Anda di halaman 1dari 18

KERATITIS

A.DEFENISI
Keratitis merupakan penyakit oftalmologi berupa inflamasi pada kornea mata.
Keratitis umumnya terjadi akibat adanya kerusakan epitel kornea, yang merupakan salah
satu mekanisme pertahanan kornea terhadap patogen. Penyebab kerusakan epitel kornea
dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti trauma, penggunaan lensa kontak, dan akibat
keadaan defisiensi air mata

B.EPIDEMIOLOGI
Global
Insidensi keratitis mikrobial secara global sekitar 0,4 sampai 5,2 per 10.000 orang setiap
tahunnya. Insidensi ini lebih tinggi pada negara berkembang dibandingkan negara maju.
Insidensi keratitis infeksi di Amerika Serikat sendiri sudah dilaporkan sebanyak 11 kasus per
100.000 orang. Pada negara berkembang, insidensi keratitis umumnya lebih tinggi.
Sebanyak 90% kasus keratitis infeksi disebabkan oleh
spesies Staphylococcus, Streptokokus dan Enterobacteriaceae. Spesies Acanthamoeba
juga semakin sering ditemukan pada pasien keratitis seiring dengan peningkatan
pengunaan lensa kontak.
Studi dari Hong Kong melaporkan bahwa insiden keratitis pada pengguna lensa kontak lebih
tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan lensa kontak (3,4 / 10.000 orang
vs 0,63 / 10.000 orang). [3,5,14]
Insidensi keratitis noninfeksi bervariasi karena sangat bergantung pada etiologi dasar.
Insidensi keratitis ulseratif perifer terjadi pada 3 kasus per 1.000.000 orang per tahunnya di
negara Inggris. [1,7]
Indonesia
Sampai sekarang belum terdapat studi yang melaporkan insiden keratitis di Indonesia
secara umum.
Mortalitas
Keratitis pada umumnya tidak sampai menyebabkan kematian pada pasien. Akan tetapi,
beberapa komplikasi dari keratitis, seperti astigmatisme ireguler dan endoftalmitis, dapat
meningkatkan morbiditas pasien. Selain itu, diagnosis dan penanganan yang terlambat
dapat menyebabkan gangguan penglihatan permanen bahkan kebutaan.
C.ETIOLOGI DAN FAKTO RISIKO
Etiologi Keratitis Infeksi
Bakteri, jamur, virus, maupun protozoa dapat menyebabkan keratitis infeksi. Infeksi
Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. merupakan penyebab keratitis yang paling sering
ditemukan. Berikut ini merupakan etiologi keratitis yang disebabkan oleh proses infeksi:
 Bakteri: Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
spesies Neisseriae, Corynebacterium diphtheriae, spesies Listeriae, Mycobacteria,
Spirochete
 Jamur: spesies Aspergillus, spesies Fusarium, Candida albicans
 Virus: Herpes simplex, Herpes zoster, sitomegalovirus, Epstein-barr virus
 Protozoa: spesies Acanthamoeba, spesies Onchocerca, spesies Leishmania
Etiologi Keratitis Noninfeksi
Penyebab keratitis noninfeksi dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Berikut ini
merupakan penyebab noninfeksi keratitis.
 Trauma epitelium kornea
 Gangguan autoimun, seperti rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus sistemik
 Malposisi dan gangguan struktur kelopak mata, seperti entropion dengan trikiasis
dan lagoftalmos
 Dakriosistitis kronik
 Kortikosteroid topikal
 Radiasi ultraviolet
 Iatrogenik, seperti komplikasi tindakan operasi laser in situ keratomileusis (LASIK)
[10,11]
Faktor Risiko
Faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya keratitis adalah sebagai berikut:
 Penggunaan lensa kontak
 Defisiensi vitamin A
 Defisiensi air mata
 Penyakit permukaan okular
 Erosi/abrasi kornea
 Imunokompromais
 Riwayat penyakit autoimun
 Riwayat operasi mata
D.PATOFISIOLOGI

