Anda di halaman 1dari 30

“ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI”

Disusun Oleh:

(Kelompok 1)
Maria Fransiska Marian (C2014201136)
Paskalina Natalia Ruth Lelimarna (C2014201144)
Yasni Daiman Hasiman Saik (C2014201156)
Ilma Puspita Sari Patalle (C2014201168)
Dakostaana Male (C2014201166)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS


PROGRAM STUDI S1 KHUSUS KEPERAWATAN
MAKASSAR
2021
Topik 1: “Asuhan keperawatan lansia dengan pemenuhan kebutuhan
oksigenasi”.
Kompetensi khusus:
1. Mengidentifikasi teori penuaan yang terkait
a. Teori-teori Biologis
1) Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul / DNA
dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel)
2) Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah
(rusak)
3) Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu
zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap
zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
5) Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-
sel tubuh lelah terpakai.
6) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini
dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
7) Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
8) Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
b. Teori kejiwaan sosial
1) Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
2) Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari
lansia.
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
3) Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.
Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lansia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
4) Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
a) Kehilangan peran
b) Hambatan kontak sosial
c) Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011)
dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan
psikososial:
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu
dan kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50
kali. Jika seldari tubuh lansia dibiakkanlalu diobrservasi di
laboratorium terlihat jumlah sel–sel yang akan membelah
sedikit. Pada beberapa sistem, seperti sistem saraf, sistem
musculoskeletal dan jantung, sel pada jaringan dan organ
dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel tersebut dibuang
karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem tersebut
beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh
dan memperbaiki diri (Azizah, 2011)
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya
pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan
dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam
jaringan tertentu. Pada lansia beberapa protein (kolagen dan
kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan
bentuk dan struktur yang berbeda dari protein yang lebih muda.
Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit
yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal,
seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah
dihubungkan dengan perubahan permukaan kulit yang
kehilangan elastisitanya dan cenderung berkerut, juga
terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada system
musculoskeletal (Azizah dan Lilik, 2011).
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di
dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa
mekanisme pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan
mempertahankan diri dari toksin tersebut membuat struktur
membran sel mengalami perubahan serta terjadi kesalahan
genetik. Membran sel tersebut merupakan alat sel supaya dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya dan berfungsi juga untuk
mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi
zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada
membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut,
dipengaruhi oleh rigiditas membran. Konsekuensi dari
kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel
oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua
jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah dan Lilik, 2011).
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem
yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih,
juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses
penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca
tranlasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem
imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik
menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh
menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai
sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang
menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem
imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan
pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker
menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah-belah
(Azizah dan Ma’rifatul L., 2011).
5) Teori Menua Akibat Metabolisme
Menurut Mc. Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan
Martono (2004), pengurangan “intake” kalori pada rodentia
muda akan menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori tersebut antara
lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau beberapa
proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon
yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka
yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan
Ma’rifatul, L., 2011).
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri
dengan masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan
interpersonal (Azizah dan Lilik M, 2011).
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya
(Azizah dan Lilik M, 2011).
2. Mengidentifikasi perubahan akibat proses penuaan yang terkait
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial
dan sexual (Azizah dan Lilik M, 2011, 2011).
a. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada
telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang
tinggi, suara yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi
pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Integumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur,
tidak elastis kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan
sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan
atropi glandula sebasea dan glandula sudoritera, timbul pigmen
berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot.
3) Sistem Muskulodkeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan
penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan
sendi.. Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang,
kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
bentangan yang tidak teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada
persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi, sehingga
permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung
kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada persendiaan
menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya
kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari penuaan
fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih
lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot:
perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek
negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti
tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa
jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena
perubahan jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh
penumpukan lipofusin, klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi
berubah menjadi jaringan ikat.
5) Sistem Respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah
untuk mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir
ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti
penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun
(kepekaan rasa lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan
menurunnya tempat penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7) Sistem Perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi,
ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami
penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.
9) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya
ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur.
b. Perubahan Kognitif
1) Memory (Daya ingat, Ingatan)
2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning)
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental:
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan famili.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.

