Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

PROSES MENUA

1.1 Konsep Proses Menua


Tahap usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penurunan fungsi tubuh.
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional.
Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada
kulit, tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh
lainya. Kemampuan regeneratif pada lansia terbatas, mereka lebih rentan
terhadap berbagai penyakit (Kholifah. N. S. 2016)

A. Pengertian Proses Menua


Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk mememperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Kholifah. N. S. 2016).

WHO dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan


lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60
tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan
yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan
kematian (Kholifah. N. S. 2016).

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus (berkelanjutan)


secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup.
Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan pada
saraf dan jaringan lain, hingga tubuh mati sedikit demi sedikit (Kholifah.
N. S. 2016).

B. Teori Proses Menua


Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu:
1. Teori – teori biologi
a. Teori genetik dan mutasi (somatic mutatie theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk
spesies – spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari
perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul – molekul /
DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi. Sebagai
contoh yang khas adalah mutasi dari sel – sel kelamin (terjadi
penurunan kemampuan fungsional sel).
b. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel – sel tubuh lelah
(rusak)
c. Reaksi dari kekebalan sendiri (auto immune theory)
Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi suatu zat
khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat
tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)
Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan
masuknya virus kedalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan
organ tubuh.
e. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh.
Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan
lingkungan internal, kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel
tubuh lelah terpakai.
f. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk dialam bebas, tidak stabilnya radikal
bebas (kelompok atom) mengakibatkan osksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini
dapat menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
g. Teori rantai silang
Sel-sel yang tua atau usang , reaksi kimianya menyebabkan ikatan
yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan
kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.
h. Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang
membelah setelah sel-sel tersebut mati.
2. Teori kejiwaan sosial
a. Aktivitas atau kegiatan (activity theory)
Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses
adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.
b. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lansia
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar
tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
c. Kepribadian berlanjut (continuity theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia. Teori
ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lansia sangat
dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.
d. Teori pembebasan (disengagement theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering
terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni :
1) Kehilangan peran
2) Hambatan kontak sosial
3) Berkurangnya kontak komitmen
Sedangkan Teori penuaan secara umum menurut Ma’rifatul (2011 dalam
Kholifah. N. S. 2016) dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori biologi
dan teori penuaan psikososial:
a. Teori Biologi
1) Teori seluler
Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan
kebanyakan sel–sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika
seldari tubuh lansia dibiakkanlalu diobrservasi di laboratorium
terlihat jumlah sel–sel yang akan membelah sedikit. Pada beberapa
sistem, seperti sistem saraf, sistem musculoskeletal dan jantung, sel
pada jaringan dan organ dalam sistem itu tidak dapat diganti jika sel
tersebut dibuang karena rusak atau mati. Oleh karena itu, sistem
tersebut beresiko akan mengalami proses penuaan dan mempunyai
kemampuan yang sedikit atau tidak sama sekali untuk tumbuh dan
memperbaiki diri (Azizah, 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016)
2) Sintesis Protein (Kolagen dan Elastis)
Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada
lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya
perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tertentu.
Pada lansia beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin
pada kulit) dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang
berbeda dari protein yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen
pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan
fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan
perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitanya dan
cenderung berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan
kecepatan pada system musculoskeletal (Azizah dan Lilik, 2011
dalam Kholifah. N. S. 2016).
3) Keracunan Oksigen
Teori ini tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di
dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang
mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme
pertahanan diri tertentu. Ketidakmampuan mempertahankan diri dari
toksin tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan
serta terjadi kesalahan genetik. Membran sel tersebut merupakan alat
sel supaya dapat berkomunikasi dengan lingkungannya dan
berfungsi juga untuk mengontrol proses pengambilan nutrisi dengan
proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein
pada membran sel yang sangat penting bagi proses tersebut,
dipengaruhi oleh rigiditas membran. Konsekuensi dari kesalahan
genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang
mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ
berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sistem
tubuh (Azizah dan Lilik, 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016).
4) Sistem Imun
Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa
penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang
terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga
merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi
yang berulang atau perubahan protein pasca tranlasi, dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh
mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi isomatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan
dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan
menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar
terjadinya peristiwa autoimun. Disisi lain sistem imun tubuh
sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses
menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun,
sehingga sel kanker leluasa membelah-belah (Azizah dan Ma’rifatul
L., 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016 Kholifah. N. S. 2016).

