Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FARMAKOTERAPI

“PENATALAKSANAAN NYERI DEPRESI MAYOR’’

DISUSUN OLEH:
ANGELINA E. F. KOUNANG
N111 14 337
FARMAKOTERAPI A

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS FARMASI
MAKASSAR
2016
BAB I

LATAR BELAKANG

Gangguan depresi adalah jenis jenis penyakit gangguan jiwa yang sering

terjadi di masyarakat. Prevalensi gangguan depresi di Indonesia ada sebanyak

11,60% dari jumlah penduduk di Indonesia sekitar 24.708.000 jiwa dan 50 persen

terjadi pada usia 20 – 50 tahun (1). Perempuan dua kali lipat beresiko mengalami

depresi dibandingkan laki – laki, hal ini diperkirakan adanya perbedaan hormon,

pengaruh melahirkan, dan perbedaan stresor psikososial (2).

Ganggguan mood yang terjadi pada seseorang umumnya terjadi karena

banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut dalam tekanan

dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang kemudian dapat

berubah menjadi depresi terutama depresi mayor (3).

Gangguan depresi mayor (GDM) merupakan gangguan jiwa serius dan

sering rekuren. Gangguan depresi mayor menjadi isu utama kesehatan masyarakat

dan beban berat bagi manusia. Di Indonesia gambaran besarnya masalah

kesehatan jiwa, baik anak-anak maupun dewasa, dapat dilihat dari Survey

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Badan

Litbangkes Depkes RI dengan menggunakan sampel susenas – BPS (Badan Pusat

Statistik ) terhadap 65.664 rumah tangga. Temuannya menunjukkan bahwa

prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga adalah 140 orang

menderita gangguan mental emosional. Prevalensi diatas 100 per 1000 anggota

rumah tangga dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting (1).
Dari uraian di atas, cukup tingginya angka kejadian depresi di Indonesia

memotivasi penulis untuk membahas tentang penyakit depresi mayor,

patofisiologi, dan penatalaksaan terapinya.


BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Depresi

Depresi merupakan bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif,

mood) yang biasa ditandai dengan kemurungan, kesedihan, kelesua, kehilangan

gairah hidup, tidak ada semangat, merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, tidak

berguna, dan putus asa (4). Mekanisme terjadinya yaitu, depresi berkaitan dengan

kadar nurotransmitter terutama norepinefrin dan serotonin di dalam otak. Kadar

Norepinefrin da serotonin yang rendah dapat menyebabkan depresi (5). Reseptor

serotonin atau 5-Hydroxytriptamine (5-HT) merupakan senyawa neurotransmitter

monoamine yang terlibat pada penyakit depresi. Serotonin di otak disekresikan

oleh raphe nuclei di batang otak. Serotonin disintesis oleh perkusornya yaitu

triptofan dengan dibantu enzim triptofan hidroksilase dan asam amino aromatic

dekarboksilase, serotonin yang terbentuk kemudian disimpan di dalam

monoamine vesikuler, selanjutnya jika ada picuan serotonin akan terlepas menuju

celah sinaptik. Serotonin yang terlepas akan mengalami berdifusi menjauh dari

sinaptik, dimetabolisir oleh MAO, mengaktivasi reseptor presinaptik,

mengaktivasi reseptor post-sinaptik dan mengalami re-uptake dengan bantuan

transporter serotonin presinaptik (6). Berbagai gambaran klinis gangguan depresi

yakni gangguan episode depresi, gangguan distimia, gangguan depresi mayor dan

gangguan depresi unipolar serta bipolar. Depresi mayor dan distimia atau minor

merupakan sindrom depresi murni, sedangkan gangguan bipolar dan gangguan

siklotimik merupakan tanda depresi yang diasosiasikan dengan mania (7).


II.2 Depresi Mayor

Gangguan depresi mayor di diagnosis berdasarkan pada munculnya satu

atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat

episode manic (berhubungan dengan maniak, seperti dalam fase manic dari

gangguan bipolar) atau hypomanic (mengacu pada keadaan maniak yang lebih

ringan atau kegirangan). Dalam episode depresi mayor, orang tersebut mengalami

salah satu di antara mood depresi (merasa sedih, putus asa, atau terpuruk) atau

kehilangan minat/rasa senang dalam semua atau berbagai aktivitas untuk periode

waktu paling sedikit 2 minggu (3).

