Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN April 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT : PATOFISIOLOGI GANGGUAN DEPRESI

Disusun Oleh:
Moh.Fauzan
C014 182 222

Residen Pembimbing :
dr. Tri Anny Rakhmawati

Supervisor Pembimbing :
dr. Erlyn Limoa, Sp. KJ Ph.D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Moh.Fauzan
Stambuk : C014 822 222
Judul Referat : Patofisiologi Gangguan Depressi

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus yang telah disetujui
serta telah dibacakan dihadapan pembimbing dan supervisor dalam rangka
kepaniteraan klinik pada bagian ILMU KEDOKTERAN JIWA Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Supervisor Pembimbing, Residen Pembimbing,

dr. Erlyn Limoa, Sp. KJ Ph.D dr. Tri Anny rakhmawati

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...............................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................3
1.1 Latar Belakang.................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................4
2.1 Definisi................................................................................................4
2.2 Epidemiologi.......................................................................................4
2.3 Tanda dan Gejala ................................................................................5
2.4 Patofisiologi gangguan depresi............................................................6
2.5 Pedoman diagnostik ............................................................................9
2.7 Tatalaksana Depresi.............................................................................11
BAB III PENUTUP ..............................................................................................13
3.1 Kesimpulan......................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................14
LAPORAN KASUS..............................................................................................15

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi seringkali disebut sebagai gangguan kejiwaan yang paling umum terjadi
karena memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi. Setidaknya sekitar 350 juta orang di
dunia mengalami depresi dalam hidupnya, di antaranya hanya 17% pasien yang
memeriksakan dirinya ke psikiater (World Health Organization, 2012), sementara masih
sangat banyak penderita depresi yang tidak tertangani akibat kurangnya kesadaran akan hal
ini (Hawari, 2011).
Menurut WHO (2013), depresi merupakan gangguan psikologis terbesar ketiga yang
diperkirakan terjadi pada 5% penduduk di dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Pracheth
dkk (2013) di India, memberikan hasil dari 218 lanjut usia yang diteliti, terdapat 64 orang
(29,36%) yang mengalami depresi. Di Indonesia, belum ada penelitian yang menyebutkan
secara pasti tentang jumlah prevalensi lanjut usia yang mengalami depresi. Namun
peningkatan jumlah penderita depresi dapat diamati bertambah dari waktu ke waktu melalui
peningkatan jumlah kunjungan pasien yang berobat ke pelayanan kesehatan maupun
peningkatan obat psikofarmaka yang diresepkan oleh dokter (Hawari, 2013). Diperkirakan
dari jumlah lanjut usia di Indonesia pada tahun 2013 yaitu 24 juta jiwa, 5% mengalami
depresi. Akan meningkat 13,5% pada lanjut usia yang memiliki penyakit kronis dan dirawat
inap. Proporsi terbanyak terdapat pada daerah padat penduduk seperti Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Jawa Barat (Rachmaningtyas, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar juga menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat
11,6% populasi orang dewasa di Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti
kecemasan dan depresi, yang mana penduduk perkotaan memiliki prevalensi lebih tinggi
daripada penduduk pedesaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Data dari berbagai epidemiologi psikiatri di Indonesia juga
menyebutkan bahwa sekitar 25% penduduk Indonesia pernah mengalami depresi semasa
hidupnya (Etty, 2001). Hal ini membuktikan bahwa depresi merupakan salah satu gangguan
yang dapat mengancam siapa saja.
BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan
distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar.
Menurut Kaplan depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif karena adanya penderitaan yang berat. Dikatakan
gangguan mood karena merupakan gangguan emosional internal yang sifatnya meresap dan
bertahan lama bukan satu saat saja.
Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak, bukan
sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap selama
beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang. (Kaplan, et al, 2010)
Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan periode
terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan murung dan gejala
lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan berat badan, gangguan
konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya
serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang
(distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari
pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya. (Hawari, 2013).