d. Perubahan spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
e. Perubahan Psikososial
1) Kesepian
Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti
menderita penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan
sensorik terutama pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement)
Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau bahkan hewan
kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah rapuh
pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik
dan kesehatan.
3) Depresi
Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi
suatu episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres
lingkungan dan menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas
Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan cemas
umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif, gangguan gangguan tersebut merupakan kelanjutan
dari dewasa muda dan berhubungan dengan sekunder akibat
penyakit medis, depresi, efek samping obat, atau gejala
penghentian mendadak dari suatu obat.
5) Parafrenia
Suatu bentuk skizofrenia pada lansia, ditandai dengan waham
(curiga), lansia sering merasa tetangganya mencuri barang-
barangnya atau berniat membunuhnya. Biasanya terjadi pada
lansia yang terisolasi/diisolasi atau menarik diri dari kegiatan sosial.
6) Sindroma Diogenes
Suatu kelainan dimana lansia menunjukkan penampilan perilaku
sangat mengganggu. Rumah atau kamar kotor dan bau karena
lansia bermain-main dengan feses dan urin nya, sering menumpuk
barang dengan tidak teratur. Walaupun telah dibersihkan, keadaan
tersebut dapat terulang kembali.
Menurut Nugroho (2000) Perubahan Fisik pada lansia adalah :
1) Sel
Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya
cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot,
ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme
perbaikan sel.
2) Sistem Persyarafan
Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan
menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca
indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan
dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa,
lebih sensitive terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin
rendah, kurang sensitive terhadap sentuhan.
3) Sistem Penglihatan
Menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul
sklerosis, daya membedakan warna menurun.
4) Sistem Pendengaran
Hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi
suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-
kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun, membran
timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis.
5) Sistem Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku karena kemampuan
jantung menurun 1% setiap tahun sesudah kita berumur 20 tahun,
sehingga pembuluh darah kehilangan sensitivitas dan elastisitas
pembuluh darah. Berkurangnya efektifitas pembuluh darah perifer
untuk oksigenasi, misalnya perubahan posisi dari tidur ke duduk
atau duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun
menjadi 65 mmHg dan tekanan darah meninggi, karena
meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer.
6) Sistem pengaturan temperatur tubuh
Pengaturan suhu hipotalamus yang dianggap bekerja sebagai
suatu thermostat (menetapkan suatu suhu tertentu). Kemunduran
terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi yang sering
ditemukan adalah temperatur tubuh menurun, keterbatasan reflek
menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
sehingga terjadi aktifitas otot rendah.
7) Sistem Respirasi
Paru-paru kehilangan elastisitas, sehingga kapasitas residu
meningkat, mengakibatkan menarik nafas lebih berat, kapasitas
pernafasan maksimum menurun dan kedalaman nafas menurun
pula. Selain itu, kemampuan batuk menurun (menurunnya aktifitas
silia), O2 arteri menurun menjadi 75 mmHg, dan CO2 arteri tidak
berganti.
8) Sistem Gastrontestinal
Banyak gigi yang tanggal, sensitifitas indra pengecap menurun,
pelebaran esophagus, rasa lapar menurun, asam lambung
menurun, waktu pengosongan menurun, peristaltik lemah, dan
sering timbul konstipasi, fungsi absorbsi menurun.
9) Sistem Urinaria
Otot-otot pada vesika urinaria melemah dan kapasitasnya menurun
sampai 200 mg, frekuensi BAK meningkat, pada wanita sering
terjadi atrofi vulva, selaput lendir mengering, elastisitas jaringan
menurun dan disertai penurunan frekuensi seksual intercrouse
berefek pada seks sekunder.
10) Sistem Endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun (ACTH, TSH, FSH, LH),
penurunan sekresi hormon kelamin misalnya: estrogen,
progesterone, dan testoteron.
11) Sistem Kulit
Kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses
keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya
elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari
menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan
fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.
12) Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan cairan dan rapuh, kifosis, penipisan dan
pemendekan tulang, persendian membesar dan kaku, tendon
mengkerut dan mengalami sclerosis, atropi serabut otot sehingga
gerakan menjadi lamban, otot mudah kram dan tremor.
3. Membuat daftar alternative penyelesaian masalah
4. Memilih penyelesaian dari daftar alternatif yang ada
5. Mengimplementasikan rencana yang telah disusun
6. Mengevaluasi tujuan yang telah ditetapkan

