Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar gangguan
dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran
klinisnya. Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi yang menetap, bukan
hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara. Depresi
adalah suatu gangguan mood dengan ciri sedih, merasa sendirian, rendah diri, putus
asa, biasanya disertai tanda-tanda retardasi psikomotor atau kadang-kadang agitasi,
menarik diri dan terdapat gangguan vegetatif seperti insomnia dan anoreksia
(Sadock & Sadock, 2014). Selain gejala diatas dapat pula terganggunya aktivitas
sehari-hari, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan
minat apapun), lelah dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan
depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut
dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Marsasina, 2016)
Depresi dapat digolongkan menjadi depresi ringan, depresi sedang, depresi
berat tanpa gejala psikotik dan depresi berat dengan gejala psikotik.
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa tujuan.
Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi
diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Selanjutnya
melalui terapi harus dapat menurunkan banyak stresor berat dalam pasien. Secara
keseluruhan, penatalaksanaan gangguan mood harus diserahkan kepada psikiater.
Remisi penuh akan dialami pasien dalam waktu empat bulan degan pengobatan
yang adekuat (Ismail & Siste, 2015).

1.2 Tujuan
Menambah pengetahuan mengenai gangguan mood episode depresif mulai
dari etiologi hingga penatalaksanaannya.

1
1.3 Manfaat
Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis dan masyarakat sekitar
mengenai gangguan suasana perasaan (mood) episode depresi.

2
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Gangguan mood atau gangguan afektif meliputi sekelompok besar
gangguan dengan mood patologis serta gangguan terkait mood yang
mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan ini mengacu pada keadaan emosi
yang menetap, bukan hanya ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional
sementara. Gangguan mood paling baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri
atas sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu-minggu
hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan penyimpangan fungsi habitual
seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam bentuk periodik atau siklik
(Sadock & Sadock, 2010).
Pasien dengan mood menurun menunjukkan hilangnya energi dan minat,
rasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, serta pikiran mengenai
kematian dan bunuh diri. Gejala atau tanda lainnya berupa perubahan tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan, serta fungsi vegetative yang hampir
selalu menimbulkan gangguan fungsi interpersonal, sosial, dan pekerjaan
(Sadock & Sadock, 2010).
Depresi adalah suatu gangguan perasaan hati dengan ciri sedih, merasa
sendirian, rendah diri, putus asa, biasanya disertai tanda–tanda retardasi
psikomotor atau kadang-kadang agitasi, menarik diri dan terdapat gangguan
vegetatif seperti insomnia dan anoreksia (Sadock & Sadock, 2014).

3.2 FAKTOR RISIKO


1) Usia
Onset depresi terjadi rata-rata pada usia sekitar 40 tahun-an, namun pada 50
persen kasus tidak jarang onset terjadi diantara usia 20-50 tahun. Gangguan
depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut usia (Sadock & Sadock,
2014).
2) Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai predisposisi lebih yaitu sekitar 2:1 dalam prevalensi

3
depresi pada remaja setelah pubertas. Terdapat temuan yang kuat berdasarkan
penelitian secara epidemiologi dan klinis namun alasan perbedaan kerentanan
depresi berdasarkan jenis kelamin ini kemungkinan terkait dengan perubahan
hormon perempuan yang memengaruhi mood, kepekaan otak, dan respon terhadap
stres (Thapar, Collishaw, Pine, & Thapar, 2012).
3) Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Depresi
lebih rentan terjadi pada seseorang yang tidak menikah dan cerai dibandingkan
dengan seseorang yang menikah (Yan, Huang, Huang, Wu, & Qin, 2011)
4) Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan kolerasi antara status sosioekonomi dengan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding perkotaan
(Ismail & Siste, 2015).
5) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia
dewasa-tua. Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik.
Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan
pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali lebih besar
(Marsasina, 2016).

3.3 ETIOLOGI
3.3.1 Faktor Biologis
Neuroimaging
Berdasarkan berbagai penelitian yang berbeda terdapat hubungan yang
konsisten dan resiprokal antara daerah dorsokortikal serta ventrolimbik pada
depresi. Variasi kelainan dalam region ventromedial termasuk cingulate anterior
konsisten pada gangguan depresi. Terdapat pengecilan volume hipokampus pada
pasien depresi dibandingkan dengan yang normal (Marsasina, 2016).

