Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

1. Pengertian Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

dan memperbaiki kerusakan yang diderita (1). Menurut WHO, yang termasuk

lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas. Menurut undang-

undang No.4 tahun 1965 pasal 1, seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau

lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai

atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari

dan menerima nafkah dari orang lain (2).

2. Teori-Teori Proses Menua

Menurut Stanley (3), teori-teori proses menua terdiri dari :

a. Teori Biologis

1) Teori Genetic Clock

Menurut teori ini menua telah terprogam secara genetik untuk spesies-

spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam inti sel nya suatu jam genetik

yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung

mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak diputar, jadi menurut konsep ini

4
5

bila jam kita itu berhenti akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai

kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir (1).

2) Teori Wear and Tear

Teori wear and tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi

sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA, sehingga

mendorong malfungsi organ tubuh. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas,

tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi O2 bahan-bahan organik

seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat

melakukan regenerasi (4).

3) Riwayat lingkungan

Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya karsinogen

dari industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubahan

dalam proses penuaan. Walaupun faktor-fraktor ini diketahui dapat mempercepat

proses penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan

bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.

4) Teori Imunitas

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun

yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan

mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih

rentan untuk menderita penyakit. Seiring dengan berkurangnya fungsi sistem

imun, terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh.

5) Teori Neuroendokrin

Penuaan terjadi oleh karena adanya suatu perlambatan dalam sekresi

hormon tertentu yang mempunyai suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh
6

sistem saraf. Hal ini lebih jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid,

adrenal, dan reproduksi. Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan

secara universal akibat penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk

menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah (3). Seluruh reflek volunter

menjadi lebih lambat sehingga kemampuan lanjut usia untuk berespon terhadap

stimulus akan berkurang.

b. Teori Psikososiologis

Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang

menyertai peningkatan usia. Teori psikososiologis terdiri dari:

1. Teori Kepribadian

Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis

Separuh kehidupan manusia berikutnya digambarkan dengan memiliki tujuanya

sendiri, yaitu untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri melalui aktivitas yang

dapat merefleksikan dirinya sendiri.

2. Teori tugas perkembangan

Hasil penelitian Erickson tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan

yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya

untuk mencapai penuaan yang sukses. Tugas utama lanjut usia adalah mampu

melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang harus dijalani dengan

integritas.

3. Teori disengagement

Teori disengagement (teori pemutusan hubungan) menggambarkan proses

penarikan diri ini dapat diprediksi sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting
7

untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lanjut usia

dikatakan akan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan tanggung jawab

telah diambil oleh generasi yang lebih muda.

4. Teori aktivitas

Penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Gagasan pemenuhan

kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan

oleh orang lain. Kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti

bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen

kesejahteraan yang penting bagi lanjut usia.

5. Teori kontinuitas

Teori kontinuitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan,

merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk

menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau

memisahkan diri agar mencapai kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan di usia

tua. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan

kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat

menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat menua. Ciri kepribadian dasar

dikatakan tetap tidak berubah walaupun usianya telah lanjut.

3. Perubahan Fisiologis Pada Lanjut Usia

Perubahan fisiologis pada lanjut usia yang berkaitan dengan kejadian jatuh

diantaranya adalah perubahan sistem musculoskeletal, sistem persyarafan dan

sistem sensoris (5).

a. Perubahan Muskuloskeletal
8

Menurut Lueckenotte (5), tulang-tulang pada sistem skelet (rangka)

membentuk fungsi penunjang, pelindung, gerakan tubuh dan penyimpanan

mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan bertanggung jawab untuk

gerakan tubuh volunter. Persendian diklasifikasikan secara struktural dan

fungsional. Klasifikasi struktural didasarkan pada ikatan materi tulang dan apakah

ada rongga persendia. Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan

yang dimungkinkan pada persendian. Bila artikulasis di antara tambahan tulang,

sendi menahan tulang dan memungkinkan gerakan.

Penurunan progesif pada massa tulang total terjadi sesuai proses penuaan.

Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini meliputi ketidakaktifan fisik,

perubahan hormonal, dan resorpsi tulang. Efek penurunan tulang adalah makin

lemahnya tulang: vertebra lebih lunak dan dapat terteka, dan tulang berbatang

panjang kurang tahanan terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur.

