Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) menurut UU No. 13 Tahun 1998 adalah seseorang yang

telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Jumlah penduduk lanjut usia yang semakin

meningkat setiap tahunnya dikarenakan panjangnya usia harapan hidup sebagai akibat

tercapainya pembangunan yang dilakukan, maka mereka yang memiliki pengalaman,

keahlian dan kearifan perlu diberikan kesempatan untuk berperan dalam

pembangunan (Dehe dkk, 2016).

Pada lansia menurunnya fungsi sel disebabkan oleh proses penuaan, sehingga

akan berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, serta penyakit degeneratif

lainnya.

1. Teori proses menua

Teori proses menua menurut Subhan Kadir (2007), secara umum teori dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu teori biologi dan teori psikologi.

a. Teori biologi

Teori biologi terdiri dari teori seluler, teori sintesa protein, teori jam genetik,

teori keracunan oksigen dan teori sistem imun.

6
7

1) Teori seluler

Teori seluler merupakan kemampuan sel yang dapat membelah dalam jumlah

tertentu dan kebanyakan sel-sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika

sebuah sel pada lansia dilepas dari tubuh dan dibiakkan di laboratorium, lalu

diobservasi, jumlah sel-sel yang akan membelah, jumlah sel yang akan membelah

akan terlihat sedikit. Hal ini akan menimbulkan pengertian terhadap proses penuaan

biologis dan menunjukkan bahwa pembelahan sel lebih lanjut mungkin terjadi untuk

pertumbuhan dan perbaikan jaringan, sesuai dengan berkurangnya umur.

Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem muskuloskeletal dan

jantung, sel pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel

tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut beresiko

mengalami proses penuaan dan mempunyai kemampuan yang sedikit atau tidak sama

sekali untuk tumbuh dan memperbaiki diri. Ternyata sepanjang kehidupan ini, sel

pada sistem ditubuh kita cenderung mangalami kerusakan dan akhirnya sel akan mati,

dengan konsekuensi yang buruk karena sistem sel tidak dapat diganti (Kadir, 2007).

2) Teori sintesa protein

Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia.

Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada

komponen perotein dalam jaringan tersebut. Pada lansia beberapa protein (kolagen

dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktrur

yang berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada

kartilago dan elastin pada klulit yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih
8

tebal, seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan

dengan perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung

berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem

muskuloskeletal (Kadir, 2007).

3) Teori jam genetik

Menurut teori ini menua telah diprogram secara genetik untuk species-species

tertentu. Tiap species mempunyai didalam nuclei (inti selnya) suatu jam genetik yang

telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan menghitung mitosis dan

menghentikan replikasi sel bila tidak berputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita

berhenti kita akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan

atau penyakit akhir yang katastrofal. Konsep genetik clock didukung oleh kenyataan

bahwa ini merupakan cara menerangkan mengapa pada beberapa species terlihat

adanya perbedaan harapan hidup yang nyata.

Secara teoritis dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi meski hanya untuk

beberapa waktu dengan pangaruh-pengaruh dari luar, berupa peningkatan kesehatan,

pencegahan penyakit atau tindakan-tindakan tertentu.

4) Teori keracunan oksigen

Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel didalam tubuh

untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar

yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu.

Ketidak mampuan mempertahankan diri dari toksik tersebut membuat struktur

membran sel mangalami perubahan dari rigid, serta terjadi kesalahan genetik.
9

Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitasi sel dalam berkomunikasi

dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrien dengan

proses ekskresi zat toksik didalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran

sel yang sangat penting bagi proses diatas, dipengaruhi oleh rigiditas membran

tersebut. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel

oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ

berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah,

2011).

5) Teori sistem imun

Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.

Walaupun demikian, kemunduran kamampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik

dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam

proses penuaan.

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat

menyebabkan berkurangnya kamampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya

sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada

antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh

menganggap sel yang megalami perubahan tersebut sebagi sel asing dan

menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa

autoimun (Azizah, 2011).


10

b. Teori psikologi terdiri dari teori pelepasan dan aktivitas

1) Teori pelepasan

Teori pelepasan memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri lansia

merupakan suatu proses yang secara berangsur-angsur sengaja dilakukan oleh

mereka, untuk melepaskan diri dari masyarakat atau pergaulan di sekitarnya (Azizah,

2011).

2) Teori aktivitas

Teori aktivitas merupakan sebuah teori yang berpandangan bahwa lansia yang

memiliki keterbatasan aktivitas, mereka secara bertahap mengisi waktu luangnya

dengan melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dan penyesuaian (Kadir, 2007).

2. Batasan usia pada lansia

Batasan usia pada lansia dapat berbeda dari waktu ke waktu. Batasan lanjut

usia Menurut World Health Organisation (WHO) meliputi : (1) usia pertengahan

(middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, (2) lanjut usia (elderly) antara usia 60

sampai 74 tahun, (3) lanjut uusia (old) antara usia 75 sampai 90 tahun, (4) usia sangat

tua (very old) diatas usia 90 tahun.

Selain itu, pendapat menurut berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-

batasan umur yang mencakup batasan umur pada lansia meliputi : (1) Memrut

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “

lanjut usia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”. (2) Menurut

Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu: pertama (fase inventus) selama 25-

40 tahun, kedua (fase virilities) 40-55 tahun, ketiga (fase presenim) adalah 55-65
11

tahun, keempat (fase senium) adalah 65 hingga tutup usia. (3) menurut setyonegoro

masa lanjut usia (geriatric age) : usia >65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia

(geriatric age) dibagi menjadi tiga batasan umur yaitu young old (70-75 tahun), old

(75-80 tahun), dan very old (>80 tahun).