5) Teori Menua Akibat Metabolisme


Menurut Mc. Kay et all., (1935) yang dikutip Darmojo dan Martono
(2004) dalam Kholifah. N. S. (2016), pengurangan “intake” kalori
pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur. Perpanjangan umur karena jumlah kalori
tersebut antara lain disebabkan karena menurunnya salah satu atau
beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran
hormon yang merangsang pruferasi sel misalnya insulin dan hormon
pertumbuhan.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun
dimasa mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini
menyatakan bahwa pada lansia yang sukses adalah mereka yang
aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial (Azizah dan
Ma’rifatul, L., 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016).
2) Kepribadian berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lansia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam
memelihara hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan
masalah di masyarakat, kelurga dan hubungan interpersonal
(Azizah dan Lilik M, 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016).
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia,
seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya
(Azizah dan Lilik M, 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016).
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan
1. Hereditas atau ketuaan genetik
2. Nutrisi atau makanan
3. Status kesehatan
4. Pengalaman hidup
5. Lingkungan
6. Stres

D. Batasan-Batasan Lansia
Menurut Nugroho (2008 dalam Kholifah. N. S. 2016) ada beberapa
pendapat para ahli mengenai batasan lanjut usia diantaranya :
1. Menurut World Health Organization (WHO), ada empat
tahapan lanjut usia yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
2. Menurut Koesoemanto Setyonegoro, lanjut usia
dikelompokkan sebagai berikut:
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18/20-25 tahun
b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia
25-60/65 tahun)
c. Lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65/70
tahun, terbagi:
1) Usia 70-75 tahun (young old)
2) Usia 75-80 tahun (old)
3) Usia lebih dari 80 tahun (very old)
3. Menurut Hurlock, perbedaan lanjut usia terbagi dalm dua
tahap yaitu:
a. Early old age (usia 60-70 tahun)
b. Advanced old age (usia 70 tahun ke atas)

E. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial
dan sexual (Azizah dan Lilik M, 2011 dalam Kholifah. N. S. 2016).
1. Perubahan Fisik
a. Sistem Indra
Sistem pendengaran: Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karenahilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutamaterhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulitdimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.
b. Sistem Integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastiskering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis
danberbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea
dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit
dikenal dengan liver spot.
c. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa jantung
bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga peregangan
jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan ikat.
Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA
Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
d. Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak
mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan
peregangan toraks berkurang.
e. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan
gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar
menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
f. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
g. Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi yang
progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
h. Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary
dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih dapat
memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
i. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan penghubung
(kolagendan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi. Kolagen sebagai
pendukungutama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalamiperubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
1) Kartilago: jaringan kartilagopada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaansendi menjadi rata.
Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dandegenerasi
yang terjadi cenderung kearah progresif,konsekuensinya
kartilagopada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
2) Tulang: berkurangnyakepadatan tulang setelah diamati adalah bagian
dari penuaan fisiologi, sehinggaakan mengakibatkan osteoporosis
dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri,deformitas dan fraktur.
3) Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangatbervariasi,
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan
jaringanpenghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan
efek negatif.
4) Sendi: pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen
dan fasiamengalami penuaan elastisitas.

1.2 Konsep Low Back Pain


A. Pengertian Low Back Pain
Low Back Pain (LBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada
punggung bawah yang sumbernya adalah tulang belakang daerah spinal
atau punggung bawah, otot, saraf, atau struktur daerah lainnya di daerah
tersebut (Suma’mur P.K., 2009:310 dalam Riningrum. H, 2016).

