dengan gangguan
depresi mayor dan pasien dengan gangguan bipolar I. Sebuah teori yang
diusulkan untuk menjelaskan pengamatan ini adalah stres yang menyertai
episode pertama menghasilkan perubahan jangka panjang di otak.
Perubahan-perubahan yang 13 berlangsung lama ini dapat mengubah
berbagai keadaan fungsional Neurotransmiter dan sistem pensinyalan
intraneuronal, perubahan yang mungkin termasuk kehilangan neuron dan
pengurangan berlebihan dalam portal sinaptik. Akibatnya, seseorang
memiliki risiko lebih tinggi mengalami episode gangguan mood
berikutnya (Kaplan & Sadock’s, 2015). Meningkatnya jumlah peristiwa
hidup yang penuh tekanan sebelum kekambuhan memiliki efek rumit dan
bukan efek presipitasi pada depresi meskipun memiliki peran dalam
episode mania. Stres yang meningkat pada periode awal perkembangan
mungkin lebih penting dalam depresi (Ahuja, 2011).
 Faktor Personal
Pada dasarnya semua manusia, memiliki pola kepribadian yang
menjadikannya depresi. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu
OCD, histrionik mungkin memiliki risiko depresi lebih tinggi daripada
orang-orang dengan gangguan kepribadian antisosial atau paranoid. Itu
dapat menggunakan proyeksi dan mekanisme pertahanan eksternal lainnya
untuk melindungi diri dari kemarahan dalam diri mereka. Penelitian telah
menunjukkan bahwa stres yang dirasakan pasien sebagai refleksi negatif
pada dirinya lebih cenderung menghasilkan depresi. Selain itu, pemicu
stres yang tampak ringan bagi orang lain justru sangat berdampak
menghancurkan pasien (Kaplan & Sadock’s, 2015).
 Faktor Psikodinamik pada Depresi dan Mania
Pandangan dari Sigmund Freud dan diperluas oleh Karl Abraham dikenal
sebagai pandangan klasik tentang depresi. Teori tersebut berkaitan erat
dengan empat hal penting: (1) gangguan pada hubungan bayi-ibu selama
fase awal (10 sampai 18 bulan pertama kehidupan) menjadi predisposisi
kerentanan depresi selanjutnya; (2) depresi yang dapat dikaitkan dengan
objek yang nyata atau yang dibayangkan; (3) introjeksi yang berasal dari
objek merupakan mekanisme pertahanan yang diajukan untuk mengatasi
kesusahan menyikapi kehilangan objek; dan (4) membayangkan benda
yang hilang dianggap sebagai campuran cinta dan benci, perasaan marah
diarahkan ke dalam dirinya sendiri.

Faktor Lainnya dari Depresi

 Faktor Kognitif
Dalam teori kognitif, pikiran dan kepercayaan negatif dipandang sebagai
penyebab utama depresi. Pikiran pesimis dan self-critical bisa menyiksa
orang dengan depresi. Teori Aaron Beck dan teori keputusasaan keduanya
menekankan jenis pemikiran negatif ini. Teori ruminasi menekankan
kecenderungan untuk memikirkan suasana hati dan pikiran negatif (Kring
et al., 2012).
 Faktor Hopelessness
Menurut teori ini pemicu depresi yang sangat buruk adalah keputusasaan
yang dapat diartikan dengan gejala penurunan kesedihan, motivasi, bunuh
diri, penurunan energi, retardasi psikomotor, gangguan tidur, konsentrasi
yang buruk, dan kognisi negatif (Kring et al., 2012). Teori ini menekankan
bahwa perbaikan depresi bergantung pada pembelajaran pasien yang dapat
menguasai kontrol dan lingkungan.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi bipolar

Patofisiologi gangguan mood melibatkan interaksi dari banyak komponen. Gangguan


mood dapat terjadi pada pasien dengan predisposisi genetik, namun tidak menjadi
etiologi tunggal. Paparan terhadap stress, terutama yang bersifat kronis dan tidak dapat
dikontrol, merupakan salah satu faktor yang berperan.
Overaktivitas Aksi Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA)
Salah satu mekanisme yang dihubungkan dengan patogenesis gangguan mood adalah
over aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) akibat paparan stress
berkepanjangan. Terdapat 2 hipotesis yang berkembang mengenai patogenesis gangguan
mood dan disfungsi aksis HPA, pertama adalah hipotesis corticotropin-releasing
hormone (CRH), dan hipotesis yang kedua berkaitan dengan hormon pertumbuhan.