3. Perubahan-perubahan fisiologis pada lansia

Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi perubahan

muskuloskletal, sistem saraf, sistem kardiovaskular dan respirasi, sistem indra, dan

sistem integumen.

a. Perubahan pada sistem muskuloskeletal

Perubahan yang terjadi pada muskuloskeletal antara lain sebagai berikut (1)

pada kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago

dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang

tidak teratur sehingga menyebabkan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh.

Perubahan yang terjadi pada kolagen merupakan penyebab dari turunnya fleksibilitas

pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan

untuk meningkatakan kekuatan otot, berjalan, dan melakukan aktivitas sehari-hari. (2)

kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi sehingga akan

menyebabkan permukaan sendi menjadi rata dan kemampuan kartilago untuk

regenerasi menjadi berkurang atau hilang secara bertahap. Perubahan tersebut sering

terjadi pada sendi besar penumpu berat badan sehingga menyebabkan sendi

mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya

aktivitas sehari-hari. (3) pada tulang akan mengalami penurunan kepadatan yang akan
12

menyebabkan osteoporosis dan apabila berlanjut akan menyebabkan nyeri,

deformitas, dan fraktur. (4) pada otot akan terjadi penurunan jum lah dan ukuran

serabut otot. peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak pada otot

mengakibatkan efek negatif. Dampak dari Perubahan morfologis pada otot

menyebabkan penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, penurunan kemampuan

fungsional. (5) pada sendi jaringan ikat seperti tendon, ligament, dan fasia mengalami

npenurunan elastisitas yang menyebabkan degenerasi, erosi, dan klasifikasi pada

kartilago dan kapsul sendi yang menyebabkan terjadinya penurunan luas gerak sendi.

Kelainan tersebut dapat menyebabkan osteoartritis, artritis reumatoid, gout, dan

pseudogout

b. Perubahan pada sistem saraf

Pada sistem saraf perubahan yang terjadi pada lansia adalah lansia mengalami

penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Penuaan akan menyebabkan penurunan presepsi sensorik dan respon motorik pada

susunan sistem saraf pusat dan penurunan reseptor propioseptif. Hal ini terjadi karena

susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimiawi

sehingga menyebabkan penurunan fungsi kognitif, keseimbangan, kekuatan otot,

refleks, propioseptif, prubahan postur, dan peningkatan reaksi.

c. Perubahan pada sistem kardiovaskular dan respirasi.

Perubahan pada sistem kardiovaskular dan respirasi antara lain adalah sebagai

berikut (1) pada sistem kardiovaskular masa jantung akan bertambah, ventrikel kiri
13

akan mengalami hipertrofi, dan kemampuan peregangan jantung akan berkurang

sehingga kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%

yang menyebabkan pengonsumsian oksigen pada maksimal (VO2 maks) berkurang

lalu kapasitas paru akan menurun, (2) pada sistem respirasi kapasitas total paru tetap,

tetapi volume cadangan paru bertambah. Volume tidal bertambah untuk

mengompensasi kenaikan ruang rugi paru. Perubahan pada otot, kartilago, dan sendi

toraks sehingga akan berdampak pada pergerakan pernapasan yang terganggu dan

kemampuan peregangan toraks berkurang sehingga kapasitas ventilasi paru menurun.

d. Perubahan pada sistem indra

Perubahan yang terjadi pada sistem indra meliputi pendengaran,

penglihatan, pengecap, peraba, dan penciuman. Pada gangguan pendengaran

umumnya disebabkan koagulasi cairan yang terjadi selama otitis media atau tumor

seperti kolesteatom. Pada sistem penglihatan akan terjadi kehilangan elastisitas dan

kaku pada lensa sehingga ketajaman penglihatan serta daya akomodasi dari jarak jauh

atau dekat berkurang. Penurunan kemampuan pengecap mengakibatkan peningkatan

nilai ambang untuk identifikasi benda. Penurunan kemampuan peraba dapat

menyebabkan penurunan respon terhadap stimulasi, penyimpangan presepsi, resiko

terhadap bahaya termal yang berlebihan. Penurunan kemampuan penciuman

menyebabkan sensitifitas nilai ambang untuk identifikasi bau menurun.

e. Perubahan pada sistem integumen

Pada sistem integumen perubahan yang terjadi akan membawa dampak pada

berkurangnya elastisitas kulit, kekenduran kulit, kering, dan kulit tampak berkerut.
14

Pada penuaan kulit akan mengalami kekeringan yang disebabkan oleh atrofi glandula

sudorifera. Menipisnya kulit terjadi pada bagian kulit dermis bukan pada

epidermisnya.

B. Keseimbangan Dinamis

1. Definisi.

Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan tubuh ketika

tubuh dapat mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama saat tubuh

dalam posisi tegak. Keseimbangan dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh untuk

mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berperan dalam pembentukan

keseimbangan. Tubuh memiliki tujuan mempertahankan keseimbangan yaitu

menyangga tubuh untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan

seimbang dengan bidang tumpu, melawan gravitasi dan faktor-faktor ekternal lain,

serta menjaga stabilisasi tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak. Kemampuan tubuh

untuk menjaga keseimbangan antara bidang tumpu dengan massa tubuh akan

membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efisien dan efektif (Pratiwi dan

Munawar, 2014).

