Anda di halaman 1dari 26

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KARANTINA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Khusus

Dosen Pengampu : dr. Arulita Ika Fibriana, M.Kes (Epid)

Disusun Oleh:
Zahrotun Nisak (6411417033)
Syntia Veronica Rozana (6411417041)
Okta Mega Gres Endika (6411417049)
Siti Putri Nur Kholifah (6411417051)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
PENYAKIT KARANTINA
A. Definisi
 Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang
yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundangundangan meskipun belum menunjukkan gejala
apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan
peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga
terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung
penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk
mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau Barang di
sekitarnya.
 Tindakan karantina adalah tindakan terhadap kapal dan pesawat udara
beserta isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah berjangkitnya
dan menjalarnya penyakit karantina.
 Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal
keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan
masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat.
 Status Karantina adalah keadaan Alat Angkut, orang, dan Barang
yang berada di suatu tempat untuk dilakukan Kekarantinaan
Kesehatan.
 Penyakit Karantina adalah penyakit menular yang sesuai dengan
International sanitary Regulation (ISR) dari WHO, yang pencegahan
dan pemberantasannya dilaksanakan secara internasional.
 Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 425/ Menkes / SK
/ IV / 2007 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan
di Kantor Kesehatan Pelabuhan yang dimaksud dengan karantina
adalah kegiatan pembatasan atau pemisahan seseorang dari sumber
penyakit atau seseorang yang terkena penyakit atau bagasi, kontainer,
alat angkut, komoditi yang mempunyai risiko menimbulkan penyakit
pada manusia. Sedangakan untuk penyakit karantina adalah masalah
kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian
internasional.
B. Tujuan
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 , Penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan bertujuan untuk:
a. Melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko
Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat;
b. Mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko
Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat;
c. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat;
dan
d. Memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dan petugas kesehatan.
C. Dasar Hukum
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Dalam Undang-undang Pokok Kesehatan pasal 6 sub 3 tercantum
kewajiban  mencegah penyakit menular dengan usaha karantina.
UU No. 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut
UU No. 2 Tahun 1962 Tentang Karantina Udara
UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
D. Kedaruratan Penyakit Karantina
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan :
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko
Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan.
Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat. Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut
penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang Terjangkit
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebelum menetapkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat terlebih dahulu menetapkan
jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat.
Tindakan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud
berupa: a) Karantina, Isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis,
rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai
indikasi; b) Pembatasan Sosial Berskala Besar; c) disinfeksi,
dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap Alat Angkut dan
Barang; dan/atau d) penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap
media lingkungan.
Kekarantinaan Kesehatan di pintu Masuk diselenggarakan di
Pelabuhan, Bandar Udara, dan pos Lintas Batas Darat Negara.
Kekarantinaan Kesehatan di wilayah diselenggarakan di tempat atau
lokasi yang diduga Terjangkit penyakit menular dan/atau Terpapar Faktor
Risiko Kesehatan Masyarakat yang dapat menimbulkan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat.
E. Penyakit Karantina
Menurut UU No. 6 / 1962 yang diperbaharui dengan UU No.4 /
1984 tentang wabah penyakit menular, yang termasuk penyakit wabah
adalah :
Penyakit Karantina, yang terdiri dari :
a. Pes (Plague)
b. Kolera (Cholera)
c. cacar (Smallpox)
d. Demam Kuning (Yellow Fever)
e. Demam Balik – Balik (Relapsing Fever)
f. Typhus Bercak Wabahi (Typhus Exanthematicus Epidemika)
Panjangnya masa inkubasi bagi masing-masing penyakit karantina
sesuai ketentuan dari ISR adalah :
- Pes : 6 hari
- Kolera : 5 hari
- Cacar : 14 hari
- Demam Kuning : 6 hari
- Demam Balik – Balik : 8 hari
- Typhus Bercak Wabahi : 14 hari
Penyakit karantina ialah:

1. Pes (Plague).

Penyakit pes merupakan penyakit yang menular dan dapat


mengakibatkan kematian. Tikus merupakan reservoir dan pinjal
merupakan vector penularnya, sehingga penularan ke manusia
dapat terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan
tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis (Rahmawati, 2013).

2. Kolera (Cholera).

Penyakit kolera merupakan penyakit yang disebabkan oleh


bakteri Vibrio cholera, bakteri Vibrio cholera biasanya berada
di keadaan lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan.
Penyebaran kolera secara primer melalui air minum yang
terkontaminasi (Fijriyani & Sugiarti, 2016).

