Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4 FAKTOR RISIKO


Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi tingginya prevalensi dan insiden
penyakit kulit di negara berkembang: hygiene personal, termasuk sulitnya akses ke
sumber air bersih, faktor cuaca, dan kepadatan penduduk.1
Cuaca dan kelembapan berperan penting dalam infeksi dermatofita. Dermatofitosis
menjadi lebih sering terjadi pada tempat dengan temperatur yang tinggi serta lembap.
Ekskresi dari kelenjar sebasea mampu mencegah infeksi jamur dermatofita, karena
aktivitas asam lemak dan transferin menghambat proses kolonisasi jamur. 2 Oleh
karenanya, insiden dermatofitosis berkurang pada periode post pubertal. 3 Pada penelitian
yang dilakukan oleh Henshaw dkk di Nigeria, salah satu faktor yang mempengaruhi
terjadinya penyakit kulit adalah adanya kontak erat dengan penderita.Transmisi
interpersonal penyakit kulit dinegara berkembang, terjadi akibat populasi yang terlalu
padat penduduk.4 Higiene Personal juga menjadi faktor utama yang mempengaruhi
tingginya prevalensi dan insiden penyakit kulit. Perbedaan epidemiologi dari
dermatomikosis dengan dermatofitosis adalah dari kebiasaan gaya hidup, sanitasi,
higiene personal, dan perkembangan sosial-ekonomi individu.5 Tinea kapitis jarang
terjadi pada individu dengan higiene personal yang adekuat. Tinea pedis sering terjadi
pada laki-laki yang memiliki higiene personal inadekuat seperti, penggunaan kaos kaki
yang ketat dalam jangka waktu yang lama sehingga kaki menjadi lembap dan jamur
menjadi mudah berkembang.6

2.1.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab yaitu genus
Microsporum, Trycophiton, dan Epidermophiton.1,2
1. Genus Microsporum, menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut.
2. Genus Trycophiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan
rambut.
3. Genus Epidermophiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku.

1
Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena
dengan alasan :1,2
a. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.
b. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita
dengan spesies yang berlainan.
c. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 – 14 hari) sedang
pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus penyebabnya

Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang:1,2


1. Tinea kapitis : menyerang kepala
2. Tinea barbae : menyerang jenggot, cambang dan kumis
3. Tinea korporis : menyerang badan
4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital
5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan
6. Tinea unguium : menyerang kuku

Selain 6 bentuk tinea diatas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus
yang dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:1,2
 Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan Trichophyton concentricum
 Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton schoenleini yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti
tikus (mousy odor)
 Tinea fasialis, tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan
 Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.
Pada akhir-akhir ini dikenal nama tinea incognito, yang berarti dermaotfitosis
dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.2

2.1.6 PATOGENESIS
Dermatofitosis terjadi melalui tiga tahap utama, yaitu ikatan dengan
keratinosit, penetrasi, dan tumbuh pada inangnya.

a. Perlekatan

2
Dalam berikatan dengan keratinosit, artrokonidia memiliki beberapa hambatan.
Hambatan tersebut adalah sinar ultraviolet, temperatur dan kelembapan
lingkungan, kompetisi dengan flora normal, dan adanya spingosin oleh
keratinosit. Adanya asam lemak dan transferin menyebabkan penghambatan
ikatan antara jamur dan keratinosit.7
b. Penetrasi
Apabila faktor protektif tidak mampu menghambat ikatan jamur dan keratinosit,
spora dari jamur akan berkembang dan menembus stratum korneum dengan
mempercepat proses deskuamasi. Penetrasi ini dipermudah dengan adanya enzim
proteinase, lipase, dan mukolitik dari jamur sehingga mampu bertahan dan
mengambil nutrisi dari inang. Trauma dan maserasi mempercepat proses penetrasi
jamur ke dalam jaringan. Progesteron diteliti mampu menghambat proses ini.2,7
c. Respon Imun Penjamu
Inflamasi terjadi melalui beberapa mekanisme. Sebagian dermatofita menghasilkan
molekul kemotaktik yang memicu reaksi radang. Reaksi hipersensitivitas tipe IV
berperan dalam mengatasi dermatofitosis. Reaksi ini dipicu oleh sekresi IFN-ɣ yang
dihasilkan oleh Th1. Akibatnya, timbul lesi berupa eritema dan skuama. Antigen
dermatofita mengakibatkan turnover dari keratinosit menjadi lebih cepat.7

