Anda di halaman 1dari 10

BAB III

PEMBAHASAN

Gejala pada abses hepar merupakan gejala yang tidak khas dan bersifat
sangat samar. Malik et al mengungkapkan bahwa pasien dengan abses hepar
paling sering mengeluhkan malaise, disusul dengan keluhan anoreksia, demam,
dan penurunan berat badan. Keluhan ini muncul sebagai gejala inflamasi yang
bisa terjadi pada semua proses infeksi. Sebagian pasien juga mengeluh menggigil,
muntah, nyeri dada, berkeringat saat malam, batuk dan diare. 9
Anoreksia terutama dipengaruhi oleh sekresi CRH. Pada infeksi hati,
sangat mudah terjadi efek inflamasi sistemik karena hati yang merupakan tempat
perlewatan darah sistemik maupun darah portal. Salah satu efek inflamasi adalah
peningkatan hormon CRH agar terjadi peningkatan sekresi hormon kortisol untuk
membantu metabolisme tubuh yang meningkat. Sedangkan, Andreasson et al
mengungkapkan bahwa CRH merupakan sitokin yang bersifat anoreksogenik
sehingga menurunkan nafsu makan karena menstimulasi leptin. Defini penurunan
nafsu makan pada kasus inflamasi sendiri adalah penurunan ukuran makanan
bukan penurunan frekuensi makan. Penurunan nafsu makan disertai lipolisis
akibat rangsangan hormon kortisol memicu penurunan berat badan pada pasien.

10-

13

Mual muntah pada pasien abses hepar dapat berhubungan oleh


peningkatan enzim SGOT-SGPT atau sitokin yang dikeluarkan oleh hepatosit
yang rusak mengaktifkan CTZ (chemotrigger zone) sebagai pusat mual dan

muntah. Hipotesa yang terakhir adalah hepar yang membesar karena abses
mendesak duodenum sehingga menyebabkan gangguan pengosongan lambung.

14-

15

Tabel 4.1 Gejala dan Tanda Pada Abses Hepar

Berdasarkan pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan pada pasien


dengan abses hepar adalah hepatomegali. Hal ini terjadi karena hepatosit rusak
akibat proses infeksi seperti pada abses hepar, akan memacu mekanismemekanisme yang merangsang proliferasi hepatosit yang tersisa. Demikian juga,
reseksi jaringan hati oleh adanya abses akan diikuti oleh proliferasi hepatosit yang
tersisa (hiperplasia). Beragam faktor pertumbuhan dan sitokin berperan dalam
memposisikan hati dalam suatu keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel.
16

Pada tabel 4.1 dapat kita lihat beberapa tanda lain yang dapat membantu
diagnosis dari abses hepar yaitu nyeri tekan abdomen, nyeri di kuadran kanan
atas,