Orang dengan gangguan depresi mayor juga memiliki selera makan yang

buruk, kehilangan atau bertambah berat badan secara mencolok, memiliki

masalah tidur atau tidur terlalu banyak, dan menjadi gelisah secara fisik, atau yang

pada situasi ekstrem lainnya menunjukkan melambatnya aktivitas motorik. Orang

dengan depresi mayor dapat kehilangan minat pada hampir semua aktivitas rutin

dan kegiatan senggang mereka, memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi dan

membuat keputusan, memiliki pikiran yang menekan akan kematian dan mencoba

bunuh diri. (8)

Gangguan depresi mayor adalah tipe paling umum dari gangguan mood

yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar antara

10% hingga 25% untuk wanita dan 5% hingga 12% untuk pria (3). Depresi

mayor, khususnya pada episode yang lebih berat atau parah, dapat disertai dengan

cirri psikosis, seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit. Orang dengan

depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti “mendengar” suara-suara


orang lain, atau iblis, yang mengutuk mereka atas kesalahan yang dipersepsikan

(9).

Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka bulanan

atau satu tahun atau bahkan lebih. Rata-rata orang dengan depresi mayor dapat

diperkirakan mengalami empat episode selama hidupnya. Orang yang terus

memiliki simptom-simptom yang terus bertahan, banyak ahli memandang depresi

mayor sebagai suatu gangguan kronis, bahkan sepanjang hidup. Dari sisi

positifnya, semakin panjang periode kesembuhan depresi mayor, semakin rendah

risiko untuk kambuh di kemudian hari (9).

II.3 Patofisiologi

Gangguan depresi mayor dapat terjadi tanpa stresor kehidupan

sebelumnya. Sebaliknya, tidak semua individu yang terpajan dengan stresor

kehidupan mengalami depresi. Stresor kehidupan dapat menyebabkan depresi

hanya pada orang-orang tertentu. Ada dugaan bahwa depresi terjadi akibat

interaksi antara gen dengan lingkungan. Stresor kehidupan yang terjadi setelah

usia 21 tahun, secara bermakna menyebabkan terjadinya depresi pada usia 26

tahun. Depresi hanya terjadi pada karier dengan S-alel yang tidak mempunyai

riwayat depresi sebelumnya. Depresi tidak terjadi pada l/l homozigot. Ide bunuh

diri - biasanya mempunyai dasar genetik – juga terjadi pada individu dengan S-

alel bukan pada l/l homozigot. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah

(maltreatment) selama dekade pertama kehidupannya dan kemudian mengalami

depresi setelah dewasa adalah anak-anak dengan S-alel bukan yang dengan l/l

homozigot (10).
II.4 Faktor Resiko

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan

depresi mayor meliputi usia (onset awal lebih umum terjadi pada dewasa muda

daripada dewasa yang lebih tua); status sosioekonomi (orang dengan taraf

sosioekonomi yang lebih rendah memiliki risiko yang lebih besar dibanding

mereka dengan taraf yang lebih baik); dan status pernikahan (orang yang berpisah

atau bercerai memiliki risiko yang lebih tinggi daripada orang yang menikah atau

tidak pernah menikah) (9).

Wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar daripada

pria untuk mengalami depresi mayor. Meski perbedaan hormonal atau perbedaan

biologis lainnya yang terkait dengan gender kemungkinan berpengaruh, namun

sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh American Psychological

Association (APA) menyatakan bahwa perbedaan gender sebagian besar

disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stress yang dihadapi wanita dalam

kehidupan kontemporer. Diskusi panel tersebut menyimpulkan bahwa wanita

lebih cenderung daripada pria untuk menghadapi faktor-faktor kehidupan yang

penuh tekanan seperti penganiayaan fisik dans eksual, kemiskinan, orang tua

tunggal, dan diskriminasi gender. Pria dan wanita dengan gangguan tersebut tidak

berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali,

frekuensi kambuh, keparahan/durasi kambuh, atu jarak waktu untuk kambuh yang

pertama kalinya (9).

