Anda di halaman 1dari 43

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

DEVELOPMENT DEKAY (DD) DI KLINIK INTAN


FISIOTERAPI ANAK BOYOLALI

MAKALAH

Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Praktek Klinik


Program Pendidikan DIV Fisioterapi

Disusun oleh:

Bimo Anggoro Purtro

P27226019158

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN FISIOTERAPI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Makalah dengan judul “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA


KASUS DEVELOPMENT DELAY (DD) DI KLINIK INTAN FISIOTERAPI
A NAK BOYOLALI” ini telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing untuk
memenuhi tugas praktik komprehensif fisioterapi.

Hari :
Tanggal :

Boyolali, September 2022


Pembimbing Lahan

Intan Herlinawati., SST, Ftr

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul Luar..................................................................................................i


Halaman Pengesahan...............................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................4
D. Manfaat Penelitian...................................................................................4
BAB II KAJIAN TEORI
A. Definisi Tumbuh kembang......................................................................6
B. Faktor- faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang............................7
C. Aspek-aspek Tumbuh Kembang..............................................................8
D. Definisi Development delay..................................................................12
E. Diagnosis Development Delay...............................................................13
F. Problematik Fisioterapi..........................................................................26
G.Teknologi Intervensi Fisioterapi............................................................27
BAB III STATUS KLINIK
A. Identitas Pasien......................................................................................33
B. Pemeriksaan Umum...............................................................................33
C. Pemeriksaan Fisioterapi.........................................................................33
D. Diagnosis Fisioterapi Berdasarkan ICFCY...........................................37
E. Tujuan Fisioterapi..................................................................................37
F. Intervensi Fisioterapi.............................................................................37
G. Pemeriksaan Khusus..............................................................................39
H. Underlying Procces................................................................................41
I. Home Progam........................................................................................42
J. Evaluasi.................................................................................................42
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................43
B. Saran......................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….44
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan

perkembangan saraf umum yang bersifat genetik dan heterogen dengan ciri-ciri

kognitif yang mendasari dan biasanya terjadi bersamaan dengan kondisi lain

(Lord et al., 2020). Terminologi “spectrum” digunakan karena gejala ASD

bervariasi dari yang ringan sampai berat. Autisme biasanya dapat didiagnosis pada

masa kanak- kanak dengan banyak tanda paling jelas muncul pada usia 2-3 tahun,

tetapi beberapa anak autis berkembang secara normal hingga masa balita

kemudian mulai terjadi penurunan dalam perkembangannya (American Autism

Association, 2018).

Menurut data dari WHO pada tahun 2017 tercatat, terdapat 35 juta orang

yang menyandang autis di seluruh dunia. Jika dirata-rata berarti 1 dari 160 orang

anak di dunia yang menyandang autis. Pada tahun 2015 di Indonesia terdapat

kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan 134.000 penyandang spectrum

autisme dan diperkirakan satu per 250 anak mengalami gangguan autisme

(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018).

Menurut American Psychiatric Association (APA) (2013) telah

menerbitkan standar panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders kelima (DSM-5) ada tiga level tingkatan dalam ASD, yaitu level 1

(autisme ringan) penyandang autisme yang memiliki kemampuan komunikasi

secara verbal cukup baik tetapi memiliki kesulitan dalam interaksi sosial serta
1
perilaku yang berulang. Autisme sedang atau level 2 yaitu penyandang autisme

yang memiliki kemampuan komunikasi verbal terbatas dan memiliki kesulitan

yang sama dengan Level 1, ditambah gangguan emosional dan masalah sensori

dan Level 3 (autisme berat), di mana penyandang autisme tersebut memiliki

kemampuan komunikasi nonverbal dan berbagai masalah yang cukup kompleks.

Anak yang menderita autisme akan mengalami berbagai macam gangguan

perkembangan yaitu gangguan dalam berkomunikasi baik verbal maupun non-

verbal (berkomunikasi dengan bahasa yang aneh), gangguan dalam interakasi

sosial (gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka), gangguan

dalam bermain (bermain sangat monoton), perilaku yang ritualistik, hiperaktif

(senang mengulang gerakan tertentu), gangguan perasaan dan emosi (mengamuk

tak terkendali), gangguan dalam persepsi sensoris dan gangguan perkembangan

kognitif (Pangestu & Fibriana, 2017).

World Health Organization (2022) menjelaskan bahwa individu dengan

ASD sering mengalami kondisi lain yang terjadi bersamaan, termasuk epilepsi,

depresi, kecemasan, dan gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD). Tingkat

fungsi intelektual pada individu dengan ASD sangat bervariasi, mulai dari

gangguan yang sangat parah hingga tingkat yang lebih tinggi. ASD dapat 3 secara

signifikan membatasi kapasitas individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari

dan berpartisipasi dalam masyarakat.

Perilaku emosional dan gangguan yang dialami oleh penderita autisme

kemudian akan berdampak pada keseharian anak tersebut. Salah satu perilakunya

2
yaitu menyakiti diri dimana menurut (Theodora & Mahabbati, 2019) akan

berdampak buruk pada anak seperti cedera, mempengaruhi fungsi otak, lumpuh

maupun mengganggu lingkungan sekitar. Kesulitan dan keterlambatan dalam

interaksi sosial yang dialami anak autisme menurut (Hossein Khanzadeh &

Imankhah, 2017) akan menyebabkan stresor yang unik termasuk isolasi sosial dan

stigma. Anak dengan autisme yang ditangani dengan baik, tidak menutup

kemungkinan akan memperoleh kemampuan sama seperti anak pada umumnya

dan sebaliknya jika anak autisme terlambat penanganannya maka keberhasilan

dalam mengurangi atau menghilangkan gangguan sangat sulit untuk diperolehnya

(Theodora & Mahabbati, 2019).

Jika autisme tidak segera ditangani juga akan berdampak pada

perkembangan anak dan mengancam kecerdasan anak dalam jangka panjang yang

akan menyebabkan mereka menjadi tidak produktif (Yusuf dkk, 2020).

Berdasarkan penelitian oleh (Resmisari, 2016) menjelaskan bahwa anak dengan

autisme jika ditangani sejak dini, maka kondisi mereka cenderung lebih baik jika

dibandingkan dengan mereka yang mengalami keterlambatan dalam

penanganannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimanakah penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

Autism Spectrum Disorder?”

3
C. Tujuan

Untuk menjawab rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan ini

adalah untuk mengetahui bagaimanakah penatalaksanaan fisioterapi pada kasus

Autism Spectrum Disorder.

D. Manfaat

Mahasiswa fisioterapi mendapatkan tambahan wawasan mengenai Autism

Spectrum Disorder sehingga dapat melakukan penatalaksanaan fisioterapi dengan

baik dan benar, serta dapat menjadi bahan pengembangan sumber daya manusia

khususnya di Klinik Intan Fisioterapi Anak Boyolali terhadap kondisi terkait.

4
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Definisi Autism Spectrum Disorder

Autisme adalah gangguan perkembangan sosial yang mempengaruhi

perkembangan otak dan perilaku seseorang. Orang autis hidup di dunianya

sendiri. Ini adalah gangguan perkembangan umum yang disebut spektrum autistik

yang diamati untuk pertama kalinya oleh psikiater Amerika leo Kanner (Ali, Al-

Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Sejalan dengan Kanner, dokter anak Austria Asperger mengamati gejala

klinis autisme serupa yang mendasari sindrom Asperger (gangguan spektrum

autisme lainnya). Autisme sering disertai dengan perilaku yang ekstrim. Autisme

didiagnosis dengan mengamati kekurangan dalam perilaku di tiga bidang yaitu

interaksi sosial, kemampuan komunikatif dan rentang aktivitas dan minat yang

terbatas (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Beberapa anak mungkin tampak agak berbeda saat mereka berkembang,

baik karena mereka menghindari kontak mata atau percakapan dengan orang tua

mereka atau orang lain, menunjukkan obsesi dengan objek tertentu, atau menjadi

menarik diri dan tidak tertarik pada interaksi sosial. Gangguan Spektrum Autisme

didefinisikan sebagai sekumpulan gangguan yang mempengaruhi perkembangan

neurologis (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Kata Spectrum mengacu pada serangkaian sindrom dan tahapan detriment

yang dapat dialami oleh anak autis. Spektrum Autisme berkisar pada anak-anak

dari

5
gejala ringan sampai berat, dengan banyak anak dengan autisme didiagnosis

dengan cacat intelektual. Meskipun ciri utama autisme adalah sindrom yang

mempengaruhi interaksi sosial dan komunikasi dalam banyak manifestasinya,

sifat-sifat lain juga berhubungan, di antaranya adalah masalah perilaku,

kecemasan, depresi, serta gangguan dalam tidur. Kemudian bisa juga disertai

gangguan lain seperti gangguan makan dan hiperaktif. Selain itu, anak autis

biasanya menunjukkan keterlambatan yang signifikan dalam penguasaan bahasa,

menggunakan kata-kata yang tidak tepat dan tanpa koherensi komunikatif. (Ali,

Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Gejala autisme yang parah ditandai dengan tidak adanya komunikasi atau

hubungan timbal balik dengan orang lain. Gejala autisme muncul pada sebagian

besar anak-anak pada masa bayi, sementara anak-anak lain dapat berkembang dan

berkembang secara alami selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama kehidupan

mereka, tetapi mereka tiba-tiba kehilangan keterampilan bahasa yang telah

mereka peroleh sampai saat itu (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

B. Gejala Autism Spectrum Disorder

Menurut American Psychiatric Association (2013) muncul istilah baru

untuk autis yaitu autism spectrum disorder (ASD). Gejala dari autism spectrum

disorder (ASD) berdasarkan DSM V adalah:

1. Defisiensi persisten dalam ranah komunikasi sosial dan interaksi sosil dalam

banyak konteks, seperti yang dituturkan berikut ini, baik dewasa ini maupun

berdasarkan sejarah (contoh dibawah ini bersifat ilustrasi, tidak mendalam):

6
a. Defisiensi dalam timbal balik sosial & emosional, berkisar, misalnya dari

pendekatan sosial tidak lazim dan gagalnya percakapan normal,

berkurangnya perhatian, emosi atau kepura-puraan hingga gagal dalam

memulai interaksi sosial.

b. Defisiensi dalam perilaku komunikasi verbal dan non verbal, kurangnya

kontak mata, bahasa tubuh dan kurangnya pemahaman serta gestur tubuh.

c. Defisiensi dalam mengembangkan, memelihara dan memahami suatu

hubungan, berkisar, misalnya dari kesulitan mengatur tindakan untuk

menyesuaikan keadaan sosial, menuju kesulitan untuk sharing imaginative

play; hingga hilangnya minat pada teman sebaya.

2. Terbatas pada pola berulang pada perilaku, perhatian atau aktivitas

sebagaimana yang dituturkan oleh setidaknya dua hal berikut ini, saat ini atau

berdasarkan sejarah (contoh bersifat ilustratif, tidak mendalam):

a. Stereotip atau gerakan motorik berulang, penggunaan benda-benda, atau

tutur kata (misalnya, stereotype motorik sederhana, membariskan mainan

atau melemparkan benda-benda, echolalia, dan kata-kata yang bersifat

idiosinkratik (idioxyncratic).

b. Bersikeras terhadap kesamaan, kebiasaan mutlak yang melekat, perialku

berualng-ulang atau perilaku nonverbal dan verbal (misalnya, tekanan hebat

terhadap perubahan-perubahan kecil, kesulitan terhadap transisi, pola

7
pemikiran yang kaku, greeting ritual, kebutuhan untuk mengambil rute atau

makanan yang sama setiap hari).

c. Keterbatasan tinggi, minat yang tidak wajar pada intensitas dan fokusnya

(misalnya ketertarikan kuat pada atau kegemaran terhadap objek yang tidak

biasa, berlihan terhadap minat yang terbatas atau preserfatif).

d. Hyper/Hyporeactivity untuk input sensorik atau minat yang tidak biasa

pada aspek sensorik dari lingkungan (misalnya, ketidakpedulian terhadap

rasa sakit/temperature, respon negative terhadap suara atau tekstur,

berlebihan dalam membaui/menyentuh. suatu objek, terpesona secara visual

oleh adanya cahaya atau gerakan).

C. Etiologi Autism Spectrum Disorder

Ada berbagai teori tentang etiologi autisme, beberapa di antaranya

didukung oleh temuan yang signifikan. Diperkirakan bahwa penyebab autisme

adalah genetik, tetapi mekanisme pasti dari kerusakan gen masih tidak jelas.

Anomali dalam perkembangan pranatal dan perinatal anak, seperti kekurangan

oksigen saat lahir, lebih merupakan konsekuensi dari anomali genetik anak autis,

bukan penyebab autisme. Meskipun Canner menganggap autisme dikondisikan

secara genetik, konsep yang mendasari penyebab gangguan yang akan datang

dekade fokus pada konsep psikoanalitik bahwa autisme disebabkan oleh ambigu

(sikap peduli tetapi secara inheren dingin) sikap ibu terhadap anak. Untuk

mendukung hipotesis ini, bukti empiris belum dikumpulkan, dan upaya untuk

memperlakukan

8
anak dengan lebih banyak membelai atau memperhatikan atau bahkan berpisah

dari orang tua tidak memiliki efek positif (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Ahli biokimia Catherine Reid dari San Francisco, berdasarkan penelitian

neurobiologis dan pengalaman sendiri, meyakini bahwa beberapa gangguan

sistem saraf, seperti autisme, berpotensi terkait dengan ketidakseimbangan dalam

penggunaan natrium glutamat (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

D. Penyebab Autism Spectrum Disorder

Meskipun penyebab pasti dari Autism Spectrum Disorder (ASD) masih

tidak diketahui, beberapa penelitian menunjukkan bahwa baik genetika dan faktor

lingkungan punya peran utama dalam perkembangan gangguan ini. Sehubungan

dengan faktor genetik, telah ditunjukkan bahwa dalam 9 dari 10 kasus, jika salah

satu dari kembar identik didiagnosis dengan autisme dan memiliki kode genetik

yang sama dengan yang lain (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Fakta bahwa seorang saudara laki-laki didiagnosis dengan Autism

Spectrum Disorder meningkatkan 35% kemungkinan bahwa saudara-saudara

lainnya banyak yang didiagnosis dengan autisme. Akan tetapi sains belum dapat

menentukan dengan tepat gen mana yang terlibat dalam situasi seperti ini.

Sebagian besar orang dengan Autism Spectrum Disorder belum melaporkan

laporan keluarga di mana autisme terjadi, sehingga kemungkinan orang yang

berisiko dapat dipengaruhi oleh mutasi genetik tertentu dan jarang terjadi. Penting

untuk dipahami bahwa mutasi berhubungan dengan setiap perubahan kode genetik

normal yang mungkin turun- temurun atau ada tanpa alasan tertentu dan yang

mungkin bisa saja menguntungkan,

9
berbahaya ataupun tidak memberikan efek sama sekali (Ali, Al-Idwan, & Al-

Naimat, 2019).

Namun, untuk menganalisis faktor lingkungan yang terkait dengan

gangguan ini, penting untuk memulai dari definisi yang tepat dari kata

"lingkungan". Dalam bidang kedokteran, lingkungan adalah segala sesuatu yang

berada di luar tubuh manusia dan yang memiliki kemampuan untuk mengubah

kesehatannya. Dengan cara ini, udara, air, makanan, dan bahkan obat-obatan

dianggap sebagai bagian dari "lingkungan" itu sendiri. Ketika manusia berada di

dalam rahim ibu kita, lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi kita di

dalam rahim. Beberapa ilmuwan telah berfokus pada analisis faktor lingkungan

tertentu seperti usia orang tua, riwayat kesehatan keluarga, dan paparan zat

beracun pada kehamilan dan komplikasi yang mungkin terjadi pada saat yang

sama atau pada saat persalinan. Sangat mungkin bahwa ada lebih dari satu faktor

yang terlibat dalam peningkatan risiko autisme. Namun, banyak orang yang telah

mengalami faktor risiko lingkungan akan tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda

perkembangan Autism Spectrum Disorder (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

E. Diagnosis Autism Spectrum Disorder

Untuk mendiagnosis autisme pada usia dini, perlu melalui proses dua

tahap. Yang pertama berkaitan dengan evaluasi dalam semua perkembangan anak

oleh spesialis pediatri. Jika evaluasi ini menunjukkan adanya kekhawatiran pada

perkembangan anak, maka harus menjalani pemeriksaan tambahan (Ali, Al-

Idwan, & Al-Naimat, 2019).

10
Tahap kedua meliputi evaluasi yang jauh lebih mendalam, yang dilakukan

oleh para profesional di bidang kesehatan dengan pengalaman di berbagai

spesialisasi. Selama periode ini, anak mungkin dikualifikasikan memiliki Autism

Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan lain yang terkait dengan perkembangan.

Secara umum, terdapat kemungkinan bahwa diagnosis yang akurat dapat

ditawarkan kepada anak dengan gangguan spektrum autisme pada usia dua tahun,

meskipun juga telah diusulkan untuk melakukan evaluasi tertentu untuk

mendeteksi gangguan ini pada 18 bulan setelah lahir. Menurut klasifikasi

diagnostik gangguan kejiwaan, gejala autisme terjadi sebelum usia tiga tahun,

tetapi diagnosis dini sulit ditegakkan karena gejala selama dua tahun pertama

tidak spesifik (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat, 2019).

Seperti kebanyakan diagnosis gangguan mental, diagnosis multidimensi

dan multimodal diperlukan. The Autism Diagnostic Interview-Revised (ADI-R;

Lord, Rutter & LeCouteur, 1994), dan Autism Diagnostic Observation Schedule

(ADOS: Lord et al., 2000) digunakan sebagai alat standar untuk diagnosis

autisme. Data tambahan dikumpulkan dengan pertanyaan orang tua dan perawat,

pemeriksaan neurologis (misalnya, epilepsi dapat disertai dengan autisme pada

beberapa anak autisme), tes kecerdasan, perkembangan fungsi motorik, bicara dan

komunikasi, serta fungsi persepsi. Diagnosis multidimensi diperlukan di satu sisi

untuk mengidentifikasi sumber daya dan defisit (Ali, Al-Idwan, & Al-Naimat,

2019).

Autism Spectrum Disorder (ASD) dapat didiagnosis dengan beberapa cara


salah satunya dengan menggunakan Gilliam Autism Rating Scale (GARS). GARS
terdiri dari empat subtes yang berjumlah 56 item pernyataan dan informasi

11
tambahan terkait perkembangan anak dalam 3 tahun awal kehidupan.
 Perilaku stereotip, adalah subtes yang digunakan untuk memeriksa
perilaku yang tidak bermakna seperti: mengulang-ulangi
kata/gerakan, menjetikkan jari berkali-kali, suka mencium-
cium benda dan lain-lain. Subtes ini terdiri dari 14 item pernyataan.
 Komunikasi, adalah subtes yang berisi item-item pernyataan
yang digunakan untuk menilai kemampuan komunikasi seseorang
terhadap orang lain, baik menggunakan lisan maupun isyarat.
Subtes ini terdiri dari item ke 15-28.
 Interaksi sosial, adalah subtes yang digunakan untuk memeriksa
kemampuan interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan
lingkungan. Subtes interaksi sosial terdiri dari item pernyataan ke
29
— 42.
 Perkembangan, adalah subtes untuk memeriksa perkembangan
seseorang pada 36 bulan pertama kehidupan (3 tahun pertama
kehidupan), sehingga dapat diketahui perkembangan yang dimiliki
seseorang sesuai dengan tahapan perkembangan atau tidak. Subtes
perkembangan meliputi item pernyataan ke 43 sampai dengan 56.
Dikarenakan pasien belum berumur 3 tahun, maka subtes
Perkembangan tidak diperiksa, hanya 3 subtes yang digunakan dengan aspek-
aspek sebagai berikut :

12
1. Perilaku Stereotip

13
2. Komunikasi

14
3. Interaksi Sosial

F. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1. Neuro Sensomotor Reflex Development and Synchronization


(NSMRD & S)

Neuro Senso Motor Reflex Development and Synchronization (NSMRD &

S) adalah perkembangan gerakan utama yaitu reflek yang diakibatkan oleh alam

15
kepada individu yang akan mempengaruhi program motorik yang bersifat genetik,

yang digunakan seumur hidup.memahami sumber yang mendukung (Takarini,

2015). Tujuan dari Neuro Senso Motor Reflek Development and Synchronization

(NSMRD & S) bertujuan untuk meringankan dan menghilangkan stress dan

kempensasi disfungsional yang nonproduktif di dalam struktur tubuh,

mengaktifkan motor program yang alami dan genetik di seluruh mekanisme

perkembangan gerak, mengaktifkan “brain body” yang mempengaruhi

perkembangan gerak, mengoptimalkan motor and sensorymotor integration

(Anggareni & Susanti, 2021).

2. Latihan Kemampuan Motorik Kasar (on elbow & on hand)

Kemampuan motorik adalah kemampuan dalam mengkoordinasi gerakan

tubuh. Kecerdasan motorik adalah kemampuan seseorang untuk menggerakkan

tubuhnya secara tepat. Ada saat harus lembut, pelan, dan ada saat harus keras

dan cepat, serta kemampuan untuk menggerakkan tubuh sesuai yang

diinginkan. Perkembangan motorik merupakan proses tumbuh kembang

kemampuan gerak seorang anak. Pada dasarnya, perkembangan ini berkembang

sejalan dengan kematangan saraf dan otot anak. Sehingga, setiap gerakan

sesederhana apapun merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari

berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Kemampuan

motorik terbagi dua yaitu motorik kasar dan motorik halus (Fhatri, 2020).

Perkembangan motorik adalah proses sejalan dengan bertambahnya

usia secara bertahap dan berkesinambungan gerakan individu meningkat dari

keadaan sederhana, tidak terorganisasi, tidak terampil ke arah penampilan

16
keterampilan motorik yang kompleks dan terorganisasi dengan baik, yang

pada akhirnya ke arah penyesuaian keterampilan (Fhatri, 2020).

Perkembangan motorik sangat dipengaruhi oleh organ otak dan

kematangan syaraf. Otaklah yang mengendalikan setiap gerakan yang dilakukan

oleh anak. Semakin matangnya perkembangan sistem syaraf otak yang mengatur

otot, memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak

(Fhatri, 2020).

Ada dua macam kemampuan motorik anak yaitu kemampuan motorik

kasar dan motorik halus. Kemampuan motorik halus pada anak usia dini adalah

beraktivitas dengan menggunakan otot halus seperti menulis, meremas,

menggenggam, menggambar, menyusun balok dan memasukkan kelereng ke

dalam lubang, sedangkan motorik kasar anak adalah kemampuan menggerakkan

berbagai bagian tubuh seperti berjalan, melompat, berlari, melempar,

menangkap, menendang, dan bermain sepeda (Fhatri, 2020).

3. Brain Gym

Brain Gym merupakan kumpulan gerakan yang sederhana yang berfungsi

untuk merangsang perkembangan seluruh bagian otak secara sinergis. Gerakan-

gerakan dalam senam otak memiliki manfaat seperti menyeimbangkan otak, baik

otak kanan maupun otak kiri, sehingga logika dan kreativitas anak menjadi

seimbang, dapat membangun semangat dalam belajar berkonsentrasi, serta

berpengaruh positif terhadap peningkatan perkembangan motorik, dan pengalihan

emosi anak (Panzilion dkk, 2020).

17
4. Blocking Sensoris

Dikutip dari Fisiocare-Purwokerto.com, blocking merupakan salah satu

metode limitasi rangsangan audiovisual. Dimana mata dan telinga anak ditutup

sembari terapis juga akan memblok area badan untuk limitasi gerakan

memberontak anak saat rangsangan audio visual dihambat (Fisio Care

Purwokerto, 2020).

Area sensori yang paling sering terdistraksi/mudah terstimulus adalah mata

dan pendengaran. Oleh sebab itu, teknik ini dipakai untuk memblokade

rangsangan audio dan visual. Sedangkan untuk badan dilimitasikan gerakannya

agar anak menjadi lebih cepat tenang. Ketika anak merasa tidakk nyaman karena

area tersebut diblok badan secara otomatis akan meronta terutama untuk anak

yang hiperaktif dapat dipastikan energi yang dikeluaran akan sangat banyak.

Namun ketika mampu menguras energinya, anak akan lebih cepat untuk tenang

(Fisio Care Purwokerto, 2020).

Ketika blocking dilakukan secara rutin dan telah berjalan beberpa kali,

durasi anak untuk tenang dan tidak meronta akan lebh cepat dibandingkan

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena anak merasa nyaman diberikan waktu

untuk belajar mengolah respon yang masuk keotak. Setelah serangkaian blocking

anak akan lebih tenang, mudah diatur, fokus dan mudah berkonsentrasi (Fisio

Care Purwokerto, 2020).

18
BAB III

STATUS KLINIS

A. Identitas Pasien
Nama :MHMS

TTL : Pulisen, 16 Desember 2019

Nama Ayah : Ismail Saifudin

Nama Ibu : Ni’mah Nur Aini

Alamat : Perum Griya Pulisen No 117, Pulisen, Boyolali

Diagnosis Medis : ADS

B. Pemeriksaan Umum

Suhu Tubuh : 36⁰ C

Heart Rate : 90 kali/menit

Pernapasan : 30 kali/menit

Status Gizi : Tercukupi (Baik)

Tinggi Badan : 91 cm (normal)

Berat Badan : 15 kg (normal)

Lingkar Kepala : 49 cm (normal)

19
C. Pemeriksaan Fisioterapi

1. Anamnesis

a. Keluhan Utama : Saat diajak interaksi belum dapat merespon

dengan baik. Ketika bermain lebih senang sendiri.

b. Riwayat Penyakit Sekarang : Belum mampu kontak mata dengan

konsisten.

c. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak pernah menderita penyakit berat

apapun sebelumnya.

d. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang

menderita gangguan demikian.

e. Riwayat Imunisasi : terakhir diberikan imunisasi MR pada tanggal

04 Agustus 2022

f. Riwayat Kehamilan :

 Riwayat Prenatal : Saat trimester I, ibu sempat sakit cacar dan

demam, namun seminggu kemudian sembuh.

 Riwayat Perinatal : Proses kelahiran normal namur air ketuban

sempat mongering sehingga bayisedikit meminum air ketuban.

Hal itu menyebabkan saat bayi lahir tidak langsung menangis

dan memerlukan bantuan untuk diprovokasi/stimulis agar

menangis, dan untungnya bayi dapat menangis setelah

beberapa saat.

 Riwayat Postnatal : Sejak umur 8 bulan sudah diberi mainan

HP, yang mana hal tersebutlah menjadi awal mula gangguan

yang

20
diderita oleh Haidar muncul. Haidar menjadi lebih suka

menyendiri 7 sulit untuk berinteraksi.

g. Riwayat Tumbuh Kembang :

 Tengkurap = 4 bulan

 Duduk = 8 bulan

 Merangkak = 10 bulan

 Jalan = 18 bulan

 Berbicara = Hingga sekarang belum bisa mengucapkan kata-

kata yang bermakna dengan jelas. Sehingga pengungkapan

keinginannya cenderung menggunakan gerakan.

h. Riwayat Psikososial : Pasien cenderung cuek dengan lingkungan

sekitar dan lebih nyaman untuk bermain sendiri.

b. Kesan Awal

Atensi, emosi, motivasi, problem solving, komunikasi dan kognisi masih

belum baik, terutama di atensi pasien.

c. Kemampuan Sensorik

Ket : Sensoris Keterangan


Olfactory 1 = Ada gangguan 22 = Normal
0 = Tidak berfungsi
Visual 1
Auditory 2
Taktil 1
Vestibular 2
Propioeptif 1

21
d. Kondisi Keseimbangan

 Statik : Telentang, tengkurap, duduk dan berdiri semua normal.

Hanya saja untuk mata pasien tidak bisa kontak konsisten

 Dinamik : Telentang ke tengkurap, tengkurap ke duduk serta duduk

ke berdiri dapat dilakukan mandiri dengan baik

e. Kemampuan dan Ketidakmampuan

 Sesuai : mampu berjalan sambil memegang mainan & memiliki

pertumbuhan BB/TB yang normal

 Terlambat : Belum mampu berbicara dengan baik untuk anak

seusianya yang berdampak ke keterlambatan perkem-

bangan emosi & sosial.

f. Tonus Postural

General Hipotonus, namun masih dapat bergerak dengan baik

g. Pola Postural
1) Telentang :
 Mata, bergerak kemana-mana
 Leher, cenderung ekstensi
 Trunk, posisi berubah-ubah
 Kaki, tidak bisa diam

22
2) Tengkurap : 6) Berdiri :
 Mata, bergerak kemana-mana  Mata, bergerak kemana-
 Leher, mengangkat mana/tidak fokus
(cenderung ekstensi)  Leher, cenderung ekstensi
 Trunk, posisi tetap  Trunk, stabil
 Kaki, diam  Kaki, baik dg koordinasi
3) Ke duduk : gerakan normal
 Mata, melihat ke objek 7) Ke berdiri :
yang jauh  Mata, bergerak kemana-
 Leher, menyesuaikan mana/tidak fokus
dengan pandangan mata  Leher, cenderung ekstensi
 Trunk, menyesuaikan  Trunk, stabil
tetap stabil  Kaki, normal
 Kaki, diam 8) Berjalan :
4) Duduk :
 Mata, tidak fokus
 Mata, bergerak kemana-
 Leher, cenderung ekstensi
mana/tidak fokus
 Trunk, stabil
 Leher, cenderung ekstensi
 Kaki, normal
 Trunk, posisi beruah-ubah
5) Merangkak :
 Mata, tertuju ke objek yg jauh
 Leher, cenderung ekstensi
 Trunk, menyesuaikan
tetap stabil
 Kaki, diam

19
h. Pemeriksaan Khusus

Berdasarkan pemeriksaan menggunakan Gilliam Autism Rating Scale

(GARS) diperoleh hasil bahwa pasien memiliki peluang autism dalam kategori

sangat tinggi, dengan total nilai Autism Quotient sebesar 145 dengan percentile

>99 pada pengukuran pertama.

20
21
22
23
D. Underlying Procces

24
25
E. Diagnosis Fisioterapi Berdasarkan ICFCY
1. Impairment
o b122 : psychosocial kurang baik
o b140 : atensi yang buruk
o b152 : sulit untuk menunjukkan ekspresi
o b1643: problem solviong anak masih buruk
o b167 : kemampuan berbahasa/bicara kurang
o b320 : artikulasi belum jelas
o s110 : gangguan di korteks yang menyebabkan interaksi social,
komunikasi dan ketertarikan serta perilaku menjadi
terbatas
o s540 : structure of intestine
o s730 : structure of upper extremity
o s750 : structure of lower extremity
o s530 : structure of stomach
o s520 : structure of esophagus
o s260 : structure of inner ear
o s320 : structure of mouth
o s770 : additional musculoskeletal structures related to movement

2. Functional Limitation
o d160 : kesulitan mempertahankan fokus
o d310 : kesulitan berkomunikasi secara verbal
o d315 : kesulitan berkomunikasi secara non-verbal
o d350 : kesulitan memluai sebuah percakapan

3. Participant Retriction
o d330 : belum mampu bicara dengan baik
o d710 : tidak mampu interaksi interpersonal yang mendasar
o d720 : tidak mampu interaksi interpersonal yang mendasar

26
o d750 : kesulitan melakukan interaksi social dengan teman sebaya

F. Tujuan Fisioterapi
Sesuai dengan diagnosis fisioterapi berdasarkan ICFCY

G. Intervensi Fisioterapi
1. Neuro Sensomotor Reflex
Teknik pada Neuro Senso Motor Reflex Development and Synchronization

(NSMRD & S) yang dilakukan pada kondisi anak autism spectrum disorder yang

pertama dengan menggunakan teknik gerakan gelombang dan teknik patterning

merangkak.

a. Teknik Gerakan Gelombang

 Posisi Anak : Supine lying


 Posisi Terapis : Berada di depan pasien
 Cara : Berikan usapan keseluruh tubuh anak, dari kepala hingga
ke kaki. Kemudian, berikan usapan berbentuk angka 8 dari
dada hingga ke kaki. Tujuannya untuk memberikan
stimulus pada anak.
 Frekuensi : 3x seminggu, 3 kali pengulangan setiap gerakan.

b. Teknik Patterning Merayap


 Posisi Anak : Prone lying
 Posisi Terapis : Berada di atas kepala dan di bawah kaki pasien. Fiksasi
bagian kepala, wrist, dan ankle
 Cara : Tengokkan kepala ke satu arah, kemudian pertemukan
antara elbow dan knee anak. Lakukan seperti gerakan ketika
anak merayap
 Frekuensi : 3x seminggu, 50 kali hitungan

27
2. Latihan Kemampuan Motorik Kasar

Jenis latihan motorik kasar yang digunakan adalah gerakan untuk on hand

dan on elbow pada anak.

a. On Hand
 Posisi Anak : Prone lying
 Posisi Terapis : Berada di punggung pasien dan memfiksasi bagian elbow
dengan posisi ekstensi serta kepala.
 Cara : Tangan anak lurus. Fiksasi bagian elbow dan kepala anak
agar tetap ekstensi. Telapak tangan harus menapak pada
bed.
 Frekuensi : 3x seminggu, 1-3 menit/set, rest 1 menit, pengulangan
tergantung kemampuan anak.
b. On Elbow
 Posisi Anak : Prone lying
 Posisi Terapis : Berada di punggung pasien dan memfiksasi bagian
antebrachii dengan elbow fleksi dan kepala.
 Cara : Tangan anak ditekuk 90⁰. Fiksasi bagian antebrachii dan
kepala anak agar tetap fleksi. Telapak tangan harus
menapak pada bed.
 Frekuensi : 3x seminggu, 1-3 menit/set, rest 1 menit, pengulangan
tergantung kemampuan anak.

3. Brain Gym
 Posisi Anak : Supine lying
 Posisi Terapis : Berada di atas kepala dan di bawah kaki pasien
 Cara : Berikan tarikan pada kaki dan tangan pasien secara
bergantian kanan dan kiri. Kemudian berikan tarikan yang
berlawanan arah. Lalu berikan tarikan pada kedua tangan
pasien dan terakhir berikan tarikan pada kedua kaki pasien.
Tujuannya untuk melatih koordinasi tubuh.
 Frekuensi : 3x seminggu, 3x pengulangan tiap gerakan, setiap gerakan
dihitung 7 hitungan.
28
4. Blocking Sensory
 Posisi Anak : Supine lying
 Posisi Terapis : Berada di samping pasien
 Cara : Lilitkan sebuah kain di mulai dari pusar. Kemudian
lilitkan bagian elbow kanan terlebih dahulu, posisi tangan
harus menghadap ke dalam. Setelah 1 lilitan berhasil,
lilitkan elbow kiri. Kemudian naikan lilitan ke arah
proksimal hingga sedikit di atas axilla. Lalu menuju dorsal
hingga ke kaki. Kaki harus menempel satu sama lain, tidak
boleh tumpang tindih. Untuk bagian mata, ambil tisu,
letakan 2 lembar di atas bandage. Kemudian tempelkan
pada mata dan lilitkan bandage di kepala.
 Frekuensi : 3x seminggu, 30 menit

H. Home Program
1. Ibu disarankan agar tetap melatih pasien di rumah seperti apa yang

diajarkan oleh terapis, seperti on hand & on elbow

2. Mengurangi bermain handphone

3. Lebih sering untuk diajak berinteraksi, untuk meningkatkan

atensi pasien

I. Evaluasi

1. Sesaat

Pasien tampak menjadi sedikit lebih tenang, terutama setelah diberikan

intervensi Blocking Sensory

2. Berkala

Tetap dimonitoring dengan menggunakan menggunakan GARS agar

terpantau setiap perubahan-perubahan yang terjadi tiap minggunya.

29
PENILAIAN T1 T2 T3 T4 T5 T6
Perilaku Stereotip 10 10 10 10 10 10
18 17 17 16 16 16
Komunikasi
23 23 23 23 23 23
Interaksi Sosial

145 143 143 142 142 142


Autism Quotient (>99)
(>99) (>99) (>99) (>99) (>99)

Dengan perbedaan hasil pemeriksaan T1 dengan T6 sebagai berikut :


Pemeriksaan T1

30
31
32
Pemeriksaan T6
Terjadi penurunan nilai GARS pada Subtes komunikasi senilai 2 poin.

33
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan laporan kasus yang telah dipaparkan dapat ditarik kesimpulan

bahwa penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Autism Spectrum Disorder di

Boyolali dengan intervensi berupa neuro sensomotor reflex, latihan motorik kasar,

brain gym serta blocking sensory selama 6 kali pertemuan didapatkan hasil sedikit

perubahan kemampuan komunikasi pada pasien.

B. Saran

Hasil terapi yang maksimal mungkin membutuhkan kolaborasi antara

beberapa perawatan medis lain seperti terapi wicara dan okupasi terapi, serta

kepatuhan dari pasien dalam menjalani program yang telah ditetapkan sehingga

penulis menyarankan selain menjalani fisioterapi di pelayanan kesehatan, pasien

harus megimbangi dengan latihan mandiri di rumah.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ali, E. M., Al-Idwan, Z. F., & Al-Naimat, Y. M. (2019). Autism Spectrum


Disorder (ASD); Symptoms, Causes, Diagnosis, Intervention, and
Counseling Needs of the Families in Jordan. Canadian Center of Science
and Education , 48- 56.
American Autsim Association. (2018). What Is Autism?. Diakses pada tanggal 25
Agustus 2022 dari https://www.autismspeaks.org/what-autism.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual Of
Mental Disorders Fifth Edition DSM-5™. London: British Library
Cataloguing.
Anggareni, F., & Susanti, N. (2021). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi
Delay Development (Dd) Dengan Modalitas Neuro Senso Motor Reflek
Development And Synchronization (Nsmrd & S) Dan Massage Oral Di
Ypac Surakarta. Jurnal PENA, 28-39.
Fhatri, Z. (2020). Intervensi Latihan Sensori Motorik Dalam Pengembangan .
Jurnal Pendidikan Islam, 23-32.
Fisio Care Purwokerto. (2020). Metode Blocking : Layanan Tumbuh Kembang
Anak di Fisio Care. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2022 dari
https://fisiocare-purwokerto.com/metode-blocking-layanan-tumbuh-
kembang-anak-di-fisio-care/
Lord C, Brugha TS, Charman T, Cusack J, Dumas G, Frazier T, Jones EJH, Jones
RM, Pickles A, State MW, Taylor JL, Veenstra-VanderWeele J. Autism
spectrum disorder. Nat Rev Dis Primers. 2020 Jan 16;6(1):5.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2018). Hari
Peduli Autisme Sedunia : Kenali Gejalanya, Pahami Keadaannya. Diakses
pada tanggal 25 Agustus 2022 dari https://www.autismspeaks.org/what-
autism.
Khanzadeh, A.A., & Imankhah, F. (2017). The Effect of Music Therapy Along
With Play Therapy on Social Behaviors and Stereotyped Behaviors of
Children With Autism. Practice in Clinical Psychology, 5, 251-262.
Pangestu, N., & Fibriana, A. I. (2017). Faktor Risiko Kejadian Autisme. Higeia
Journal Of Public Health Research And Development, 141-150.
Panzilion, Padila, Tria, G., Amin, M., & Andri, J. (2020). Perkembangan Motorik
Prasekolah Antara Intervensi Brain Gym Dengan Puzzle. Jurnal
Keperawatan Silampari, 510-519.

35
Resmisari, R. (2016). Penerapan Metode ABA (Applied Behavior Analysis) untuk
Meningkatkan Kontak Mata pada Anak dengan Gangguan Autis: Sebuah
Laporan Kasus. Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity, 374-378.
Takarini, N., (2015). Konsep Pendekatan Neuro Senso Motor Reflex Integration
(NSMRI).
Theodora, D. E., & Mahabbati, A. (2019). Asesmen Perilaku Fungsional Pada
Perilaku Menyakiti Diri Sendiri Anak Autis di SLB Autisma Dian
Amanah Yogyakarta. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 58-67.
WHO. (2022). Autism. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2022 dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/autism-spectrum-
disorders
Yusuf, A., Ummam, A. F., Nastiti, A. A., & Yunitasari, E. (2020). The
intervention of effective playdough activity on the increase of cognitive
development of autistic children. Systematic Reviews in Pharmacy, 11(3),
786–792.

36

Anda mungkin juga menyukai