Tiga neurotransmiter paling banyak telah dipelajari dalam hal kemungkinan


terjadinya gangguan mood: norepinefrin, dopamin, dan serotonin (Thase et al., 2002).
Neurotransmisi dopaminergik adalah salah satu dari banyak neuorotransmisi yang
berpengaruh dan berkaitan langsung pada kejadian mood pasien dengan gangguan
bipolar, dengan terjadinya penurunan dopamin akan menyebabkan terjadinya episode
depresi. Sedangkan, peningkatan dari dopamin akan menyebabkan terjadinya episode
mania (Kaplan & Sadock’s, 2015). Mania dan depresi juga keduanya dikaitkan
dengan kadar serotonin rendah (Thase et al., 2002).
Gangguan bipolar merupakan kondisi yang relatif terabaikan (Goodwin et al.,
2015). Patofisiologi dari gangguan bipolar akibat disregulasi sirkuit neural yang di
pengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural. Hal tersebut dapat
terjadi akibat ketidakseimbangan volume otak. Pada studi pencitraan struktural
menunjukkan bahwa depresi berat dihubungkan dengan penurunan volume 5-10% di
hipokampus (Kring et al., 2012). Eksositosis, merupakan proses peng-ekskresian
neurotransmiter ke celah sinaptik. Di mana selaput vesikula menyatu dengan tombol
presinaptik. Sinapsis adalah titik persimpangan antara dua neuron. Di sela celah,
neurotransmiter mengikat reseptor membran: protein besar menempati di membran sel
neuron pasca sinaptik. Neurotransmiter ini melintasi celah Sinaps yang mana
merupakan ruang antara akson satu neuron dan dendrit neuron berikutnya ke jalur
saraf (Ayano, 2016).

4. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding bipolar


Diagnosis
 Kriteria diagnostic Gangguan Bipolar I
 Episode Mania

Episode mania periode yang tidak normal dan terus-menerus meningkat, expansive, dan
mudah tersinggung. Berlangsung setidaknya 1 minggu, selama seharian, dan terjadi hampir
setiap hari (atau beberapa durasi memerlukan perawatan di rumah sakit). Selama periode
gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut berada pada tingkat sigifikan dan mewakili
perubahan yang nyata dari perilaku biasa:

a. Meningkat harga diri atau kebesarannya.


b. Menurunnya kebutuhan untuk tidur (misalnya merasa cukup istirahat
setelah 3 jam tidur).
c. Lebih banyak bicara dari biasanya, atau ada tekanan untuk terus berbicara.
d. Pikiran yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.
e. Distractibility (yaitu terlalu mudah tertarik pada hal yang tidak penting atau
ada rangsangan dari luar yang tidak relevan), seperti yang dilaporkan atau
diamati.
f. Peningkatan dalam berbagai macam kegiatan (misalnya aktivitas sosial,
aktivitas di tempat kerja atau sekolah, atau aktivitas seksual).
g. Keterlibatan berlebihan dalam kegiatan menyenangkan yang memiliki
potensi tinggi untuk mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan (misalnya
berfoyafoya, ketidakbijaksanaan dalam seksual, atau tidak bisa menjalankan
investasi bisnis dengan benar).
 Episode Hipomania

Epidode hipomania periode yang tidak normal dan terus menerus meningkat, expansive,
atau mudah tersinggung, berlangsung setidaknya selama 4 hari berturut-turut dan selama
seharian, serta terjadi hampir setiap hari. Selama periode gangguan mood, serta peningkatan
energi dan aktivitas, tiga (atau lebih) gejala berikut telah ada, menggambarkan perubahan nyata
dari perilaku biasanya, dan telah hadir untuk tingkat yang signifikan:

a. Meningkat harga diri atau kebesarannya.

b. Menurunnya kebutuhan untuk tidur (misalnya merasa cukup istirahat setelah 3 jam
tidur).
c. Lebih banyak bicara dari biasanya, atau ada tekanan untuk terus berbicara.

d. Pikiran yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.