Patofisiologi Keratitis Infeksi


Patofisiologi keratitis infeksi diawali dengan adanya defek atau kerusakan epitel kornea,
yang menyebabkan kerusakan mekanisme pertahanan kornea terhadap patogen. Salah
satu penyebab kerusakan epitel kornea adalah penggunaan lensa kontak yang tidak sesuai,
trauma, dan operasi okular. Selain itu, keadaan yang menyebabkan berkurangnya air mata,
seperti sindrom Sjogren, juga dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea.
Gangguan mekanisme pertahanan kornea tersebut menyebabkan mikroorganisme seperti
bakteri, jamur, virus, atau protozoa, akan dapat menginvasi kornea mata dan menyebabkan
inflamasi serta destruksi stroma kornea.
Patofisiologi Keratitis Bacterial
Gangguan epitel kornea dan pengeluaran air mata abnormal memungkinkan masuknya
mikroorganisme ke dalam stroma kornea

Bakteri berkembang biak dan menyebabkan ulserasi. beberapa bakteri dapat menembus
epitel kornea yang utuh untuk menyebabkan infeksi

Faktor virulensi dapat memulai invasi mikroba, atau molekul efektor sekunder dapat
membantu proses infeksi. Banyak bakteri menampilkan beberapa adhesin pada struktur
fimbriasi dan nonfimbriasi yang dapat membantu kepatuhan mereka terhadap sel-sel
kornea.

Selama tahap awal, epitel dan stroma di daerah cedera dan infeksi membengkak dan
mengalami nekrosis.

Sel-sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan
nekrosis lamella stroma

Difusi produk inflamasi (termasuk sitokin) di posterior memunculkan curahan sel-sel


inflamasi ke dalam ruang anterior dan dapat menyebabkan hipopion. Racun dan enzim
bakteri yang berbeda (termasuk elastase dan alkali protease) dapat diproduksi selama
infeksi kornea, berkontribusi terhadap penghancuran zat kornea.
Patofisiologi Keratitis Noninfeksi
Patofisiologi keratitis noninfeksi berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas atau reaksi
autoimun tergantung pada jenis keratitis yang terjadi.
Keratitis Ulseratif Periferal
. Keratitis perifer sering dihubungkan dengan
reaksi inflamasi pada mata dikarenakan
letaknya yang dekat dengan konjungtiva
limbal dan mengambil nutrisi dari kapiler
arkade limbal, yang merupakan pusat sel
imunokompeten.
Penyakit ini umumnya terjadi karena aktivasi
komplemen oleh kompleks imun yang
menyebabkan kemotaksis sel inflamatori,
seperti neutrofil dan makrofag, Sel-sel
inflamatori ini kemudian mengeluarkan zat-
zat inflamatori, seperti enzim proteolitik dan
metabolit reaktif oksigen, yang menyebabkan disolusi dan degradasi stroma kornea. Deposit
imun kompleks pada kornea perifer juga sudah dihubungkan dengan penyakit-penyakit
sistemik, seperti rheumatoid arthritis dan lupus eritematosus sistemik.
Keratitis Fliktenular

Keratitis fliktenular dihipotesiskan terjadi


karena reaksi hipersensitivitas tipe IV pada
kornea. Reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen bakteri telah dilaporkan pada
beberapa studi. Bakteri yang paling sering
ditemukan pada keratitis fliktenular
adalah M. tuberculosis pada negara
berkembang dan Staphylococcus aureus di
Amerika Serikat. Pada beberapa studi juga
menemukan adanya sel Langerhans,
monosit, dan sel T yang semakin meyakinkan penyakit ini disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. [1,8]
Keratitis Marginal Stafilokokal
Terjadinya keratitis marginal stafilokokal telah dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas
tipe III terhadap antigen bakteri Staphylococcus aureus. Deposisi kompleks imun akan
terjadi pada kornea perifer dengan aktivasi komplemen sekunder.