2.2 Epidemiologi
Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210
juta jiwa penduduk. Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-4 kali lipat,
dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, denga
peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan
wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi,
perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita.
Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada masa
hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini disebabkan

5
karena harapan hidup pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan mungkin juga
menyebabkan angka yang tinggi untuk wanita tua mengalami depresi.
Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat
dan terus menerus yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi seumur
hidup sebanyak 9-20%. Pada kriteria lain yang digunakan pada depresi berat, prevalensi
depresi 3% untuk pria dan 4-9% untuk wanita. Resiko seumur hidup 8-12% untuk pria dan
20-28% untuk wanita. Sekitar 12-20% pada orang yang mengalami episode akut berkembang
menjadi sindrom depresi kronis, dan diatas 15% pasien yang mengalami depresi lebih dari 1
bulan dapat melakukan bunuh diri.

2.3 Tanda dan Gejala


Klasifikasi Depresi
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai
berikut:
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah ( rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja ) dan menurunnya aktivitas.
Gejala Lainnya :
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. Kategori diagnosis episode
depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode

6
depresif tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah
salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

2.4 Patofisiologi gangguan depresi

Stressor

Korteks serebri dan amigdala menerima sinyal dan


diteruskan ke hipotalamus

Hipotalamus akan mengeluarkan CRH dan pituitari


mengeluarkan kortikotropin

Kortikotropin kemudian menstimulasi kortek adrenal dan


keluarkan hormon kortisol

Peningkatan hormon kortisol menyebabkan terjadinya


penurunan serotonin dan dopamine

Serotonin yang rendah memicu penurunan norephinefrin

Norephinefrin yang rendah meyebabkan terjadinya depresi

Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Salah satu etiologi daripada
gangguan depresi adalah akibat dari ketidakseimbangan bahan kimia otak. Dimensi biologis
dari depresi, otak memiliki banyak lapisan masalah yang terlibat seperti neurotransmitter.
Otak menggunakan sejumlah bahan kimia sebagai pembawa pesan untuk berkomunikasi
dengan bagian lain dari dirinya dan dalam sistem saraf. Sel-sel saraf adalah jenis sel utama

7
dalam sistem saraf. Ini disebut neuron yang berkomunikasi melalui pembawa pesan kimia,
yang disebut neurotransmitter. Utusan ini dilepaskan dan diterima oleh banyak neuron otak.
Neuron secara konstan berkomunikasi satu sama lain dengan bertukar neurotransmiter.
Sistem komunikasi ini sangat penting untuk semua fungsi otak. (Jerry, 2018)

Ilustrasi 1. Ilustrasi menunjukkan neurotransmitter dilepaskan ke celah sinaptik dan


mengikat dengan reseptor atau diserap kembali (reuptake) ke dalam neuron.

Depresi telah dikaitkan dengan masalah atau ketidakseimbangan di otak, khususnya


dengan neurotransmitter serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Sangat sulit untuk benar-
benar mengukur tingkat neurotransmiter di otak seseorang dan aktivitasnya. Apa yang kita
ketahui adalah bahwa obat antidepresan, yang digunakan untuk mengobati gejala depresi,
diketahui bekerja pada neurotransmiter khusus ini dan reseptornya. (Jerry. 2018)
Neurotransmitter serotonin terlibat dalam mengendalikan banyak fungsi tubuh yang
penting, termasuk tidur, agresi, makan, perilaku seksual, dan suasana hati. Serotonin
diproduksi oleh neuron serotonergik. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa penurunan
produksi serotonin oleh neuron ini dapat menyebabkan depresi pada beberapa orang, dan
lebih khusus lagi, keadaan mood yang dapat menyebabkan beberapa orang merasa ingin
bunuh diri. Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem menunjukan
keterlibatan dalam patofisiologi gangguan afektif, dan obat-obatan yang meningkatkan
aktifitas serotonergik pada umumnya memberi efek antidepresan pada pasien . Selain itu , 5 -
HT dan / atau metabolitnya, 5-HIAA, ditemukan rendah pada urin dan cairan serebrospinal
pasien dengan penyakit afektif.14 Hal ini juga dibuktikan terdapat kadar 5-HT yang rendah
pada otak korban bunuh diri dibandingkan dengan kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti

8
bahwa terdapat penurunan metabolit serotonin, 5 – hydroxyindole acetic acid (5-HIAA) dan
peningkatan jumlah reseptor serotonin postsinaptik 5-hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di
korteks prefrontal (Briggitta, 2002).
Menurut penelitian Christopher, peran serotonin dalam penyakit afektif sebagian
didasarkan pada perubahan patofisiologis yang ditemukan pada depresi: 1) penurunan batang
otak 5-HT dan / atau 5-HIAA, 2) peningkatan pembersihan triptofan plasma, 3) pengurangan
triptofan yang menginduksi episode depresi pada depresi, 4) serotonin yang mengambil situs
menurunkan regulasi sementara beberapa kelas reseptor serotonin naik regulasi dan 5)
aktivitas neuroendokrin yang subresponsif terhadap stimulasi serotonin. (Christopher, 1994)
Pada 1960-an, "hipotesis katekolamin" adalah penjelasan populer mengenai depresi.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa defisiensi neurotransmitter norepinefrin (juga dikenal
sebagai noradrenalin) di area otak tertentu bertanggungjawab untuk menciptakan suasana
perasaan yang depresi. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa ada sekelompok orang
dengan depresi yang memiliki kadar norepinefrin yang rendah. Studi otopsi menunjukkan
bahwa orang yang mengalami beberapa episode depresi memiliki lebih sedikit neuron
norepinefrinergik daripada orang yang tidak memiliki riwayat depresi. Namun, hasil
penelitian juga memberi tahu kita bahwa tidak semua orang mengalami perubahan suasana
hati sebagai respons terhadap penurunan kadar norepinefrin. Beberapa orang yang mengalami
depresi sebenarnya menunjukkan lebih dari normal di dalam neuron yang menghasilkan
norepinefrin. Studi terbaru menunjukkan bahwa pada beberapa orang, kadar serotonin yang
rendah memicu penurunan kadar norepinefrin, yang kemudian menyebabkan depresi.
(Brigitta, 2002)
Jalur penelitian lain telah menyelidiki hubungan antara stres, depresi, dan norepinefrin.
Norepinefrin membantu tubuh kita untuk mengenali dan merespons situasi yang penuh
tekanan. Para peneliti berpendapat bahwa orang yang rentan terhadap depresi mungkin
memiliki sistem norepinefrinergik yang tidak menangani efek stres dengan sangat efisien.
(Jerry, 2018)
Neurotransmitter dopamine juga terkait dengan depresi. Dopamin memainkan peran
penting dalam mengendalikan dorongan kita untuk mendapatkan rasa senang. Tingkat
dopamin yang rendah mungkin, sebagian, menjelaskan mengapa orang dengan depresi tidak
mendapatkan rasa kesenangan yang sama dari kegiatan atau orang yang mereka lakukan

9
sebelum menjadi depresi. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya
pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin memperkaya antara
dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur
dopamin mesolimbic mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin D1
mungkin hipoaktif pada depresi. (Jerry, 2018)

Gambar 2. Menunjukkan jalur dopamin dan serotonin, suasana perasaan (mood), ingatan, tidur,
kesenangan, penghargaan, dan perilaku kompulsif.
Selain itu, penelitian baru menunjukkan bahwa neurotransmiter lain seperti asetilkolin,
glutamat, dan asam Gamma-aminobutyric (GABA) juga dapat berperan dalam gangguan
depresi. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami peran mereka dalam kimia otak
depresi (Mario, 2012).