Neurokimiawi
Terdapat peran neurotransmitter serotonin pada gangguan mood. Serotonin

4
disintesis dari asam amino esensial tryptophan dalam 2 tahap enzimatis.
Perubahan fungsi serotonergik otak menunjukkan perubahan fungsi tubuh dan
perilaku pada depresi seperti nafsu makan, fungsi seksual, sensitivitas nyeri, dan
temperatur tubuh. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa
pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang
rendah dalam cairan serebrospinal (Sadock & Sadock, 2010).
Bukti lain menunjukkan adanya keterlibatan reseptor prasinaps
β2-adrenergik pada depresi, aktivasi reseptor ini menimbulkan penurunan jumlah
norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor ini juga terletak pada neuron serotonergik
serta mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan (Sadock & Sadock, 2010).
Aktivitas dopamine berkurang pada depresi. Dua teori terkini mengenai
dopamine dan depresi adalah bahwa jaras dopamine mesolimbic mungkin
mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine D1 mungkin
hipoaktif pada depresi (Sadock & Sadock, 2010).

Regulasi Neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga
menerima berbagai input saraf melalui neurotransmitter amin biogenik. Berbagai
disregulasi neuroendoktrin dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood,
sehingga regulasi aksis neuroendokrin yang abnormal merupakan akibat fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik yang abnormal pula. Aksis
neuroendokrin utama yang dimaksud disini adalah aksis adrenal, tiroid, serta
hormone pertumbuhan.Sekitar 50% pasien yang mengalami depresi memiliki
tingkat kortisol yang meningkat. Sekitar sepertiga pasien dengan gangguan
depresif berat yang tidak memiliki aksis tiroid normal ditemukan memiliki respon
tirotropin dan hormone perangsang tiroid (TSH) yang tumpul terhadap hormone
pelepas tirotropin (TRH). Pasien depresi memiliki respon stimulasi pelepasan
hormone pertumbuhan oleh tidur yang tumpul (Sadock & Sadock, 2010).

3.3.2 Faktor Genetik


Studi keluarga, studi anak kembar dan studi anak adopsi dari gangguan
depresi unipolar pada umumnya menunjukkan risiko mendasar dari komponen
yang dapat diturunkan, namun gangguan bipolar mempunya sifat menurun yang

5
tinggi dibandingkan depresi unipolar berulang (Marsasina, 2016).

3.3.3 Faktor Psikososial


Peristiwa Hidup dan Stres Lingkungan
Peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih sering timbul mendahului episode
gangguan mood yang mengikuti. Stress yang mendahului episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama pada biologi otak. Perubahan ini
dapat menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan
system pemberian sinyal intraneuron, hilangnya neuron, dan berkurangnya kontak
sinaps yang berlebihan.Sehingga penderita memiliki risiko tinggi mengalami
episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa stressor eksternal (Sadock &
Sadock, 2010).

Faktor Kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
menjadi predisposisi depresi. Semua orang dengan pola kepribadian apapun dapat
mengalami depresi di bawah situasi yang sesuai (Sadock & Sadock, 2010).

3.4 DIAGNOSIS
Berikut kriteria diagnosis episode depresif menurut PPDGJ-III
F32 Episode Depresif
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat)
- Afek depresif,
- Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- Berkurangnya energi, mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas (Maslim, 2013).
Gejala lainnya :
(a) Konsentrasi dan perhatian berkurang;
(b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
(c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
(d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
(e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
(f) Tidur terganggu;
(g) Nafsu makan berkurang.

6
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, namun periode
yang lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala sangat berat dan berlangsung cepat.
Kategori episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama).Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif
berulang (F33.-) (Maslim, 2013).

F32.0 Episode Depresif Ringan


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
disebut diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai dengan
(g).
 Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode Depresif Sedang


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan;
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
 Menghadapi kesulitan nyata utnuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


 Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat.
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

7
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.

F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik


 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas;
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggungjawab atas hal itu. Halusianasi
auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).