perubahan

pulmonal,

jaundice,

nyeri

epigastrium,

edem

perifer,

splenomegali, nyeri samar, dan nyeri ketok ginjal. Nyeri dengan berbagai lokasi

yang bisa berbeda antar pasien merupakan akibat dari longgarnya organisasi
nervus aferen viseralis oleh serabut saraf splanknikus yang menginervasi beberapa
organ, dan masuk ke dalam corda spinalis pada beberapa segmen. Dengan
demikian, nyeri viseralis bersifat kabur atau tumpul dan difus atau tidak
terlokalisir; pasien yang mencoba melokalisir rasa sakit sering mengarahkan
tangan mereka di perut bagian atas, tengah, dan bawah. 14
Kebanyakan nyeri viseralis bersifat menetap tapi keram, nyeri intermiten
atau kolik merupakan hasil dari kontraksi peristaltik disebabkan oleh obstruksi
parsial atau lengkap dari usus kecil, ureter, atau tuba uterus. Daerah epigastrium
merupakan salah satu daerah peralihan nyeri pada pasien dengan abses hepar,
terutama abses hepar sinistra. Hal ini terjadi karena anatomi dari hepar mengisi
kuadran kanan atas, sedikit lateral kanan, dan epigastrium. Sehingga lokasi dari
nyeri viseral organ hati ini bisa mencapai 3 daerah ini. Walaupun, kebanyakan
pasien dengan abses hepar ditemukan tanda berupa nyeri tekan pada keseluruhan
abdomen yaitu 70%. 14
Pada pasien ini didapatkan keluhan utama berupa nyeri ulu hati yang
terus-menerus selama satu minggu. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan
penurunan nafsu makan sehingga berat badan turun sebanyak satu kilogram.
Muntah berisi air pahit dan terjadi sebelum makan. Pasien juga mengeluh merasa
panas dingin hingga menggigil sejak tanggal 25 April selama tiga hari sampai 27
April 2014. Tapi, pasien tidak mengukur suhu demamnya.
Pada pemeriksaan inspeksi abdomen pasien didapatkan adanya eritema
pada regio hipokondriaka kanan. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan

10

hepatomegali sebesar 17 cm. Terakhir, pada pemeriksaan abdomen yaitu palpasi


didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium dan hipokondriaka kanan.
Berdasarkan gejala dan tanda yang dialami pasien, diagnosis yang paling
mendekati adalah sindrom dispepsia. Namun, sulit mengetahui ini merupakan
sindrom dispepsia organik ataupun fungsional tanpa melakukan pemeriksaan fisik
terlebih dahulu. Perbedaan sindrom dispepsia ini berasal dari organ mana di antara
gaster, duodenum, hepar, atau pankreas juga sulit dilakukan. Pada langkah awal
dalam mendiagnosis, dilakukanlah pemeriksaan penunjang berupa laboratorium.
Teorinya, untuk menegakkan organ mana yang bermasalah, dilakukanlah
pemeriksaan fungsi organ masing-masing. Pada pemeriksaan laboratorium, selain
pemeriksaan darah rutin, perlu bagi klinisi melakukan pemeriksaan SGOT-SGPT
dan enzim pankreas dalam serum seperti amilase dan lipase.
Jika ada ulkus di gaster atau duodenum yang mengalami perdarahan aktif,
maka akan terjadi penurunan Hb. Jika terjadi infeksi bakteri diantara keempat
organ tersebut makan akan meningkatkan kadar leukosit. Pada nekrosis hepatosit
akan terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Sedangkan pada pankreatitis,
akan terjadi peningkatan jumlah amilase dan lipase serum.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien yaitu darah lengkap, didapatkan Hb
pasien kurang dari normal11,2g/dL, leukositosis yaitu 11.000/uL, MCV dan MCH
dalam ukuran normal. Pada pemeriksaan hitung jenis didapatkan limfosit menurun
yaitu 22,5%. SGOT dalam nilai normal sedangkan SGPT meningkat yaitu 57U/l.
Pada kasus, pasien mengalami anemia normositik normokromik. Jenis
anemia ini diakibatkan oleh beberapa kondisi seperti anemia pasca perdarahan

11

akut, anemia aplastik, anemia hemolitik didapat, anemia akibat penyakit kronik,
anemia pd gagal ginjal kronik, anemia pd sindrom mielodisplastik, dan anemia
pada keganasan hematologik. Namun, melihat dari peningkatan kadar SGOT dan
SGPT yang dimiliki pasien, etiologi anemia yang paling memungkinkan pada
pasien adalah anemia akibat penyakit kronik. 17
Hasil laboratorium lain berupa leukositosis merupakan tanda adanya
proses inflamasi akibat infeksi. Namun, dapat dilihat pada pasien tidak didapatkan
adanya peningkatan granulosit, malah penurunan jumlah limfosit. Hal ini
menunjukkan infeksi hepar pada pasien sudah berlangsung kronis.
Peningkatan SGPT atau aspartat aminotransferase (AST) dan alanin
aminotransferase serum, yang sering disebut sebagai uji fungsi hati, merupakan
pengukuran kadar enzim-enzim yang normalnya terletak di dalam hepatosit.
Karena itu, keberadaan keduanya dalam serum adalah tanda nekrosis sel hati dan
bukan merupakan indikasi sejati fungsi hati. 16
Dalam menegakkan diagnosis abses hepar, diperlukan pemeriksaan
penunjang yang lebih sensitif. Ultrasonography memiliki sensitivitas 96% dalam
mendiagnosis abses hati sedangkan CT scan menunjukkan sensitivitas 100%.
Abses tunggal ditemukan pada 70% dan multiple abses pada 30% pasien.
Keterlibatan lobus kanan ditemukan pada 68% sementara keterlibatan lobus kiri
ditemukan pada 22% dan keterlibatan kedua lobus ditemukan pada 10% dari
pasien. Lobus kanan merupakan lokasi tersering disebabkan oleh tiga hal, yang
pertama sebagai hasil dari aliran darah portal. Kedua, dengan fakta bahwa lobus
kanan didominasi oleh pasokan vena mesenterika superior. Ketiga karena lobus

12

kanan merupakan bagian hati yang paling besar. Abses pada lobus sinistra sering
berkaitan dengan gangguan traktus biliaris. 9,18,13,19

Gambar 4.1 Lokasi Abses Hepar


Berdasarkan hasil pemeriksaan USG pasien di RS Sari Mulia, didapatkan
kesimpulan berupa old abscess left liver lobe. Abses hepar pyogenik jarang
merupakan infeksi langsung dari bakteri ke hepar. Dia merupakan perjalanan
penyakit dari bagian yang lain seperti yang tertera pada tabel 4.2. Namun, pada
hasil USG pasien, disebutkan bahwa lien, pankreas, ginjal, vesika urinaria,
kandung empedu, uterus, dan apendiks dalam keadaan normal. Keadaan umum
pasien juga hanya terlihat sakit ringan denga GCS 15 dan tidak demam, yang
berarti pasien tidak berada dalam keadaan sepsis yang bisa menyebabkan sepsis
vena portal. Pasien juga tidak memiliki riwayat bedah abdomen atau minum obatobatan yang bisa menurunkan daya tahan tubuh 9. Lokasi abses pasien yang jarang
yaitu sebelah kiri juga mengindikasikan bukan merupakan perjalanan penyakit
dari vena portal atau vena mesenterika superior. Metode eksklusi ini
mengindikasikan pasien mengidap abses hepar amuboik yang prevalensinya
masih tinggi di Indonesia. 20,21

13

Tabel 4.2 Patogenesis Abses Hepar Pyogenik9,18,13,19

Dalam kasus abses hepar, mendiagnosis etiologi utama merupakan hal


yang penting mengingat keadaan hepatitis kronis atau relapsnya abses hepar bisa
meningkatkan risiko sirosis hepatis pada pasien. Diagnosis abses hepar pyogenik
dilakukan melalui beberapa pemeriksaan penunjang19:
1. Pemeriksaan

laboratorium:

leukositosis,

anemia,

hipoalbumin,

peningkatan enzim transaminase serum.


2. Foto polos abdomen dan foto thorax menunjukkan hasil yang tidak
spesifik
3. USG menunjukkan gambaran abses berupa hiperekoik dan berbatas
tidak tegas, tapi jika tedapat pus berupa hipoekoik dengan batas tegas.
Pus yang sangat tebal bisa tampak sebagai masa.
4. CT scan abdomen dengan kontras
5. Kultur pus atau darah penderita abses hepar. Etiologi yang sering dapat
dilihat pada pembahasan di atas.
Sedangkan dalam mendiagnosis abses hepar amuboik diperlukan
pemeriksaan berikut 19:
1. Laboratorium:

peningkatan

bilirubin,

leukositosis

minimal,

peningkatan enzim transaminase.


2. Pemeriksaan sediaan feses basah menunjukkan trofozoit yang
mengandung eritrosit.
14

3. Pada aspirasi, amuba ditemukan jarang pada material dari tengah


abses, tapi berjumlah lebih banyak pada batas abses dan lebih banyak
lagi pada aspirat material abses yang terakhir sisa.
4. Serology anti E.histolytica
5. Foto polos abdomen dan foto thorax menunjukkan hasil yang tidak
spesifik
6. USG menunjukkan gambaran abses berupa hiperekoik dan berbatas
tidak tegas, tapi jika tedapat pus berupa hipoekoik dengan batas tegas.
Pus yang sangat tebal bisa tampak sebagai masa.
7. CT scan abdomen dengan kontras.
Pada pasien ini sulit dibedakan jenis abses hepar yang diderita karena
beberapa pemeriksaan tidak dilakukan yaitu pemeriksaan albumin serum, kultur
pus atau kultur darah, bilirubin serum, feses lengkap, dan serologi anti E.
histolytica. Sedangkan dari gejalanya, abses hepar amuboik dan pyogenik sangat
mirip sehingga sulit dibedakan. Namun, berdasarkan data yang ada yaitu
leukositosis minimal dan lokasi abses, pasien ini kemungkinan besar mengidap
abses hepar amuboik.
Manajemen abses hepar amuboik sesuai Medicine Update 2012 dapat
dilihat pada tabel 4.3. Pilihan utama agen anti amuba adalah metronidazol dengan
pilihan alternatif klorokuin atau timidazol.

Dutta dan Bandyopadhyay

mengungkapkan bahwa pemberian metronidazol IV dengan dosis 500 mg


dilakukan per 6 jam artinya 4 kali dalam sehari selama 5-10 hari.

21

Berdasarkan

teori ini, maka pemberian Tricodazol infus 3x 500 mg pada pasien ini merupakan
pemilihan antibiotik yang rasional, seperti yang tertera pada tabel di bawah ini. 19.

15

Namun, pasien hanya mendapat infus Tricodazol sebanyak 3 kali sehari. Lama
pemberian yang harusnya 5 hari juga hanya dilakukan selama 3 hari.
Tabel 4.3 Manajemen Liver Abses oleh E.histolytica19

Pada kecurigaan abses hepar pyogenik, sebelum mendapatkan kultur


positif dari darah atau nanah, antibiotik spektrum luas harus dimulai untuk
menutupi bakteri aerob Gram-negatif dan bakteri anaerob Gram-positif. Regimen
antibiotik yang paling umum digunakan secara empiris adalah sefalosporin
generasi ke-3 dan metronidazol.

Namun hal ini tergantung sesuai dengan

sensitivitas organisme dari kultur abses atau darah setiap pasien. Ciprofloxacin
digunakan sebagai alternatif untuk cephalosporin pada pasien yang memiliki
riwayat anafilaksis penisilin. Awalnya, antibiotik harus diberikan secara
parenteral, dan setelah 2 minggu terapi sistemik, obat oral yang tepat dapat
digunakan lebih lanjut selama 4 minggu. 17,19
Abses hepar juga erat kaitannya dengan terapi pembedahan berupa aspirasi
abses. Namun pada pasien ini tidak dilakukan karena jumlah absesnya yang kecil
dan letaknya di lobus kiri menyulitkan untuk dilakukan aspirasi. Cukup dengan
16

terapi medikamentosa keadaan pasien membaik. Keluhan mual, muntah dan


demam menghilang di hari pengobatan ke-2. Keluhan nyeri perut berkurang di
hari ke-3 pemberian obat dan menghilang di hari ke-4. Pasien diizinkan pulang
pada hari ke-4 dengan membawa ciprofloxacin tablet 2x500 mg.

17

Anda mungkin juga menyukai