Keseimbangan diartikan sebagai kemampuan tubuh dalam memmpertahankan

kontrol postural yang bertujuan mempertahankan posisi statis dan dinamis(Guccione,

2000). Kemampuan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan dibagi menjadi dua

yaitu statis dan dinamis. Keseimbangan statis adalah kemampuan tubuh dalam
15

mempertahankan posisi tubuh dimana Center Of Gravity (COG) tidak berubah atau

menjaga kesetimbangan dalam posisi tetap (diam). Kesimbangan dinamis merupakan

kemampuan tubuh dalam mempertahankan posisi tubuh dimana COG selalu berubah

atau kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak pada

landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan menempatkan tubuh dalam

kondisi yang tidak stabil.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan.

Keseimbangan pada manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

adalah :

a. Pusat gravitasi (Center of Gravity)

Pusat gravitasi (Center of Gravity) adalah titik utama pada tubuh yang akan

mendistribusikan massa tubuh secara merata. Apabila tubuh berada dalam titik Center

of Gravity (COG), maka keadaan tubuh akan seimbang. Seseorang yang mampu

mempertahankan keseimbangannya dengan baik dalam berbagai bentuk posisi tubuh

maka kemampuan seseorang itu dipengaruhi oleh kemampuan tubuh dalam menjaga

COG untuk tetap dalam area batas yang stabil atau stability limit (Pratiwi dan

Munawar, 2014).

b. Garis gravitasi (Line of Gravity)

Garis gravitasi (Line of Gravity) merupakan garis imajiner yang berada

vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi, sehingga menentukan derajat

stabilitas tubuh (Pratiwi dan Munawar, 2014).

c. Bidang tumpu (Base of Support)


16

Bidang tumpu (Base of Support) adalah sebuah bagian dari tubuh yang

berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi berada pada tepat di

bidang tumpu maka tubuh dalam keadaan seimbang. Semakin dekat jarak antara

bidang tumpu dengan pusat gravitasi maka semakin tinggi stabilitas tubuh dalam

mempertahankan keseimbangannya (Pratiwi dan Munawar, 2014).

d. Sistem neuromuskuler

Kemampuan untuk mengolah informasi sensoris dan kecepatan bereaksi untuk

respon yang tepat (central processing) serta kemampuan efektor untuk

mengompensasi respon proses informasi tersebut. Central processing merupakan

kerja dari sistem saraf pusat, tubuh juga harus melakukan respon melalui sistem

efektor yang bekerja dengan kekuatan otot, lingkup gerak sendi (LGS), fleksibilitas,

dan daya tahan otot (Chandler, 2000). Tugas dari sistem efektor adalah untuk

menjaga COG tetap berada dalam BOS (Patten dan Craik, 2000).

Adapun otot yang akan bekerja pada kontrol keseimbangan adalah otot

quadriceps, hamstring, dorsi flexor, plantar flexor, abdomen, dan trunk (Chandler,

2000 dan Hidayat, 1999).

e. Input sensori

Masukan informasi sensori dari sistem visual, vestibular, dan proprioseptif

akan diteruskan ke sistem saraf pusat.


17

1) Visual

Komponen visual yang secara klinis penting untuk dipertimbangkan termasuk:

ketajaman, sensitivitas kontras, penglihatan tepi, persepsi kedalaman (Chandler,

2000). Sistem visual memberikan informasi tentang : (1) posisi kepala relatif terhadap

lingkungan dan orientasi kepala untuk mempertahankan tingkat tatapan, (2)

pergerakan benda-benda sekitarnya, sehingga memberikan informasi tentang

kecepatan gerakan. Perjalanan melalui saraf optik ke lateral geniculate nukleus di

thalamus ke colliculus superior dan beberapa serat lainnya ke nuclei olivary inferior

(Brody, 1999).

2) Vestibular

Memberikan informasi tentang orientation kepala dalam ruang dan

percepatan. Setiap gerakan kepala, termasuk pergeseran berat badan untuk

menyesuaikan postur, akan menstimulasi reseptor vestibular. Saraf vestibular

memproyeksikan ke inti vestibular dan serebelum. Inti vestibular juga menerima

masukan dari sistem sensorik lainnya, termasuk sistem visual. Dari inti vestibular dua

saluran vestibulospinal turun ke sumsum tulang belakang untuk kontrol postural.

Perjalanan naik adalah untuk mengontrol gerakan mata dan ke talamus. Dari talamus

naik ke nukles kuadatus dan ke daerah asosiasi parietal, di mana informasi tersebut

terintegrasi dengan informasi sensorik lainnya (Brody, 1999).

3) Proprioseptif

Proprioseptif merupakan masukan penting dari sistem sensorik untuk kontrol

keseimbangan. Masukan proprioseptif oleh sendi, tendon, dan reseptor otot


18

memberikan informasi mengenai gerakan tubuh terhadap permukaan tumpuan dan

gerakan segmen tubuh kepada SSP (Chandler, 2000). Input somatosensori dalam hal

ini adalah proprioseptif adalah informasi yang diproses tercepat kemudian diikuti

oleh informasi dari visual dan vestibular. Sistem ini bermain penting dalam regulasi

postur, informasi dari reseptor periperal merupakan sumber penting bagi input

informasi sistem ini (Brody, 1999).

3. Gangguan keseimbangan pada lansia

Gangguan keseimbangan dan gaya hidup yang tidak aktif merupakan faktor

risiko jatuh dan cedera (Joshua et al, 2014).

