Anda di halaman 1dari 59

MODUL 1

SKENARIO 1: KASUS HARI INI SULIT SEKALI

Seorang dokter muda di FK UNAND pulang dari rumah sakit dengan letih sambil
berfikir kenapa hari ini kasusnya sulit sekali dan merasa kasihan kepada anak yang
menderitanya. Tadi pagi di poliklinik ada seorang anak rujukan dari pukesmas bernama Rudi
umur 8 tahun mogok sekolah karena diolok kawannya sebab ada perbedaan pada saluran
kencingnya. Setiap Rudi kencing celananya selalu basah oleh kencing sehingga berbau
pesing.
Rudi memang lahir dengan perbedaan pada kelaminnya. Saat itu bidan mengatakan
ada kelainan pada jenis kelamin Rudi yang selama ini jarang ia temukan. Namun bidan tidak
merujuk Rudi ke rumah sakit. Rudi diasuh sebagai anak laki-laki dan jenis kelamin pada akte
kelahirannya laki-laki.
Pada pemeriksaan didapatkan fisis generalis normal, pertumbuhan normal,
perkembangan normal, saat ini sekolah di kelas 3 SD dengan prestasi menengah. Pada
pemeriksaan urogenital terlihat adanya skrotum bifidum, disertai hipospadia phenoskrotal,
adanya pembukaan seperti introitus vagina dengan ukuran kecil. Teraba gonad kiri volume 2
ml dan gonad kanan tidak teraba. Ukuran phallus 2,5 cm disertai ada khordae.
Dokter menjelaskan kepada ibu Rudi bahwa saat ini belum bisa memastikan jenis
kelaminnya sebab terdapat gangguan diferensiasi genitalia antara lain mikropenis,
undencended testis dextra, khordae, hipospadia, skrotum bifidum. Butuh pemeriksaan
lanjutan seperti analisis kromosom (karyotyping) yang mungkin akan diikuti pemeriksaan
lain seperti gen SRY, hormonal, dan genitografi. Setelah semua pemeriksaan selesai,
penentuan jenis kelamin akan dibicarakan oleh tim Penyesuaian Jenis Kelamin yang terdiri
dari beberapa disiplin ilmu kedokteran yang berkompeten, psikolog, ahli agama, dan lainnya.
Banyak pertanyaan ibu Rudi yang juga menjadi pertanyaan besar bagi dokter muda
tersebut seperti apakah yang menyebabkan kelainan ini dan bagaimana kelainan ini terjadi.
Apakah anaknya akan jadi laki laki atau perempuan? Bagaimana dengan akte yang sudah
dibuat, bagaimana di sekolah nanti kalau ternyata dia perempuan, bagaimana kalau menikah,
apakah dia akan mempunyai anak dst.

Sebagai seorang dokter bagaimana anda bisa membantu menjawab tentang persoalan
kelainan pada Rudi ?
I. Terminologi
1. Skrotum Bifidum
Skrotum bifidum adalah adanya belahan tengah pada skrotum karena penyatuan
labia skrotal yang tidak berkembang sehingga terlihat seperti labia.

2. Hipospadia phenoskretal
Hipospadia phenoskrotal adalah suatu keadaan terbentuknya muara uretra
eksternal dinatara skrotum dan batang penis.

3. Introitus vagina
Pintu masuk atau lubang vagina yang menempati dua per tiga bagian bawah
vestibulum

4. Phallus
Penis/ Padanan penis/ Primordium penis atau klitoris yang berkembang dari
tuberkel genital.
Anatomi utama dari penis adalah korpus, glans dan preputium. Korpus terdiri dari
korpora kavernosa (jaringan rongga vaskular yang dibungkus oleh tunika albuginea)
dan di bagian inferior terdapat korpus spongiosum sepanjang uretra penis. Seluruh
struktur ini dibungkus oleh kulit, lapisan otot polos yang dikenal sebagai dartos, serta
lapisan elastik yang disebut Buck fascia yang memisahkan penis menjadi dorsal
(korpora kavernosa) dan ventral (korpus spongiosum).

5. Khordae
Suatu jaringan ikat berasal dari jaringan mesenkim yang seharusnya
berdiferensiasi menjadi korpus spongiosum, fasia buck dan fasia dartos. Karena
jaringan ikat tidak elastik, korde menyebabkan penis membengkok ke arah ventral
saat ereksi.

6. Genitografi
Genitografi adalah pemeriksaan secara radiografi yang menunjukan gambaran
anatomi traktus genitalia bagian dalam dengan menggunakan bahan kontras.