Menurut Maher, et al (2002 dalam Riningrum. H, 2016) gejala low back


pain antara lain: nyeri otot, rasa tidak nyaman atau nyeri di daerah
pinggang, nyeri yang menjalar ke tungkai bawah sampai ke kaki, serta
kesulitan untuk berdiri tegak. Nyeri punggung bawah atau low back
pain merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan
oleh aktivitas tubuh yang kurang baik.

Seseorang dengan usia lebih dari 30 tahun terjadi degenerasi yang


berupa kerusakan jaringan, pergantian jaringan menjadi jaringan parut,
pengurangan cairan. Hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang
dan otot menjadi berkurang. Dengan kata lain, semakin tua seseorang,
semakin tinggi risiko orang tersebut mengalami penurunan elastisitas
pada tulang yang menjadi pemicu timbulnya gejala keluhan nyeri
punggung bawah (Olviana dan Wintoko, 2013:21 dalam Riningrum. H,
2016)

B. Faktor risiko dan penyebab


Menurut Smeltzer (2001) dalam Himawan, dkk (2009) dalam
Riningrum. H, (2016) low back pain dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit muskuloskeletal, gangguan psikologis dan mobilisasi yang
salah. Kebanyakan low back pain disebabkan oleh salah satu dari
berbagai masalah muskuloskeletal, misal: regangan lumbosakral akut,
ketidakstabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot, stenosis
tulang belakang, masalah diskus invertebralis, ketidaksamaan panjang
tungkai.

Faktor risiko terjadinya low back pain antara lain: usia, obesitas, indeks
massa tubuh, kehamilan, dan faktor psikologi. Seorang yang berusia
lanjut akan mengalami low back pain karena penurunan fungsi-fungsi
tubuhnya terutama tulang, sehingga tidak lagi elastis seperti diwaktu
muda. Sedangkan postur merupakan faktor pendukung low back pain.
Kesalahan postur seperti: kepala menunduk ke depan, bahu melengkung
ke depan, perut menonjol ke depan dan lordosis lumbal berlebihan dapat
menyebabkan spasme otot (ketegangan otot).

Hal ini merupakan penyebab terbanyak dari low back pain. Aktivitas
yang dilakukan dengan tidak benar, seperti; salah posisi saat
mengangkat beban yang berat juga menjadi penyebab low back pain
(Himawan, dkk, 2009 dalam Riningrum. H, 2016).

C. Tanda gejala
Menurut Dachlan (2009)Raningrum. H. 2016) pada umumnya keluhan
low back pain sangat beragam, tergantung dari patofisiologi, perubahan
biokimia atau biomekanik dalam discus intervertebralis. Pola
patofidiologi yang serupa dapat menyebabkan sindrom yang berbeda dari
masing-masing orang. Sindrom nyeri muskuloskeletal yang dapat
menyebabkan low back pain termasuk sindrom miofasial dan
fibromialgia. Nyeri miofasial khas ditandai oleh nyeri yang menekan ke
seluruh daerah yang bersangkutahn (trigger points), kehilangan ruang
gerak kelompok otot yang tersangkut (loss of range of motion) dan nyeri
radikuler yang terbatas pada saraf tepi. Keluhan nyeri sering hilang bila
kelompok otot tersebut diregangkan. Fibromialgia mengakibatkan nyeri
yang menekan ke daerah punggung bawah, kekakuan, rasa lelah, dan
nyeri otot.

Gejala nyeri punggung dapat sangat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Gejala-gejala tersebut meliputi rasa kaku pada daerah punggung, nyeri,
rasa baal (mati rasa), kelemahan, kesemutan di sertai perasaan tertusuk
(Eleanor Bull, 2007:13 dalam Raningrum. H. 2016).