Gangguan keseimbangan pada lansia dipengaruhi oleh perubahan yang atau

saraf pusat, sistem sensori terutama sistem terjadi pada sistem neurologis visual,

propioseptif dan vestibuler serta ditambah dengan sistem muskuloskeletal (Miller,

2004).

Gangguan keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena keseimbangan

pada lansia saat mobilisasi dapat menyebabkan lansia mudah terjatuh (Darmojo,

2000).

Gangguan dalam mengontrol keseimbangan postural dapat menimbulkan

berbagai masalah yang mempengaruhi kualitas hidup seseorang, seperti kehilangan

rasa percaya diri dalam aktivitas karena adanya ketakutan akan jatuh, patah tulang,

cedera kepala serta kecelakaan lain akibat tingginya kecenderungan untuk jatuh.

Selain menurunkan kualitas hidup, gangguan kontrol keseimbangan postural juga

dapat meningkatkan ketergantungan seseorang dalam melakukan aktifitas hidup,


19

sehingga mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari secara

mandiri, misalnya yaitu pada lansia (Suhartono, 2005).

Menurut Shumway-Cook, (2001) strategi keseimbangan diantaranya

yaitu:

a. Ankle strategy

Pergelangan kaki sering digunakan pada situasi dimana gangguan terhadap

keseimbangan kecil dan pada permukaan yang keras dan tidak rata. Strategi ini

dipengaruhi oleh kekuatan otot dan lingkup gerak sendi pergelangan kaki. Strategi

ankle dan sinergi otot mengontrol gerakan tegak. Untuk mempertahankan pusat

massa tubuh dalam posisi stabil dipengaruhi oleh gerakan tubuh yang terutama

berpusat disekitar sendi pergelangan kaki. Aktivitas otot akan kelihatan pada

gastrocnemius yang diikuti oleh otot otot hamstring pada gerakan kedepan dan otot

para spinal yang menyebabkan plantar fleksi serta mempertahankan panggul dan lutut

dalam posisi ekstensi.

b. Hip strategy

Strategi panggul dalam mengontrol gerakan pusat massa tubuh dengan

menimbulkan gerakan yang kuat dan cepat pada sendi panggul dengan diikuti Totasi

pergelangan kaki. Strategi panggul dipakai untuk mempertahankan keseimbangan

yang merupakan respon terhadap posisi yang lebih besar dan cepat, pijakan lentur,

tidak rata maupun sempit.


20

c. Stepping strategy

Stepping strategy adalah suatu strategi yang digunakan satu langkah atau

lompatan yang dipakai untuk mengembalikan dasar pijakan dalam kesegarisan

dengan pusat massa tubuh. Stepping strategy dilakukan seperti strategi pergelangan

kaki dan panggul. Keseimbangan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia,

motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman terdahulu

(Setiawan, 2011).

4. Pengukuran keseimbangan dengan time up and go test.

Pengukuran menggunakan TUGT merupakan pengukuran yang objektif,

valid, dan reliable. Seseorang lanisa yang melakukan tes ini dapat menggunakan alas

kaki biasa, bisa menggunakan alat bantu, berjalan dengan nyaman dan aman. Lansia

diberi 2 kali kesempatan untuk melakukan tes ini, kemudian pengukur mengukur

waktu yang ditempuh selama berjalan sejauh 6 meter.

a) Alat

Alat yang digunakan dalam pengukuran ini berupa: (1) Kursi standar dengan

sandran punggung (46cm) dan lengan, (2) Stopwatch, (3) Meteran, (4) Cone.

b) Cara pengukuran

Cara pengukuran yang dilakukan oleh peneliti berupa: (1) lansia duduk pada

kursi standar, (2) berjalan menuju cone sejauh 3 meter lalu putar balik menuju kursi

Pengukuran keseimbangan pada lansia dapat menggunakan Time Up and Go Test

(TUGT). Menurut Jacobs and Fox (2008) Time Up and Go test (TUGT) merupakan

sebuah alat ukur yang digunakan pada lansia untuk mengukur keseimbangan. sejauh
21

3 meter dengan jarak total 6 meter, (3) saat lansia diberi aba-aba “mulai” maka

pengukur mengukur menggunakan stopwatch sampai lansia duduk kembali ke kursi

standar, (4) lansia diberi kesempatan untuk melakukan pengukuran sebanyak 2 kali

dengan jangka waktu antara pengukuran pertama dengan yang kedua, (5) kemudian

catat hasil yang didapat, kemudian bandingkan sesuai dengan kategori usia, jenis

kelamin yang dijadikan pedoman saat mengukur peningkatan dan penurunan

keseimbangan.

Menurut Jacobs and Fox (2008), nilai normal lansia pada Time Up and Go

Test berdasarkan umur adalah:

TABEL 2.1
NILAI NORMAL LANSIA PADA TIME UP AND GO TEST

Nilai Nilai
Jenis
Umur rata-rata normal
Kelamin
( detik ) ( detik )

60-69 Laki-laki 8 4-12

60-69 Perempuan 8 4-12

70-79 Laki-laki 9 3-15

70-79 Perempuan 9 5-13

80-89 Laki-laki 10 8-12

80-89 Perempuan 11 5-17


22

C. Otago Exercise

1. Definisi

Latihan Otago exercise bentuk program terapi latihan untuk melatih

keseimbangan dan kekuatan otot anggota gerak bawah pada lansia serta memberikan

latihan jalan dalam upaya peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia. Otago

exercise terdiri dari beberapa komponen yaitu komponen penguatan otot

(strengthing), peningkatan keseimbangan (balance) dan program berjalan yang

didesain untuk lansia. Sebelum latihan dan setelah latihan otago exercise dilakukan

pergangan berupa pemanasan dan pendinginan ini juga bertujuan untuk mengurangi

efek pegal dan cedera selama latihan serta memelihara fleksibilitas dari lansia

(Campbell dan Robertson, 2003).