3.5 TATALAKSANA
Penatalaksanaan pasien gangguan mood harus diarahkan kepada beberapa
tujuan. Pertama, keselamatan pasien harus terjamin. Kedua, kelengkapan evaluasi
diagnostik pasien harus dilaksanakan. Ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk
gejala, tetapi kesehatan jiwa pasien kedepan juga harus diperhatikan. Walaupun
penatalaksanaan farmakoterapi dan psikoterapi harus dipikirkan pada pasien,
peristiwa kehidupan yang penuh ketegangan dapat meningkatkan angka
kekambuhan pasien dengan gangguan mood. Selanjutnya melalui terapi harus dapat

8
menurunkam banyak stresor berat dalam pasien. Secara keseluruhan,
penatalaksanaan gangguan mood harus diserahkan kepada psikiater. Remisi penuh
akan dialami pasien dalam waktu empat bulan degan pengobatan yang adekuat
(Ismail & Siste, 2015).

3.5.1 Rawat inap


Indikasi yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis,
risiko bunuh diri atau membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis
untuk mendapatkan makanan dan tempat tinggal. Riwayat gejala yang berkembang
cepat serta rusaknya sistem dukungan pasien yang biasa juga merupakan indikasi
rawat inap. Pasien dengan gangguan mood sering tidak ingin masuk rumah sakit
dengan sukarela dan mungkin harus dipaksa masuk (Sadock & Sadock, 2014).

3.5.2 Terapi keluarga


Terapi keluarga tidak umum digunakan sebagai terapi primer untuk gangguan
depresi berat, tetapi meningkatkan bukti klinis dapat membantu pasien dengan
gangguan mood untuk mengurangi dan menghadapi stres dan untuk mengurangi
adanya kekambuhan. Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang
membahayakan perkawinan pasien atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood
didasari atau dapat ditangani oleh situasi keluarga. Terapi keluarga menguji peran
pasien gangguan mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran pasien gangguan
mood pada seluruh keluarga, juga menguji peran dari keluarga untuk menangani
gejala pasien (Ismail & Siste, 2015).

3.5.3 Farmakoterapi
Penanganan efektif dan spesifik, seperti obat trisiklik, untuk gangguan
depresi berat telah digunakan selama 40 tahun. penggunaan secara spesifik
farmakoterapi diperkirakan kemungkinan sembuh dua kali lipat dalam waktu satu
bulan. Meskipun demikian, masih ada permasalahan dalam penanganan gangguan
depresi berat: beberapa pasien tidak berespons dengan terapi pertama.
Antidepresan membutuhkan waktu 3 sampai 4 minggu untuk memberikan efek
terapi yang bermakna, meskipun ada yang menunjukkan efek terapi lebih awal;

9
dan secara relative, semua antidepresan yang tersedia menjadi toksik pada dosis
yang kelebihan dan menunjukkan efek samping.
Antidepresan lainnya adalah Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)
seperti fluoxetine, paroxetine (paxil), dan sertraline (Zoloft). Antidepresan
golongan lain misalnya bupropion, venlafaxine, nefazodone (serzone) dan
mirtazapine (remeron), menunjukkan secara klinis hasil yang sama efektif dengan
obat terdahulu tetapi lebih aman dan toleransinya lebih baik.
Gejala pertama yang menjadi penanganan adalah sulit tidur dan gangguan
dalam pola makan. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mengamuk, cemas,
dan rasa putus asa. Target gejala lainnya termasuk energy menurun, kurang
konsentrasi, tidak berdaya, dan menurunnya libido.
Edukasi pasien yang adekuat tentang kegunaan antidepresan sebagai hal
penting untuk kesuksesan terapi termasuk pemilihan obat dan dosis yang paling
sesuai. Ketika mengenalkan penggunaan obat kepada pasien, dokter perlu
menekankan gangguan depresi berat adalah kombinasi dari faktor biologi dan
psikologi; kedua-duanya mendapatkan manfaat dengan terapi pengobatan. Dokter
juga harus menekankan kepada pasien tidak akan menjadi ketergantungan dengan
obat antidepresan karena obat tidak memberikan kepuasan segera dan dosis obat
akan diturunkan secara perlahan-lahan sesuai dengan evaluasi gejala.
Pada pemberian antidepresan, obat akan memperlihatkan efek
antidepresan yang optimal dalam 3 sampai 4 minggu. Timbulnya efek samping
menunjukkan obat bekerja, tetap efek samping yang timbul ini harus dijelaskan
secara detail. Sebagai contoh, beberapa pasien yang meminum antidepresan
golongan SSRIs menjadi gelisah, mual dan muntah sebelum adanya perbaikan
gejala. Efek samping berkurang seiring berjalannya waktu. Dengan obat trisiklik
dan MAOis, dokter akan menjelaskan kepada pasien bahwa gejala yang akan
membaik lebih awal adalah adanya perbaikan tidur dan selera makan, yang diikuti
oleh perbaikan pada perasaan kurang energy, dan terakhir perasaan depresi,
untungnya hal terakhir merupakan gejala yang terakhir muncul. Apabila pada 3
minggu setelah pemberian obat antidepresan pasien belum memperlihatkan
perbaikan gejala atau perbaikan gejala kurang dari 20% maka perlu mengganti
antidepresan dengan antidepresan golongan lainnya. Namun setelah 3-6 minggu