3. Demam kuning (Yellow fever).


Demam kuning adalah infeksi virus akut yang
menyebabkan kerusakan pada saluran hati, ginjal, jantung dan
gastrointestinal. Virus ini berupa sebuah virus RNA sebesar 40
hingga 50 nm dengan indera positif dari genus Flavivirus, dari
keluarga Flaviviridae. Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina (nyamuk
Aedes aegypti, dan spesies lain). Demam kuning dapat
menyebabkan gejala mirip flu, menguning baik dari kulit dan
bagian putih mata, yang dapat menyebabkan kematian (Tondo,
2016).
4. Cacar (Smallpox).
Cacar adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
variola, bagian dari genus orthopoxvirus, anggota dari keluarga
virus poxviridiae. Infeksi dengan anggota lain dari keluarga ini,
seperti monkeypox, cacar sapi, camelpox dan vaccinia virus.
Untuk mengurangi konsekuensi terjadinya cacar pada manusia
maka diberikan vaksin, vaksin cacar, misalnya, mengandung
vaccinia virus. Manusia yang belum divaksinasi sangat rentan
terhadap infeksi dari variola virus. Manusia adalah satu-satunya
reservoir virus ini. Penularan utama dari orang ke orang karena
infeksi melalui aerosol dikeluarkan ketika orang yang terinfeksi
batuk atau dengan melakukan kontak langsung dengan pasien,
terutama selama tahap demam dan pada minggu pertama
setelah munculnya ruam (Federal Department of Defence,
2007).
5. Tifus bercak wabahi - Typhus exanthematicus infectiosa (Louse
borne Typhus).
Demam tipoid merupakan penyakit infeksi serius serta
merupakan penyakit endemis yang serta menjadi masalah
kesehatan global termasuk di Indonesia dan Negara-negara
Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. S. typhi adalah
strain bakteri yang menyebabkan terjadinya demam tipoid.
Bakteri ini masuk melalui mulut bersama makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan hanyut
ke saluran pencernakan, apabila bakteri berhasil mencapai usus
halus dan masuk ke dalam tubuh mengakibatkan terjadinya
demam tipoid (Darmawati, 2010).
6. Demam balik-balik (Louse borne Relapsing fever).
Ditularkan oleh tungau (louseborne) disebabkan oleh
Borrelia recurrentis, sejenis spirochaeta gram
negatif. Ditularkan melalui vektor (vectorborne), tidak
ditularkan langsung dari orang ke orang. Louseborne relapsing
fever didapat oleh karena orang tersebut menghancurkan tungau
yang terinfeksi, Pediculus humanus, pada saat tungau itu
menggigit sehingga mencemari luka atau cairan sendi dari kutu
argasid.