a. Latihan Penguatan (Strength Exercise)

Latihan penguatan bertujuan untuk memelihara kesehatan tulang dan otot agar

dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari-hari. Ada lima jenis latihan penguatan

dalam Otago exercise, dimana tiga jenis latihan menggunakan penambahan beban.

b. Latihan Keseimbangan (Balance Execise) dan Latihan Jalan

Latihan keseimbangan bertujuan untuk mengoptimalkan dan meningkatkan

keseimbangan, sehingga mempermudah dalam melakukan gerakan. Latihan jalan

bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan berjalan dan untuk mempertahankan

kebugaran fisik dari lansia.


23

2. Indikasi otago exercise

Indikasi dilakukannya otago exercise berupa seorang lansia yang memiliki

gangguan kesimbangan, lansia yang berusia 60 atau lebih dari 80 tahun.

3. Kontraindikasi otago exercise

Kontraindikasi dilakukannya otago exercise berupa seorang lansia setahun

lalu mengalami fraktur pada ekstremitas atas maupun bawah, memiliki gangguan

neurologis sehingga dapat membahayakan lansia, memiliki penyakit gangguan irama

jantung, lansia yang mengalami gangguan pendengaran atau tuli (Benavent-Caballer

et al., 2016).

4. Prosedur

a. Pemanasan

Pemanasan dilakukan sebelum melakukan gerakan inti, fungsi dari pemanasan

adalah untuk mempersiapkan tubuh agar tidak mengalami cedera selama latihan.

Latihan pemenasan dilakukan selama 5 menit (Kocic et al., 2018). Gerakan dalam

pemanasan ini juga bertujuan untuk memelihara fleksibilitas dari lansia (Campbell

dan Robertson, 2003).

Pemanasan terdiri dari 5 bentuk gerakan yaitu :

1) Head Movements

Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan pandangan lurus ke depan,

kemudian gerakan kepala ke kanan dan ke kiri secara perlahan, ulangi gerakan

sebanyak 5 kali.
24

Gambar 2.1
Head Movements (Campbell dan Robertson, 2003)

2) Neck Movements

Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan pandangan lurus ke depan,

letakan salah satu tangan di dagu dan tekan dagu ke arah belakang, ulangi gerakan

sebanyak 5 kali.

Gambar 2.2
Neck Movements (Campbell dan Robertson, 2003).
3) Back Extension

Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, letakan kedua tangan

dibelakang pinggang kemudian lengkungkan punggung ke depan, ulangi gerakan

sebanyak 5 kali.
25

Gambar 2.3
Back Extension (Campbell dan Robertson, 2003).

4) Trunk Movements

Berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu dan letakann kedua tangan di

pinggang, gerakkan kepala dan bahu ke kanan dan ke kiri namun pinggang tidak ikut

bergerak, ulangi gerakan sebanyak 5 kali.

Gambar 2.4
Trunk Movements (Campbell dan Robertson, 2003).
5) Ankle Movements

Duduk bersandar di kursi, kemudian angkat salah satu kaki lurus ke depan,

kemudian tekuk dan luruskan pergelangan kaki, ulangi gerakan 10 kali untuk setiap

kaki.
26

Gambar 2.5
Ankle Movements (Campbell dan Robertson, 2003).

b. Inti

Pada gerakan inti terdapat dua bentuk latihan yaitu latihan kekuatan,

keseimbangan disertai dengan jalan. Pada latihan inti dilakukan selama 30 menit

(Kocic et al., 2018).

1) Latihan penguatan

Latihan penguatan pada Otago Exercise yaitu menggunakan beban pada

pergelangan kaki dan latihan penguatan dilakukan 2 kali seminggu dengan diselingi

istirahat di antara hari latihan. Ada lima jenis latihan penguatan dalam Otago

Exercise, dimana tiga jenis latihan menggunakan penambahan beban. Beban yang

digunakan 0,5 kg dengan repetisi 10 kali tiap 1 gerakan, fokus utama dari latihan

penguatan adalah pada otot–otot ekstremitas bawah. Group otot yang memiliki peran

penting dalam gerakan fungsional dan berjalan adalah otot fleksor knee, ekstensor

knee, dan abduktor hip. Otot Selain itu otot-otot yang berperan dalam perbaikan
27

kesimbangan meliputi group otot dorso fleksi ankle dan plantar fleksi ankle.

Penambahan beban pemberat pada ankle bertujuan untuk memberikan tahanan pada

otot fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip. Namun latihan penguatan pada

group otot dorsofleksi dan plantar fleksi ankle hanya menggunakan beban dari berat

badan tanpa bantuan pemberat. Latihan penguatan terdiri dari :

a) Front Knee Strengthening Exercise


Posisi duduk bersandar dikursi dan pergelangan kaki dipasangi pemberat,

kemudian angkat dan luruskan lutut ke depan, ulangi sebanyak 10 kali pada kaki

kanan dan kiri.