Perbedaan dalam gaya coping juga dapat membantu menjelaskan

mengenai lebuh besarnya kerentanan wanita untuk terkena depresi.

Respon coping seseorang dapat menambah atau mengurangi keparahan dan durasi
dari episode depresi. Depresi mayor umumnya berkembang pada masa dewasa

muda, dengan usia rata-rata onsetnya adalah pertengahan 20 (9).

II.5 Gejala Klinis

Gejala depresi pada setiap orang berbeda – beda, hal ini tergantung pada

berat atau ringannya gejala (1). Gejala yang ditemui pada pasien depresi yaitu

gejala emosional, gejala fisik, gejala intelektual atau kognitif dan gangguan

psikomotor. Gejala emosi ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk

menikmati kesenangan, kehilangan minat, kegiatan, hobi yang biasa dikerjakan,

tampak sedih, pesimis, tidak ada rasa percaya diri, merasa tidak berharga,

perasaan cemas yang berlebihan, merasa bersalah yang tidak realistis, dan

berhalusinasi (2).

Gejala fisik yang biasa muncul adalah kelelahan, nyeri (terutama sakit

kepala), gangguan tidur (sulit tidur, terbangun di malam hari), ganguan nafsu

makan, keluhan pada sistem pencernaan, keluhan pada sistem kardiovaskular

(terutama palpitasi) dan hilangnya gairah seksual (2). Gejala intelektual atau

kognitif, meliputi: penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, ingatan yang

lemah terhadap kejadian yang baru terjadi, kebingungan dan ketidakyakinan.

Gejala psikomotorik yang biasanya muncul yaitu, retardasi psikomotorik

(perlambatan gerakan fisik, proses berpikir, dan bicara) atau agitasi psikomotor

(4).

II.6 Fase Pengobatan

Ada tiga fase pengobatan depresi: (11)

1. Fase akut, biasanya berlangsung selama 6-10 minggu


2. Fase lanjutan, sering berlangsung sekitar 16-20 minggu dan dapat

hingga 9-12 bulan

3. Fase rumatan; pada pasien depresi rekuren, fase ini dapat berlangsung

selama hidup.

Tujuan terapi pada fase lanjutan yaitu untuk mempertahankan atau untuk

meningkatkan respons terhadap terapi akut dan mencegah relaps. Terapi rumatan

bertujuan untuk mencegah rekurensi. Pasien depresi membutuhkan terapi jangka

panjang. Pada beberapa pasien, durasi episode depresi berlangsung sangat

panjang. Sekitar 50% individu dengan episode pertama depresi mayor pulih dalam

tiga bulan.29 Sebanyak 37% tidak pulih setelah 6 bulan dan 20% tidak pulih

setelah 24 bulan. Terapi jangka panjang dapat mengurangi relaps. Obat

antidepresan, psikoterapi, dan kombinasi keduanya efektif mencegah relaps dan

rekurensi.28 Angka relaps dengan terapi antidepresan adalah 18%, sedangkan

dengan plasebo sebesar 41% (12).

II.7 Terapi Farmakologi

Respons terapi akan berkurang bila pengobatan terlambat. Makin kronis

depresi, makin buruk respons terhadap pengobatan. Episode depresi mayor sering

tidak berhasil diobati. Tidak ada ketentuan pasti lama pengobatan yang dianggap

tidak berhasil (13).

Tahapan dalam pengobatan depresi: (13)

1. Meningkatkan dosis obat, bila tidak ada respons

Hal ini dapat dilakukan bila obat memiliki efek samping minimal atau

tidak ada efek samping.


2. Mengganti dengan antidepresan lain

Sering dilakukan dengan mengganti obat, terutama dari kelas yang

sama. Terjadi peningkatan efikasi setelah SSRI diganti dengan

venlafaxine. Potensi interaksi farmakokinetik atau farmakodinamik

perlu diperhatikan. Misalnya, penggantian dari monoamine oxidase

inhibitor (MAOI) ke SSRI dapat menimbulkan sindrom serotonin.