10
pemberian antidepresan hanya didapatkan respon parsial, maka dosis obat harus
terus dinaikkan sampai dosis maksimal atau dengan pemberian augmentasi,
misalnya dengan litium atau psikostimulan, yang terbukti ada penelitian
mempercepat perbaikan gejala dalam waktu 1-2 minggu pada 25% pasien
(Ismail & Siste, 2015).

Gambar 2.1 Algoritma terapi depresi tanpa komplikasi (Marsasina, 2016)

3.5.4 Psikoterapi
Penggunaan psikoterapi direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan
awal untuk pasien gangguan depresi ringan sampai sedang, dengan bukti klinis

11
yang mendukung penggunaan terapi kognitif-perilaku, psikoterapi interpersonal,
psikodinamik terapi, dan terapi pemecahan masalah pada masing masing individu
maupun berkelompok. Faktor-faktor dilakukannya intervensi psikoterapi adalah
adanya stres psikososial yang signifikan, konflik intrapsikis, kesulitan
interpersonal, gangguan pada axis II, ketersediaan pengobatan, atau yang
keinginan pasien (APA, 2015).
 Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi
kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik utama yang digunakan adalah pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback.
 Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang
ada dan belum tampak, didukung egonya agar lebih bisa beradaptasi optimal dan
fungsi sosial dan pekerjaannya.
 Psikoterapi berorientasi tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah
sadar, menilik egostrengh, relasi objek, serta keutuhan self pasien.
Pada wanita yang sedang hamil, ingin hamil, atau sedang menyusui, terapi
psikoterapi tanpa farmakoterapi dipertimbangkan sebagai pilihan awal dan
tergantung pada tingkat keparahan gejala. Pertimbangan dalam memilih jenis dari
psikoterapi mencakup tujuan, respon positif pada terapi psikoterapi sebelumnya,
keinginan pasien, dan ketersediaan dokter ahli dalam pendekatan psikoterapi yang
spesifik (APA, 2015)
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa psikoterapi merupakan terapi
yang bermakna untuk depresi. Pemberian psikoterapi dan obat, lebih efektif. Terapi
penggabungan ini lebih baik hasilnya daripada hanya pemberian obat saja. Pasien
juga dapat bertahan lebih lama menggunakan obat bila ia dalam proses psikoterapi.
Hal yang perlu diingat pada pemilihan jenis psikoterapi adalah tentang kondisi
pasien. Bila pasien dalam kondisi depresi berat, terlebih dengan ciri psikotik, yang
dapat dilakukan hanya psikoterapi suportif, jangan menghibur pasien atau langsung
diberi nasihat karena pasien akan bertambah sedih bila tidak mampu melaksanakan

12
nasihat dokternya. Bila pasien sudah lebih tenang, tidak dipengaruhi gejala
psikotiknya, dapat dipertimbangkan pemberian psikoterapi kognitif, atau
kognitif-perilaku atau psikoterapi dinamik (Ismail & Siste, 2015).