2.5 Pedoman Diagnostik


Menurut PPDGJ III
F32 Episode Depresif
Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang dan berat)
- afek depresif
- kehilangan minat dan kegembiraan, dan
- berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

10
Gejala lainnya :
- konsentrasi dan perhatian berkurang
- harga diri dan kepercayaan diri berkurang
- gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
- gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau membunuh diri
- tidur terganggu
- nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif, dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya DUA MINGGU untuk peegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dbenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

Kategori diagnosis epidose depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresi berikutnya harus
diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-).

Menurut DSM-V
Kriteria dignostik :
A. Lima (atau lebih) gejala dari simptom ini ada dan berlansung selama 2 minggu ( periode dpt
lebih pendek, jika gejala luar biasa berat dan berlangsung cepat)
1. Mood depresi (perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan) sepanjang hari, hampir setiap hari.
Pada anak & remaja , bisa berupa mood iritabel (cepat marah, cepat tersinggung).
2. Kehilangan minat atau kesenangan akan hal-hal yang menjadi kebiasaannya (anhedonia)
3. Mudah lelah (anenergia)
4. Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata atau peningkatan / penurunan nafsu
makan
5. Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari
6. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari
7. Kelelahan atau kehilangan energy hampir setiap hari
8. Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah

11
9. Penurunan konsentrasi
10. Pikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri
• Simptom tersebut menyebabkan distress atau hendaya sosial, pekerjaan dan penggunaan
waktu senggang atau area penting kehidupannya
• Tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis lainnya
Tidak pernah ada episode manik atau hipomanik

2.6 Pengobatan Depresi


Pengobatan secara biologis
1. Tricyclic Antidepressants
Obat ini membantu mengurangi gejala-gejala depresi dengan mekanisme mencegah
reuptake dari norephinefrin dan serotonin di sinaps atau dengan cara megubah reseptor-reseptor
dari neurotransmitter norephinefrin dan serotonin. Obat ini sangat efektif, terutama dalam
mengobati gejala-gejala akut dari depresi sekitar 60% pada individu yang mengalami depresi.
Tricyclic antidepressants yang sering digunakan adalah imipramine, amitryiptilene, dan
desipramine (Eleni, 2012).

2. Monoamine Oxidase Inhibitors


Obat lini kedua dalam mengobati gangguan depresi mayor adalah Monoamine Oxidase
Inhibitors. MAO Inhibitors menigkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara menghambat
aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan melemahkan atau mengurangi
neurotransmitter dalam sambungan sinaptik (Greene, 2005). MAOIs sama efektifnya dengan
Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan karena secara potensial lebih berbahaya
(Eleni, 2012).

3. Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs


Obat ini mempunyai struktur yang hampir sama dengan Tricyclic Antidepressants, tetapi
SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin. Pertama SSRI
lebih cepat mengobati gangguan depresi mayor dibandingkan dengan obat lainnya. Pasien-pasien
yang menggunakan obat ini akan mendapatkan efek yang signifikan dalam penyembuhan dengan
obat ini. Kedua, SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat-obatan lainnya. Ketiga, obat ini tidak bersifat fatal apabila overdosis dan lebih aman

12
digunakan dibandingkan dengan obat-obatan lainnya. Dan yang keempat SSRI juga efektif
dalam pengobatan gangguan depresi mayor yang disertai dengan gangguan lainnya seperti:
gangguan panik, binge eating, gejala-gejala premenstrual. (Eleni, 2012)

4. Terapi Elektrokonvulsan
Terapi ini merupakan terapi yang paling kontroversial dari pengobatan biologis. ECT
bekerja dengan aktivitas listrik yang akan dialirkan pada otak. Elektroda-elektroda metal akan
ditempelkan pada bagian kepala, dan diberikan tegangan sekitar 70 sampai 130 volt dan dialirkan
pada otak sekitarsatu setengah menit. ECT paling sering digunakan pada pasien dengan
gangguan Universitas Sumatera Utara depresi yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan, dan
ECT ini mengobati gangguan depresi sekitar 50%-60% individu yang mengalami gangguan
depresi. (Eleni, 2012)

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan perasaan sedih
dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam beberapa hari tetapi dapat juga
berkelanjutan yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari (National Institute of Mental
Health, 2010). Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah,
gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi (World Health
Organization, 2010).
Banyak penelitian menjelaskan adanya abnormalitas biologis pada pasien-pasien dengan
gangguan mood. Pada penelitian akhir-akhir ini, monoamine neurotransmitter seperti
norephinefrin, dopamin, serotonin, dan histamin merupakan teori utama yang menyebabkan
gangguan mood (Kaplan, et al, 2010). Norephinefrin dan serotonin merupakan dua
neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Hubungan norephinefrin dengan gangguan depresi berdasarkan penelitian dikatakan
bahwa penurunan regulasi atau penurunan sensitivitas dari reseptor α2 adrenergik dan penurunan
respon terhadap antidepressan berperan dalam terjadinya gangguan depresi (Kaplan, et al, 2010).
Sedangkan, penurunan jumlah dari serotonin dapat mencetuskan terjadinya gangguan depres, dan
beberapa pasien dengan percobaan bunuh diri atau megakhiri hidupnya mempunyai kadar cairan
cerebrospinal yang mengandung kadar serotonin yang rendah dan konsentrasi rendah dari uptake
serotonin pada platelet (Kaplan, et al, 2010). Penggunaan obat-obatan yang bersifat serotonergik
pada pengobatan depresi dan efektifitas dari obat-obatan tersebut menunjukkan bahwa adanya
suatu teori yang berkaitan antara gangguan depresi dengan kadar serotonin (Rottenberg, 2010).

14
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatry Association (2018). [Online] Available at :
https://www.psychiatry.org/patients-families/depression/what-is-depression

Briggitta B (2002). Pathophysiology of depression and mechanism of treatment. [Online].


Available at : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181668/

Christopher W. (1994) "The Serotonin Theory of Depression," Jefferson Journal of Psychiatry:


Vol. 12 : Iss. 1 , Article 4. Available at:
https://jdc.jefferson.edu/jeffjpsychiatry/vol12/iss1/4

Eleni P (2012). The neurobiology of depression. [Online]. Available at :


https://academic.oup.com/bmb/article/101/1/127/262645

Hawari. (2011). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi., Jakarta

Jerry J (2018). Pathophysiology Depression, Medscape [Online]. Available at :


https://emedicine.medscape.com/article/286759-overview#a3

Kaplan dan Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2-Jakarta :EGC.

Mario F (2012). Clinical, Research and Treatment Approach to Affective disorder. [Online].
Available at
https://psychiatrie.lf1.cuni.cz/file/5882/Neurotransmission_in_mood_disorders.pdf

National Institute of Mental Health (2018). [Online]. Available at :


https://www.nimh.nih.gov/health/topics/depression/index.shtml

Octavianti, (2012). Gambaran Depresi pada Lansia Sosial Tresna Werdha Dharman Kabupaten
Kubu Raya. Universitas Tanjung Pura, Pontianak- Skripsi.

World Health Organization. (2012). [Online] Available at : https://www.google.com/search?


q=prevalensi+lansia+menurt+who&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
US:official&client=firefox-a&channel=fflb

Halverson J, Bienenfeld D. Depression. Medscape. 2017. Diakses dari:


https://emedicine.medscape.com/article/286759

Krishnan R, Roy-Byrne P, Solomon D. Unipolar depression in adults: Epidemiology,


pathogenesis, and neurobiology. UpToDate. 2016. Diakses dari:
https://www.uptodate.com/contents/unipolar-depression-in-adults-epidemiology-
pathogenesis-and-neurobiology

Agam G, Belmaker R. Major Depressive Disorder Mechanism of Disease. N Engl J Med


2008;358:55–68

15

Anda mungkin juga menyukai