D. Patofisiologi
Columna Vertebralis terdiri dari sejumlah tulang (yang disebut vertebra)
yang berhubungan kokoh satu sama lain, tetapi tetap dapat menghasilkan
gerakan terbatas satu sama lain. Columna Vertebralis merupakan sumbu
sentral dan melindungi korda spinalis yang terdapat di dalamnya. Setiap
vertebra terdiri dari badan berbentuk silinder di bagian depan dan sebuah
lengkung vertebra yang menjulur ke belakang dan melingkari suatu ruang
(foramen vertebralis), tempat lewat medula spinalis. Lengkung vertebra
mempunyai sebuah prosesus spinosus yang mengarah kebelakang dan ke
bawah dan dua prosesus transversus yang mengarah kelateral. Prosesus-
prosesus ini merupakan tempat perlekatan otot dan
18 ligamen. Pada permukaan bawah lengkung vertebra terdapat suatu
ceruk (notch) untuk tempat lewat saraf dan pembuluh darah spinalis.
Setiap lengkung memiliki empat prosesus artikular (dua diatas dan dua
dibawah), yang berartikulasi dengan prosesus yang sesuai dari
vertebra yang melekat. Badan- badan vertebra yang melekat
dihubungkan satu sama lain dengan kokoh oleh lempengan fibrokartilago
yang disebut diskus intervertebralis. Setiap diskus terdiri dari cincin
fibrokartilago di bagian luar, sedangkan bagian dalamnya disebut nukleus
pulposus. Bila cincin luar menjadi lemah, maka nukleus pulposus dapat
mengiritasi akar saraf di dekatnya sehingga menimbulkan nyeri karena
akar syaraf tulang belakang tertekan ketika tulang belakang terluka
(Ruslan A Latif, 2007:1 dalam Raningrum. H. 2016).

E. Pemeriksaan penunjang
1. Sinar X vertebra ; mungkin memperlihatkan adanya
fraktur,dislokasi,infeksi,osteoartritis atau scoliosis.
2. Computed tomografhy ( CT ) : berguna untuk mengetahui penyakit
yangmendasari seperti adanya lesi jaringan lunak tersembunyi
disekitar kolumna vertebralis dan masalah diskus intervertebralis.
3. Ultrasonography : dapat membantu mendiagnosa penyempitan kanalis
spinalis.
4. Magneting resonance imaging ( MRI ) : memungkinkan visualisasi
sifat dan lokasi patologi tulang belakang.
5. Meilogram dan discogram : untuk mengetahui diskus yang mengalami
degenerasi atau protrusi diskus.
6. Venogram efidural : Digunakan untuk mengkaji penyakit diskus
lumbalis dengan memperlihatkan adanya pergeseran vena efidural.
7. Elektromiogram (EMG) : digunakan untuk mengevaluasi penyakit
serabut syaraf tulang belakang ( Radikulopati ).

F. Komplikasi
Komplikasi umum yang biasanya terjadi setelah pembedahan
(Jokelainen M, 2009 dalam Tiea tamtam, 2017) :
1. Infeksi dan peradangan
2. Cedera pada akar-akar saraf
3. Robekan pada lapisan durameter
4. Sindroma kauda ekuina
5. Hematoma
6. Tidak ada penyatuan pada area bedah.

G. Penatalaksanaan
American College of Physicians (ACP) dalam Adityawarman. A. (2017)
telah merilis pembaharuan tatalaksana untuk terapi non invasif pada nyeri
punggung bawah nonradikular subakut, akut, dan kronis. Kesimpulannya
adalah 3 rekomendasi sebagai berikut:
1. Rekomendasi 1:
Karena sebagian besar pasien dengan nyeri punggung bawah akut atau
subakut dapat membaik seiring waktu tanpa pengobatan, klinisi dan
pasien sebaiknya memilih tatalaksana nonfarmakologis dengan
modalitas panas superfisial, pemijatan, akupuntur, atau manipulasi
spinal. Jika tatalaksana farmakologis dikehendaki, klinisi dan pasien
sebaiknya memilih obat-obatan anti inflamasi non steroid (OAINS)
atau relaksan otot rangka (contoh eperisone HCl 3x50mg).
2. Rekomendasi 2:
Untuk pasien dengan nyeri punggung bawah kronis, klinisi dan pasien
sebaiknya memulai pilihan tatalaksana nonfarmakologis dengan
olahraga, rehabilitasi multidisiplin, akupuntur, pengurangan stres
pikiran, tai chi, yoga, latihan kontrol motorik, relaksasi
progresif, biofeedback  elektromiografi, terapi laser derajat
rendah, operant therapy, terapi perilaku kognitif, atau manipulasi
spinal.