 Episode Depresi Mayor

Episode depresi mayor lima (atau lebih) dari gejala berikut telah ada setiap hari selama
periode 2 minggu yang sama dan menggambarkan perubahan dari fungsi sebelumnya; setidaknya
salah satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan minat atau kesenangan:

a. Perasaan depresi yang terjadi sepanjang hari, diindikasikan dari laporan subjektif (misalnya
perasaan sedih, kosong, atau putus asa) atau pengamatan dari orang lain (misalnya keluar air
mata).

b. Berkurang secara nyata ketertarikan akan semua hal, atau hampir semua aktivitas sepanjang
hari.

c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet (misalnya perubahan lebih dari 5%
berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap hari. d.
Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.

e. Agitasi psikomotorik atau keterbelakangan mental hampir setiap hari (diamati oleh orang lain,
tidak hanya perasaan subjektif akan kegelisahan).

f. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

 Kriteria Diagnostik Gangguan Bipolar II


 Episode Hipomania

Episode hipomenia periode yang tidak normal dan terus menerus meningkat, expansive, atau
mudah tersinggung, berlangsung setidaknya selama 4 hari berturut-turut dan selama seharian,
serta terjadi hampir setiap hari. Selama periode gangguan mood, serta peningkatan energi dan
aktivitas, tiga (atau lebih) gejala berikut telah ada, menggambarkan perubahan nyata dari
perilaku biasanya, dan telah hadir untuk tingkat yang signifikan:

a. Meningkat harga diri atau kebesarannya.

b. Menurunnya kebutuhan untuk tidur (misalnya merasa cukup istirahat setelah 3 jam tidur).

c. Lebih banyak bicara dari biasanya, atau ada tekanan untuk terus berbicara.

d. Pikiran yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.


 Episode Depresi Mayor

Episode Depresi Mayor Lima (atau lebih) dari gejala berikut telah ada setiap hari selama periode.
Minggu yang sama dan menggambarkan perubahan dari fungsi sebelumnya; setidaknya salah
satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan minat atau kesenangan:

a. Perasaan depresi yang terjadi sepanjang hari, diindikasikan dari laporan subjektif (misalnya
perasaan sedih, kosong, atau putus asa) atau pengamatan dari orang lain (misalnya keluar air
mata).

b. Berkurang secara nyata ketertarikan akan semua hal, atau hampir semua aktivitas sepanjang
hari.

c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet (misalnya perubahan lebih dari 5%
berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap hari.

d. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.

e. Agitasi psikomotorik atau keterbelakangan mental hampir setiap hari (diamati oleh orang lain,
tidak hanya perasaan subjektif akan kegelisahan).

 Kriteria Diagnostik Gangguan Siklotimik

1. Paling sedikit selama 2 tahun (setidaknya 1 tahun pada anak-anak dan remaja), terdapat
beberapa periode dengan gejala-gejala hipomania yang tidak memenuhi kriteria episode
hipomania, dan beberapa periode dengan gejalagejala hipomania yang tidak memenuhi kriteria
episode depresi mayor.

2. Terjadi selama periode 2 tahun (setidaknya 1 tahun pada anak-anak dan remaja), periode
hipomania dan depresi terjadi paling tidak setengah waktu dan individu tidak pernah bebas dari
gejala-gejala selama lebih dari 2 bulan pada satu waktu.

3. Tidak pernah sesuai dengan kriteria untuk episode depresi mayor, mania, atau hipomania.

4. Gejala-gejala pada kriteria 1 bukan merupakan gangguan skizoaktif, skizofrenia, gangguan


schizophreniform, gangguan delusi, atau spectrum skizofrenia baik spesifik maupun tidak
spesifik dan gangguan psikotik lain.

5. Gejala-gejala tidak melibatkan efek psikologi yang disebabkan oleh substansi/zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis lain (misalnya hipertiroidism).
6. Gejala-gejala menyebabkan tekanan klinis secara signifikan atau kerusakan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi dari aspek penting lainnya.