KASUS PEMICU 1
Tn. H. 70 tahun, tinggal di panti wreda, keadaan fisiknya sering mengalami
sesak nafas, sering mengeluh pusing. Kebiasaan makan tidak teratur, tidak
pernah melakukan kegiatan olahraga, dan merokok. Tn. H memiliki riwayat
asma 10 tahun yang lalu. Saat ini Tn. H sedang berada di ruang gawat
darurat RS Karya Wreda dan mendapatkan tindakan oksigenasi karena pada
malam sebelumnya mengalami sesak nafas.
Pertanyaan:
1. Jelaskan teori penuaan yang terkait dengan kondisi klien
2. Jelaskan perubahan akibat proses penuaan terkait kondisi klien
3. Lengkapilah data-data yang diperlukan pada klien tersebut diatas
4. Diskusikan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien tersebut
5. Identifikasi masalah yang muncul.
6. Buatlah alternatif pemecahan masalah.
7. Menjelaskan peran panti dan RS dalam dalam melakukan asuhan
keperawatan pada lansia
8. Jelaskan peran panti dan RS dalam dalam melakukan asuhan
keperawatan pada lansia

Jawaban:
1. Teori penuaan yang terkait dengan kondisi klien yaitu:
a. Teori Biologi.
1) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di
dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme
pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri
dari toksin tersebut membuat struktur membran sel mengalami
perubahan serta terjadi kesalahan genetik. Membran sel tersebut
merupakan alat sel supaya dapat berkomunikasi dengan
lingkungannya dan berfungsi juga untuk mengontrol proses
pengambilan nutrisi dengan proses ekskresi zat toksik di dalam
tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel yang sangat
penting bagi proses tersebut, dipengaruhi oleh rigiditas membran.
Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan
reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di
semua jaringan dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan kerusakan sistem tubuh (Azizah dan Lilik, 2011).
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan
bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut
banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan Ma’rifatul, L., 2011).
2. Perubahan akibat penuaan terkait kondisi klien
a. Sistem Respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
3. Lengkapi data-data yang diperlukan pada klien
DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH
DS: Hambatan upaya nafas Pola napas tidak efektif
- Tn.H mengatakan
ia mengalami
sesak nafas dan
sering mengeluh
pusing
- Tn.H mengatakan
ia memiliki riwayat
asma 10 tahun
yang lalu
- Tn.H mengatakan
memiliki kebiasaan
merokok
DO:
- Pasien tampak
sesak
DS: Penurunan masa otot Gangguan mobilitas fisik
- Tn.H mengatakan
ia mengalami
sesak nafas dan
sering mengeluh
pusing
- Tn.H mengatakan
ia tidak pernah
berolahraga
DO:
- Tampak kebutuhan
pasien dibantu
keluarga dan
perawat