E.MANIFESTASI KLINIS
 Nyeri pada mata dengan onset cepat
 Mata merah
 Fotofobia
 Bengkak kelopak mata
 Penurunan penglihatan
 Rasa kering pada mata
 Sensasi benda asing pada mata
 Cairan pada mata
 Edema kelopak dan konjungtiva
 Pseudoptosis
 Gangguan kelopak mata: trikiasis dan lagoftalmos
 Injeksi konjungtiva, terutama bagian limbal / silier
 Penurunan sensasi kornea
 Discharge pada mata
 Infiltrat inflamasi berbentuk seperti cincin pada stroma kornea
 Penipisan atau perforasi kornea
 Hipopion

Tiap etiologic memilik beberapa manifestasi klinis yang berbeda


KERATITIS BACTERIAL
1.Injeksi konjungtiva dan injeksi siliar

2.Defek epithelial dan infiltrate di perifer maupun base kornea


3.Pembesaran infiltrate disertai udem stroma kornea

4.bisa disertai anterior uveitis dengan tanda hypopion

5. Ulserasi progresif mengakibatkan perforasi kornea dan bacterial endoftalmitis


F.PRINSIP DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala pasien keratitis umumnya memiliki sifat onset akut dan berhubungan dengan fungsi
visual dan sensoris. Tingkat keparahan gejala sangat dipengaruhi oleh virulensi organisme,
status imunitas pasien, etiologi keratitis, penyakit penyerta, dan durasi penyakit. Berikut ini
merupakan gejala umum pasien keratitis:
 Nyeri pada mata dengan onset cepat
 Mata merah
 Fotofobia
 Bengkak kelopak mata
 Penurunan penglihatan
 Rasa kering pada mata
 Sensasi benda asing pada mata
 Cairan pada mata [3,12]
Selain itu, faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko keratitis juga harus ditanyakan klinis.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat ditanyakan pada pasien keratitis:
 Penggunaan lensa kontak: tipe lensa, waktu penggunaan, dan sistem desinfeksi
 Riwayat trauma
 Riwayat operasi mata, terutama bagian kornea
 Riwayat penyakit sistemik
 Riwayat penyakit autoimun
 Riwayat penggunaan agen imunosupresif, misalnya steroid
seperti prednisone atau methylprednisolone
 Riwayat penyakit kornea
 Gangguan struktur atau malposisi bagian kelopak mata
 Gangguan defisiensi air mata [3,12]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting dalam menentukan diagnosis pasien keratitis. Berikut ini
merupakan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien keratitis:
Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan gejala pada mata harus diawali dengan pemeriksaan
visus pada kedua mata menggunakan Snellen chart. Pada pasien keratitis terjadi infeksi
pada kornea yang umumnya akan menyebabkan gangguan pada visus pasien dan tidak
akan membaik dengan kacamata koreksi. Walau demikian, pada keratitis tahap awal, bisa
saja tidak terdapat gangguan visus.[3,16]
Inspeksi
Inspeksi pada bagian mata pasien keratitis, idealnya menggunakan slit-lamp, umumnya
dapat ditemukan sebagai berikut:
 Edema kelopak dan konjungtiva
 Pseudoptosis
 Gangguan kelopak mata: trikiasis dan lagoftalmos
 Injeksi konjungtiva, terutama bagian limbal / silier
 Penurunan sensasi kornea
 Discharge pada mata
 Infiltrat inflamasi berbentuk seperti cincin pada stroma kornea
 Penipisan atau perforasi kornea
 Hipopion [3,16]
Pemeriksaan Fluorescein
Pemeriksaan fluorescein pada
setting layanan primer dapat
dilakukan dengan lampu Wood
atau oftalmoskop menggunakan
filter kobalt. Berikan anestesi
topikal terlebih dahulu jika pasien
merasa nyeri.
Pada pemeriksaan di bawah
lampu Wood, lesi kornea akan
tampak berwarna kehijauan.
Pemeriksaan Tekanan Intraokular
dan Pemeriksaan Fundus
Pemeriksaan tekanan intraokular
dilakukan pada pasien yang
dicurigai memiliki perforasi kornea atau jika hasil pemeriksaan fluorescein negatif. Pada
pemeriksaan fundus pasien keratitis, umumnya tidak ditemukan adanya kelainan pada
bagian fundus mata.[3,16]
Alur Diagnosis Keratitis
Pada pasien dengan keluhan nyeri pada mata, lakukan pemeriksaan fluorescein.
1.Pemeriksaan Fluorescein
Jika hasil positif, perlu dibedakan antara abrasi kornea dan keratitis. Pada abrasi kornea,
akan didapatkan lesi linear atau memiliki bentuk geografis.
Jika hasil negatif, lakukan pemeriksaan tekanan intraokular.
2.Pemeriksaan Tekanan Intraokular
Jika terdapat peningkatan tekanan intraokular, maka pertimbangkan diagnosis glaukoma
sudut tertutup akut.
Jika tidak terdapat peningkatan tekanan intraokular, maka diagnosis dipertimbangkan
berdasarkan gejala yang dialami pasien.
Pertimbangan Diagnosis berdasarkan Gejala
Pertimbangan diagnosis berdasarkan gejala untuk keluhan nyeri mata adalah sebagai
berikut:
 Visus turun (+), fotofobia (+): uveitis anterior atau keratitis
 Visus turun (+), fotofobia (-), mata hiperemis (+): skleritis
 Visus turun (+), fotofobia (-), mata hiperemis (-): neuritis optik
 Visus turun (-), mata hiperemis (+): konjungtivitis
 Visus turun (-), mata hiperemis (-), fotofobia (+): uveitis anterior atau keratitis
 Visus turun (-), mata hiperemis (-), fotobia (-): dry eye syndrome
Pada pasien yang dicurigai mengalami uveitis anterior atau keratitis, rujuk pasien ke
spesialis untuk pemeriksaan lanjutan menggunakan slit lamp dan penanganan penyakit.[17]
Pemeriksaan Slit Lamp
Pemeriksaan spesialistik ini
dilakukan pada mata yang sakit dan
juga mata sehat. Bagian kornea
mata pasien dapat diperiksa secara
langsung dengan menggunakan
mikroskop slit-lamp. Pewarnaan
dengan fluorescein dye dapat
diteteskan pada kornea pasien
untuk mendeteksi adanya bagian
epitelium kornea yang hilang. Hasil
positif pada pewarnaan kornea ini
ditandai dengan warna kehijauan
dalam cahaya biru. Lesi kornea
kemudian harus dideskripsikan
bentuk dan lokasinya.