Kriteria Diagnosis Menurut ICD-10 + PPDGJ III

a. F31. Gangguan Afektif Bipolar


Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurangkurangnya dua episode)
dimana afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu
terdiri dari peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania) dan pada waku lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi
dan aktivitas (depresi). Episode berulang hanya hipomania atau mania digolongkan
sebagai gangguan bipolar. Episode manik biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan
berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan (rata-rata sekitar 4 bulan). Depresi
cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang
melebihi setahun kecuali pada orang lanjut usia.
Termasuk : penyakit, psikosis atau reaksi manik-depresif.
Tidak termasuk Gangguan bipolar, episode manik tunggal dan
siklotimia.
b. F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
Pasien saat ini hipomanik, dan mengalami sekurangnya satu
riwayat episode afektif (hipomanik, manik, depresi atau
campuran).
c. F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa
gejala psikotik
Pasien saat ini manik, tanpa gejala psikotik dan memiliki
sekurangnya satu riwayat episode afektif (hipomanik, manik,
depresi atau campuran).
d. F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan
gejala psikotik
Pasien saat ini manik, dengan gejala psikotik dan memiliki
sekurangnya satu riwayat episode afektif (hipomanik, manik,
depresi atau campuran).
e. F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi ringan atau sedang
Pasien saat ini depresi, dengan derajat ringan atau sedang,
serta sekurangnya satu riwayat episode afektif hipomanik,
manik atau campuran.
f. F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi berat
tanpa gejala psikotik
Pasien saat ini depresi berat tanpa gejala psikotik, dan
mengalami sekurangnya satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik atau campuran.
g. F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresi berat
dengan gejala psikotik
Pasien saat ini depresi berat dengan gejala psikotik, dan
mengalami sekurangnya satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik atau campuran.
h. F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
Pasien sekurangnya mengalami satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik, depresi atau campuran, serta saat ini
memperlihatkan gejala campuran atau perubahan cepat gejala
manik dan depresi.
i. F31.7 Gangguan afektif bipolar, saat ini remisi
Pasien mengalami sekurangnya satu riwayat episode afektif
hipomanik, manik atau campuran, serta satu episode afektif
(hipomanik, manik, depresi atau campuran) tapi saat ini tidak
menderita gangguan mood yang nyata selama beberapa bulan
terakhir.Periode remisi selama terapi profilaksis harus diberi
kode.
j. F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
Gangguan Bipolar II
Episode manik berulang NOS
Diagnosis Banding
 Schizophrenia
Sangat sulit membedakan antara episode manik dengan schizophrenia.
Biasanya episode manik mamiliki onset lebih cepat, selain itu gejala elasi,
senang berbicara, dan hiperaktivitas lebih menonjol pada episode manik.
Sementara pada episode depresi dapat muncul gambaran kataton, oleh karena
itu pada pemeriksaan harus dicari apakah ada episode manik atau depresi pada
riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga dengan gangguan mood.
 Penyakit nonpsikiatri
Pasien depresi biasanya datang ke dokter dengan keluhan somatis. Obat-
obatan seperti obat antihipertensi, obat sedatif, obat jantung, antipsikotik,
antiepilepsi, analgesik, dapat menyebabkan depresi, selain itu pengobatan
antidepresan juga dapat berhubungan dengan presipitasi manik. Kondisi
neurologis seperti penyakit parkinson, demensia, epilepsi, penyakit
cerebrovaskular, dan tumor dapat memiliki gejala depresi yang tidak
berhubungan dengan kondisi fisik pasien.
 Gangguan psikotik akibat kondisi medik umum
 Gangguan psikotik akibat zat
 Gangguan skizoafektif
 Gangguan waham

5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana farmakologi dan Non Farmakologi