4. Diskusikan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien


a. Pengkajian
1) Biodata
Asma bronchial dapat meyerang segala usia tetapi lebih sering dijumpai
pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum 10 tahun dan sepertiga
kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi lakilaki dan
perempuan diusia sebesar 2 : 1 yang kemudian sama pada usia 30
tahun.
2) Riwayat Kesehatan
a) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma dalah dispnea
(sampai bisa berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi
(pada beberapa kasus lebih banyak paroksimal).
b) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi
timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwayat alergi dan riwayat
penyakit saluran nafas bagian bawah (rhinitis, urtikaria, dan eskrim).
c) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali didapatkan adanya riwayat
penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak
ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya
3) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
- Pemeriksaan dada dimulai dari torak posterior, klien pada posisi
duduk.
- Dada diobservasi dengan membandikan satu sisi dengan yang
lainnya.
- Tindakan dilakukan dari atas (apeks) sampai kebawah
- Ispeksi torak posterior, meliputi warna kulit dan kondisinya, skar,
lesi, massa, dan gangguan tulang belakang, seperti kifosis,
skoliosis, dan lordosis.
- Catat jumlah, irama, kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan
pergerakan dada.
- Observasi tipe pernapsan, seperti pernapasan hidung
pernapasan diafragma, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
- Kelainan pada bentuk dada. Observasi kesemetrian pergerakan
dada. Gangguan pergerakan atau tidak adekuatnya ekspansi
dada mengindikasikan penyakit pada paru atau pleura.
- Observasi trakea obnormal ruang interkostal selama inspirasi,
yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
b) Palpasi
- Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasikan keaadaan kulit,
dan mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi).
- Palpasi toraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat
inspeksi seperti : mata, lesi, bengkak.
- Vocal premitus, yaitu gerakan dinding dada yang dihasilkan
ketika berbicara
c) Perkusi
Suara perkusi normal:
- Resonan (Sonor) : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada
jaringan paru normal.
- Dullness : bunyi yang pendek serta lemah, ditemukan diatas
bagian jantung, mamae, dan hati.
- Timpani : musical, bernada tinggi dihasilkan di atas perut yang
berisi udara. Suara perkusi abnormal : a) Hiperrsonan
(hipersonor) : berngaung lebih rendah dibandingkan dengan
resonan dan timbul pada bagian paru yang berisi darah. b)
Flatness : sangat dullness. Oleh karena itu, nadanya lebih tinggi.
Dapat didengar pada perkusi daerah hati, di mana areanya
seluruhnya berisi jaringan.
d) Auskultasi
- Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan bunyi nafas normal, bunyi nafas tambahan
(abnormal), dan suara.
- Suara nafas abnormal dihasilkan dari getaran udara ketika
melalui jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih.
- Suara nafas normal meliputi bronkial, bronkovesikular dan
vesikular.
- Suara nafas tambahan meliputi wheezing, , pleural friction rub,
dan crackles.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
(D.0005)
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Penurunan masa otot
(misalnya nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernapasan). (D.0054)
c. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Intervensi
(SDKI) (SLKI) Keperawatan (SIKI)
1. Pola napas tidak efektif b/d Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
hambatan upaya napas tindakan keperawatan (1.01011)
(D.0005) selama 3x24jam maka Observasi:
Pola napas membaik, 1. Monitor pola
dengan kriteria hasil: napas (frekuensi,
1. Dispnea dari kedalaman,
cukup meningkat usaha napas.
ke cukup menurun 2. Monitor bunyi
2. Penggunaan otot napas tambahan
bantu napas dari (mis. Gurgling,
cukup meningkat mengi, wheezing,
ke cukup menurun ronchi kering).
3. Pemanjangan fase Terapeutik:
ekspirasi dari 1. Pertahankan
cukup meningkat kepatenan jalan
ke cukup menurun napas dengan
4. Frekuensi napas head-lift dan
dari cukup chin-lift.
memburuk ke 2. Posisikan semi-
cukup membaik fowler atau
5. Kedalaman napas fowler.
dari cukup 3. Lakukan
memburuk ke fisioterapi dada,
cukup membaik jika perlu
4. Lakukan
penghisapan
lendir kurang dari
15 detik.
5. Berikan oksigen.
Edukasi:
1. Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, jika tidak
kontraindikasi.
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu.
2. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
berhubungan dengan tindakan keperawatan (1.05173)
Penurunan masa otot 3x24jam mobilitas fisik Observasi:
(D.0054) membaik, dengan kriteria 1. Identifikasi
hasil: adanya nyeri
1. Pergerakan atau keluhan fisik
ekstremitas dari lainnya.
cukup menurun ke 2. Identifikasi
cukup meningkat toleransi fisik
2. Kekuatan otot dari melakukan
cukup menurun ke prgerakan.
cukup meningkat 3. Monitor kondisi
3. Rentang gerak umum selama
(ROM) dari cukup melakukan
menurun ke cukup mobilisasi.
meningkat. Terapeutik:
1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi
dengan alat
bantu (mis.
Pagar tempat
tidur)
2. Libatkan
keluarga untuk
membantu
pasien dalam
meningkatkan
pergerakan.
Edukasi:
1. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
2. Ajarkan
mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis. Duduk di
tempat tidur,
duduk di sisi
tempat tidur,
pindah dari
tempat tidur ke
kursi).