F. Penetapan Dan Pencabutan


Penetapan dan pencabutan berdasarkan UU No. 2 Tahun 1962
yaitu :
1) Suatu pelabuhan dan/atau daerah wilayah Indonesia ditetapkan
terjangkit penyakit karantina bila dipelabuhan dan / atau daerah
wilayah itu terdapat:
a. seorang penderita penyakit karantina yang bukan berasal dari luar
pelabuhan atau daerah wilayah itu;
b. tikusberpenyakitpes;
c. binatang-binatang yang bertulang punggung dan mengandung
virus penyakit demam kuning yang aktip;
d. wabah tifus bercak wabahi atau demam balik-balik.
Pencabutan penetapan yang dimaksudkan adalah :
 setelah penderita terakhir dari penyakit kolera, cacar, pes, tifus
bercak wabahi, demam balik-balik sembuh kembali, meninggal
dunia atau telah diisolasikan selama waktu sekurang-kurangnya
dua kali masa tunas penyakit-penyakit tersebut dan penyakit-
penyakit itu tidak timbul kembali; dalam pada itu dijalankan
segala tindakan-tindakan yang memberikan jaminan penyakit itu
tidak menjalar kelaindaerah;
 sebulan sesudah lenyap epizooti,dalam hal pes tikus;
 tiga bulan sesudah tidak timbul keaktipan penyakit demam
kuning yang disebarkan oleh nyamuk yang bukan nyamuk aedes
aegypti;
 tiga bulan sesudah lenyap penyakit demam kuning pada manusia
yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti, atau sebulan sesudah
penderita terakhir penyakit demam kuning, sedang dalam waktu
itu angka index aedes aegypti tetap kurang dari 1%.
G. Penggolongan Kapal
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1962
1) Pes
(1) Kapal ditetapkan terjangkit pes, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita pes atau
terdapat tikus pes dikapal;
b. lebih dari enam hari sesudah embarkasi terjadi peristiwa
pes.
(2) Kapal ditetapkan tersangka pes, jika :
a. dalam enam hari sesudah embarkasi terjadi peristiwa pes,
walaupun pada waktu tiba tidak ada lagi seorang penderita
dikapal itu;
b. terdapat banyak kematian tikus didalamnya, yang
mencurigakan.
2) Kolera
(1) Kapal ditetapkan terjangkit kolera, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita kolera
didalamnya;
b. dalam lima hari sebelum tiba dipelabuhan terdapat
penderita kolera didalamnya.
(2) Kapal ditetapkan tersangka kolera, jika : selama perjalanan
terdapat penderita kolera dikapal tetapi didalam lima hari
sebelum tiba dipelabuhan tidak lagi terdapat penderita kolera
didalamnya.
3) Cacar
Kapal ditetapkan terjangkit cacar, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita cacar
didalamnya;
b. dalam perjalanan terdapat penderita cacar didalamnya.
4) Demam kuning
(1) Kapal ditetapkan terjangkit demam kuning, jika :
a. pada waktu tiba dipelabuhan terdapat penderita demam
kuning di dalamnya;
b. didalam perjalanan terdapat peristiwa demam kuning
didalamnya;
(2) Kapal ditetapkan tersangka demam kuning, jika :
a. kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning
dan didalam waktu enam hari tiba dipelabuhan;
b. kapal itu datang dari daerah terjangkit demam kuning
dan didalam waktu kurang dari tiga puluh hari tiba
dipelabuhan terdapat nyamuk aedes aegypti
didalamnya.
5) Tifus bercak wabahi
Kapal ditetapkan sehat walaupun dikapal itu terdapat seorang
penderita tifus bercak wabahi.
6) Demam balik-balik.
Kapal ditetapkan sehat walaupun didalam kapal itu terdapat
penderita demam balik-balik.
H. Penggolongan Pesawat
Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1962
1) Pes
Pesawat udara ditetapkan terjangkit pes, jika:
a. Pada waktu tiba terdapat penderita pes;
b. Terdapat tikus pes.
2) Korela
a. Pesawat udara ditetapkan terjangkit kolera jika pada waktu tiba
terdapat penderita kolera didalamnya.
b. Pesawat udara ditetapkan tersangka kolera, jika dalam perjalanan
terdapat penderita kolera walupun ia telah diturunkan.
3) Cacar
Pesawat udara ditetapkan terjangkit cacar, jika:
a. Pada waktu tiba terdapat penderita cacar didalamnya;
b. Dalam perjalanan terdapat penderita cacar yang telah diturunkan.
4) Demam kuning
a. Pesawat udara ditetapkan terjangkit demam kuning, jika waktu
tiba terdapat penderita demam kuning didalamnya.
b. Pesawat udara yang datang dari daerah demam kuning atau yang
mengangkut seorang penumpang yang datang dari daerah demam
kuning, ditetapkan tersangka demamkuning, jika pada waktu tiba
terdapat bahwa pembasmian serangga yang dilakukan
sebelumnya, tidak memuaskan menurut pendapat dokter
pelabuhan dan/atau terdapat nyamuk hidup dipesawat udara itu.
5) Tifus bercak wabahi.
Pesawat udara ditetapkan sehat, walupun terdapat seorang penderita
tifus bercak wabahi.
6) Demam balik-balik
Semua yang ditetapkan dalam pasal 11 mengenai tifus bercak wabahi
juga berlaku untuk demam balik-balik.
I. Tindakan Khusus Terhadap Penyakit Karantina
1. Pes.
Tindakan terhadap kapal terjangkit atau tersangka pes adalah sebagai
berikut :
a. pemeriksaan awak kapal dan penumpang;
b. para penderita diturunkan, diisolasikan dan dirawat;
c. para tersangka dihapus-seranggakan dan diawasi selama-lamanya
enam hari terhitung dari hari tibanya kapal di pelabuhan;
d. bagasi seorang terjangkit atau seorang tersangka serta barang-
barang milik atau yang dipakai oleh si penderita dan bagian kapal
yang dicurigakan, dihapus-seranggakan dan jika perlu dihapus-
hamakan;
e. seluruh kapal dihapus-tikus, jika perlu.
Pada kapal yang sehat yang datang dari pelabuhan atau daerah
terjangkit pes, dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
a. seorang yang tersangka yang turun diawasi selama-lamanya enam
hari, terhitung dari tanggal ia meninggalkan pelabuhan atau daerah
yang terjangkit;
b. jika perlu dinas kesehatan pelabuhan dapat melakukan hapus-tikus
terhadap muatan dan atau kapal.
2. Kolera
Tindakan terhadap kapal terjangkit atau tersangka kolera adalah
sebagai berikut :
a. pemeriksaan kesehatan awak kapal dan penumpang;
b. penderita diturunkan, diisolasikan dan dirawat;
c. penderita dengan tanda-tanda klinis kholera diperlakukan sebagai
penderita kholera;
d. pengandung hama diturunkan, diisolasikan, dirawat dan baru
dibebaskan sesudah hasil pemeriksaan bakteriologis selama tiga
hari berturut-turut terdapat negatip;
e. penumpang dan awak kapal yang mempunyai surat keterangan
vaksinasi kolera yang berlaku, diawasi selama lima hari sejak
kapal tiba dipelabuhan;
f. penumpang dan awak kapal yang tidak mempunyai keterangan
vaksinasi kolera yang berlaku, diisolasikan;
g. barang-barang seseorang yang terjangkit atau tersangka atau
barang lain yang disangka mengandung hama, dihapus hamakan;
h. air dan tempatnya dalam kapal yang dianggap mengandung hama,
dihapus-hamakan. Tindakan ini juga dilakukan terhadap makanan
dan minuman terbuka, sayur-sayuran, ikan-ikan (kering),
buahbuahan dan lain-lain yang dimakan mentah dan tidak
disimpan dalam tempat tertutup rapat;
i. tinja, air kemih, muntah, air kotor dan segala sesuatu yang
dianggap mengandung hama tidak boleh dibuang atau dikeluarkan
sebelum dihapus-hamakan;
j. pembongkaran dilakukan dibawah pengawasan dinas kesehatan
pelabuhan yang melakukan segala sesuatu untuk mencegah
kemungkinan penularan;
k. orang-orang yang telah melakukan pembongkaran tersebut,
diawasi selama lima hari.
Tindakan terhadap orang yang datang dari daerah terjangkit kolera
adalah antara lain sebagai berikut :
a. jika ia memiliki surat keterangan vaksinasi kolera yang masih
berlaku ia diawasi selama lima hari terhitung dari hari tanggal
berangkatnya kapal dari daerah terjangkit kolera;
b. jika ia tidak memiliki surat keterangan vaksinasi kolera, ia dapat
diisolasikan selama waktu tersebut dalam huruf a.
3. Demam kuning.
Tindakan terhadap kapal yang terjangkit atau tersangka adalah sebagai
berikut :
a. pemeriksaan yang teliti terhadap semua penumpang dan awak
kapal;
b. pengukuran suhu badan semua penumpang dan awak kapal;
c. penderita demam kuning diturunkan, diisolasikan dan dilindungi
terhadap gigitan nyamuk;
d. penumpang dan awak kapal lainnya yang memiliki surat vaksinasi
demam kuning yang belum berlaku, diisolasikan sampai surat
keterangannya berlaku dan dilindungi terhadap gigitan nyamuk,
selama-lamanya enam hari, mereka yang tidak mempunyai surat
keterangan vaksinasi demam kuning, diisolasikan dan dilindungi
terhadap gigitan nyamuk selama-lamanya enam hari.
e. kapal harus masuk dalam karantina sampai dinyatakan bebas dari
nyamuk aedes aegypti.
4. Cacar.
Tindakan terhadap kapal yang terjangkit adalah sebagai berikut :
a. pemeriksaan kesehatan awak kapal dan penumpang;
b. penderita diturunkan, diisolasikan dan dirawat;
c. mereka yang dianggap tidak cukup mempunyai kekebalan,
dicacar, dan dokter pelabuhan mengisolasikan atau mengawasi
penumpang yang turun selama-lamanya empat belas hari;
d. bagasi atau barang-barang lain serta bagian kapal yang dianggap
mengandung hama, dihapus-hamakan.
5. Tifus bercak wabahi.
Tindakan terhadap kapal yang sehat, tetapi yang menyangkut seorang
yang terjangkit atau tersangka terjangkit tifus bercak wabahi dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. pemeriksaan kesehatan semua penumpang dan awak kapal;
b. penderita diturunkan, diisolasikan, dihapus-seranggakan dan
dirawat;
c. mereka yang tersangka dihapus-seranggakan dan diawasi
selamalamanya empat belas hari; d. bagasi, barang-barang lain dan
bagian kapal, yang dianggap mengandung hama, dihapus-
seranggakan dan dihapus-hamakan.
6. Demam balik-balik.
Tindakan terhadap kapal mengenai demam balik-balik adalah sama
seperti untuk tifus bercak wabahi, hanya waktu pengawasan adalah
delapan hari.
Tindakan-tindakan diatas selain dilakukan di kapal juga diberlakukan di
pesawat dan kendaraan lainnya.
J. Karantina Kendaraan Darat
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 :
Setiap Kendaraan Darat yang:
a. datang dari wilayah yang Terjangkit;
b. terdapat orang hidup atau mati yang diduga Terjangkit; dan/atau
c. terdapat orang atau Barang diduga Terpapar di dalam Kendaraan
Darat, berada dalam Status Karantina.
Kendaraan Darat harus dilakukan Pengawasan Kekarantinaan
Kesehatan sebelum menurunkan atau menaikkan orang dan/atau Barang.
Kendaraan Darat yang ditemukan Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat
pada Pengawasan Kekarantinaan Kesehatan harus dilakukan tindakan
Kekarantinaan Kesehatan. Setiap Kendaraan Darat di luar ketentuan
sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan Faktor Risiko Kesehatan
Masyarakat oleh Pejabat Karantina Kesehatan.
K. Upaya Mengendalikan Penyakit Karantina
Perkembangan teknologi alat angkut yang semakin cepat membuat
jarak antar negara seolah semakin dekat karena waktu tempuh yang
semakin singkat, sehingga mobilitas orang dan barang semakin cepat
melebihi masa inkubasi penyakit menular. Kondisi tersebut berpengaruh
terhadap risiko penularan penyakit secara gobal.
Pelabuhan merupakan titik simpul pertemuan atau aktivitas keluar
masuk kapal, barang dan orang, sekaligus sebagai pintu gerbang
transformasi penyebaran penyakit,dan merupakan ancaman global
terhadap kesehatan masyarakat karena adanya penyakit karantina,
penyakit menular baru (new emerging diseases), maupun penyakit
menular lama yang timbul kembali (re-emerging diseases). Ancaman
penyakit tersebut merupakan dampak negatif dari diberlakukannya pasar
bebas atau era globalisasi, dan dapat menimbulkan kerugian besar baik
pada sektor ekonomi, perdagangan, sosial budaya, maupun politik yang
berdampak besar kepada suatu negara atau daerah.
Tindakan sanitasi kapal upaya penyehatan, pengamanan,dan
pengendalian terhadap faktor risiko lingkungan di kapal untuk memutus
mata rantai penularan penyakit atau kontaminasi, meliputi disinfeksi,
dekontaminasi, disinseksi, dan deratisasi guna memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatan, sehingga membantu mengurangi
penyebaran penyakit karena hama yang dapat ditularkan melalui vektor.
Kantor kesehatan pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan
pencegahan masuk dan keluarnya penyakit, penyakit potensial wabah,
surveilans epidemiologi, kekarantinaan, pengendalian dampak kesehatan
lingkungan, pelayanan kesehatan, pengawasan Obat Makanan Kosmetika
Alat Kesehatan dan Bahan Adiktif (OMKABA), serta pengamanan
terhadap penyakit baru dan penyakit muncul kembali, bioterorisme, unsur
biologi, kimia dan pengamanan radiasi diwilayah kerja Bandar udara, pos
lintas batas darat dan pelabuhan.
Untuk mengantisipasi ancaman penyakit global serta permasalahan
kesehatan masyarakat yang merupakan masalah darurat kesehatan dunia,
Kantor Kesehatan Pelabuhan dituntut mampu menagkal resiko kesehatan
yang mungkin masuk melalui orang, alat angkut dan barang termasuk
container yang datang dari negara lain dengan melakukan tindakan tanpa
menghambat perjalanan dan perdagangan.
Tujuan pemeriksaan dan pengawasan sanitasi dimaksudkan agar
kapal bebas dari ancaman penyakit yang berpotensi wabah, dan mencegah
penularan penyakit menular, serta menciptakan suasana yang nyaman dan
aman bagi penumpang, ABK, maupun nahkoda kapal.
International Health Regulations (IHR) tahun 1969, merupakan
revisi dari International Sanitary Regulations (ISR) tahun 1951 dan
diadopsi oleh pemerintah Indonesia, menjadi UU Nomor 1 tahun 1962
tentang Karantina Laut, dan UU Nomor 2 tahun 1962 tentang Karantina
Udara. Pendekatan yang digunakan dalam ISR (1951) adalah
International Quarantine of diseases sedangkan pada IHR (1969) adalah
International of Surveillance diseases. Sesuai Kepmenkes RI No.
630/Menkes/SK/XII/1985, pasal 1 dan 2, Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP) sebagai unit pelaksana teknis dibidang pemberantasan dan
pencegahan penyakit menular dalam lingkungan Depkes RI, mempunyai
tugas pokok melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit
karantina dan penyakit menular tertentu melalui kapal laut dan pesawat
udara, pemeliharaan dan peningkatan sanitasi lingkungan di pelabuhan, di
kapal laut dan di pesawat udara, serta pelayanan kesehatan terbatas di
pelabuhan laut dan udara berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku (DepKes. RI, 1989).
Tindakan khusus terhadap penyakit karantina dilakukan oleh
dokter pelabuhan. Baik instansi pemerintah maupun swasta memberi
bantuannya jika diminta dokter pelabuhan untuk melaksanakan tindakan
tersebut.
a. Pes
Pengawasan Penderita, Kontak, dan Lingkungan Sekitar
 Laporkan kepada institusi setempat
 Isolasi: bersihkan penderita, pakaian, barang-barang dari pinjal
dengan insektisida kutu; Rujuk ke rumah sakit; lakukan
kewaspadaan standar terhadap sekret penderita dan kemungkinan
penyebaran lewat udara sampai 48 jam setelah terapi efektif selesai
 Desinfeksi serentak dilakukan terhadap dahak dan alat-alat
pencemar
 Karantina: kemoprofilaksis dan pengawasan ketat selama 7 hari
terhadap orang yang seromah dan kontak langsung dengan pes
 Investigasi kontak: semua orang yang kontak langsung dengan
penderita pes
 Investigasi sumber infeksi: binatang pengerat yang sakit atau mati
beserta kutunya
 Pengobatan spesifik: Streptomycin (obat pilihan utama)
Cara Pencegahan
 Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
 Survei populasi binatang pengerat secara berkala
 Penanggulangan tikus pada kapal atau dermaga atau gedung
 Imunisasi dengan vaksin
 Kegiatan surveilans pada daerah epizootic pes bertujuan untuk
mengendalikan penyakit pes, yaitu untuk mempertahankan
kasusnya agar selalu nol, mencegah penularan dari daerah fokus ke
daerah sekitar, memantau agar tidak terjadi relaps, dan mencegah
masuknya pes dari luar negeri (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:9).

b. Kolera
Pengawasan Penderita, Kontak atau Lingkungan Sekitarnya
 Laporakan kepada instansi kesehatan setempat
 Isolasi: perawatan di rumah sakit dengan melaksanakan
kewaspadaan diperlukan untuk pasien berat
 Disinfeksi serentak: terhadap tinja, muntahan dan linen dengan
pemanasan, dan melakukan pemnersihan menyeluruh
 Pengobatan: terapi rehidrasi regresif, antibiotika yang tepat,
pengobatan komplikasi
 Manajemen kontak: surveilans terhadap orang yang mengonsumsi
minuman dan makanan yang sama dengan penderita, selama 5 hari
setelah kontak terakhir
 Investigasi sumber infeksi: ditanyakan tentang masukan makanan
dan minuman dalam 5 hari sebelum sakit. Pencarian dengan
mengkultur tinja disarankan untuk anggota rumah tangga yang
kemungkinan terpajan dari satu sumber (common source) di daerah
yang sebelumnya tidak terinfeksi

Tindakan Pencegahan
 Imunisasi aktif: vaksin yang disuntikkan saat wabah kurang efektif,
memberikan perlindungan parsial 50% kasus dalam waktu hanya 3-
6 bulan
 Vaksin oral dapat menghasilkan antibodi dengan kadar tinggi

c. Yellow Fever
Pengawasan Penderita
 Isolasi: kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan tubuh
paling sedikit sampai 5 hari seyelah sakit, penderita dihindari dari
gigitan nyamuk
 Rumah penderita dam sekitarnya dengan insektisida efektif
 Imunisasi: bagi orang yang kontak dengan penderita sebelumnya
 Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: di semua tempat
yang dikunjungi penderita 3-6 hari sebelum sakit
Tindakan Pencegahan
 Imunisasi aktif
 Pembasmian nyamuk Aedes aegypti
d. Tifus
Pengawasan Penderita
 Isolasi: tidak perlu dilakukan
 Desinfeksi serentak: taburkan insektisida pada pakaian dan tempat
tidur penderita dan kontak
 Penanganan kontak: semua kontak diamati selama 2 minggu
 Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: segala upaya harus
dilakukan untul melacak sumber penularan
 Pengobatan spesifik: pemberian doksisiklin tunggal 200 mg

e. Demam Balik-Balik
Pengawasan Penderita
 Isolasi: penderita beserta pakaian dan semua kontak serumah dan
lingkungan sekitar harus dibebaskan dari tungau dan kutu
 Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi
 Pengobatan spesifik dengan tetracylin

f. Cacar
Penderita harus dikarantinakan. Sistemik dapat diberikan obat
antiviral (asiklovir atau vasiklovir) misalnya isoprinosin, dan
interferon dapat pula diberikan globulin gama. Kecuali itu obat
yang bersifat simtomatik, misalnya analgetik/antipiretik. Diawasi
pula kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, maupun infeksi
nosokomial, serta cairan tubuh dan elektrolit. Jika dimulut masih
terdapat lesi, diberikan makanan lunak. Pengobatan topical bersifat
penunjang, misalnya kompres dengan antiseptik atau salap
antibiotic.
Vaksinasi dilakukan dengan memberikan vaksin hidup virus vaksinia
secukupnya secara intradermal. Tempat yang dianjurkan untuk
vaksinasi ialah bagian luar lengan atas pada insersi otot deltoid.
Caranya ialah dengan melakukan tusukan ganda dan penekanan
ganda dengan jarum tajam.
Tata laksana pemberantasan tikus di pelabuhan yaitu dengan teknik
pemasangan perangkap, baik perangkap hidup ( cage trap),
maupun perangkap mati (back break trap), dengan memelihara
predator, memberikan poisoning (rodentisida), dan lokal fumigasi
(dengan Posphine).

Pemberantasan tikus di kapal dan di pesawat yaitu dilakukan dengan


fumigasi menggunakan fumigant yang direkomendasikan yaitu
SO2 dan HCN (WHO, 1972), namun di Indonesia sesuai dengan
SK DirJen PPM&PLP No. 716-I/PD.03.04.EI tanggal 19
Nopember 1990, tentang fumigan yang digunakan untuk fumigasi
kapal dalam rangka penerbitan SKHT bagi kapal, adalah HCN,
CH3 Br, dan SO2. Pada tahun 1998/1999 telah diterbitkan 42
sertifikat DC/SKHT dan 1.217 DEC/SKBHT (Anonimus, 1999).
Di pesawat bahan fumigan yang direkomendasikan oleh WHO,
hanyalah HCN (WHO, 1984).

Pemberantasan tikus di pelabuhan bertujuan untuk menurunkan populasi


tikus dan meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan
adanya penyakit pes pada tikus setempat melalui pengamatan
indeks pinjal dan pemeriksaan serologis darah tikus. Pada dasarnya
membebaskan suatu daerah dari infestasi tikus dilakukan dengan
cara:

a. Menciptakan suatu lingkungan yang tidak memungkinkan


pemukiman tikus, dengan jalan memperbaiki sanitasi lingkungan
dan melaksanakan rat-proofing terhadap semua bangunan.
b. Memberantas tikus-tikus yang ada dengan cara :
1) Pemasangan perangkap
2) Penggunaan racun tikus (rodentisida)
3) Penggasan atau fumigasi
4) Biological control, misalnya dengan melepaskan musuh–musuh
tikus, tetapi hasilnya kurang memuaskan (WHO, 1999).
L. Pemberantasan Tikus Di Pelabuhan
1. Mengenali Tanda Kehidupan Tikus
Keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara, yang
paling umum adalah adanya kerusakan barang atau alat. Tanda-tanda
berikut merupakan penilaian adanya kehidupan tikus yaitu (Ehler and
Steel, 1950):
a) Gnawing (bekas gigitan)
b) Burrows (galian /lubang tanah)
c) Dropping (kotoran tikus)
d) Runways (jalan tikus)
e) Foot print (bekas telapak kaki)
f) Tanda lain : Adanya bau tikus, bekas urine dan kotoran tikus,
suara, bangkai tikus (WHO, 1972).
2. Perbaikan Sanitasi Lingkungan
Tujuan dari perbaikan sanitasi lingkungan adalah menciptakan
lingkungan yang tidak favourable untuk kehidupan tikus. Dalam
pelaksanaannya dapat ditempuh dengan (Ehlers et.al, 1950) :
a) Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan
rapi di tempat yang kedap tikus.
b) Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah
yang terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah
dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara dengan baik.
c) Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas fondasi
beton atau semen, rak atau tonggak.
d) Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali
sehari.
e) Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat
sehingga tidak dapat dipergunakan tikus untuk berlindung
atau bersarang.
3. Rat Proofing
Upaya rat proofing bertujuan untuk mencegah masuk dan
keluarnya tikus dalam ruangan serta mencegah tikus bersarang di
bangunan tersebut. Upaya rat proofing dapat ditempuh dengan jalan
(Ristiyanto dan Hadi, 1992) :
a) Membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan terbuat dari
bahan yang kuat, dan tidak ditembus oleh tikus.
b) Lantai hendaknya terbuat dari bahan beton minimal 10 cm.
c) Dinding dari batu bata atau beton dengan tidak ada
keretakan atau celah yang dapat dilalui oleh tikus.
d) Semua pintu dan dinding yang dapat ditem bus oleh tikus
(dengan gigitannya), dilapisi plat logam hingga sekurang -
kurangnya 30 cm dari lantai. Celah antara pintu dan lantai
maksimal 6 mm.
e) Semua lubang atau celah yang ukurannya lebih dari 6 mm,
harus ditutup dengan adukan semen.
f) Lubang ventilasi hendaknya ditutup dengan kawat kasa
yang kuat dengan ukuran lubang maksimal 6 mm.
4. Pemasangan perangkap (trapping)
Macam perangkap tikus yang beredar di pasaran adalah jenis
snap/guillotine dan cage trap. Jenis cage trap digunakan untuk
mendapatkan tikus hidup, guna diteliti pinjalnya. Biasanya perangkap
diletakkan di tempat jalan tikus atau di tepi bangunan. Pemasangan
perangkap lebih efektif digunakan setelah dilakukan poisoning,
dimana tikus yang tidak mati karena poisoning, dapat ditangkap
dengan perangkap (Ehler et.al, 1950).
5. Peracunan (Poisoning)
Pada umumnya peracunan dapat dilakukan apabila tidak
membahayakan manusia ataupun binatang peliharaan. Racun tikus
terbagi menjadi dua golongan, yaitu single dose poison dan multiple
dose poison. Racun tikus yang biasa digunakan adalah arsen,
strychnine, phospor, zinkphosphide, redsquill, barium karbonat, atau
senyawa yang mengandung salah satu atau lebih dari yang tersebut di
atas. Termasuk didalamnya rodentisida yang relatif lebih baru yaitu
1080 (ten eighty), Antu, Warfarin, dan Pival.
a) Warfarin dan Pival.
Merupakan umpan padat dengan warficida dan/atau pivalin
yang berupa cairan, mempunyai pengaruh keracunan yang khas
pada tikus. Sifat racun ini adalah anti coagulants, apabila ditelan
dengan interval waktu beberapa hari, menyebabkan perdarahan
dalam dan mengakibatkan kematian. Biasanya tikus mati dalam
4 sampai 7 hari setelah makan racun dengan dosis yang adekuat.
Efek toksik lebih lambat dibandingkan 1080, Antu, Redsquill ,
dan racun tikus lainnya. Dengan cara kerja yang lambat ini,
tidak terjadi penolakan terhadap bahan oleh tikus, sehingga tikus
akan memakan bahan ini hingga habis sampai mereka mati.
Walaupun cara kerja anti koagulan dari Warfarin dan Pival juga
berlaku untuk binatang berdarah panas termasuk manusia, tetapi
racun ini dianggap tidak berbahaya seperti racun lainnya karena
tersedi a antidotenya, yaitu vitamin D yang mudah didapat.
Dosis yang dipakai biasanya 0,5% dengan umpan tepung
jagung, havermout, tepung roti, tepung kacang, gula, jagung,
dan minyak kacang.
b) Red Squill
Racun ini relatif aman terhadap manusia, kucing dan
anjing. Bahan red squill adalah "a natural emetic" yang bila
termakan oleh sebagian besar binatang berdarah panas atau
manusia, mengakibatkan muntah yang segera dan pengosongan
bahan racun Kerja emetic dari red squill ini menjadikan racun
khusus bagi tikus jenis Norway (Ratus Norvegicus) berhubung
jenis tikus ini tidak bisa muntah. Umpan red squill terasa pahit,
dan kelemahannya adalah menimbulkan penolakan diantara
tikus dan beberapa jenis tikus selalu menghindari umpan yang
berisi red squill, terutama apabila mereka tahu pengaruh racun
red squill terhadap tikus lainnya.
c) 1080 (Ten Eighty)
Ten eighty adalah nama umum untuk Natrium Fluoro
Acetat, merupakan racun tikus yang sangat efektif.
Kelemahannya adalah terlalu beracun terhadap manusia dan
binatang peliharaan serta tidak adanya antidotenya. Oleh
karenanya hanya direkomendasikan khusus bagi pekerja yang
terlatih dan bertanggung jawab. Racun ini dilarang
dipergunakan di daerah perumahan/pemukiman karena efek
racunnya yang sangat toksik.
d) Antu (Alpha Naphthyl Thio Urea)
Nama kimia dari Antu adalah Alpha Naphthyl Thio Urea
merupakan racun yang efektif untuk Norway rats, tetapi tidak
dianjurkan untuk jenis tikus lainnya. Kelemahan dari Antu
adalah cepatnya terjadi toleransi oleh tikus yang makan kurang
dari dosis yang adekuat. Oleh karenanya Antu tidak dapat
digunakan untuk interval kurang dari 4 sampai 6 bulan di tempat
yang sama.
6. Pengamatan Tikus dan Pinjal
Dalam rangka kewaspadaan terhadap kemungkinan suatu epizootic
plague, maka semua tikus yang tertangkap hidup dengan cage traps
atau yang kedapatan mati tanpa suatu sebab kematian yang nyata,
maka tikus tersebut perlu diperiksa secara visual apakah ada tanda
tersangka penyakit pes dan bila perlu diperiksa secara pathologis
organ-organ tertentu antara lain, paru, getah bening , dan lympha dan
kemudian dihitung pinjalnya (Xenopsylla spp.) (WHO,1999).
7. Dokumen Kesehatan Kapal
Dokumen Deratting Exemption Certificate (DEC) atau Surat
Keterangan Bebas Hapus Tikus (SKBHT) atau Deratting Certificate
(DC) atau Surat Keterangan Hapus Tikus (SKHT) merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari dokumen kapal, dan menyatakan bahwa
kapal bebas dari infestasi tikus, dapat dipakai sebagai sarana
pengamatan ada tidaknya tikus di kapal. Apabila kapal tidak memiliki
DEC/SKBHT atau DC/SKHT yang masih berlaku, dan kapal dalam
keadaan kosong, maka kapal harus dilakukan pemeriksaan ada atau
tidaknya kehidupan tikus, dan apabila kapal masih ada muatan
lanjutan, dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan,
kapal dapat diberikan 30-days extention untuk pelayaran internasional,
atau sailling permit untuk pelayaran domestik, istilah populernya
adalah kapal diijinkan berlayar tanpa surat tikus. Dengan catatan
setelah pelabuhan tujuan akhir, kapal harus diperiksa ada/tidaknya
kehidupan tikus, dan apabila hasil pemeriksaan tidak ditemukan
adanya kehidupan tikus, kapal diberikan DEC/SKBHT yang baru dan
berlaku selama enam bulan. Apabila setelah dilakukan rat inspection
didapatkan hasill bahwa di kapal telah terjadi infestasi tikus, maka
kapal harus di fumigasi terlebih dulu sebelum diterbitkan DC/SKHT
yang baru. Program pengawasan/pemberantasan tikus di pelabuhan
Tanjung Perak dilaksanakan dengan menggunakan perangkap hidup
dilaksanakan selama enam hari berturut-turut setiap bulan kemudian
tikus yang didapat dimatikan dengan chloroform lalu dilakukan
penyisiran pinjalnya dan dihitung indeks pinjalnya (Soejoedi, 2005).
Indeks pinjal harus di bawah angka 1 (Depkes RI, 1989)
International Health Regulation 2005 (IHR), World Health
Organization (WHO) merekomendasikan kepada negara peserta antuk
melakukan tindakan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut,
barang-barang, paket pos atau jenazah manusia untuk menghilangkan
infeksi atau kontaminasi termasuk vektor dan reservoir, tanpa
pembatasan perjalanan dan perdagangan guna mencegah atau
menurunkan penyebaran penyakit secara internasional dan menghindari
hambatan pada perjalanan internasional. (Universitas Gunadarma, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Abdiana. Pengelolaan Penyakit Karantina. FK UNAND


Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Darmawati (2010) ‘Keaneragaman Genetik Salmonella typhi’, II(4), pp. 1–4. doi:
http://dx.doi.org/10.15294/kemas.v11i1.3467.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Buku Saku Bidan Poskesdes untuk Mewujudkan
Desa Siaga. Jakarta.
Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba
Medika.
Federal Department of Defence (2007) Smallpox ( variola virus ) Pathogen : Pox
viruses.
Fijriyani, A. and Sugiarti, E. (2016) ‘Penyakit Kolera di Surabaya 1962-1974’, 3,
pp. 23–33. doi: 10.1002/ejoc.201200111.
Manual Pemberantasan Penyakit Menular. 2002
Rahmawati, E. (2013) ‘Partisipasi Ibu dalam Pemasangan Live Trap Terhadap
Jumlah Tangkapan Tikus di Desa Sukabumi Kecamatan Cepogo
Kabupaten Boyolali’, 3(2), pp. 1–10.
Reingold , Arthur L. 1998. “Outbreak Investigations—A Perspective”. Emerging
Infectious Diseases.Vol. 4, No. 1 : 21-27.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1962 Tentang Karantina
Laut.
Wuryanto, M.Arie. “Aspek Sosial Dan Lingkungan Pada Kejadian Luar Biasa
(KLB) Chikungunya (Studi Kasus KLB Chikungunya di Kelurahan
Bulusan Kecamatan Tembalang Kota Semarang)”. Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia. Vol. 4 No. 1: 68-54
Heryana, A. (2015, 5 12). Investigasi Wabah Epidemiologi Penyakit Menular.
Retrieved from http://adeheryana.weblog.esaunggul.ac.id/wp-
content/uploads/sites/5665/2015/12/Ade-
Heryana_WABAH_UEU20151205.pdf

Kemenkes. (2010). Permenkes RI Nomor 1501/menkes/per/X/2010. Kemenkes RI.


Pramana. (2013, Januari 20). Kejadian Luar Biasa (KLB). Retrieved from
http://pramana-d-t-fkm11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71308-Umum-
Kejadian%20Luar%20Biasa%20(KLB).html

Republik Indonesia, 1962. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun


1962 Tentang Karantina Laut. Jakarta.

NSW Government, Lembar Fakta Penyakit Menular. Indonesia.

CDC, 2005. Cholera. USA.

Presiden Republik Indonesia, 1962. UU RI No. 2 Tahun 1962 tentang Karantina


Udara. [Online]
Available at: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1962_2.pdf
[Accessed 17 Agustus 2018].

Soejoedi, H., 2005. Pengendalian Rodent, Suatu Tindakan Karantina. Jurnal


Kesehatan Lingkungan, 2(1), pp. 53-66.

Universitas Gunadarma, 2011. Wabah. [Online]


Available at:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab5-
wabah.pdf
[Accessed 17 Agustus 2018].

Anda mungkin juga menyukai