bipolar
 Terapi Non Farmakologi
 Psikoterapi
Menggobati penyalagunaan zat serta pemberian nutrisi yang baik dengan
protein normal dan asupan asam lemak esensial, berolahraga, tidur yang
cukup, pengurangan stres, dan terapi psikososial (Wells et al., 2015). Ini bisa
dilakukan dengan memberikan dukungan, edukasi, dan bimbingan kepada
orang-orang dengan gangguan bipolar dan keluarga penderita gangguan
bipolar. Beberapa perawatan psikoterapi yang digunakan untuk mengobati
gangguan bipolar meliputi (NIMH, 2016) :
 Terapi kognitif (CBT)
 Terapi keluarga
 Terapi psycotherapy interpersonal Electroconvulsive Therapy Bentuk
perawatan psikologis yang berbeda telah terbukti membantu mengurangi
gejala depresi (Kring et al., 2012). Electroconvulsive therapy (ECT) 30 adalah
perawatan yang aman dan efektif untuk penyakit mental berat tertentu. Pasien
dengan depresi adalah target untuk ECT yang cocok untuk diterapkan (Wells
et al., 2015).
Electroconvulsive Therapy (ECT) dapat memberikan bantuan bagi orang
dengan gangguan bipolar berat yang tidak dapat sembuh dengan perawatan
lainnya. Terkadang ECT digunakan untuk gejala bipolar saat kondisi medis
lainnya, termasuk kehamilan, yang terlalu berisiko minum obat. Pasien
gangguan bipolar harus mendiskusikan kemungkinan manfaat dan risiko ECT
dengan profesional kesehatan. Dikarenakan ECT dapat menyebabkan beberapa
efek samping jangka pendek, termasuk kebingungan, disorientasi, dan
penurunan memori. Hingga amnesia (NIHM, 2012).
 Terapi Farmakologi
Penatalaksaan secara farmakalogi first-line dalam pengobatan episode manic
dan episode depresi berulang dari gangguan bipolar adalah Litium. Golongan
obat penstabil mood atau antikonvulsan juga telah banyak digunakan
(contohnya, carbamazepine dan asam valproat) untuk pengobatan episode
mania akut dan untuk pencegahan kekambuhannya. Lamotrigin juga dapat
digunakan untuk terapi pencegahan kekambuhan. aripiprazol, klorpromazin,
olanzapine, quetiapine, risperidone, dan ziprasidoneare disetujui oleh FDA
untuk pengobatan episode manic gangguan bipolar. Pengobatan adjuvan
jangka pendek dengan benzodiazepin juga dapat membantu (APA, 2010).
Mekanisme kerja Diazepam dengan cara mengurangi konsentrasi epinefrin
plasma, serta menurunkan kecemasan, dan sebagai hasilnya Diazepam
meningkatkan fungsi seksual pada orang yang terhambat oleh kecemasan
(Kaplan and Sadock’s, 2015). Sedikit pasien memiliki kecemasan yang
melumpuhkan dan mungkin perlu benzodiazepin jangka pendek.
Benzodiazepin bermanfaat dalam mengurangi kecemasan. Diazepam
dinyatakan memiliki anti-fobia, anti-panik dan anti-kecemasan. Obat lain yang
digunakan termasuk clonazepam dan alprazolam (Ahuja, 2011).
Terapi untuk bipolar dibagi menjadi 2 yaitu terapi fase akut dan terapi
pemeliharaan. Pengobatan gangguan bipolar harus dilakukan secara individual
karena gambaran klinis, keparahan dan frekuensi terjadi yang bervariasi antar
pasien (Ikawati, 2011).
A. Fase Akut Terapi farmakologi gangguan bipolar adalah pengobatan yang
ditujukan untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pertama
yang dilakukan oleh psikiater harus melakukan pengkajian diagnosis dan
menilai keselamatan serta tingkat kemampuan pasien untuk mendapatkan
keputusan tentang pengaturan pengobatan yang optimal. Sedangkan tujuan
spesifik dari manajemen kejiwaan termasuk membangun dan memelihara
aliansi terapeutik, memantau status kejiwaan pasien, memberikan edukasi
mengenai gangguan bipolar, meningkatkan kepatuhan pengobatan,
mengatur pola tidur, mengantisipasi stres, mengidentifikasi episode baru
di awal, dan meminimalkan gangguan fungsional (APA, 2010).
B. Mania dan Episode Campuran
Pengobatan mania akut, atau hipomania, bisa digunakan dalam bentuk
tungga atau dapat dilakukan kombinasi. Pasien dengan mania berat paling
baik diobati di rumah sakit dimana dosis harus tepat dan outcome yang
akan didapat, dalam beberapa hari atau minggu. Kepatuhan terhadap
pengobatan sering menjadi masalah karena pasien kebanyakan mania
sangat membutuhkan pengetahuan tentang penyakit mereka dan
kebanyakan menolak untuk minum obat (Kaplan & Sadock’s, 2015).
Lini pertama untuk episode mania atau campuran (berat) adalah inisiasi
litium dengan antipsikotik, atau asam valproat dengan antipsikotik. Bagi
pasien yang tidak terlalu parah, monoterapi dengan lithium, valproate, atau
antipsikotik seperti olanzapine mungkin cukup. Pengobatan tambahan
jangka pendek yaitu benzodiazepin juga bisa membantu. Untuk episode
campuran, valproat lebih disukai daripada litium. Antipsikotik atipikal
lebih disarankan dari pada antipsikotik khas karena profil efek
sampingnya yang lebih minimal (APA, 2010).
C. Episode Depresi
Etiology dari depresi antara lain alkohol atau penggunaan obat. Mengobati
gejala depresi tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian nutrisi
yang baik dengan protein normal dan asupan asam lemak esensial,
berolahraga, tidur yang cukup, pengurangan stres, dan terapi psikososial
(Wells et al., 2015).

6. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis bipolar


Komplikasi
Komplikasi gangguan mood yang paling sering terjadi adalah bunuh diri,
pembunuhan dan kecanduan. Risiko bunuh diri pada pasien berlangsung seumur hidup
bila tidak mendapat terapi. Dokter harus mampu mengidentifikasi risiko bunuh diri pada
pasien. Penderita gangguan mood yang memiliki risiko bunuh diri lebih tinggi adalah
pasien perempuan dengan riwayat penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang, mengalami
gangguan mood episode pertama pada usia muda, durasi sakit yang lama, penggunaan
benzodiazepin, pasien dengan gejala yang berat, dan kepatuhan pengobatan yang buruk.

Gangguan bipolar dapat menyebabkan komplikasi biologis dan komplikasi


psikososial. Komplikasi tersebut antara lain:

 Obstructive sleep apnea


 Peningkatan risiko melahirkan secara C-section sebanyak 2 kali lipat
 Masalah terkait dengan penggunaan obat dan alkohol
 Percobaan bunuh diri
 Masalah legal dan finansial
 Hubungan dan relasi terganggu
 Performa sekolah dan kerja buruk
Prognosis
Prognosis penderita gangguan mood ditentukan oleh faktor sosio demografis dan
gejala yang dialami pasien. Prognosis yang lebih baik ditemukan pada pasien dengan
tingkat edukasi yang lebih tinggi dan waktu sakit yang lebih singkat.

Pasien dengan gangguan bipolar memiliki risiko tinggi melakukan bunuh diri. Di
Amerika Serikat pada tahun 1990-an, sekitar 25% - 50% orang dengan gangguan bipolar
melakukan percobaan bunuh diri, dan 11% diantaranya benarbenar bunuh diri (Stephen et
al 2012).

Pasien gangguan Bipolar I memiliki prognosis yang lebih buruk dari pasien
gangguan depresi. Dalam dua tahun setelah episode awal, sebanyak 40% - 50% dari
pasien mengalami serangan mania. Hanya 50% - 60% dari pasien gangguan Bipolar I
yang mendapat litium untuk mengatasi gejala. Sekitar 7% dari pasien tersebut mengalami
gejala tak terulang, 45% dari pasien mengalami lebih dari satu episode, dan 40% nya
memiliki gangguan persisten (Kaplan, dkk.1996).

7. Mahasiswa mampu menjelaskan tinjauan islam berkaitan dengan scenario dan


peran dokter keluarga terkait
AIK
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar daripada manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir." (QS. Al-Baqarah: 219)

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I., Sadock, B.J. Gangguan Mood dalam Sinopsis Psikiatri. Tangerang :
Binarupa Aksara; 2010
2. Kaplan & Sadock. Synopsis Of Psychiatry: Behavioral Scienes/Cinical/Psychiatri-
Elevent Edition; 2015
3. Ahuja, Niraj. A Short Text Book Psychiatry Seventh Edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2011
4. Stephen M. Stahl. Stahl’s Essential Psychopharmacology. Prescriber’s Guide, 6th
adition. California. Cambridge University Press; 2017
5. APA (American Psychiatric Association) Practice Guideline For The Treatment
of Patients with Bipolar Disorder Second Edition. American Psychiatric
Publishing; 2010
6. Katzung, et al. Basic & Clinical Pharmacology Twelfth Edition. United States:
The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012
7. NIMH (National Institute of Mental Health). Bipolar Disorder in Adults. United
States: Department of Health and Human Service National Institute of Health;
2012
8. Maletic, V dan Raison C. Integrated Neurobiology Of Bipolar Disorder. USA:
Frontiers in psychiatry; 2014
9. Kring, A.M., Johnson, S.L., Davisonm, G.C., and Neale, J..M. Abnormal
Psychology Twelfth Edition. United States: John Wiley & Sons, Inc; 2012

Anda mungkin juga menyukai