Bagian bilik mata depan pasien juga dapat dinilai menggunakan mikroskop slit-lamp. Pada
pasien keratitis, bagian bilik mata depan umumnya dapat terlihat adanya sel, flare, atau
hipopion. Pemeriksaan tes Seidel juga dapat dilakukan apabila dicurigai kebocoran aqueous
humor akibat perforasi kornea. [3,16]
Diagnosis Banding
Keratitis merupakan salah satu penyakit mata yang dicirikan dengan mata merah. Beberapa
diagnosis banding dari keratitis di antaranya adalah sebagai berikut.
Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan juga merupakan salah satu penyakit mata merah yang sering
terjadi. Sama seperti keratitis, konjungtivitis juga sering kali disebabkan oleh adanya infeksi
akibat virus, bakteri, ataupun jamur. Selain itu, pada pasien konjungtivitis umumnya memiliki
beberapa gejala yang hampir sama dengan keratitis, yaitu pengeluaran sekret mata, rasa
benda asing pada mata, dan mata merah. Akan tetapi, umumnya pasien konjungtivitis tidak
disertai dengan rasa nyeri pada mata, fotofofobia, dan penurunan penglihatan. Selain itu,
umumnya injeksi konjungtiva pada konjungtivitis tersebar merata. Kornea pada konjungtivitis
juga tampak jernih, dengan pupil dan tekanan intraokuler yang dalam batas normal. [5,18]
Skleritis
Diagnosis banding yang lain dari keratitis adalah skleritis. Skleritis juga merupakan salah
satu penyakit mata merah dengan keluhan berupa nyeri hebat pada mata yang mungkin
disertai penurunan visus. Yang membedakan skleritis dengan keratitis adalah karena kornea
yang intak, tidak didapatkan keluhan silau. Selain itu pada skleritis juga tidak ditemukan
adanya discharge yang keluar dari mata. Seperti yang sudah disebutkan pula, pada
pemeriksaan tidak ditemukan adanya kelainan pada kornea, pupil, maupun tekanan
intraokuler. [5,18]
Uveitis Anterior
Uveitis anterior atau iridosiklitis merupakan salah satu penyebab mata merah yang lain
dengan keluhan menyerupai keratitis berupa nyeri pada mata, silau atau fotofobia, dan
penurunan visus. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
adanya discharge encer, dengan kornea yang mungkin buram sehingga menyerupai
keratitis. Yang menjadi pembeda dengan keratitis adalah pada uveitis anterior, pupil menjadi
terkonstriksi dan tidak berespons baik terhadap cahaya. Pupil juga dapat terlihat ireguler.
Sedangkan pada keratitis, biasanya pupil dan iris dalam batas normal. [5,18]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan pada pasien keratitis. Akan tetapi,
beberapa etiologi keratitis, terutama pada keratitis noninfeksi, dapat ditentukan melalui
pemeriksaan penunjang spesifik.
Scraping Kornea

Scraping kornea
merupakan tindakan
penggerusan pada bagian
pinggir ulkus kornea
menggunakan spatula
atau blade kemudian hasil
diletakkan pada agar
coklat, darah, dan
Sabaurad. Pewarnaan
Gram, Giemsa, dan acid-
fast kemudian digunakan
pada apusan di preparat.
Pemeriksaan ini dilakukan
apabila tanda dan gejala
pasien tidak membaik
dengan terapi empiris dan pada lesi dengan diameter > 2 mm. Hasil pemeriksaan ini dapat
membantu klinisi dalam menentukan diagnosis mikrobiologis dan terapi definitif pada pasien.
Selain itu, kultur dan sensitivitas bakteri pada antimikroba juga dapat dilakukan. [3,19]
Tes Laboratorium
Tes laboratorium dapat dilakukan pada pasien keratitis dengan gejala sistemik, seperti
demam, dan memiliki riwayat penyakit autoimun dan imunosupresi. Peningkatan leukosit
pada pasien keratitis dapat menunjukkan adanya infeksi sistemik pada pasien. Penemuan
seperti penurunan leukosit juga dapat menjadi tanda adanya gangguan imun pada pasien.
Pemeriksaan serologi human immunodeficiency virus (HIV) juga dapat dilakukan apabila
mikroorganisme yang ditemukan pada keratitis tidak umum, seperti mikrosporidosis.
Pemeriksaan spesifik lainnya, seperti IgM faktor rheumatoid, c-ANCA, p-ANCA, dan antibodi
sirkulasi, dapat dilakukan pada pasien dengan curiga keratitis akibat etiologi autoimun.

G.PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Prinsip pengobatan keratitis adalah mengeliminasi agen penyebab, mengobati penyebab
utama, mengurangi gejala, minimalisir terjadinya jaringan parut pada kornea, dan menjaga
fungsi mata dari perburukan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
antibiotik/antifungal/antivirus, imunosupresan, serta terapi suportif.
Pengobatan pada keratitis yang belum diketahui penyebabnya umumnya diterapi sebagai
keratitis infeksi terlebih dahulu. Apabila etiologi penyebab sudah diketahui maka terapi harus
spesifik sesuai penyakit penyebab.
Terapi Suportif
Terapi suportif diberikan untuk mengurangi gejala, namun tidak mengobati etiologi keratitis.
Terapi ini perlu diberikan oleh dokter umum pada fasilitas primer sebelum merujuk pasien ke
spesialis mata untuk penanganan lebih lanjut. Berikut ini merupakan terapi suportif yang
dapat diberikan:
Sikloplegik Topikal
Terapi sikloplegik topikal berfungsi dalam paralisis otot silier yang menyebabkan dilatasi
pupil. Pilihan tetes mata untuk terapi yang dapat diberikan adalah atropine 1%, homatropine
5%, atau siklopentolat 1%. Dosis yang dianjurkan adalah dua kali sehari. Terapi ini
disarankan diberikan pada pasien dengan adanya reaksi pada bilik mata depan dan gejala
fotofobia. Selain itu, pengobatan ini dapat mencegah terjadinya sinekia posterior, spasme
silier, dan menurunkan rasa nyeri pada mata.
Analgesik
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) topikal dapat digunakan untuk meredakan rasa nyeri
pada pasien keratitis. OAINS topikal yang umum digunakan adalah diclofenac 0,1% atau
ketorolac 0,4%. Sebaiknya OAINS topikal hanya digunakan tidak lebih dari dua hari karena
risiko toksisitas korneal.
Analgesik oral disarankan diberikan pada pasien keratitis dengan nyeri hebat. Pilihan
analgesik yang paling sering digunakan pada pasien keratitis adalah golongan obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Pilihan obat seperti ibuprofen 500 mg dapat diberikan
dengan dosis tiga-empat kali sehari.
Vitamin A
Suplemen vitamin A telah disarankan dalam pengobatan keratitis, terutama pada negara-
negara dengan prevalensi tinggi defisiensi vitamin A. Pemberian vitamin A oral dengan dosis
200.000 IU diikuti dengan dosis tambahan 200.000 IU keesokan harinya disarankan
pemberiannya. [4,5]
Pengguna Lensa Kontak
Pada pasien keratitis yang menggunakan lensa kontak, lepas lensa kontak pasien dan
pastikan pasien tidak menggunakan lensa kontak sampai diizinkan oleh dokter spesialis
mata yang menangani.
Antibiotik Empiris
Penanganan pasien keratitis umumnya diawali dengan pemberian terapi antibiotik empiris
secara topikal. Terapi antibiotik empiris yang diberikan bergantung pada risiko pasien. Untuk
itu perlu dilakukan stratifikasi risiko terlebih dahulu.
Stratifikasi Risiko untuk Keratitis
Stratifikasi risiko untuk keratitis adalah sebagai berikut:
 Risiko rendah: Tidak terdapat infiltrat perifer atau terdapat infiltrat perifer diameter <1
mm dan tanpa riwayat lensa kontak
 Risiko sedang: Terdapat infiltrat perifer 1-2 mm disertai defek epitelial, reaksi ringan
bilik mata anterior, dan discharge sedang
 Risiko tinggi: Terdapat infiltrat stroma > 2 mm, infiltrat sentral, reaksi bilik mata
anterior sedang hingga berat, dan discharge purulen
Pilihan Antibiotik Empiris Berdasarkan Risiko
Terapi antibiotik empiris untuk keratitis diberikan selama 4-10 hari. Jika tidak membaik,
lakukan scraping kornea dan tangani keratitis berdasarkan hasil kultur dan uji sensitivitas.
Apabila sudah terjadi perbaikan tanda dan gejala maka turunkan frekuensi pemberian
secara perlahan karena sifat antibiotik yang toksik terhadap epitel kornea dan menghambat
penyembuhan.
Berikut ini merupakan pilihan antibiotik empiris yang dapat diberikan berdasarkan risikonya:
 Pasien risiko rendah: berikan antibiotik topikal selain kuinolon. Terapi antibiotik
topikal dapat diberikan sebanyak 1 tetes pada mata sakit setiap 1-6 jam
 Pasien risiko sedang: Berikan kuinolon topikal, seperti levofloxacin 1,5%, ofloxacin
0,3%, moxifloxacin 0,5%, gatifloxacin 0,3%, dan besifloxacin dapat diberikan satu
tetes setiap 1-6 jam pada mata sakit
 Pasien risiko tinggi: Berikan kombinasi antibiotik topikal nonkuinolon dan kuinolon
Antibiotik topikal nonkuinolon yang disarankan adalah tobramycin fortified 14 mg/mL
diberikan 1 tetes setiap jam bergantian dengan cefazolin fortified 50 mg/mL 1 tetes setiap
jam.[4,5,20]
Antibiotik Definitif
Setelah hasil kultur dan sensitivitas dari scraping kornea sudah keluar, maka terapi antibiotik
empirik dapat diubah menjadi pilihan antibiotik yang sesuai dengan etiologi. Berikut ini
merupakan pilihan antibiotik sesuai mikroorganisme yang ditemukan:
Aminoglikosida
Terapi antibiotik topikal menggunakan aminoglikosida lebih disarankan pada mikroba Gram
negatif batang. Pilihan terapi, seperti gentamicin 0,3% dapat diberikan sebanyak 1-2 tetes
dengan maksimal 6 kali sehari. Gentamicin 0,3% salep mata juga dapat diberikan tiga
sampai empat kali sehari.
Sefalosporin
Golongan sefalosporin merupakan antibiotik spektrum luas dan sangat disarankan
penggunaannya pada infeksi spesies Haemophilus. Pilihan terapi, seperti seftazidim 50
mg/mL dan cefazoline dapat diberikan.
Chloramphenicol
Chloramphenicol topikal mata dapat diberikan pada infeksi yang berhubungan dengan H.
influenzae. Chloramphenicol 0,5% tetes mata dapat diberikan satu tetes setiap 2 jam per
hari. Chloramphenicol 1% sediaan salep mata dapat diberikan sebanyak tiga sampai empat
kali sehari.
Makrolida
Makrolida merupakan golongan antibiotik yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri
gram positif kokus. Pilihan terapi, seperti erithromycin 0,5% salep mata dapat diberikan
sebanyak tiga sampai empat kali sehari.
Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon disarankan penggunaannya pada bakteri gram-negatif aerob dan
beberapa bakteri gram-positif. Ciprofloxacin 0,3% atau ofloxacin 0,3% tetes mata dapat
diberikan dengan dosis sebagai berikut:
 6 jam pertama: 2 tetes setiap 15 menit
 Sisa hari pertama: 2 tetes setiap 30 menit
 Hari kedua: 2 tetes setiap 1 jam
 Hari 3-14: 2 tetes setiap 4 jam [4,5,21]
Keratitis Fungal
Antifungi diberikan pada keratitis yang disebabkan oleh jamur. Lini pertama antifungi yang
disarankan adalah natamycin 5% sebanyak 1 tetes setiap 1-2 jam. Pilihan terapi lainnya,
seperti amfoterisin B 1,5 mg/mL dan klotrimazol 1% juga dapat diberikan dengan dosis yang
sama. [20-22]
Keratitis Herpetik
Keratitis herpetik perlu diterapi menggunakan terapi antivirus. Terapi seperti trifluridine
oftalmik 1% tetes mata dan gansiklovir salep mata dapat diberikan selama 7 – 10 hari. Obat
oral seperti acyclovir dan valasiklovir juga dapat diberikan apabila tidak terdapat antivirus
sediaan tetes atau salep mata. [4,23,24]
Keratitis Acanthamoeba (Curigai pada Pengguna Lensa Kontak)
Terapi keratitis yang disebabkan oleh acanthamoeba cukup sulit dan membutuhkan jangka
waktu terapi yang panjang. Lini pertama pengobatan yaitu klorheksidin oftalmik 0,02% dapat
diberikan 1 tetes setiap 30 menit sampai 2 jam selama 2–3 minggu. Polihexametilen
biguanid oftalmik 0,02% merupakan pilihan alternatif dengan cara pemberian yang sama.
Pengobatan mungkin membutuhkan waktu selama lebih dari 6 bulan. [4,20]
Terapi Imunosupresan
Terapi imunosupresan dapat dipikirkan pada pasien keratitis dengan etiologi noninfektif atau
tidak membaik dengan terapi keratitis infeksi. Keratitis noninfektif umumnya diterapi
menggunakan imunosupresif sistemik. Berikan methylprednisolone intravena dengan dosis
1 gram IV dosis tunggal selama 30 menit. Imunosupresan lainnya, seperti prednisone,
methotrexate, azathiophrine, dan mikofenolat mofetil juga dapat diberikan.

CONTOH RESEP

dr.M.Luthfi Munadhil

SIP:696/DU-14/VI/2024

JL.KIRAB REMAJA NO.41 BUKITTINGGI

08126883613

Bukittinggi,31 januari 2020

R/ Sulfas Atropin eyedrops fls No I


S 3 dd gtt I o.d.s

R/Parasetamol 500 mg tab No X


S 3 dd tab I p.c

R/ Levofloxacin eyedrops fls No I


S 4 dd gtt I o.d.s

Pro : Abyan (31 th)

Alamat: Jati padang


EDUKASI PASIEN
Edukasi dan promosi kesehatan pada pasien keratitis penting untuk mencegah terjadinya
keratitis berulang, terutama pada pasien yang menggunakan lensa kontak. Anjurkan pasien
untuk menjaga kebersihan lensa kontak dan melepas lensa kontak saat hendak tidur.
Edukasi
Edukasi terkait lensa kontak lainnya adalah sebagai berikut:
 Cuci tangan sebelum menyentuh lensa kontak
 Tidak menggunakan lensa kontak disposable melebihi batas waktu penggunaannya,
misalnya lensa kontak harian harus diganti setiap hari, dan lensa kontak mingguan
diganti setiap minggu. Untuk lensa kontak dengan durasi pemakaian yang lama,
ganti lensa kontak setiap 3-6 bulan atau sesuai dengan petunjuk penggunaannya
 Jangan menggunakan lensa kontak saat terjadi keluhan pada mata
 Gunakan cairan lensa kontak untuk mencegah kontaminasi
 Menggunakan pengaman mata saat melakukan aktivitas berbahaya
 Apabila sedang terkena herpes, hindari sentuhan mata setelah memegang lesi pada
kulit
 Cuci tangan teratur [4,20]
Pasien juga harus diedukasi mengenai penyakit yang diderita, penyebab, serta pentingnya
pengobatan untuk mencegah gangguan penglihatan atau kebutaan. Edukasi juga harus
diberikan mengenai obat yang diberikan, khususnya obat yang tidak boleh diberikan secara
jangka panjang seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.
Promosi Kesehatan
Penyebaran informasi kepada masyarakat mengenai cara penggunaan dan perawatan
lensa kontak yang benar dan cara cuci tangan yang baik dapat mencegah terjadinya
keratitis yang berhubungan dengan lensa kontak dan keratitis virus

H.PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI


Prognosis keratitis bergantung pada beberapa faktor, seperti virulensi organisme etiologi
dan tingkat keparahan penyakit. Sekitar 24% pasien keratitis mengalami komplikasi yang
dapat membahayakan penglihatan pasien, seperti perforasi, endoftalmitis, dan atrofi. [3,21]
Komplikasi
Keratitis dapat mengakibatkan berbagai komplikasi serius bila tidak ditangani dengan baik.
Komplikasi umumnya berhubungan dengan keterlibatan kornea sebagai media refraksi serta
peradangan pada organ mata secara umum. Beberapa komplikasi dari keratitis ini di
antaranya adalah sebagai berikut
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan
Selain pembentukan jaringan sikatriks yang mengakibatkan perubahan pada kelengkungan
pada kornea, cedera pada kornea dapat mengakibatkan ulkus. Ulkus kornea dapat
mengakibatkan kekeruhan pada kornea yang berakibat pada gangguan penglihatan
permanen, bahkan hingga kebutaan.
Endoftalmitis
Pada keratitis, terjadi luka pada kornea hingga perforasi yang dapat menjadi jalan masuk
bagi virus, bakteri, atau jamur. Hal ini berpotensi mengakibatkan infeksi mata yang lebih
luas, salah satunya yaitu endoftalmitis. Ini merupakan salah satu komplikasi yang paling
serius karena dapat mengakibatkan dibutuhkannya enukleasi bola mata.
Astigmatisme Ireguler
Adanya cedera pada kornea pada keratitis dapat berakibat terbentuknya jaringan sikatriks
dan terbentuknya pembuluh darah-pembuluh darah yang baru pada kornea. Hal ini akan
menyebabkan berubahnya kelengkungan kornea sebagai media refraksi yang berujung
pada gangguan refraksi berupa astigmatisme ireguler. [3,13]
Prognosis
Prognosis pasien ditentukan oleh jenis keratitis yang dialami, tingkat keparahan penyakit,
serta penanganan yang efektif. Keratitis yang tidak ditangani dengan baik dapat
menyebabkan gangguan penglihatan permanen hingga kebutaan. Studi di China
menunjukkan bahwa penyakit kornea merupakan penyebab utama kebutaan setelah katarak
dengan keratitis infeksi merupakan etiologi utama penyakit kornea

Anda mungkin juga menyukai