Serat otot rangka berdegenerasi. Fibrosis terjadi saat kolagen

menggantikan otot, mempengaruhi pencapaian suplai oksigendan nutrisi. Massa,

tonus dan kekuatan otot semunya menurun: otot lebih menonjol dari ekstremitas

yang menjadi kecil dan lemah, dan tangan kurus dan tampak bertulang.

Penyusupan dan sklerosis pada tendon dan otot mengakibatkan perlambatan

respon selama tes reflex tendon.

Menurut Pujiastuti (6), perubahan muskuloskeletal antara lain pada

jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi.

1. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,

kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan
9

penurunan hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan

penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai puncak

mekaniknya karena penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan

elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami

perubahan kualitas dan kuantitasnya.

Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas

pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan

untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri,

jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melekukan aktivitas sehari-hari.upaya

fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk

menjaga mobilitas.

2. Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami

granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan

kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke

arah progesif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik

kartilago.berkurang atau hilang secara bertahap. Sehingga jaringan fibril pada

kolagen kehilangan kekuatanya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami

fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang

rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai

peredam kejut, tetapi sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya

kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan.

Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri,


10

keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari.. untuk mencegah

kerusakan lebih lanjut dapat diberikan teknik perlindungan sendi.


11

3. Tulang

Kekurangan kepadatan tulang, setelah diobservasi adalah bagian dari

penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis trabekula tranversal

terabsorbsi kembali, sehingga akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa

berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah

penurunan estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan

penyerapan kalsium di usus, peningkatan haversi sehingga tulang keropos.

Berikutnya jaringan tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan

kekakuan tulang menurun. Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan

osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, fraktur.

Latihan fisik dapat diberikan sebagai cara untuk mencegah osteoporosis.

4. Otot

Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Menurunnya

jumlah dan ukuran serabut otot, meningkatnya jaringan penghubung dan jaringan

lemak pada otot mengakibatkan efek negatif. Perubahan otot pada penuaan antara

lain menurunya jumlah serabut otot, atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril

menjadi tidak teratur dan hipertropi pada serabut otot yang lain, penurunan 30%

massa otot, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril. Dampak dari

perubahan otot tersebut adalah menurunya kekuatan, menurunnya fleksibilitas,

meningkatnya waktu reaksi dan menurunnya kemampuan fungsional otot. Untuk

mencegah perubahan lebih lanjut dapat diberikan latihan untuk mempertahankan

mobilitas.
12

5. Sendi

Pada lanjut usia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan

fasia mengalami penurunan elastis, ligamen, kartilago dan jaringan periartikular

mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi,

kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya

sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi, gangguan jalan dan aktivitas

keseharian lainnya. Upaya pencegahan kerusakan sendi antara lain memberikan

teknik perlindungan sendi dalam beraktivitas.

b. Perubahan Sistem Persarafan

Sistem neurologis , terutama otak adalah suatu faktor utama dalam

penuaan. Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-

neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi. Perubahan struktural yang

paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf

pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus

dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang

paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral

dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan.

Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan

penyusutan neuron, dengan potensial 105 kehilangan yang diketahui pada usia 80

tahun. Secara fungsional terdapat suatu perlambatan reflek tendon, terdapat

kecenderungan ke arah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya

berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang

sesuai. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya

hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflek lutut, bisep dan trisep terutama
13

karena pengurangan dendrite dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat

konduksi (3)

Menurut Pujiastuti (6), lanjut usia mengalami penurunan koordinasi dan

kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan

penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan SSP . hal ini terjadi

karena SSP pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia

berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemah pada

otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf

banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan.

Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi

lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami

penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis

menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi,

keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi. Hal itu

dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan keseimbangan.

Menurut Stanley (3), manifestasi klinis yang berhubungan dengan defisit

neurologis pada klien lanjut usia dapat dipandang dari berbagai perspektif: fisik,

fungsional, kognisi dan komunikasi.

1) Fisik

Dampak dari penuaan pada SPSS sukar untuk ditentukan, karena

hubungan fungsi sistem ini dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan

perfusi dan gangguan aliran darah serebral, lanjut usia berisiko lebih besar untuk

mengalami kerusakan serebral. Dan metabolism yang sudah diketahui. Dengan

penurunan kecepatan konduksi saraf, reflek yang lebih lambat, dan respon yang
14

tertunda untuk berbagai stimulus yang dialami maka terdapat pengurangan sensasi

kinestetik.