3. Rekomendasi 3:
Pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis yang responnya
tidak adekuat terhadap terapi nonfarmakologis, klinisi dan pasien
sebaiknya mempertimbangkan terapi farmakologis menggunakan
OAINS sebagai terapi lini pertama, atau tramadol atau duloxetine
sebagai terapi lini kedua. Klinisi sebaiknya hanya mempertimbangkan
opioid sebagai pilihan pada pasien yang gagal pada terapi yang telah
disebutkan dan hanya apabila keuntungan potensial melebihi risiko
masing-masing individu dan setelah mendiskusikan risiko-risikonya
(seperti kecanduan atau overdosis aksidental) dan keuntungan nyata
dengan pasien.

Pada penelitian terbaru ini, acetaminophen (parasetamol) dan


antidepresan trisiklik (seperti amitriptilin) tidak lagi dipertimbangkan
dalam tatalaksana nyeri punggung bawah. Selain itu, analgetik topikal,
injeksi epidural, dan OAINS selektif COX-2 tidak dibahas dalam
panduan ini.

Kompres es diterapkan selama 5 sampai 10 menit pada suatu waktu


setiap jam untuk 48 jam pertama untuk mengurangi kejang otot di
belakang. Setelah 48 jam panas mungkin lebih bermanfaat, bantalan
pemanas, paket panas, dan panas bekerja dengan baik. Panas
diterapkan selama 20 menit setiap 1 sampai 2 jam. traksi pelvis dapat
dipesan oleh beberapa dokter, dan latihan ringan. Perawatan ini
dilakukan di bawah bimbingan seorang terapis fisik. korset yang
dirancang khusus kadang-kadang digunakan untuk menjaga
keselarasan tulang belakang ketika pasien diperbolehkan keluar dari
tempat tidur. Pasien diingatkan untuk tidak mengangkat sesuatu yang
berat dari 2 sampai 5 lb dan tidak merubahnya ketika meraih hal.
Pasien harus sering berpindah tempat dari pada duduk untuk waktu
yang lama. Berjalan untuk jarak pendek sering sangat bermanfaat.
Penyesuaian oleh chiropractor juga dapat membantu meringankan rasa
sakit. Jika sakit berlanjut melebihi 3 sampai 4 minggu, ada bukti-bukti
dari defisit neurologis, atau nyeri memburuk, operasi dapat
diindikasikan.

Prosedur operasi. Bagi pasien yang tidak dapat menemukan bantuan


melalui tindakan konservatif, operasi pengangkatan disk yang rusak
mungkin satu-satunya alternatif. Sebuah diskectomy sering dilakukan.
Ini adalah teknik bedah mikro yang menggunakan sayatan sangat
kecil. Jika daerah tidak dapat ditangani dengan mikro, sayatan
diskectomy atau Laminektomi terbuka, yang melibatkan penghapusan
lengkungan posterior vertebrata bersama dengan disk, dilakukan.
Sebuah fusi tulang belakang yang diperlukan dalam beberapa pasien
untuk menstabilkan tulang belakang. Prosedur ini dapat dilakukan
untuk kondisi selain disc pecah, misalnya, untuk penyakit degeneratif
seperti tulang belakang sebagai penyakit Pott (TB tulang belakang),
untuk patah tulang dari tulang belakang, dan untuk dislokasi tulang
belakang. (Susan, 1998)

H. Pathway

Masalah musculoskeletal, gangguan


ginjal, masalah pelvis, tumor

Kontraksi punggung

Tulang belakang menyerap


goncangan vertikal

Terjadi perubahan struktur dengan discus susun


Otot abdominal dan toraks melemah atas febri fertilgo dan matriks gelatinus

Mobilitas fisik terganggu


Febri kartilago padat dan tidak
teratur
Hambatan mobilitas fisik
Jarang Bergerak Penonjolan diskus/kerusakan
sendi pusat
Struktur melemah
Menekan akar syaraf
Mobilitas fisik terganggu
Gangguan rasa nyaman: Nyeri
Nutrisi lebih dari kebutuhan

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, bangsa, alamat.
2) Keluhan utama
Biasanya pasien mengatakan nyeri punggung akut maupun
kronis lebih dari 2 bulan, nyeri saat berjalan dengan
menggunakan tumit, nyeri menyebar kebagian bawah belakang
kaki.
3) Riwayat penyakit sekarang
Tanyakan pada klien sejak kapan keluhan dirasakan, kapan
timbulnya keluhan(apakah menetap atau hilang timbul), hal apa
yang mengakibatkan terjadinya keluhan, apa saja yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan yang dirasakan, tanyakan
pada klien apakah klien sering mengkonsumsi obat tertentu atau
tidak.
4) Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada klien apakah klien dulu pernah menderita
penyakit yang sama sebelumnya, apakah klien pernah
mengalami kecelakaan atau trauma, apakah klien pernah
menderita penyakit gangguan tulang atau otot sebelumnya
5) Riwayat pekerjaan
Faktor resiko ditempat kerja yang banyak menyebabkan
gangguan otot rangka terutama adalah kerja fisik berat,
penanganan dan cara pengangkatan barang, posisi atau sikap
tubuh selama bekerja, dan kerja statis.

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum
b. Pemeriksaan persistem
c. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera:
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, perasa)
d. Sistem persarafan (Pemeiksaan neurologik)
1) Pemeriksaan motorik
2) Pemeriksaan sensorik
3) Straight Leg Raising (SLR), test laseque (iritasi radisks L5 atau
S 1) cross laseque(HNP median) Reverse Laseque (iritasi radik
lumbal atas)
4) Sitting knee extension (iritasi lesi iskiadikus)
5) Pemeriksaan system otonom
6) Tanda Patrick (lasi coxae) dan kontra Patrick (lesi sakroiliaka)
7) Tes Naffziger
8) Tes valsava.
e. Sistem pernafasan
(Nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan jalan nafas.)
f. Sistem kardiovaskuler
(Nilai tekanan darah, nadi, irama, kualitas, dan frekuensi)
g. Sistem Gastrointestinal
(Nilai kemampuan menelan,nafsu makan, minum, peristaltic dan
eliminasi)
h. Sistem Integumen
(Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit pasien)

i. Sistem Reproduksi
(Untuk pasien wanita)
j. Sistem Perkemihan
(Nilai Frekuensi Bak, warna, bau, volume)

B. Pola fungsi kesehatan


1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
2. Pola aktifitas dan latihan
3. (Cara berjalan: pincang, diseret, kaku (merupakan indikasi untuk
pemeriksaan neurologis)
4. Pola nutrisi dan metabolism
5. Pola tidur dan istirahat
6. (Pasien LBP sering mengalami gangguan pola tidur dikarenakan
menahan nyeri yang hebat).
7. Pola kognitif dan perseptual
8. (Perilaku penderita apakah konsisten dengan keluhan nyerinya
(kemungkinan kelainan psikiatrik)
9. Persepsi diri/konsep diri
10. Pola toleransi dan koping stress
(Nyeri yang timbul hampir pada semua pergerakan daerah lumbal
sehingga penderita berjalan sangat hati-hati untuk mengurangi rasa
sakit tersebut (kemungkinan infeksi. Inflamasi, tumor atau fraktur)).
11. Pola seksual reproduksi
12. Pola hubungan dan peran
13. Pola nilai dan keyakinan