7. Undencended Testis Dextra


Testis undescended adalah malformasi genital yang paling umum pada anak laki-
laki dan harus diobati sebelum ulang tahun pertama anak tersebut. Jika terapi obat
(LHRH dan hCG) tidak efektif, orchidopexy harus segera dilakukan untuk
mengurangi risiko kerusakan lebih lanjut pada jaringan testis. Orang tua anak laki-laki
harus diberitahu bahwa memperbaiki kriptorkismus akan memfasilitasi pemeriksaan
testis di masa depan, namun tidak mengurangi risiko keganasan
Pengobatan kriptorkismus
Pengobatan kriptorkismus adalah hormonal, bedah, atau kombinasi keduanya.
Keberhasilan pengobatan tergantung pada posisi testis saat diagnosis. Penggunaan
human chorionic gonadotropin (hCG) merangsang sel Leydig dari testis untuk
menghasilkan testosteron. Gonadotropin releasing hormone (GnRH) merangsang
hipofisis untuk mengeluarkan hormon luteinizing (LH) yang pada gilirannya
merangsang sel Leydig dari testis untuk menghasilkan testosteron dan dengan
demikian memulai keturunan.
Orchidopexy adalah operasi standar untuk testis yang tidak turun (e11). Ini terutama
harus dilakukan untuk ektopik testis, hernia inguinal serentak, setelah operasi inguinal
sebelumnya, untuk kambuh, pada bayi yang lebih tua, atau setelah terapi hormon yang
tidak berhasil. Untuk testis yang tidak teraba, operasi terbuka / laparoskopi secara
bersamaan bersifat diagnostik dan terapeutik

8. Gen SRY
Perkembangan laki-laki pada mamalia-mamalia ini diprakarsai oleh ekspresi SRY
dan garis keturunan, satu gen yang terkandung di dalam wilayah penentuan jenis
kromosom Y . Sry mengkodekan faktor transkripsi arsitektural (TF) 2 yang ekspresi
di punggungan gonad embrio mengubah program perkembangan yang mengarah pada
pembentukan testis. Langkah awal kunci adalah aktivasi transkripsional Sry yang
diarahkan pada gen autosom gen Sox9 pada sel pra-Sertoli). Ekspresi Sox9 pada
gilirannya mengatur jaringan pengatur gen (GRN) yang membedakan antara program
testis dan ovarium gonadogenesis. Hormon yang disekresikan oleh testis janin, sekali
terbentuk, regresi langsung primordia betina (hormon penghambat Müllerian /
hormon anti-Müllerian; MIS / AMH) dan virilisasi eksternal (testosteron). Mutasi
klinis pada jalur ini, termasuk gen yang mengkodekan SRY, SOX9, MIS / AMH, dan
reseptor androgen, dikaitkan dengan kelainan diferensiasi seksual (DSD). Di sini, kita
telah mengeksploitasi mutasi terkait DSD pada SRY untuk membedah hubungan
fungsi-struktur utama dalam domain tanda tangan TF arsitektur.

9. Rujukan
Sistem rujukan adalah suatu sistem penyelenggaraan pelayanan yang
melaksanakan pelimpahan wewenang atau tanggung jawab timbal balik, terhadap
suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan, secara vertikal dalam arti dari unti yang
terkecil atau berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara
horisontal atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya.
Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan
dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau
ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan
pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan
Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi pelayanan
kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian terapi, yang
merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
Rujukan parsial dapat berupa:
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang c. Apabila pasien tersebut
adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas
kesehatan perujuk.

10. Puskesmas
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu
kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok ( Pedoman
Kerja Puskesmas, Depkes RI).

11. Fisis generalis


Pemeriksaan fisik umum adalah memberi penilaian terhadap tanda-tanda vital,
tinggi badan, berat badan, kebiasaan serta penampilan pasien secara umum.
Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai
status kesehatan pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama, untuk
mengidentifikasi status “normal” dan kemudian mengetahui adanya variasi dari
keadaan normal tersebut dengan
cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien, penapisan/skrining
keadaan wellbeing pasien, dan pemantauan masalah kesehatan/penyakit pasien saat
ini. Informasi ini menjadibagian dari catatan/rekam medis (medical record) pasien,
menjadi dasar data awal dari temuantemuanklinis yang kemudian selalu diperbarui
(updated) dan ditambahkan sepanjang waktu.