2) Fungsi

Defisit fungsional pada gangguan neurologis berhubungan dengan

penurunan mobilitas pada lanjut usia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan,

rentang gerak dan kelenturan. Penurunan pergerakan merupakan akibat dari

kifosis, pembesaran sendi-sendi, kesenjangan dan penurunan tonus otot. Atrofi

dan penurunan jumlah serabut otot dengan jaringan fibrosa secara berangsur-

angsurmenggantikan jaringan otot. Dengan penurunan massa otot, kekuatan dan

pergerakan secara keseluruhan, lamjut usia memperlihatkan kelemahan secara

umum dihubungkan dengan degenerasi system ekstrapiramidal. Kekejangan dapat

diakibatkan oleh cedera motor neuron di dalam SSP. Kejang yang berat dapat

mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas, postur tubuh dan mobilitas fungsional,

juga nyeri sendi, kontraktur dan masalah dengan pengaturan posisi. Tendon dapat

mengalami sklerosis dan penyusutan, yang menyebabkan penurunan hentakan

tendon. Defisit mobilitas fungsional dan pergerakan membuat lanjut usia menjadi

sangat rentan untuk mengalami gangguan integritas kulit dan jatuh.

c. Perubahan Sensoris

Banyak lanjut usia memiliki masalah sensoris yang berhubungan dengan

perubahan normal akibat penuaan. Perubahan sensoris dan permasalahn yang

dihasilkan merupakan faktor yang turut berperan paling kuat dalam perubahan

gaya hidup yang bergerak ke arah ketergantungan yang lebih besar dan persepsi

negatif tentang kehidupan. Defisit sensoris perubahan penglihatan merupakan

bagian dari penyesuaian berkesinambungan yang datang dalam kehidupan usia


15

lanjut. Perubahan penglihatan mempengaruhi pemenuhan AKS. Perubahan

penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan

termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, konstriksi pupil

akibat penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata. Perubahan

penglihatan pada awalnya dimulai dengan terjadinya presbiopi, kehilangan

kemampuan akomodatif di mulai pada dekade ke empat kehidupan, ketika

seseorang memiliki masalah dalam membaca huruf-huruf yang kecil. Kerusakan

akomodasi mata terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lemah dan lebih kendur,

dan lensa mengalami sklerosis dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan

untuk memusatkan data (penglihatan jarak dekat).

Ukuran pupil menurun karena sfingter pupil mengalami sklerosis. Miosis

pupil dapat mempersempit lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer

pada tingkat tertentu. Perubahan warna misalnya menguning dan meningkatnya

kekeruhan lensa Kristal yang terjadi dari waktu ke waktu dapat menimbulkan

katarak. Katarak menimbulkan tanda dan gejala penuaan yang mengganggu

penglihatan dan aktivitas setiap hari. Penglihatan yang kabur dan seperti terdapat

selaput di atas mata adalah gejala umum, yang mengakibatkan kesukaran dalam

mengfokuskan penglihatan dan membaca.. selain itu lanjut usia harus didorong

untuk menggunakan lampu yang terang dan tidak menyilaukan. Sensitivitas

terhadap cahaya sering terjadi, menyebabkan lanjut usia sering mengedipkan mata

terhadap cahaya terang atau ketika berada di luar pada siang hari yang cerah.

Lanjut usia memerlukan penggunaan cahaya pada malam hari di dalam rumah dan

waktu tambahan untuk melakukan penyesuaian penglihatan terhadap perubahan

kekuatan penerangan ketika meninggalkan suatu lingkungan yang memiliki


16

pencahayaan baik ke suatu lingkungan yang pencahayaan redup. Lanjut usia harus

diajarkan untuk menggunakan tangan mereka sebagai pemandu pada pegangan

tangga dan menggunakan cat yang terang pada bagian tepi anak tangga. (3)

Menurut Pujiastuti (6), perubahan penglihatan pada lanjut usia erat

kaitanya dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitasnya dan kaku, otot

penyangga lensa lemah dan kehilangan tonus. Ketajaman penglihatan dan daya

akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang. Penggunaan kacamata dan sistem

penerangan yang baik dapat digunakan untuk mengkompensasi hal tersebut.