Gambar 2.6
Front Knee Strengthening Exercise (Campbell dan Robertson, 2003).
b) Back Knee Strengthening Exercise

Posisi berdiri dengan tangan berpegangan pada sandaran kursi dan

pergelangan kaki dipasangi pemberat, kemudian tekuk lutut ke belakang lalu luruskan

kembali, ulangi gerakan tersebut 10 kali pada kaki kanan dan kiri.
28

Gambar 2.7
Back Knee Strengthening Exercise (Campbell dan Robertson, 2003).
c) Side Hip Strengthening Exercise

Berdiri tegak di samping kursi atau meja dangan pergelangan kaki dipasangi

pemberat, salah satu tangan berpegangan di meja dan kaki diangkat ke samping

(diabduksi), ulangi sebanyak 10 kali pada kaki kanan dan kiri.

Gambar 2.8
Side Hip Strengthening Exercise (Campbell dan Robertson, 2003).
d) Calf Raise – Hold Support

Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan tangan berpegangan

dikursi atau meja, kemudian lakukan gerakan berjinjit dan ulangi sebanyak 10 kali.
29

Gambar 2.9
Calf Raise – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
e) Calf Raise – No Support

Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, kemudian lakukan

gerakan berjinjit dan ulangi sebanyak 10 kali.

Gambar 2.10
Calf Raise – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
f) Toe Raise – Hold Support

Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan tangan berpegangan

dikursi atau meja, kemudian angkat jari kaki sehingga saat berdiri hanya bertumpu

dengan tumit. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali.


30

Gambar 2.11
Toe Raise – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
g) Toe Raise – No Support

Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, kemudian angkat jari

kaki sehingga saat berdiri hanya bertumpu dengan tumit. Ulangi gerakan tersebut

sebanyak 10 kali.

Gambar 2.12
Toe Raise – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
2) Latihan Balance Retraining

Latihan keseimbangan dalam Otago Exercise merupakan latihan yang

mengajarkan kembali bagaimana upaya tubuh dalam menjaga keseimbangan. Latihan

ini bertujuan untuk mengoptimalkan dan meningkatkan keseimbangan, sehingga

mempermudah dalam melakukan gerakan – gerakan fungsional dan agar tidak mudah
31

jatuh saat bergerak. Latihan keseimbangan dalam Otago Exercise Programme terdiri

dari beberapa tingkatan. Pada tingkat awal semua latihan keseimbangan

menggunakan bantuan tangan namun, apabila sudah masuk tingkatan selanjutnya

dimana pasien sudah mampu untuk melakukan gerakan tanpa bantuan maka gerakan

menggunakan tangan tidak dilakukan lagi.

Latihan keseimbangan dan berjalan terdiri dari :

a) Knee Bends – Hold Support

Berdiri tegak menghadap kursi atau meja dengan kaki di buka selebar bahu

dan kedua tangan berpegangan di kursi, lakukan gerakan berjongkok dengan cara

menekuk lutut, saat tumit mulai terasa terangkat luruskan kaki kembali, ulangi

sebanyak 10 kali

Gambar 2.13
Knee Bends – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).

b) Knee Bends – No Support

Berdiri tegak menghadap kursi atau meja dengan kaki di buka selebar bahu,

lakukan gerakan berjongkok dengan cara menekuk lutut, saat tumit mulai terasa

terangkat luruskan kaki kembali, ulangi sebanyak 10 kali


32

Gambar 2.14
Knee Bends – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).

c) Backwards Walking – Hold Support

Berdiri tegak dengan berpegangan pada meja, kemudian berjalan mundur

sebanyak 10 langkah kemudian berputar arah dengan posisi tengan tetap berpegangan

pada meja, lalu berjalan mundur 10 langkah kembali ke tempat start.

Gambar 2.15
Backwards Walking – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
d) Backwards Walking – No Support
33

Berdiri tegak, kemudian berjalan mundur sebanyak 10 langkah kemudian

berputar arah , lalu berjalan mundur 10 langkah kembali ke tempat start.

Gambar 2.16
Backwards Walking – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).

e) Walking and Turning Around

Berjalan dengan lintasan membentuk angka 8, ulangi sebanyak 2 kali

Gambar 2.17
Walking and Turning Around (Campbell dan Robertson, 2003).
f) Sideways Walking

Berdiri tegak dengan kedua tangan berada di pinggang, kumudian berjalan

miring 10 langkah ke kanan dan 10 langkah ke kiri


34

Gambar 2.18
Sideways Walking (Campbell dan Robertson, 2003).
g) Heel Toe Standing – Hold Support

Berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan berpegangan di meja

dan pandangan lurus ke depan, kemudian posisikan salah satu kaki di depan kaki

yang lainnya dalam satu garis lurus (ujung jadi kaki bertemu dengan tumit kaki di

depannya) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian lakukan bergantian dengan

kaki yang lain, dan tahan 10 detik.

Gambar 2.19
Heel Toe Standing – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
h) Heel Toe Standing – No Support

Berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan, kemudian posisikan salah

satu kaki di depan kaki yang lainnya dalam satu garis lurus (ujung jadi kaki bertemu
35

dengan tumit kaki di depannya) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian

lakukan bergantian dengan kaki yang lain, dan tahan 10 detik.

Gambar 2.20
Heel Toe Standing – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).

i) Heel Toe Walking – Hold Support

Berdiri berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan berpegangan

di meja dan pandangan lurus ke depan, kemudian melangkah ke depan dengan posisi

kaki lurus (jari kaki menyentuh tumit kaki di depannya) lakukan sebanyak 10

langkah kemudian berbalik dan kembali ke arah start. Lakukan bergantian kaki kanan

dan kiri,

Gambar 2.21
Heel Toe Walking – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
36

j) Heel Toe Walking – No Support

Berdiri berdiri tegak dan pandangan lurus ke depan, kemudian melangkah ke

depan dengan posisi kaki lurus lakukan sebanyak 10 langkah kemudian berbalik dan

kembali ke arah start.