2.1.7 MANIFESTASI KLINIK


a. Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah infeksi jamur dermatofita di bagian kulit kepala. Berdasarkan
bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas
1. Bentuk yang tidak meradang
a. Grey patch ringworm
Penyebab: Biasanya M. audoinii atau M. ferrugineum
Lesi mulai dari papul eritem di sekitar batang rambut. Papul kemudian melebar
dan membentuk bercak yang memucat dan bersisik. Rambut menjadi warna abu-
abu, tidak berkilat lagi dan lebih mudah patah(1-3mm di atas kulit kepala)
dibandingkan tercabut. Bila semua rambut di tempat tersebut terserang oleh jamur,
dapat terbentuk alopesia.7
Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan tampak ujung-ujung rambut yang
putus tersebut berfluoresensi hijau. Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut
yang dicabut. Padaektotriks terlihat antrospora yang kecil di sekitar batang rambut

3
dan padainfeksi endotriks tampak rantai atrospora di dalam batang rambut.pada
skuama kulit kepala dijumpai hifa dan atrospora.7
b. Black dot ringworm
Penyebab :T. tonsurans, T. violaseum.
Lesi berupa bercak kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus tepat
dipermukaan kulit pada muara folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung
rambut yang penuh spora, sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada
bercak tersebut yang disebut “black dots”.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada
sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang rambut
(infeksi endotriks dan eksotriks). 2,7

2. Bentuk yang meradang


Penyebab :M. canis, M. gypseum
Terlihat bercak yang kemerahan pada kepala, kadang-kadang eksudat dan
tertutup krusta, menyerupai sarang lebah, rambut biasanya rontok karena rusaknya
folikel rambut sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen. Bila reaksi
radang sangat hebat bisa timbul abses dibawah lesi tersebut sehingga kulit tampak
menonjol, basah dan teraba lunak. Keadaan ini disebut kerion yang biasanya
sangat gatal dan nyeri. Bila ditekan tampak pus keluar lewat beberapa fistula.7

3. Bentuk Favus
Penyebab: T. Schoenleini Magypseum
Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti
cawan (skutula) serta berbau seperti tikus setelah pengangkatan krusta (mousy
odor). Kadang-kadang meluas sampai di luar daerah rambut, bersifat progresif dan
menimbulkan banyak sikatriks. Rambut jadi tidak bercahaya, namun biasanya
tidak terputus. Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau sepanjang rambut dan
bila dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya gelembung-
gelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur. 7

4
a b

c d

Gambar 1. a. Grey patch ringworm, b. kerion, c. black dot ringworm, d. favosa.8

b. Tinea Barbe dan Tinea Fasialis1,7


Invasi ke rambut juga dijumpai pada tinea barbae, tempat terbentuknya satu atau
lebih bercak peradangan, kadang-kadang dipenuhi pustul-pustul folikular. Ledakan
kasus tinea barbe dilaporkan berkaitan dengan pemakaian alat cukur bersama oleh
pasien-pasien yang tinggal lama di rumah sakit. Infeksi di bagian wajah
dikenalsebagai tinea fasialis.7
1. Bentuk superfisial
Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil lalu melebar ke perifer dengan tepi
polisiklis. Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.

2. Bentuk kerion
Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi yang
basah dengan perifolikkulitis dan abses.

3. Bentuk sikosis
Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan
folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut
dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi
bakteri rambut sulit dicabut).1,7

5
Gambar 2. Superfisial, kerion, sikois.8

c. Tinea Korporis
Tinea korporis menunjukkan gambaran klinis yang bervariasi. Gambaran klasik
berupa lesi anular dan biasanya serpiginosa(ringworm like) dengan skuama pada
seluruh tepi lesi yang eritematosa dan sering didapatkan vesikel. Lesi meluas secara
sentrifugal. Di bagian tengah lesi kadang-kadang dijumpai skuama, tetapi biasanya
juga bersih tanpa lesi (central clearing).7

Gambar 3. Tinea korporis dengan gambaran tepi tampak lebih aktif (centralhealing)4
d. Tinea Kruris
Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula
sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum, pubis,
gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis kadang-
kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat
berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian
tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen jamur. 1,7,9