Perubahan penglihatan pada lanjut usia antara lain penglihatan menurun,

akomodasi lensa menurun, iris mengalami arkus senilities, koroid memperlihatkan

atrofi di sekitar discus, lensa dibutuhkan lebih banyak cahaya untuk melihat

warna, konjungtiva menipis dan terlihat kekuningan, air mata menurun infeksi dan

iritasi meningkat, pupil ukuranya berbeda, kornea terdapat arkus senilis.

Kehilangan pendengaran pada lanjut usia disebut presbikusis. Penyebab

tidak diketahui tetapi berbagi factor yang telah diteliti adalah nutrisi, faktor

genetika, suara gaduh, hipertensi, stress emosional. Penurunan pendengaran

terutama berupa sensorineural, tetapi juga dapat berupa komponen konduksi yang

berkaitan dengan presbikusis. Penurunan pendengaran sensorineural terjadi saat

telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik (saraf

pendengaran, batang otak atau jalur kortikal pendengaran). Penyebab dari

perubahan konduksi tidak diketahui, tetapi masih berkaitan dengan perubahan

pada tulang di dal;am telinga tengah, dalam bagian koklear atau di dalam tulang

mastoid. Dalam presbikusis, suara konsonan derngan nada tinggi merupakan yang

pertama kali terpengaruh, dan perubahan dapat terjadi secara bertahap.. karena
17

perubahan berlangsung lambat, lanjut usia mungkin tidak segera mencari bantuan

yang dalam hal ini sangat penting sebab semakin cepat kehilangan pendengaran

dapat diidentifikasi dan alat bantu diberikan, semakin besar kemungkinan untuk

berhasil. Karena kehilangan pendengaran pada umunya berkangsung secara

bertahap.

Dua masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah

ketidakmampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk

mendeteksi suara dengan nada frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan

misalnya f, s, sk,sh dan l. Perubahan-perubahan ini dapat terjadi pada salah satu

atau kedua telinga.

B. Jatuh Pada Lansia


1. Definisi dan Epidemiologi
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi

mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak

terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa

kehilangan kesadaran atau luka (2).


Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar

menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja. Dan tidak termasuk jatuh

akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Kejadian jatuh tersebut

adalah dari penyebab yang spesifik yang jenis dan konsekuensinya berbeda dari

mereka yang dalam keadaan sadar mengalami jatuh (3).


Australia mengemukakan bahwa cedera akibat jatuh merupakan salah satu

alasan morbiditas dan mortalitas terbesar pada orang tua di Australia yaitu

sebesar 80% alasan rawat inap atau terjadi pada 30% orang tua berusia 65 tahun.

Empat puluh persennya disebabkan oleh penyakit pendahulu seperti stroke, 30%
18

nya berkaitan dengan jatuh di rumah sakit. Amerika serikat mengungkapkan

bahwa jatuh pada lansia ke IGD dan kebanyakan merupakan jatuh dengan

etiologi primer pada orang di atas 65 tahun. Tujuh puluh persen dari jatuh pada

lansia di atas 75 tahun menyebabkan kematian (7).


Jatuh pada orang tua berkaitan dengan kelemahan tonus, kekuatan dan

kekompakan otot sebagai akibat dari kurangnya aktivitas. Obat-obatan tertentu

dapat menyebabkan jatuh seperti konsumsi alkohol apalagi jika berinteraksi

dengan zat obat tertentu. Gangguan penglihatan yaitu penurunan visus juga

menjadi penyebab jatuh pada lansia. Angka kematian akibat jatuh juga tingi yaitu

18 kematian dari 100.000 kasus. Angka ini meningkat jika lansia berusia lebih

dari 80 tahun yaitu menjadi 81 kematian per 100.000 kasus jatuh. Angka cedera

atau morbiditas akibat jatuh adalah 2.415 kasus per 100.000 kasus.
Lansia yang bertahan dari jatuh memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.

Angka rawat inap meningkat 2 kali pasca jatuh pada lansia (8).

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Secara umum, faktor risiko jatuh bisa dibagi menjadi dua kelompok besar

yaitu faktor intrinsik yaitu faktor yang berhubungan dengan perilaku seseorang

dan faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berhubungan dengan lingkungan seseorang

atau interaksinya dengan lingkungan (9).