Rencana asuhan
1. Dx : nyeri akut b/d agen cedera fisik (trauma) dan reflek spasme otot
Kriteria Hasil NOC Intervensi NIC
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya keluhan
keperawatan selama 3x24 jam, nyeri nyeri catat lokasi, lamanya serangan,
klien berkurang. faktor pencetus yang memperberat
Kriteria hasil : 2. Dorong klien untuk
1. Klien merasakan berkurang atau tirah baring dan perubahan posisi
hilangnya nyeri untuk memperbaiki posisi lumbal.
2. Klien dapat beristirahat dengan Pasien pada posisi semi fowler
nyaman 3. Gunakan papan
3. Mengubah posisi dengan nyaman selama melakukan perubahan posisi
4. Ajarkan klien teknik
relaksasi untuk mengontrol dan
menyesuaikan nyeri
5. Ajarkan dan
anjurkan klien untuk melakukan
pernapasan diafragma
untukmengurangi tegangan otot
6. Alihkan perhatian
klien : membaca, menonton tv,
mendengarkan lagu
7. Batasi aktivitas
klien sesuai dengan kebutuhan
8. Berikan obat sesuai
order

2. Dx : gangguan mobilitas fisik b/d nyeri, spasme otot


Kriteria Hasil NOC Intervensi NIC
Tujuan : setelah dilakukan perawatan 1. Memantau secara kontinu mobilitas
3x24 jam, klien dapat mengalami akan mengetahui aktivitas klien
mobilitas fisik 2. Bantu klien mengubah posisi secara
Kriteria Hasil: perlahan
1. Klien menunjukkan kembalinya 3. Ajarkan klien cara yang tepat turun dari
mobilitas fisik tempat tidur dengan nyeri yang
2. Kembali ke aktivitas semula secara minimal
bertahap 4. Sampaikan dan ingatkan klien untuk
3. Menghindari posisi yang tidak diperbolehkan melakukan gerakan
mengakibatkan ketidaknyamanan memutar atau melengok
5. Dorong pasien untuk melakukan
dan spasme otot
perubahan posisi berbaring, duduk,
4. Merencanakan atau jadwal baring
berjalan. Dalam kurun waktu yang
setiap hari
singkat
6. Buat jadwal periode berbaring di
tempat tidur berapa kali sehari bersama
dengan klien
7. Dorong klien untuk mematuhi jadwal
latihan yang sudah dibat dan
meningkatkan latihan secara bertahap

3. Dx : perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan b/d obesitas


Kriteria Hasil NOC Intervensi NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 1. Kolaborasi penyusunan program
keperawatan 3x24 jam, nutrisi klien penurunan berat badan dan stres pada
adekuat punggung bawah
Kriteria hasil : 2. Berikan pengawasan terhadap rencana
1. Klien mencapai berat badan yang penurunan berat badan klien
ideal 3. Lakukan pencatatan setiap pencapaian
4. Berikan semangat dan pujian positif
untuk mendorong kepatuhan

J. Daftar pustaka
Adityawarman. A. (2017). Tatalaksana LBP terbaru menurut American
College of Physicians. Diakses melaluui web
https://today.mims.com/tatalaksana-lbp-terbaru-menurut-american-
college-of-physicians
Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical
characteristics. Acta Neurol Scand. 1977;56:194–204. Diakses dari
web
https://www.academia.edu/27325901/ASKEP_Low_Back_Pain
Kholifah. N. S. (2016). Modul Bahan Cetak Keperawatan
KSPERAWATAN GERONTIK.Tim P2M2
Nugroho (2008). Keperawatan Gerontik. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta. Diakses melalui web http://eprints.umpo.ac.id/5035/4/BAB
%202.pdf
Raningrum. H. (2016). Pengaruh Sikap Kerja, Usia, Dan Masa Kerja
Terhadap Keluhan Subyektif Low Back Pain Pada Pekerja Bagian
Sewing Garmen PT. Apac Inti Corpora Kabupaten Semarang.
Skripsi di akses dari web https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved
=2ahUKEwjZ69nPsKTtAhWR7XMBHcTWAK0QFjACegQIARA
C&url=http%3A%2F%2Flib.unnes.ac.id
%2F28171%2F1%2F6411412220.pdf&usg=AOvVaw1VJepuGUp
viWtTfrjxLpg2

Banjarmasin, 28 November 2020

Preseptor Akademik, Ners Muda,

(M. Syafwani., S.Kp., M.Kep., Sp. jiwa) (Aan Suhardiyani)

Anda mungkin juga menyukai