6
Gambar 4. Tinea kruris pada lipat paha dan gluteal.4

e. Tinea Manum dan pedis


Terdapat beberapa pola klinis yang berkaitan dengan dermatofitosis di tangan,
antara lain adanya lepuh yang serupa dengan tinea pedis. Hal ini diakibatkan tangan
kering bersisik tanpa keringatterinfeksi dengan Trichophyton rubrum. Lesi ini sering
salah disangka sebagai eksim. Lesi ini timbul unilateral. Pemeriksaan kuku sering
memperlihatkan adanya perubahan akibat invasi jamur.7
Tinea pedis adalah infeksi dermatofita di kaki. Terdapat tiga bentuk yang khas
ditemui pada praktik sehari-hari:
1) Infeksi sela jari kaki (athlete’s foot); sela jari kaki mengalami maserasi, timbul
fisura, dan gatal; sela jari keempat dan atau kelima adalah yang paling sering
terkena; penyakit mudah relaps.
2) Bercak vesikular, terutama di telapak kaki dan di sisi kaki dapat meluas dan
menyatu; kadang terbentuk lepuh yang gatal.
3) Perubahan kulit menjadi kering bersisik, yang dapat meluas dari tempat lain untuk
mengenai telapak kaki, punggung kaki, dan di sekitar sisi kaki—disebut moccasin
pattern; infeksi sering diobati sebagai eksim atau psoriasis karena adanya skuama,
menyebabkan tinea inkognito; begitu pun kuku juga sering terkena.7,8

Gambar 5. Bentuk intertriginosa, bentuk vesikular akut, moccasin foot.4

f. Tinea Unguium1,7,9
Kuku, khususnya kuku kaki, sering terkena infeksi jamur, terutama dalam kaitan
dengan tinea pedis kronis atau rekuren. Padakenyataannya, reservoir infeksi di kuku
adalah penyebab pentinginfeksi kulit oleh jamur yang berkelanjutan dan berulang.
Infeksi hanya mengenai satu atau beberapa kuku, tetapi seiring dengan waktu terdapat
kecenderungan penambahan jumlah kuku yang terunfeksi. Kuku yang terinfeksi
menebal dan berubah warna, secara klasikmenghasilkan gambaran kuning
kecokelatan. Terkadang dapat ditemuihiperkeratosis subungual yang signifikan.1

7
1. Bentuk subungual distalis
Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut
detritus. Kalau proses berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan
hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
2. Leukonika trikofita = white superficial type Kelainan kuku pada bentuk ini
merupakan leukonika atau warna keputihan dipermukaan kuku yang dapat dikerok
untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan T.
mentagrofites sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungal proksimalis
Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku
dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal
masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.
Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang
sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku
tangan.1,7,9

Gambar 6.Subungual distalis , subungual proksimal, leukonikia trikofita.6

2.1.8 PENEGAKAN DIAGNOSTIK


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Diagnosis dermatofitosis ditegakkan bila
terdapat keluhan gatal, lokasi yang sesuai dengan predileksi dermatofitosis, serta
ditemui satu sampai tiga tanda klinis berikut:7,8
a. Tepi lesi berbatas tegas, berbentuk polisiklik.
b. Terdapat tanda peradangan polimorfik.
c. Tanda radang tersebut lebih jelas pada bagian tepi, atau adanya central healing.

8
Bila tidak ditemukan keluhan subjektif berupa gatal dan tanda objektif kurang dari
tiga, maka dilakukan pemeriksaan penunjang KOH.Pada mikroskop akan tampak:7,8
a. Ektotriks: artrokonidia kecil atau besar membentuk selaput pada sekitar jaringan
keratin rambut.
b. Endotriks: artrokonidia yang berada di dalam jaringan rambut.

Untuk spesimen kulit, diperlukan kerokan kulit pada lesi menggunakan ujung
yang tumpul dari scalpel. Pada specimen kuku, pengambilan sampel dilakukan dari
area yang mengalamipenebalan pada kuku. Bila memungkinkan, pengambilan
dilakukan dari ujung proksimal hingga ke distal kuku. Dengan pemberian KOH pada
kaca objek, akan tampak septa dan hifa dari dermatofita. Jika sulit ditemukan, maka
pemeriksaan kultur dianjurkan untuk dilakukan.1,7
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling
baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Saboraoud.7

2.1.9 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana setiap penyakit terbagi menjadi dua yaitu non farmakologi dan
farmakologi, Seperti itu pula tatalaksana di dermatofitosis.10
 Non Farmakologi
Pada pasien dermatofitosis penatalaksanaan umum adalah sebagai edukasi
pada pasien tentang penyakitnya, termasuk penyebab, cara pengobatan dan
pencegahan dari penyakitnya.1

 Farmakologi
Sistemik
Penatalaksanaan khusus dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan
secara oral (sistemik) maupun topikal. Pengobatan dermatofitosis sering
tergantung pada klinis. Sebagai contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara
adekuat dengan anti jamur topikal. walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala
dan kuku sering tidak efektif dan biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk
sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut
dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis T.rubrum termasuk tapak kaki dan
dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi

9
diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik anti jamur
dimulai.10 Berikut adalah pilihan obat untuk dermatofitosis
Tabel 1. Golongan obat sistemik pada dermatofitosis.10