Gambar 2.22
Heel Toe Walking – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
k) One Leg Stand – Hold Support

Berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan berpegangan di meja

dan pandangan lurus ke depan, kemudian tekuk lutut kanan ke belakang (berdiri

dengan 1 kaki) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian ganti dengan kaki

yang satunya.

Gambar 2.23
One Leg Stand – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
37

l) One Leg Stand - No Support

Berdiri tegak pandangan lurus ke depan, kemudian tekuk lutut kanan ke

belakang (berdiri dengan 1 kaki) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian ganti

dengan kaki yang lain. (setelah terbiasa waktu dapat ditingkatkkan menjadi 30 detik)

Gambar 2.24
One Leg Stand - No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
m) Heel Walking – Hold Support

Berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan memegang meja dan

pandangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan bertumpu pada tumit

sebanyak 10 langkah, kemudian berbalik arah dengan kaki menapak ke lantai dan

lakukan langkah dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start

Gambar 2.25
Heel Walking – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
38

n) Heel Walking – No Support

Berdiri tegak dan pandangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan

dengan bertumpu pada tumit sebanyak 10 langkah, kemudian berbalik arah dengan

kaki menapak ke lantai dan lakukan langkah dengan tumit sebanyak 10 langkah

kembali ke posisi start

Gambar 2.26
Heel Walking – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
o) Toe Walking – Hold Support

Berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan berpegangan di meja

dan pangangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan posisi berjinjit

sebanyak 10 langkah, lalu berbalik arah dengan posisi kaki menapak ke lantai,

kemudian ulangi berjalan dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start.

Gambar 2.27
Toe Walking – Hold Support (Campbell dan Robertson, 2003).
39

p) Toe Walking – No Support

Berdiri tegak dan pangangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan

dengan posisi berjinjit sebanyak 10 langkah, lalu berbalik arah dengan posisi kaki

menapak ke lantai, kemudian ulangi berjalan dengan tumit sebanyak 10 langkah

kembali ke posisi start.

Gambar 2.28
Toe Walking – No Support (Campbell dan Robertson, 2003).
q) Heel Toe Walking Backwards

Berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan,kemudian berjalan ke

belakang dengan posisi ujung jari kaki menyentuh tumit kaki di belakangnya

sebanyak 10 langkah, lalu berbalik arah dan berjalan 10 langkah ke belakang kembali

ke posisi start

Gambar 2.29
Heel Toe Walking Backwards (Campbell dan Robertson, 2003).
r) Sit to Stand – Two Hand
40

Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang lutut, kemudian condongkan

lutut ke depan dan berdiri dengan bantuan kedua tangan.

Gambar 2.30
Sit to Stand – Two Hand (Campbell dan Robertson, 2003).
s) Sit to Stand – One Hand

Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang lutut, kemudian condongkan

lutut ke depan dan berdiri dengan bantuan salah satu tangan.

Gambar 2.31
Sit to Stand – One Hand (Campbell dan Robertson, 2003).
t) Sit to Stand – No Hand

Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang lutut, kemudian condongkan

lutut ke depan dan berdiri tanpa bantuan tangan.


41

Gambar 2.32
Sit to Stand – No Hand (Campbell dan Robertson, 2003).
u) Stair Walking

Berjalan naik turun tangga dengan tangan berpegangan pada reil tangga.

Gambar 2.33
Stair Walking (Campbell dan Robertson, 2003).
c. Pendinginan

Pada latihan pendinginan bertujuan untuk mengurangi efek pegal dan cedera

selama latihan serta memelihara fleksibilitas dari lansia bentuk latihannya berupa

latihan jalan yang dilakukan selama 5 menit (Kocic et al., 2018). Latihan jalan

bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan berjalan dan untuk mempertahankan

kebugaran fisik dari lansia. Latihan berjalan juga bisa dilakukan mandiri secara rutin
42

minimal 30 menit setiap minggu. Sebagai awalan dapat memulai dengan berjalan

selama 5 menit kemudian ditingkatkan menjadi 10 menit.

5. Mekanisme latihan otago exercise terhadap peningkatan keseimbangan

dinamis

Otago exercise merupakan salah satu latihan untuk meningkatkan kekuatan

otot anggota gerak bawah terutama keseimbangan dinamis pada lansia.

Keseimbangan berkaitan dengan sistem kontrol postural. Komponen dasar yang

termasuk dalam sistem kontrol postural meliputi: (1) kendala biomekanik, terkait

dengan kekuatan otot dan limit of stability yaitu kemampuan tubuh dalam

menggerakan pusat gravitasi tubuh serta mengontrol keseimbangan tanpa mengubah

bidang tumpu, (2) Strategi gerakan berupa feedback berupa respon protektif atau

respon korektif dan feed forward berupa respon postural saat mengantisipasi suatu

perubahan posisi tertentu, (3) Strategi sensoris meliputi: sensory integration dan

sensory re-weighting, yaitu kemampuan untuk meningkatkan bobot sensorik

bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas, (4)

Orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk mengarahkan bagian tubuh sehubungan

dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual, dan referensi internal, (5) Kontrol

dinamik, dan (6) Proses kognitif terkait perhatian dan proses pembelajaran (Horak,

2006).

Otago exercise terdiri dari latihan kekuatan, keseimbangan dan latihan

aerobik berupa berjalan. Latihan kekuatan berfokus pada latihan penguatan otot–otot

ekstremitas bawah. Group otot yang memiliki peran penting dalam gerakan
43

fungsional dan berjalan adalah otot fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip.

Sedangkan latihan keseimbangan berfokus pada otot-otot yang berperan dalam

perbaikan kesimbangan meliputi group otot dorso fleksi ankle dan plantar fleksi ankle

(Campbell dan Robertson, 2003).

Pelatihan keseimbangan dapat memberikan efek berupa adaptasi neural.

Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan

peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan

meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot

(Squire et al., 2008).

Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan

meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Gait adalah

pola berjalan dan locomotion adalah perpindahan berupa berjalan ataupun berlari

yang erat kaitannya dengan keseimbangan dinamis.

D. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh (Kocic et al., 2018) dengan judul “The

effectiveness of group Otago exercise program on physical function in nursing home

residents older than 65 years: A randomized controlled trial” yang bertujuan untuk

mengetahui efektifitas program latihan otago exercise, dengan sebanyak 77 lansia

berumur > 65 tahun diberi terapi latihan selama 6 bulan, dengan 3 kali sesi latihan per

minggu. Hasil penbahwa latihan otago exercise menunjukan peningkatan


44

keseimbangan, mobilitas fungsional yang baik, kekuatan otot ekstremitas bawah, dan

kemandirian yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh (Benavent-Caballer et al., 2016) yang berjudul

“The effectiveness of a video-supported group-based Otago exercise programme on

physical performance in community-dwelling older adults: a preliminary study”

yang bertujuan untuk mengevaluasi efek jangka pendek dari pemberian Otago

Exercise Programe yang berbasis video (OEP) dengan sebanyak 61 lansia berumur >

65 tahun diberi terapi latihan selama 4 bulan, dengan 3 kali sesi latihan perminggu.

Pengukuran primer menggunakan Time Up and Go Test. Hasil penelitian menunjukan

peningkatan mobilitas, keseimbangan fungsional, one-leg balance, dan kekutan pada

ekstremitas bawah.

Penelitian yang dilakukan oleh (Manohare and Hande., 2019) yang berjudul

“Effect of 6 Weeks Otago Exercise Program on Balance in Older Adults” yang

bertujuan untuk membndingkan efek yang diberikan dari 6 minggu otago exercise

programe dan conventional exercise untuk meningkatkan keseimbangan pada lansia

dengan subjek sebanyak 20 lansia program latihan selama 6 minggu, dengan 2 kali

sesi perminggu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa otago exercise program lebih

efektif dibandingkan dengan conventional exercise dalam meningkatkan

keseimbangan pada lansia, sehingga dapat mengurangi risiko jatuh pada lansia.
45

E. Kerangka Pikir

Lansia

Perubahan fungsi anatomis dan fisiologis

Penurunan Penurunan Penurunan pada Penurunan


sistem pada sistem sistem indera. sistem
muskuloskeletal. saraf. kardiovaskular
dan respirasi.

Penurunan kekuatan otot ekstremitas


bawah

Penurunan keseimbangan dinamis


Latihan
Menggunakan
Otago Exercise
Peningkatan keseimbangan dinamis

Gambar 2.36

Kerangka Pikir

Keterangan gambar 2.36

Lansia akan mengalami proses menua. Menua merupakan proses alamiah

pada manusia yang telah melalui tahapan kehidupan mulai dari bayi, anak, remaja,

dewasa, tua. Memasuki usia tua lansia akan mengalami proses kemunduran atau

penurunan terhadap beberapa sistem berupa penurunan sistem muskuloskeletal,


46

sistem saraf, sistem indera dan sistem kardiovasekuler serta respirasi. Hal tersebut

menyebabkan menurunnya kekuatan otot pada ekstremitas bawah dan penurunan

keseimbangan dinamis pada lansia. Sehingga perlu dilakukan latihan keseimbangan,

penguatan pada ekstremitas bawah dengan menggunakan Otago Exercise pada lansia

akan memberikan peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia.

F. Kerangka Konsep

- Medikamentosa
- Aktifitas subjek

- Dosis
- Keterampilan Fisioterapi
Subjek
Lansia
(yang
Peningkatan
memenuhi Latihan menggunakan keseimbangan
kriteria Otago Exercise
inklusi) dinamis

Gambar 2.37
Kerangka Konsep

Keterangan gambar 2.37

Subjek sesuai dengan kriteria inklusi berupa (1) lansia berusia >60 tahun, (2)

lansia dapat berjalan tanpa alat bantu sejauh 6 meter (4) lansia yang mampu

melakukan aktivitas kerja sehari-hari secara mandiri (5) lansia bersedia mengikuti
47

program penelitian yang dibuktikan dengan menandatangani inform concent. Dosis

dan keterampilan fisioterapis dikendalikan sedangkan faktor lain yang mungkin

mempengaruhi hasil perlakuan (tidak dapat dikendalikan) yaitu konsumsi obat

(medika mentosa) dan aktivitas subjek di luar perlakuan. Subjek diberikan perlakuan

menggunakan Otago Exercise 2 kali seminggu selama 6 minggu, kemudian subjek

diukur dan diharapkan terdapat peingkatan keseimbangan dinamis yang signifikan.

G. Hipotesis

Berdasarkan paparan sebelumnya, peneliti mengambil hipotesis berupa ada

pengaruh pemberian otago exercise terhadap peningkatan keseimbangan dinamis

pada lansia.

Anda mungkin juga menyukai