3.5.5 Electrocolvulsice Therapy


Electroconvulsive Therapy (ECT) biasanya digunakan jika pasien tidak
berespon terhadap farmakoterapi dengan dosis yang sudah adekuat atau tidak dapat
mentoleransi farmakoterapi atau pada tampilan klinis yang sangat berat yang
memperlihatkan perbaikan sangat cepat dengan penggunaan ECT (Ismail & Siste,
2015).

3.6 PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Biasanya
cenderung untuk menjadi kronik dan kambuh. Episode pertama gangguan depresi
berat yang dirawat di rumah sakit sekitar 50 persen angka kesembuhannya pada
tahun pertama. Persentase pasien untuk sembuh setelah perawatan berulang
berkurang seiring berjalannya waktu. Banyak pasien yang tidak pulih akan
menderita gangguan distimik. Kekambuhan depresi berat juga sering terjadi.
Sekitar 25 persen pada 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 30 sampai 50
persen dalam 2 tahun pertama, dan sekitar 50 sampai 75 persen dalam periode 5
tahun. Insiden relaps berkurang pada pasien yang melanjutkan terapi psikofarma
profilaksis dan pasien yang hanya mempunyai satu atau dua episode depresi. Secara
umum, semakin sering pasien mengalami episode depresi, semakin memperburuk
keadaannya (Sadock & Sadock, 2014).
Indikator prognosis adalah identifikasi indikator prognosis baik dan buruk
pada depresi berat. Pasien mempunyai kemungkinan prognosis baik jika episode
ringan, tidak ada gejala psikotik, singkatnya waktu rawat inap, indikator
psikososial meliputi mempunyai teman akrab selama remaja, fungsi keluarga stabil,
lima tahun sebelum sakit secara umum fungsi sosial baik. Sebagai tambahan, tidak
ada komorbiditas dengan gangguan psikiatri lain, tidak lebih dari sekali rawat inap
dengan depresi berat, onsetnya awal pada usia lanjut. Pasien mempunyai
kemungkinan prognosis buruk jika depresi berat bersamaan dengan distimik,

13
penyalahgunaan alkohol dan zat lain, ditemukan gejala gangguan cemas, ada
riwayat lebih dari sekali episode depresi sebelumnya (Ismail & Siste, 2015)

14
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 31 tahun datang ke


Poliklinik RSJD Atma Husada Samarinda pada tanggal 14 November 2019
dengan keluhan merasa sedih. Datang dengan diantar oleh kedua orang tuanya.
Pasien datang untuk berobat pertama kali, 2 bulan lalu pasien mulai
mengalami keluhan-keluhan ini yaitu merasa sedih, hilangnya minat, sulit tidur,
gelisah, hilang konsentrasi, merasa bersalah, menarik diri dari lingkungan, dan ide
percobaan bunuh diri.
Dari pemeriksaan psikiatri didapatkan kesan umum rapi dan kooperatif,
kontak verbal dan visual baik, berorientasi baik dan memberikan atensi yang baik,
mood depresif dan afek sesuai, proses berpikir cepat dan koheren, intelegensi
baik, kemauan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari menurun, serta
psikomotor normal.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan
dengan HDRS didapatkan skor 21, depresi berat.
Sehingga di diagnosis Episode depresi berat dan diberikan tatalaksana
nonfarmakoterapi dan farmakoterapi yatu sertraline 1 x 20 mg, risperidone 20 mg

2 x ½ tab dan meropenem 20 mg 2 x ½ tab.

15
DAFTAR PUSTAKA

American Pyschiatric Association. (2015). Practice guideline for the treatment of


patients with major depressive disorder, third edition. United States: National
Guideline Clearing House.

Ismail, R. I., & Siste, K. (2015). Gangguan Depresi. In S. D. Elvira, & G.


Hadisukanto, Buku Ajar Psikiatri (p. 228). Jakarta: Badan Penerbit FK UI.

Marsasina A. (2016). Gambaran dan Hubungan Tingkat Depresi dengan


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas.
Jurnal Undip. 2016, 29-33

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan


DSM-5. Jakarta: PT. Nuh Jaya.

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Thapar, A., Collishaw, S., Pine, D. S., & Thapar, A. K. (2012). Depression in
adolescence. The Lancet, 379(9820), 1056–1067.

16

Anda mungkin juga menyukai