Golongan Obat Dosis


ALILAMIN Terbinafin Dewasa : 250 mg/hari selama 2 sampai 8 pekan
Anak-anak : 25-35 kg : 250mg/hari selama 6 pekan
TRIAZOL Itrakonazol Dewasa : 200 mg sehari selama 5-7 hari
Anak-anak : Dosis itrakonazol yaitu 5 mg/kgbb/hari
selama 4-6 pekan

Flukonazol Dewasa : 150 mg/pekan sampai 3-4 pekan


Anak-anak : 6mg/kgBB/hari sampai 2 – 6 pekan

Vorikonazol Dewasa : 200 mg/12 jam

Ketokonazol Dewasa: 200 mg/hari atau 400 mg/dosis tunggal atau


diulang setiap bulan
Anak-anak : anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal

Penicillium Griseofulvin Dewasa : 5-10 mg/kgBB/hari (ultramicrosize) atau 10-20


griseovulvum mg/kgBB/hari (microsize)
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB/hari (microsize), atau 15-20
mg/kgBB/hari (ultramicrosize

Topikal
Jenis obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :10
1. azol-imidazol: klotrimazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol, tiokonazol.
Imidazol merupakan obat fungistatik. Cara kerja imidazole yaitu
menghambat sintesis komponen dinding sel jamur melalui penghambatan
lanosterol 14α-demethylase, yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol.
Penipisan ergosterol menyebabkan ketidakstabilan membran dan
hiperpermeabilitas, yang merupakan perubahan yang tidak sesuai dengan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup jamur.7
2. alilamin dan benzilamin: naftifin, terbinafine.
3. Dan golongan topikal lain nya :
Lama pengobatan dan jumlah pemberian tergantung kondisi pasien dan
predileksi lesi dan parahnya lesi, tapi pada umum nya akan di paparkan di tabel
4, mengenai dosis ,jumlah pemberian dan lama nya pemberian.

Tabel 2: Pilihan obat Dermatofitosis topikal.7,10

10
Golongan Obat Dosis
AZOL-IMIDAZOL Klotrimazol krim 1%, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali
sehari.

Ekonazol krim 1 %, , diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali


sehari

Ketokonazol krim ketokonazol 1%, diberikan selama 2-4 minggu dan


dioleskan sekali sehari

Sulkonazol krim 1%. diberikan selama 3 minggu dioleskan 2 kali sehari.

Tiokonazol krim 1%, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali
sehari,

ALILAMIN/BENZIL Naftifin krim 1% diberikan selama 1 minggu dioleskan 1 kali sehari


AMIN
Terbinafin Terbinafin krim 1% dioleskan 1 atau 2 kali sehari.

Topikal lain nya Salep whitefield preparat salep yang mengandung 12% asam benzoate dan 6%
asam salisilat
diberikan selama 3-4 minggu dioleskan 2 kali sehari.

Amorolfin Amorolfin 5% dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam: Budimulya U,


Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis
Superfisialis. Edisiketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013.h. 1-6.
2. Qadim, H.H., Golforoushan, F., Azimi, H., dan Mohamad Goldust. Factor leading to
dermatophytosis. Annals of Parasitology. 2013. 59 (2): p.99-102.
3. Shukla P, Yaqoob S, Shukla V, Garg J, Dar ZP, Haider F. Prevalence of Superficial
Mycoses among Outdoor Patientsina Tertiary Care Hospital. NJMS. 2013; 2 (2): p.19-26.
4. World Health Organization. Epidemiology dan Management of Common Skin Disease in
Children in Developing Country. Geneva, Switzerland; 2005. p.12-15.
11
5. Akcaglar, S., Ener, B., Toker, S.C., Ediz, B., Tunali, S. dan Tore, O. 2011. A comparative
study of dermatophyte infection in bursa, turkey. MedMycol. 49: p.602-07.
6. Bose, S., Barapatre, R., dan Atindra Krishna Ghosh. Clinico-mycological profile of
dermatophytoses in a tertiary care rural hospital. InternationalJournal of Biomedical and
Advance Research. 2013. 04 (01): p.31-34.
7. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onichomycosis,
Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill;
2012. p.1807-21.
8. World Health Organization. Epidemiology dan Management of Common Skin Disease in
Children in Developing Country. Geneva, Switzerland; 2005. p.12-15.
9. Sharma V, Kumawat Tarun K, Sharma A, Seth R,ChandraS.Dermatophytes:Diagnosisof
Dermatophytosisanditstreatment.African Journal of Microbiology Research. 2015; 9 (9):
p.1286-93.
10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL.
Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11 th Ed. New York:
Mc Graw-Hill. 2010.

12

Anda mungkin juga menyukai