5. Identifikasi masalah yang muncu terkait klien


a. Pola Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Hambatan Upaya
Nafas (Misalnya Nyeri Saat Bernapas, Kelemahan Otot Pernapasan)
(D.0005)
b. Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Penurunan Massa
Otot (D.0054)
6. Memilih penyelesaian dari Alternatif yang ada
a. Penatalaksaan Asma
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2
golongan, yaitu :
1) Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut merupakan suatu keadaan darurat dimana
membutuhkan penanganan medis segera. Penanganan harus
cepat dan seharusnya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.
Penilaian berat serangan dilakukan berdasarkan riwayat serangan,
gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal
paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat (Rengganis,
2008).
2) Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem
penanganan asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui
kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Antiinflamasi merupakan
suatu pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta
mencegah serangan. Bronkodilator merupakan pengobatan saat
serangan untuk mengatasi serangan (Rengganis, 2008). Pada
penatalaksanaan asma kronik bisa diklasifikasikan menurut kontrol
asma. Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara.
Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang
tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak
realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan
kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan
tanpa efek samping (Rengganis, 2008). Dalam terapi asma
biasanya pasien-pasien asma belum mendapatkan terapi yang
optimal. Banyak pasien asma yang mengabaikan terapinya
padahal penyakit asma merupakan penyakit yang sulit
disembuhkan. Ada beberapa komponen dalam pengobatan asma,
yaitu penilaian beratnya asma, pencegahan dan pengendalian
faktor 11 pencetus serangan, penyuluhan atau edukasi kepada
pasien (Sundaru, 2001).
b. Pengobatan Asma
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Obat-obat anti asma tersebut adalah:
1) Antiinflamasi
Obat antiinflamsi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat
yang paling efektif sebagai pencegah. Obat antiinflamasi dapat
mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis
dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang
ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta
penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibanding
bronkodilator (Sundaru, 2001). Mekanismenya yaitu dapat
mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi dan
jumlah sel mast di saluran pernafasan dan meningkatkan jumlah
reseptor adrenergic β-2, selain itu juga mengurangi 14
hiperresponsivitas saluran nafas dengan mengurangi inflamasi
(Ikawati, 2006). Untuk mengontrol gejala, direkomendasikan untuk
menggunakan dosis terendah, yaitu 2-4 hirupan sebanyak 2-4 kali
sehari. Steroid inhalasi ada yang dalam bentuk serbuk, dengan
harapan dapat mencapai paru-paru dengan lebih baik. Contohnya
(Pulmicort turbuhaler). Untuk mencapai efektivitas yang
maksimum, diperlukan kira-kira 2 minggu penggunaan
kortikosteroid inhalasi secara kontinyu. Jika didapatkan hambatan
pertumbuhan, perlu dirujuk ke bagian pediatrik (Ikawati, 2006).
2) Bronkodilator
1. Agonis β2
Agonis β2 Stimulasi reseptor β2-adrenergik mengaktivasi
adenil siklase, yang menghasilkan peningkatan AMP siklik
intraselular. Menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi
membrane sel mast, stimulasi otot skelet (Depkes, 2008).
Albuterol dan inhalasi agonis β2 selektif aksi pendek lain
diindikasikan untuk penanganan episode bronkospasmus
ireguler dan merupakan pilihan dalam penanganan asma para
akut. Sedangkan formaterol merupakan inhalasi agonis β2
kerja lama yang diindikasikan sebagai kontrol tambahan
jangka panjang untuk pasien yang telah mengkonsumsi
inhalasi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. Zat aksi
pendek memberikan perlindungan penuh selama paling sedikit
2 jam setelah dihirup, zat kerja lama setelah memberikan
perlindungan signifikan 8-12 jam pada awal pemberian, dan
durasi terapi ini akan berkurang apabila pemakaian rutin dan
asma mulai terkontrol (Depkes, 2008).
2. Metilxantin
Yang merupakan obat golongan metilxantin adalah
theophyline, theobromine dan caffeine. Manfaat theophyline
dalam pengobatan asma berkurang karena efektivitas obat-
obat adrenoreseptor per inhalasi untuk asma akut asma kronik
telah ditemukan, tetapi harga murah theophyline memiliki
keuntungan untuk pasien dengan ekonomi lemah dan dana
kesehatan pada masyarakat yang terbatas. Mekanisme
kerjanya terjadi 15 hambatan pada reseptor-reseptor pada
permukaan sel untuk adenosline. Reseptor-reseptor tersebut
memodulasi aktivitas adenylyl cyclase dan adenoslyne, yang
