TINJAUAN PUSTAKA
2.1.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab yaitu genus
Microsporum, Trycophiton, dan Epidermophiton.1,2
1. Genus Microsporum, menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut.
2. Genus Trycophiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan
rambut.
3. Genus Epidermophiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku.
1
Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena
dengan alasan :1,2
a. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.
b. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita
dengan spesies yang berlainan.
c. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 – 14 hari) sedang
pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus penyebabnya
Selain 6 bentuk tinea diatas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus
yang dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:1,2
Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan Trichophyton concentricum
Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton schoenleini yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti
tikus (mousy odor)
Tinea fasialis, tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan
Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.
Pada akhir-akhir ini dikenal nama tinea incognito, yang berarti dermaotfitosis
dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.2
2.1.6 PATOGENESIS
Dermatofitosis terjadi melalui tiga tahap utama, yaitu ikatan dengan
keratinosit, penetrasi, dan tumbuh pada inangnya.
a. Perlekatan
2
Dalam berikatan dengan keratinosit, artrokonidia memiliki beberapa hambatan.
Hambatan tersebut adalah sinar ultraviolet, temperatur dan kelembapan
lingkungan, kompetisi dengan flora normal, dan adanya spingosin oleh
keratinosit. Adanya asam lemak dan transferin menyebabkan penghambatan
ikatan antara jamur dan keratinosit.7
b. Penetrasi
Apabila faktor protektif tidak mampu menghambat ikatan jamur dan keratinosit,
spora dari jamur akan berkembang dan menembus stratum korneum dengan
mempercepat proses deskuamasi. Penetrasi ini dipermudah dengan adanya enzim
proteinase, lipase, dan mukolitik dari jamur sehingga mampu bertahan dan
mengambil nutrisi dari inang. Trauma dan maserasi mempercepat proses penetrasi
jamur ke dalam jaringan. Progesteron diteliti mampu menghambat proses ini.2,7
c. Respon Imun Penjamu
Inflamasi terjadi melalui beberapa mekanisme. Sebagian dermatofita menghasilkan
molekul kemotaktik yang memicu reaksi radang. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
berperan dalam mengatasi dermatofitosis. Reaksi ini dipicu oleh sekresi IFN-ɣ yang
dihasilkan oleh Th1. Akibatnya, timbul lesi berupa eritema dan skuama. Antigen
dermatofita mengakibatkan turnover dari keratinosit menjadi lebih cepat.7
3
dan padainfeksi endotriks tampak rantai atrospora di dalam batang rambut.pada
skuama kulit kepala dijumpai hifa dan atrospora.7
b. Black dot ringworm
Penyebab :T. tonsurans, T. violaseum.
Lesi berupa bercak kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus tepat
dipermukaan kulit pada muara folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora, sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada
bercak tersebut yang disebut “black dots”.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada
sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang rambut
(infeksi endotriks dan eksotriks). 2,7
3. Bentuk Favus
Penyebab: T. Schoenleini Magypseum
Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti
cawan (skutula) serta berbau seperti tikus setelah pengangkatan krusta (mousy
odor). Kadang-kadang meluas sampai di luar daerah rambut, bersifat progresif dan
menimbulkan banyak sikatriks. Rambut jadi tidak bercahaya, namun biasanya
tidak terputus. Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau sepanjang rambut dan
bila dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya gelembung-
gelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur. 7
4
a b
c d
2. Bentuk kerion
Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi yang
basah dengan perifolikkulitis dan abses.
3. Bentuk sikosis
Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan
folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut
dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi
bakteri rambut sulit dicabut).1,7
5
Gambar 2. Superfisial, kerion, sikois.8
c. Tinea Korporis
Tinea korporis menunjukkan gambaran klinis yang bervariasi. Gambaran klasik
berupa lesi anular dan biasanya serpiginosa(ringworm like) dengan skuama pada
seluruh tepi lesi yang eritematosa dan sering didapatkan vesikel. Lesi meluas secara
sentrifugal. Di bagian tengah lesi kadang-kadang dijumpai skuama, tetapi biasanya
juga bersih tanpa lesi (central clearing).7
Gambar 3. Tinea korporis dengan gambaran tepi tampak lebih aktif (centralhealing)4
d. Tinea Kruris
Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula
sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum, pubis,
gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis kadang-
kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat
berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian
tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen jamur. 1,7,9
6
Gambar 4. Tinea kruris pada lipat paha dan gluteal.4
f. Tinea Unguium1,7,9
Kuku, khususnya kuku kaki, sering terkena infeksi jamur, terutama dalam kaitan
dengan tinea pedis kronis atau rekuren. Padakenyataannya, reservoir infeksi di kuku
adalah penyebab pentinginfeksi kulit oleh jamur yang berkelanjutan dan berulang.
Infeksi hanya mengenai satu atau beberapa kuku, tetapi seiring dengan waktu terdapat
kecenderungan penambahan jumlah kuku yang terunfeksi. Kuku yang terinfeksi
menebal dan berubah warna, secara klasikmenghasilkan gambaran kuning
kecokelatan. Terkadang dapat ditemuihiperkeratosis subungual yang signifikan.1
7
1. Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut
detritus. Kalau proses berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan
hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
2. Leukonika trikofita = white superficial type Kelainan kuku pada bentuk ini
merupakan leukonika atau warna keputihan dipermukaan kuku yang dapat dikerok
untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan T.
mentagrofites sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungal proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku
dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang
sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku
tangan.1,7,9
8
Bila tidak ditemukan keluhan subjektif berupa gatal dan tanda objektif kurang dari
tiga, maka dilakukan pemeriksaan penunjang KOH.Pada mikroskop akan tampak:7,8
a. Ektotriks: artrokonidia kecil atau besar membentuk selaput pada sekitar jaringan
keratin rambut.
b. Endotriks: artrokonidia yang berada di dalam jaringan rambut.
Untuk spesimen kulit, diperlukan kerokan kulit pada lesi menggunakan ujung
yang tumpul dari scalpel. Pada specimen kuku, pengambilan sampel dilakukan dari
area yang mengalamipenebalan pada kuku. Bila memungkinkan, pengambilan
dilakukan dari ujung proksimal hingga ke distal kuku. Dengan pemberian KOH pada
kaca objek, akan tampak septa dan hifa dari dermatofita. Jika sulit ditemukan, maka
pemeriksaan kultur dianjurkan untuk dilakukan.1,7
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling
baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Saboraoud.7
2.1.9 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana setiap penyakit terbagi menjadi dua yaitu non farmakologi dan
farmakologi, Seperti itu pula tatalaksana di dermatofitosis.10
Non Farmakologi
Pada pasien dermatofitosis penatalaksanaan umum adalah sebagai edukasi
pada pasien tentang penyakitnya, termasuk penyebab, cara pengobatan dan
pencegahan dari penyakitnya.1
Farmakologi
Sistemik
Penatalaksanaan khusus dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan
secara oral (sistemik) maupun topikal. Pengobatan dermatofitosis sering
tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara
adekuat dengan anti jamur topikal. walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala
dan kuku sering tidak efektif dan biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk
sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut
dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis T.rubrum termasuk tapak kaki dan
dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi
9
diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik anti jamur
dimulai.10 Berikut adalah pilihan obat untuk dermatofitosis
Tabel 1. Golongan obat sistemik pada dermatofitosis.10
Topikal
Jenis obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :10
1. azol-imidazol: klotrimazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol, tiokonazol.
Imidazol merupakan obat fungistatik. Cara kerja imidazole yaitu
menghambat sintesis komponen dinding sel jamur melalui penghambatan
lanosterol 14α-demethylase, yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol.
Penipisan ergosterol menyebabkan ketidakstabilan membran dan
hiperpermeabilitas, yang merupakan perubahan yang tidak sesuai dengan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup jamur.7
2. alilamin dan benzilamin: naftifin, terbinafine.
3. Dan golongan topikal lain nya :
Lama pengobatan dan jumlah pemberian tergantung kondisi pasien dan
predileksi lesi dan parahnya lesi, tapi pada umum nya akan di paparkan di tabel
4, mengenai dosis ,jumlah pemberian dan lama nya pemberian.
10
Golongan Obat Dosis
AZOL-IMIDAZOL Klotrimazol krim 1%, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali
sehari.
Tiokonazol krim 1%, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali
sehari,
Topikal lain nya Salep whitefield preparat salep yang mengandung 12% asam benzoate dan 6%
asam salisilat
diberikan selama 3-4 minggu dioleskan 2 kali sehari.
DAFTAR PUSTAKA
12