19

Sedangkan Wolter (10) membagi faktor risiko jatuh pada lansia menjadi sebagai

berikut:

1. Faktor demografis: usia yang lebih tua (>75 tahun), ras putih, dan yang

inkompatibilitas aktivitas, atau tinggal sendirian.

2. Faktor historis: penggunaan tongkay berjalan, riwayat jatuh sebelumnya,

penyakit akut, kondisi kronis terutama gangguan neuromuskular, obat-

obatan terutama penggunaan empat obat-obatan lebih dari 4 macam.

3. Defisit kemampuan fisik: gangguan kognitif, penurunan penglihatan,

kesulitan bangun dari tempat tidur, gangguan ekstrimitas inferior,

gangguan neurologis, penurunan pendengaran,

4. Lain-lain: zat kimia lingkungan, kebiasaan yang berisiko

Etiologi yang sering menyebabkan jatuh pada lansia (11):


20

Faktor-faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kecelakaan dengan

lansia (12):

1. alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau

tergeletak di bawah

2. tempat tidur atau WC yang rendah / jongkok

3. tempat berpegangan yang tidak kuat / tidak mudah dipegang

4. Lantai yang tidak datar baik ada trapnya atau menurun

5. Karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal / menekuk pinggirnya,

dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser

6. Lantai yang licin atau basah

7. Penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan)

8. Alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya

Faktor-faktor situasional yang mungkin mempresipitasi jatuh antara lain (12):

1. Aktivitas
21

Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti

berjalan, naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali (5%),

jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki

gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak

kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya

yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada lansia yang imobil (jarang

bergerak) ketika tiba-tiba dia ingin pindah tempat atau mengambil sesuatu tanpa

pertolongan.

2. Lingkungan

Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga, dengan

kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya

terjadi karena tersandung / menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai

yang licin atau tak rata, penerangan ruang yang kurang.

3. Penyakit Akut

Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari penyakit

kronik yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas

akut pada penderita penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada tiba-tiba pada

penderita penyakit jantung iskenmik, dan lain-lain.


22

3. Komplikasi
Menurut Kane (13), komplikasi-komplikasi jatuh adalah :

a. Perlukaan (injury)

Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat

sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah
23

tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah,

tungkai atas.

b. Disabilitas

Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan

perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan

kepercayaan diri dan pembatasan gerak.

Pinggul dan paha merupakan area cedera yang paling sering terkena akibat

jatuh dan memerlukan rawat inap baik pada laki-laki maupun pada perempuan.

Fraktur femur akibat jatuh memang telah meneurun selama tahun 1999-2000 yaitu

sekitar 1,3% per tahun pada laki-laki dan 2,2% pada perempuan. Cedera kepala

juga merupakan komplikasi yang sering terutama pada pria. Sehingga pencegahan

cedera kepala sebaiknya dilakukan pada lansia yaitu dengan pemberian alat

pelindung atau merubah kondisi lingkungan. Fraktur tulang pinggul merupakan

alasan rawat inap yang paling sering dan 91% patah tulang panggul beruhubungan

dengan jatuh. Dampak lain dari jatuh pada lansia adalah peningkatan angka

kematian dan morbiditas, penurunan kemandirian, peningkatan beban keluarga

dan sebaya, peningkatan biaya perawatan, dan peningkatan jumlah hari perawatan

(14).

Jatuh juga menyebakan fraktur pergelangan tangan, karena ketika lansia

jatuh, lansia meletakkan tangan mereka untuk menahan beban. Jatuh juga akan

menurunkan kepercayaan diri lansia dalam berjalan dan bisa meningkatkan stres.

Australia melaporkan waktu tersering lansia mengalami jatuh adalah saat jam

kerja dimana banyak orang sekitar namun sibuk dengan pekerjaannya masing-

masing. Lokasi jatuh paling banyak adalah disamping tempat tidur, kamar mandi.
24

Karakteristik jatuh pada lansia tergantung dari situasi dan kondisi. Lansia yang

lebih fleksibel bepergianlebih sering mengalami jatuh saat berjalan atau saat

bangun dari kasur dan kursi (14).

c. Mati

4. Pencegahan dan Penilaian Faktor Risiko

Secara umum, pencegahan jatuh pada lansia dikategorikan menjadi

beberapa aspek: pertama adalah penilaian risiko jatuh multidimensional dengan

usaha pengurangan risiko, program latihan berbagai tipe, penilaian keamanan

lingkungan dan modifikasina, intervensi multifaktorial, dan intervensi

institusional (15)

Istilah screening dan assesment merupakan dua istilah yang berbeda.

Screening berarti proses yang bertujuan mengidentifikasi lansia dengan faktor

risiko yang tinggi. Sedangkan assesment adalah proses yang bertujuan faktor-

faktor apa saja yang terdapat pada lansia ini yang meningkatkan risiko jatuhnya

sehingga bisa kita cegah. Berikut salah satu metode skrining tingkat risiko jatuh

pada lansia menggunakan STRATIFY kode (16):


25
26

Intervensi yang bisa dilakukan jika lansia berada pada risiko medium

maupun risiko tinggi adalah:

1. Skrining dan nilai semua faktor risiko jatuh pada lansia di rumah sakit

menggunakan instrumen yang telah divalidasi.


2. Identifikasi pasien dengan risiko tinggi menggunakan kartu peringatan

yang ditempel di atas kasur


3. Menilai penglihatan pasien terutama terhadap lantai dan tangannya. Jika

penglihatan bermasalah, rujuk ke dokter spesialis mata.


4. Resume semua pengobatan pasien. Nilai obat-obatan yang memiliki

faktor risiko tinggi seperti sedatif, antidepressan, antipsikotik dan obat

penghilang nyeri.
27

5. Mengukur tekanan darah sebagai rekam medis jika pasien tiba-tiba

mengalami hipotensi.
6. Melakukan urinalisa rutin untuk mengidentifikasi infeksi saluran kemih.
7. Menjadwalkan fisioterapi rutin pada pasien dengan kesulitan
8. Edukasi dan diskusi dengan pasien secara rutin tentang bahaya dan risiko

jatuh serta cara pencegahannya.


9. Mencatat kejadian jatuh pada pasien di rekam medis
10. Melakukan rencana terpadu terhadap fungsi usus dan pencernaan pasien.
11. Membuat lingkungan yang ama dengan:
a. Tempat tidur berada di ketinggian yang tepat sesuai tinggi tubuh

lansia yaitu dengan menyuruh pasien duduk di pinggir kasur dan

membuat kaki pasien 90 terhadap kasur, tidak menggantung.


b. Menjaga lantai kamar lansia bebas dari benang-benang kusut

ataupun tumpahan minuman


c. Menjaga cahaya tetap adekuat
12. Mempertimbangkan konsumsi vitamin D dengan kalsium sebagai

manajemen rutin untuk menjaga kekuatan tulang pasien.


13. Mempertimbangkan penggunaan protektor panggul dan alarm di sekitar

tubuh pasien.
28

Berikut beberapa cara memodifikasi lingkungan (17):

a. Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari

pusing akibat suhu.

b. Taruhlah barang-barang yang diperlukan berada dalam jangkauan tanpa harus

berjalan terlebih dahulu.

c. Gunakan karpet antislip di kamar mandi.

d. Perhatikan kualitas penerangan dan pencahayaan di rumah.

e. Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.

f. Pasang pegangan tangan pada tangga dan pasang anti slip pada pegangan

tangga, dan bila perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga.

g. Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa
29

untuk melintas. Misalnya karpet, sajadah, mainan-mainan cucu, pensil warna,

gelas plastik, dll

h. Gunakan lantai yang tidak licin atau memakai alas kaki yang tidak licin.

i. Atur letak barang-barang perabotan agar jalan untuk melintas mudah dan

menghindari tersandung.

j. Pasang pegangan tangan ditempat yang diperlukan seperti di kamar mandi.

k. Pasang stiker cahaya yang akan menyala apabila lampu mendadak padam

sehingga memudahkan untuk berjalan atau keluar.

l. Hindari penggunaan perabotan yang beroda.

m. Pasang alarm dan alat komunikasi yang tinggal menekan tombol apabila lansia

meminta bantuan.
30

5. Tata Laksana

Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan

menerapi komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik,

mengembalikan kepercayaan diri penderita (18).

Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi

faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini

harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik,

neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik, dll), sosiomedik, arsitek

dan keluarga penderita (18).

Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus

karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila

penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah,

sederhanma, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh serta efektif.

Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial sehingga

diperlukan terapi gabungan antara obat rehabilitasi, perbaikan lingkungan, dan

perbaikan kebiasaan lansia itu. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk

mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian/aktifitas fisik,

penggunaan alat bantu gerak (18).

Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan

penurunan fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan

ketahanan otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sayangnya sering terjadi

kesalahan, terapi rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami

jatuh, padahal terapi ini diperlukan terus-menerus sampai terjadi peningkatan

kekuatan otot dan status fumgsional. Penelitian yang dilakukan dalam waktu satu
31

tahun di Amerika Serikat terhadap pasien jatuh umur lebih dari 75 tahun,

didapatkanpeningkatan kekuatan otot dan ketahanannya baru terlihat nyata setelah

menjalani terapi rehabilitasi 3 bulan, semakin lama lansia melakukan latihan

semakin baik kekuatannya (18).

Terapi untuk penderita dengan penurunan kemampuan berjalan dan

keseimbangan difokuskan untuk mengatasi/mengeliminasi penyebabnya/faktor

yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program gait training, latihan

strengthening dan pemberian alat bantu jalan. Biasanya program rehabilitasi ini

dipimpin oleh fisioterapis. Program ini sangat membantu penderita dengan stroke,

fraktur kolum femoris, arthritis, dan parkinsonisme (18).

Penderita dengan dizziness syndrome, terapi ditujukan pada penyakit

kardiovaskuler yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan

hipotensi postural seperti beta bloker, diuretik, anti depresan, dll (18).

Terapi yang tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan

rumah/tempat kegiatan lansia seperti di pencegahan jatuh

Setiap penderita lansia jatuh, harus dilakukan assesmen seperti dibawah

ini (18):

A. Riwayat Penyakit (Jatuh)

Anamnesis dilakukan baik terhadap penderita ataupun saksi mata jatuh atau

keluarganya. Anamnesis ini meliputi :

1. Seputar jatuh : mencari penyebab jatuh misalnya terpeleset, tersandung,

berjalan, perubahan posisi badan, waktu mau berdiri dari jongkok, sedang

makan, sedang buang air kecil atau besar, sedang batuk atau bersin, sedang

menoleh tiba-yiba atau aktivitas lain


32

2. Gejala yang menyertai : nyeri dada, berdebar-debar, nyeri kepala tiba-tiba,

vertigo, pingsan, lemas, konfusio, inkontinens, sesak nafas.

3. Kondisi komorbid yang relevan :pernah stroke,Parkinsonism, osteoporosis,

sering kejang, penyakit jantung, rematik, depresi, defisit sensorik.

4. Review obat-obatan yang diminum : antihipertensi, diuretik, autonomik bloker,

antidepresan, hipnotik, anxiolitik, analgetik, psikotropik.

5. Review keadaan lingkungan : tempat jatuh, rumah maupun tempat-tempat

kegiatannya.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda vital : nadi, tensi, respirasi, suhu badan (panas/hipotermi)

2. Kepala dan leher : penurunan visus, penurunan pendengaran, nistagmus,

gerakan yang menginduksi ketidakseimbangan, bising

3. Jantung : aritmia, kelainan katup

4. Neurologi : perubahan status mental, defisit fokal, neuropati perifer,

kelemahan otot, instabilitas, kekakuan, tremor.

5. Muskuloskeletal : perubahan sendi, pembatasan gerak sendi problem kaki

(podiatrik), deformitas.

C. Assesmen Fungsional

Dilakukan observasi atau pencarian terhadap :

1. Gaya berjalan dan keseimbangan : observasi pasien ketika bangkit dari duduk

dikursi, ketika berjalan, ketika membelok atau berputar badan, ketika mau duduk

dibawah.

2. Mobilitas : dapat berjalan sendiri tanpa bantuan, menggunakan alat bantu,

memakai kursi roda atau dibantu


33

3. Aktifitas kehidupan sehari-hari : mandi, berpakaian, bepergian, buang air

kencing.

Algoritma evaluasi penanganan jatu dapat dilihat pada gambar di bawah ini (18):
34

Anda mungkin juga menyukai