telah terbukti dapat menyebabkan kontraksi otot polos jalan
nafas terpisah dan menyebabkan rilis histamine dari sel-sel
mast jalan nafas. Theophyline melawan efek-efek tersebut,
dengan menyekat reseptor adenosline permukaan sel
(Katzung, 2001).
3. Antikolinergik
Yang merupakan obat golongan antikolinergik yaitu
ipratropium bromida, tiotropium dan deptropium. Agen
antikolinergik memperbaiki efek vegal yang dimediasi
bronkospasme tetapi bukan bronkospasme yang diinduksi oleh
alergen atau olahraga. Mekanisme kerja Ipratropium untuk
inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatomimetik)
yang akan menghambat refleks vegal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan
bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi
kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung. Digunakan
dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam
pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan
penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik
dan emfisema. (Katzung, 2001).
3) Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.
Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid
secara efektif dengan efek sistemik minimal. Terapi
pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang 16
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan
keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi
pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12
bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien
asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non
steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan
kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma.
c. Terapi Inhalasi Dan Oksigenasi
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara
hirupan dalam bentuk aerosol ke dalam saluran pernafasan sedangkan
terapi oksigen adalah tindakan medis untuk menyalurkan oksigen ke
dalam tubuh lewat alat bantu. Tujuannya adalah kadar oksigen dalam
tubuh tercukupi sehingga berfungsi organ berjalan dengan lancar.
Pada penelitian diatas peneliti barasumsi bahwa pemberian
terapi inhalasi dan oksigenasi untuk memudahkan pasien untuk
bernafas/menguramgi sesak nafas
pada pasien asma bronkial. Penarikan nafas dalam (deep breating)
pada proses inhalas diperlukan untuk memastikan delivery dan
desposisi obat di paru-paru. Penelitian menentukan bahwa kebanyakan
pasien asma terlalu cepat dalam menghirup obat inhalasi. Pasien yang
menghirup obat inhalasi secara perlahan dan menahan nafas selama
10 detik menunjukan desposisi obat tertinggi pada paruparu termasuk
pada wilayah tracheobronchial dan alveolar. Sedangkan oksigenasi
berperan penting dalam metabolisme sel, kekurangan oksigen akan
berdampak negatif bagi tubuh salah satunya kematian. Karenanya,
berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan
oksigen di dalam tubuh dapat terpenuhi dengan baik.
7. Peran Panti Werda
a. Tercapainya kualitas hidup & kesejahteraan para lansia yang layak
dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan
nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mereka dapat menikmati hari
tuanya dengan tenteram lahir batin.
b. Memenuhi kebutuhan dasar pada lansia
c. Memenuhi kebutuhan rohani pada lansia
d. Memenuhi kebutuhan keperawatan dan kesehatan lansia
e. Memenuhi kebutuhan ketrampilan pada lansia
f. Meningkatnya peran serta keluarga dan masyarakat dalam upaya
pemeliharaan kesehatan lansia dipanti werdha.
Peran RS dalam melakukan Asuhan Keperawatan pada Lansia:
Diharapkan perawat dapat memberikan asuhan keperawatan
secara holistik yang meliputi biologis, psikologis, social dan spiritualritual
dalam pemenuhan kebutuhan spiritualritual pasien dengan tindakan
mandiri melalui menjalin komunikasi terapeutik untuk memberikan
ketenangan batin pasien, memberi privasi untuk berdoa, mendengarkan
pasien saat mengungkapkan perasaannya dan mengekspresikan
penerimaan terhadap keterbatasan atau kegagalan dan juga melalui
tindakan kolaborasi dengan petugas pastoral sehingga dapat
meningkatkan motivasi kesembuhan pasien lanjut usia. Hendaknya
Rumah Sakit Baptis Kediri mempertahankan serta meningkatkan kualitas
dalam peran pendampingan spiritual kepada pasien melalui ketersediaan
tenaga petugas rohani yang profesional dan memadai untuk meningkatkan
pelayanan yang bermutu sehingga tercapai kualitas pelayanan rohani yang
baik agar pasien merasa puas. Pelayanan pendampingan spiritual ini
dapat menjadi role model dalam mengambangkan asuhan keperawatan
bukan hanya di Rumah Sakit Baptis Kediri, namun dapat dikembangkan di
institusi pelayanan kesehatan lainnya. Institusi pendididikan keperawatan
juga dapat mengembangkan kurikulum pendampingan spiritual sebagai
muatan lokal, sehingga perawat-perawat yang dihasilkan mampu dan
berkompeten dalam pendampingan spiritual pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai