Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Penuaan (menjadi tua) merupakan proses suatu natural. Penuaan

(aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan- lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat

bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan

yang diderita (Boedi Darmojo dan Martono Hadi, 2000). Penuaan

merupakan proses secara berangsur mengakibatkan perubahan yang

kumulatif dan mengakibatkan perubahan di dalam yang berakhir dengan

kematian (Hardywinoto dan Setiabudhi, 2005).

World Health Organisation (WHO) menetapkan batasan lansia

sebagai berikut (1) lansia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia

45 tahun sampai dengan 59 tahun, (2) lansia pertama (elderly) yaitu

kelompok usia 60 tahun hingga 74 tahun, (3) lansia tua (old) yaitu usia

75 sampai dengan usia 90 tahun dan (4) lansia sangat tua (very old)

dengan usia diatas 90 tahun.

2.1.2 Teori proses menua

Menurut Subhan Kadir (2007) secara umum, teori penuaan dibagi

menjadi 2 kelompok besar yaitu teori biologi dan teori psikologi.


1. Teori biologi

Teori biologi ini terdiri atas teori seluler, teori jam genetik, teori sintesa

protein, teori keracunan oksigen dan teori sistem imun.

a. Teori seluler

Kemampuan sel hanya dapat membelah dalam jumlah tertentu dan

kebanyakan sel-sel tubuh “diprogram” untuk membelah 50 kali. Jika

sebuah sel pada lansia dilepas dari tubuh dan dibiakkan di laboratorium,

lalu diobservasi, jumlah sel yang akan membelah akan terlihat sedikit. Hal

ini akan memberikan beberapa pengertian terhadap proses penuaan

biologis dan menunjukkan bahwa pembelahan sel lebih lanjut mungkin

terjadi untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan, sesuai dengan

berkurangnya umur.

b. Teori jam genetic

Menurut teori ini menua telah diprogram secara genetik untuk spesies-

spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti selnya) suatu

jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini

akan menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak

berputar, jadi menurut konsep ini bila jam kita berhenti kita akan

meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau

penyakit akhir. Konsep jam genetik didukung oleh kenyataan bahwa ini

merupakan cara menerangkan mengapa pada beberapa spesies terlihat

adanya perbedaan harapan hidup yang nyata seperti manusia 116 tahun,

beruang 47 tahun, kucing 40 tahun, anjing 27 tahun, sapi 20 tahun. Secara

teoritis dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi meski hanya untuk

beberapa waktu dengan pangaruh-pengaruh dari luar, berupa peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit atau tindakan-tindakan tertentu.


Pengontrolan genetik umur rupanya dikontrol dalam tingkat seluler,

mengenai hal ini Hayflck (1980) melakukan penelitian melalui kultur sel in

vitro yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara kemampuan

membelah sel dalam kultur dengan umur spesies. Untuk membuktikan

apakah yang mengontrol replikasi tersebut nukleus atau sitoplasma, maka

dilakukan trasplantasi silang dari nukleus. Dari hasil penelitian tersebut

jelas bahwa nukleuslah yang menentukan jumlah replikasi, kemudian

menua, dan mati, bukan sitoplasmanya (Carey dan Zou, 2008 : 55 – 65).

c. Sintesis protein (kolagen dan elastin)

Jaringan seperti kulit dan kartilago kehilangan elastisitasnya pada lansia.

Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan

kimia pada komponen protein dalam jaringan tersebut. Pada lansia

beberapa protein (kolagen dan kartilago, dan elastin pada kulit) dibuat oleh

tubuh dengan bentuk dan struktrur yang berbeda dari protein yang lebih

muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit

yang kehilangan fleksibilitasnya serta menjadi lebih tebal, seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan

perubahan permukaan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung

berkerut, juga terjadinya penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem

musculoskeletal (Carey dan Zou, 2008 : 55 - 65)

d. Keracunan oksigen

Teori tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel didalam tubuh

untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun

dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahan diri tertentu.

Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitasi sel dalam

berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses

pengambilan nutrien dengan proses ekskresi zat toksik didalam tubuh.


Fungsi komponen protein pada membran sel yang sangat penting bagi

proses diatas dan dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut.

Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi

sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan

dan organ berkurang. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan

sistem tubuh (Carey dan Zou, 2008 : 55 - 65).

e. Sistem imun

Kemampuan sistem imun mengalami kemunduran pada masa penuaan.

Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari

sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor yang

berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan

protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kamampuan

sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi

somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,

maka hal ini akan dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel

yang megalami perubahan tersebut sebagi sel asing dan

menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya

peristiwa autoimun. Hasilnya dapat pula berupa reaksi antigen antibody

yang luas mengenai jaringan-jaringan beraneka ragam, efek menua jadi

akan menyebabkan reaksi histoinkomtabilitas pada banyak jaringan.

(Carey dan Zou, 2008 : 55 - 65). Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya

pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya

terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa

membelah-belah. Inilah yang menyebabkan kanker yang meningkat sesuai

dengan meningkatnya umur (Carey dan Zou, 2008 : 55 - 65). Teori atau

kombinasi teori apapun untuk penuaan biologis dan hasil akhir penuaan,

dalam pengertian biologis yang murni adalah benar. Terdapat perubahan

yang progresif dalam kemampuan tubuh untuk merespons secara adaptif


(homeostatis), untuk beradaptasi terhadap stres biologis. Macam-macam

stres dapat mencakup dehidrasi, hipotermi, dan proses penyakit. (kronik

dan akut)

2. Teori psikologis

Teori psikologis meliputi dua teori yaitu teori pelepasan dan teori aktivasi.

a. Teori Pelepasan

Teori pelepasan memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri lansia

merupakan suatu proses yang secara berangsur-angsur sengaja dilakukan

oleh mereka, untuk melepaskan diri dari masyarakat.

b. Teori aktivitas

Teori aktivitas berpandangan bahwa walaupun lansia pasti terbebas dari

aktivitas, tetapi mereka secara bertahap mengisi waktu luangnya dengan

melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dan penyesuaian.

2.1.3 Perubahan akibat proses menua

Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya

penurunan anatomi ( dan fungsional ) atas organ organya makin besar.

Penelitian Andreas dan Tobin ( seperti dikutip oleh Kane et al )

mengintroduksi ‘hukum 1%” yang menyatakan bahwa fungsi organ –

organ makin menurun sebanyak satu persen setiap tahunya setelah usia

30 tahun.

1. Sistem panca indra

Terdapat berbagai perubahan marfologi baik pada mata, telinga, hidung,

syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahanya yang bersifat degenerative

yang bersifat anatomic fungsional, memberikan manifestasi organ panca

indra tersebut baik fungsi melihat, mendengar, kesimbangan atapun

perasa dan perabaan. Pada keadaan tidak baik bias bersifat patologik,

misalnya terjadi ektropion/entropion, ulkus kornea, glaucoma dan


katarak pada mata sampai keadaan konfisio akibat penglihatan yang

terganggu. Pada telinga juga dapat terjadi tuli konduktif, sindrom

meniere( keseimbangan).

2. Sistem gastro-intestinal

Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologi degenerative,

antara lain perubahan atrofik pada rahang, sehingga gigi mudah

tanggal. Perubahan atrofik juga terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot-

otot pencernaan. Perubahan tersebut akan mengakibatkan gangguan

menguyah,dan menelan sehingga mengakibatkan perubahan nafsu

makan sampai pada berbagai penyakit diantranya disfagia, hiatus hernia,

perubahan sekresi lambung, ulkus peptikum, divertukuosis, pancreatitis,

sindroma malabsorbsi, usus besar.

3. Sistem Kardiovaskuler

Pada usia lanjut tanpa adanya penyakit, jantung menunjukan penurunan

kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi dan isi sekucupnya. Terjadi pula

penurunan yang signifikan dari cadang jantung dan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan curah jantung, misalnya pada keadaan latihan.

Bila gejala angina timbul pada usia lanjut, hal ini sudah terjadi pada

tingkat latihan yang rendah dan sering kali menandakan penyakit

koroner yang cukup berat.

4. Sistem Resprasi

System respirasi mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-25

tahun, setelah itu mulai menurunkan fungsinya. Elastitas paru menurun

sehingga kekauan dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun.

Ini berakibat menurunya rasio ventilasi –perfusi dibagian paru yang tak

bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri okigen.

5. System endokrinologik

Metabolisme karbohidrat pada sekitar 50% lansia menunjukan


intoleransi glukosa, dengan kadar gula puasa yang normal. Disamping

factor diet, obesitas, dan kurangnya olahraga serta penuaan

menyebabkan terjadinya penurunan toleransi glukosa. Frekuensi

hipertiroid tinggi pada usia lanjut 25% hipertiroid terjadi pada lansia.

Sekitar 75% darinya mempunyai gejala /tanda klasik, sebagian lagi

menunjukan apathetic thyrotoxicosis. Hipotiroid merupakan penyakit

terutama terjadi antara usia 50-70 tahun.

6. Sistem Hematologik

Pola pertumbuhan SDP/SDM secara kualitatif tak brubah pada penuaan,

akan tetapi sumsum tulang secara nyata mengandung lebih sedikit sel

hemopoitik dengan respon terhadap stimuli buatan agak menurun.

Respon regenerative terhadap hilang darah, atau terapi anemia pernisiosa

agak kurang diabnding waku muda. Rentang hidup SDM tidak berubah

akibat proses menua, juga morfologi tidak menunjukan perubahan

penting.

7. Sistem Persendian

Penyakit rematik merupakan salah satu penyebab utama terjadinya

disabilitas pada usia lanjut, di samping stroke dan penyakit

kardiovaskuler. Pada synovial sendi terjadi perubahan berupa tidak

ratanya permukaan sendi. Diantara penyakit sendi yang sering terdapat

pada usia lanjut adalah osteoartitis, rematoid artitis, gout dan pseudo

gout, artitis ,mono artikuler senilis, dan remtika polimialgia.

8. Sistem Urogenital dan Tekanan darah

Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan antara lain terjadi

penebalan kapsula Bouwman dan gangguan prmeabilitas terhadap solute

yang akan difiltrasi. Nefron secara keseluruhan mengalami penurunan

dalam jumlah( jumlah nefron pada akhir rentang hidup rata rata tinggal

tersisa 50% disbanding usia 30 tahun dan mulai terlihat atrofi. Aliran
darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50% disbanding usia

muda. Secara umum pembuluh darah sedang sampai besar pada usia

lanjut sudah mengalami berbagai perubahan. Terjadi penebalan intima

( akibat prose menua ) yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan

tekanan darah 9 terutama tekanan darah sistolik) walapun tekanan

diastolik sering juga meningkat sebagai akibat banyak factor lain

termasuk genetic ( teori”Mozaik”)

9. infeksi dan imunologi

Diantara perubahan imunologik yang mencolok adalah bahwa pada usia

lanjut, timus sudah mengalami resorbsi. Walapun demikian jumlah sel T

dan sel B tidak mengalami perubahan, walaapun secara kwantitatif

terjadi beberapa perubahan, antara lain tanggapan terhadap stimulasi

artificial. Juga terjadi peningkatan pembentukan otot antibody, sehingga

insiden penyakit oto imun meningkat.

10. system syaraf pusat dan otonom

Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada penuaan antara 30

sampai 70 tahun. Di samping itu meningen menebal, girl dan suplai otak

berkurang kedalamya. Akan tetapi kelainan ini tidak menyebabkan

gangguan patologik yang berarti. Pada semua sitoplasma sel juga terjadi

deposit lipofusin yang sering disebut sebagai pigmen”wear and tear.

11. system syaraf pusat dan otonom

Terjadi atrofi dari epidermis, kelenjar keringat, folikel, rambut serta

berubahnya pigmentasi dengan akibat penipisan kulit, fragil seperti

selaput kuliat ari buah salak.

12. Otot dan Tulang

Otot –otot menglami atrofi disamping sebagaia kibat berkurangnya

aktivitas, juga seringkali akibat gangguan metabolic atau denervasi


syaraf. Keadaan otot ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola hidup.

Dengan bertambahnya usia, proses berpasangan penulangan yaitu

perusakan dan pembentukan tulang melambat terutama pembentukannya

akibat menurunya aktivitas tubuh juga akibatnya menurunnya hormone

estrogen, vitamin D yang kurang terkeana sinar matahari dan bebrapa

hormone lain misalnya parathormon dan kalsitonin.

2.2 Konsep Hipertensi

2.2.1 Pengertian Hipertensi

Hipertensi secara umum dapat didefinisikan sebagai tekanan

sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolic lebih dari 90 mmHg.

Tekanan darah manusia secara alami berfluktasi sepanjang hari. Tekanan

darah tinggi menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten.

Tekanan darah tersebut membuat system sirkulsi dan organ yang mendapat

suplai darah ( termasuk jantung dan otak) menjadi tegang(Palmer 2005).

Menurut WHO batas normal tekanan darah adalah 120-140 mmHg

tekanan sistolik dan 80-90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan

mengidap hipertensi bila tekanan darahnya >140/90 mmHg, sedangkan

menurut JNC 2003 tekanan darah pada orang dewasa dengan usia di atas

18 tahun diklasifikasikan menderita hipertensi stadium I apabila tekanan

sistoliknya 140/159 mmHg dan tekanan diastoliknya lebih dari 90/99

mmHg. Diklasifikasikan menderita hipertensi II apabila tekanan sistoliknya

leboh 160mmHg dan diastoliknya lebih dari 100mmHg sedangkan

hipertensi stadium III apabila tekanan sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan

tekanan diastoliknya lebih dari 116 mmHg. Hipertensi pada lansia

didefinisikan sebagai tekanan diastolik 90 mmHg( Smeltzer,2001). Pada

pemeriksaan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh saat

jantung berkontraksi( sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada


saat jantung berelaksasi( diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80

mmHg didefinisikan sebagai ‘normal’. Pada tekanan darah tinggi, biasanya

terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi

pada tekanan darah 140/90mmHg atau keatas , diukur di kedua lengan tiga

kali dalam jangka beberapa minggu. Jadi dapat disimpulkan bahwa

hipertensi merupakan keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140

mmHg sistolik/atau melebihi 90 mmHg diastolik.

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi atau tekanan darah tinggi menurut Palmer (2005)

terbagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Hipertensi Esensial ( Primer )

Tipe ini terjadi pada sebagaian besar kasus tekanan darah tinggi, sekitar

95%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, wlapun dikaitkan dengan

kombinasi factor pola hidup seperti kurang bergerak dan pola makan.

2. Hipertensi Sekunder

Tipe ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh kasus tekanan

darah tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan oleh kondisi medis

lainya ( misalnya penyakit ginjal) atau rekasi terhadap obat obatan tertentu

( misalnya pil KB ).

Menurut Smeltzer( 2001), hipertensi pada usia lanjut dilklasifikasikan

sebgaia berikut :

1. Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140

mmHg atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90

mmHg.
2. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar

dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

2.2.3 Penyebab Hipertensi

Berdasarkan penyebab hipertensi dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :

1. Hipertensi esensial atau primer

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini belum

diketahui namun beberapa factor diduga turut bereperan sebagai

penyebab hipertensi primer seperti bertambahnya umur, stress,

psikologis, dan hereditas(keturunan). Kurang lebih 90% penderitab

hipertensi tergolong hipertensi primer, sedangkan 10% nya tergolong

hipertensi sekunder.

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi yang peyebabnya dapat diketahui anatra lain kelainan

pembuluh darah, gangguan kelenjar tiroid, (hipertiroid), penyakit

kelenjar adrenal. Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi

adalah hipertensi esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih

banyak ditunjukan ke penderita hipertensi esensial.

2.2. 4 Manifestasi Klinis

Pada sebagian besar peneserita hipertensi tidak menimbulkan gejala:

meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dn

dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi.

Manifestasi klinis hipertensi secara umum dibedakan menjadi ( Rokhaeni,

2001).

1. Tidak ada gejala


Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan darah arteri oleh

dokter yang memeriksa. Hal ini berarti arterial tidak akan pernah

terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

2. Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi

nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala

terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan

medis.

2.2.5 Patofisiologi

Patologi  pasti  yang  menyokong  hipertensi  primer  belum  ditetapkan. 

Banyak faktor  yang  menghasilkan perubahan tahanan vakuler perifer, 

jumlah nadi atau volume sekuncup yang mempengaruhi tekanan darah 

arterial  sistemik.  Empat  sistem  kontrol  yang  berperan  besar  dalam 

mempertahankan tekanan darah yaitu :

a. Sistem baroreseptor arteri dan kemoreseptor

baroreseptor dan kemoreseptor arteri bekerja untuk mengontrol tekanan

darah dan melakukan perawanan bila terjadi peningkatan tekanan darah

dengan cara vasodilati dan menurunkan kecepatan nadi melalu syarat

vagus. Kemereseptor peka terhadap oksigen dan karbondioksida dan ion

hydrogen dalam darah.

b. Regulasi volume cairan tubuh


Perubahan volume cairan mempengaruhi tekanan arteti sitemik. Keidak

normalan transport sodium dalam tubule ginjal dapat menyebabkan

hipertensi. Ketika sodium dan cairan berlebih terjadi peningkatan volume

darah sehingga tekanan darah akan meningkat.

c. Sistem rennin –angiotensin tubuh

Renin adalah enzim yang dihasilkan oleh ginjal untuk mengubah

angiotensinogen menjadi angiotesnsin I kemudian dibuah oleh converting

enzyme yang dikeluarkan oleh paru paru menjadi angiotensin I dan

angiotensin II. Angitensin II sebagai vasokontriktor dan merangsang

pengeluaran aldosteron.

d. Autoregulasi vaskuler

Hipertensi juga dapat terjadi karena kurangnya zat vasodilator seperti

prostaglandin, ketidak normalan kongential dalam tahanan pembuluh darah

atau gangguan sekrresi neuroendrokin.


2.3 Konsep Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi otot progresif adalah latihan untuk mendapatkan sensasi rileks dengan menegangkan

otot dan menghasilkan suatu keadaan rileks (Mashudi, 2010). Hasil venelitian lain yang

didukung oleh Valentine dkk( 2014), didaptkan hasil bahwa dengan relaksasi otot progresif

terbukti tekanan darah pada penderita hipertensi mengalami penurunan. Teknik relaksasi yang

dapat digunakan adalah relaksasi otot, relaksas dengan imajinasi terbimbing, dan respon

relaksasi dari benson(Smeltzer & Bare, 2002). Sedangkan menurut Miltenberger mengemukan

ada empat macam tipe relaksasi yaitu relaksasi otot( progressive muscle relaxation),

pernapasan (diaphragmatic breathing), meditasi (attention focusing exercises) dan relaksasi

perilaku (behavior relaxation training)( Alim, 2009).

Tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi respon

stress. Bila tujuannya telah tercapai maka aksi hipotalamus akan terjadi penurunan aktifitas

system saraf simpatis dan parasimpati. Urutan efek fisiologis dan gejala maupun tandanya

akan terputus dan stress psikologis akan berkurang(Smeltzer & Bare, 2002).

Dasar pemikiran metode latihan ini adalah di dalam system saraf manusia terdapat system

saraf pusat dan saraf otonom. Fungsi sisitem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan yang

dihendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari- jari. Sedangkan system syaraf

otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang tidak disadari yaitu fungsi digestif dan

kardiovaskuler. ( Bluerufi, 2009).

Menurut Rhamdani(2009)relaksasi otot dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Relaxation via tension-relaxation

Metode ini digunakan agar individu dapat merasakan perbedaan antara saat- saat otot

tubuhnya tegang dan saat ototnya tubuhnya lemas, otot yang dilatih adalah otot lengan,
tangan, bisep, bahu, leher, wajah, perut dan kaki.

b. Relaxation via letting go

Metode ini biasanya merupakan tahap berikutnya dari relaxation via tension-relaxation

yaitu latihan untuk memperdalam dan menyadari relaksasi.

c. Differential relaxation

Differential relaxation adalah merupakan salah penerapan keterampilan relaksasi

progresif dimana tidak hanya menyadari kelompok otot yang diperlukan untuk

melakukan aktifitas tertentu saja tetapi juga mengidentifikasi dan lebih menyadari lagi

otot-otot yang tidak perlu untuk melakukan aktifitas.

Penelitian yang dilakukan oleh Gaundensisu dkk(2018) Pada lansia dengan hipertensi

setelah dilakukan reaksasi otot seluruhnya 10 orang( 100%) dikategorikan mengalami

hipertensi dengan tingkat grade 1(sistolik 140-159 mmHg/diastolik 99-99mmHg terjadi

penurunan tekanan darah pada lansia di RW 05 dan RW 06 Tlogomas Malang, yang

dibuktikan dengan nilai Sig=0,000(α≤0,05)dan nilai t hitung 7,216≥t tabel 1,812.

Anda mungkin juga menyukai