3. Penambahan obat lain

Terdapat bukti adanya perbaikan depresi setelah antidepresan

ditambah dengan lithium, olanzapine, risperidone, quetiapine, atau

aripiprazole. Penambahan dengan aripiprazole terlihat lebih efektif

Adapun terapi psikologik yang dapat dilakukan yaitu kombinasi

antidepresan dengan cognitive behavioral therapy (CBT) lebih efektif

dibandingkan antidepresan atau CBT saja. Sedangkan terapi fisik yang dapat

dilakukan adalah Electroconvulsive therapy dapat digunakan pada depresi sangat

berat yang tidak berhasil diatasi dengan dua atau lebih terapi lainnya. Penempatan

elektroda mempengaruhi efikasi dan efek samping; unilateral lebih baik. Vagal

nerve stimulation, merupakan pilihan untuk pasien depresi kronik yang resisten

terhadap pengobatan (14).


BAB III

PENUTUP

Gangguan depresi mayor merupakan gangguan berat dan sering rekuren.

Terdapat perbedaan respons terapi, derajat kesembuhan, dan prognosis jangka

panjang di antara pasien, yang terjadi karena tidak samanya etiopatogenesis.

Akibatnya, luaran hasil terapi, seperti durasi respons dan remisi, sangat bervariasi.

Tujuan pengobatan depresi adalah asimptomatik atau pulih. Ada tiga bentuk

luaran terapi depresi, yaitu responsif, remisi, dan pulih. Tidak ada kesepakatan

tentang definisi masing-masing bentuk luaran tersebut.

Pencapaian remisi sempurna masih sangat rendah. Sebanyak 37% tidak

pulih setelah 6 bulan dan 20% tidak pulih setelah 24 bulan. Dengan kata lain,

remisi parsial atau gejala sisa sering ditemukan. Gejala sisa perlu dievaluasi

karena merupakan faktor risiko relaps. Kualitas hidup dan fungsi lebih buruk pada

pasien yang mempunyai gejala sisa. Pasien depresi membutuhkan terapi jangka

panjang agar dapat mengurangi relaps atau rekurensi. Karena beragamnya

penyebab depresi, beberapa modalitas terapi dapat digunakan. Kombinasi

farmakoterapi dengan psikoterapi lebih efektif untuk mengobati depresi dan

mencegah relaps atau rekurensi, dibandingkan dengan hanya farmakoterapi atau

psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

2. Ismail, R. I. & Siste, K. 2010. Gangguan Depresi. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

3. Nevid, Jeffrey S., dkk. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga

4. Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama

5. Prayitno. 2008. Farmakologi Dasar. Jakarta: Lenskopi. 129–130

6. Ikawati, Z. 2008. Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press

7. Potter, Z. W. & Hollister, E. L. 2002. Agen – Agen Antidepresan, Jakarta:

Salemba Medika

8. Carson, Robert C., Butcher, James N. 1992. Abnormal Psychology and

Modern Life, Ninth Edition. New York: Harper Collins Publisher.

9. Getzfeld, Andrew R. 2004. Abnormal Psychology Casebook: A New

Perspective. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

10. Durand, V. Mark. 2006. Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

11. Mann JJ. The Medical Management of Depression. New Eng J Med.

2005;353:1819-34.

12. Blier P, Keller MB, Pollack MH, Thase ME, Zajecka JM, Dunner DL.

Preventing Recurrent Depression: Long-term Treatment for Major Depressive

Disorder. J Clin Psychiatry 2007;68:e06.


13. Geddes JR, Carney SM, Davies C, Furukawa TA, Kupfer DJ, Frank E.

Relapse Prevention with Antidepressant Drug Treatment in Depressive

Disorders: a Systematic Review. Lancet 2003;361:653-61

14. Thase ME. Evaluating antidepressant therapies: Remission as the Optimal

Outcome. J Clin Psychiatry 2003;64(suppl 13):18-25

Anda mungkin juga menyukai