Metode Pemeriksaan
Terdapat empat teknik pengkajian yang secara universal diterima untuk
digunakanselama pemeriksaan fsik: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
1. Inspeksi
Langkah pertama pada pemeriksaan pasien adalah inspeksi, yaitu melihat
dan mengevaluasi pasien secara visual dan merupakan metode tertua yang
digunakan untuk mengkaji/menilai pasien. Secara formal, pemeriksa
menggunakan indera penglihatan berkonsentrasi untuk melihat pasien secara
seksama, persisten dan tanpa terburu-buru, sejak detik pertama bertemu,
dengancara memperoleh riwayat pasien dan, terutama, sepanjang pemeriksaan
fisik dilakukan. Inspeksijuga menggunakan indera pendengaran dan
penciuman untuk mengetahui lebih lanjut, lebih jelas dan memvalidasi apa
yang dilihat oleh mata dan dikaitkan dengan suara atau bau yang berasal dari
pasien. Pemeriksa kemudian akan mengumpulkan dan menggolongkan
informasi yang diterima oleh semua indera tersebut, baik disadari maupun
tidak disadari, dan membentuk opini, subyektif dan obyektif, mengenai pasien,
yang akan membantu dalam membuat keputusan diagnosis dan terapi.
2. Palpasi
Palpasi, yaitu menyentuh atau merasakan dengan tangan, adalah langkah
kedua pada pemeriksaan pasien dan digunakan untuk menambah data yang
telah diperoleh melalui inspeksi sebelumnya. Palpasi struktur individu,baik
pada permukaan maupun dalam rongga tubuh, terutama pada abdomen, akan
memberikan informasi mengenai posisi, ukuran, bentuk, konsistensi dan
mobilitas/gerakan komponen-komponen anatomi yang normal, dan apakah
terdapat abnormalitas misalnya pembesaran organ atau adanya massa yang
dapat teraba. Palpasi juga efektif untuk menilai menganai keadaan cairan pada
ruang tubuh..Untuk area mana saja yang dinilai, akan sangat bermanfaat jika
menggunakan palpasi dalam, medium atau ringan.
3. Perkusi
Perkusi, langkah ketiga pemeriksaan pasien adalah menepuk permukaan
tubuh secara ringan dan tajam, untuk menentukan posisi, ukuran dan densitas
struktur atau cairan atau udaradi bawahnya. Menepuk permukaan akan
menghasilkan gelombang suara yang berjalan sepanjang5-7 cm (2-3 inci) di
bawahnya. Pantulan suara akan berbeda-beda karakteristiknya tergantungsifat
struktur yang dilewati oleh suara itu.
4. Auskultasi
Auskultasi adalah ketrampilan untuk mendengar suara tubuh pada paru-
paru, jantung, pembuluh darah dan bagian dalam/viscera abdomen. Umumnya,
auskultasi adalah teknik terakhir yang digunakan pada suatu pemeriksaan.
Suara-suara penting yang terdengar saat auskultasi adalah suara gerakan udara
dalam paru-paru, terbentuk oleh thorax dan viscera abdomen, dan oleh aliran
darah yang melalui sistem kardiovaskular.

12. Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran, atau dimensi tingkat sel organ maupun individu yang bisa diukur dengan
berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik
Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran tubuh atau biomassa yang bersifat
irreversible ( tidak dapat kembali kek ukuran semula)
Pertumbuhan mencakup perubahan fisik yang terjadi sejak periode prenatal
sampai massa dewasa lanjut yang dapat berupa kemajuan atau kemunduran. Anak
berusia muda pertumbuhannya lebih cepat dibanding anak yang lebih tua, dan pada
waktu dewasa pertumbuhan tinggi badan terhenti. Memasuki usia lanjut, akan terjadi
penurunan tinggi badan yang diikuti penyusutan otot dan tulang.
Pertumbuhan dapat dinilai secara kuantitatif dengan indikasi antara lain, tinggi
tubuh, berat badan, ukuran tulang, dan gigi.
Faktor- faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan antara
lain :
 Faktor internal (alami)
Hereditas, menetapkan bawaan genetik seperti jenis kelamin, ras, rambut,
warna mata, pertumbuhan fisik, dan sikap tubuh. Tempramen, ditandai dengan
alam perasaan psikologis di mana anak dilahirkan, mempengaruhi interaksi
antarindividu dan lingkungan.
 Faktor eksternal
Keluarga, melalui nilai, kepercayaan, adat istiadat dan pola spesifik dari
interaksi dan komunikasi. Kelompok, teman sebaya, memberi pelajaran
lingkungan yang baru dan berbeda. Pengalaman hidup, membuat individu
berkembang. Kesehatan lingkungan, mempengaruhi respon individu terhadap
lingkungan. Kesehatan prenatal, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan dari fetal. Nutrisi, mempengaruhi kebutuhan fisiologis,
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.Istirahat, tidur, olahraga, hal
yang penting untuk memudakan tubuh. Status kesehatan, sakit atau luka
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan

Prinsip dari pertumbuhan yaitu urutan dari pertumbuhan dapat diprediksi,


meskipun baru pada tahap permulaan. Tahap pertumbuhan dan beberapa efek yang
timbul dari beberapa orang juga dapat diprediksi. Pertumbuhan berlangsung terus dari
kepala ke arah bawah dari bagian tubuh.

Tahap - tahap pertumbuhan:


 Masa bayi (1 bulan – 1 tahun)
Pada masa ini pertumbuhan fisik bayi berlangusng sangat cepat. Fungsi
fisik bayi yang baru lahir kebanyakan reflektif dan stabilisasi sistem organ
tubuh pertama adalah fungsi tubuh yang utama
 Pre-school (3 – 6 tahun)
Pada tahap ini pertumbuhan berlangsung sedikit lama. Pertumbuhan yang
terjadi pada tahap ini tidak terlalu signifikan. Perkembangan lebih berperan
aktif pada tahap ini.
 Masa remaja (12 – 20 tahun)
Pada tahap ini pertumbuhan mengalami percepatan sampai pada saat
pertumbuhan tinggi badan, ukuran tulang, dan gigi berhenti. Sedangkan
pertumbuhan berat badan masih dapat berubah. Pada tahap selanjutnya yang
terjadi adalah perkembangan tubuh.

13. Perkembangan
Merupakan suatu proses yang pasti di alami oleh setiap individu, perkembangan
ini adalah proses yang bersifat kualitatif dan berhubungan dengan kematangan
seorang individu yang ditinjau dari perubahan yang bersifat progresif serta sistematis
di dalam diri manusia

14. Pemeriksaan urogenital


Pemeriksan urogenital adalah pemeriksaan untuk menentukan adanya kelainan-
kelainan dari sistem urogenitalia yang terdiri dari sistem urinaria dan sistem genitalia,
dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan
mendengarkan (auskultasi).

15. Gangguan diferensiasi genital:


Virilisasi pada genetik perempuan atau undervirilisasi pada genetik lelaki.

16. Gonad
Kelenjar yang menghasilkan gamet; ovarium atau testis

17. Karyotyping
Karyotyping atau karyotype test adalah tes untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi ukuran, bentuk, dan jumlah kromosom dalam sampel sel tubuh.
Kromosom ekstra atau hilang, atau posisi abnormal dari potongan kromosom, dapat
menyebabkan masalah dengan pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi tubuh
seseorang.
Tes karyotipe dapat dilakukan dengan menggunakan hampir semua sel atau
jaringan dari tubuh. Tes kariotipe biasanya dilakukan pada sampel darah yang diambil
dari pembuluh darah. Untuk pengujian selama kehamilan, juga dapat dilakukan pada
sampel cairan amnion atau plasenta.

18. Hormonal
Hormon adalah pembawa pesan kimia yang diproduksi dalam struktur yang
disebut kelenjar endokrin. Hormon membantu mengontrol pertumbuhan, reproduksi,
dan banyak fungsi tubuh lainnya. Gangguan endokrin yang mengakibatkan
produksi hormon terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menyebabkan penyakit
serius.

II. Rumusan Masalah


1. Mengapa setiap Rudi kencing, celananya selalu basah?
2. Apa yang menyebabkan perbedaan kelamin saat Rudi lahir?
3. Apa kemungkinan yang terjadi kalau bidan tidak merujuk Rudi ke rumah sakit?
4. Bagaimana pengaruh pola asuh Rudi sebagai laki-laki dengan keadaan Rudi yang
sekarang dan kedepannya?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan urogenital pada Rudi?
6. Mengapa dapat terjadi gangguan diferensiasi genitalia dan bagaimana hubungannya
dengan gangguan atau kelainan yang tampak?
7. Mengapa perlu dilakukan analisis kromosom pada Rudi? Dan bagaimana proses
karyotyping?
8. Mengapa perlu dilakukan pemeriksaan gen SRY, hormonal, dan genitografi? Dan
bagaimana cara pemeriksaannya?
9. Mengapa diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk kasus ini?
10. Mengapa diperlukan penyesuaian jenis kelamin?
11. Bagaimana dampak jika ia mengubah jenis kelamin?
12. Bagaimana mekanisme kelainan rudi?

III. Hipotesis
1. Mengapa setiap Rudi kencing, celananya selalu basah?
Hipospadia
Hipospadia adalah kelainan kongenital saluran kemih yaitu muara uretra terletak
tidak pada ujung penis,namun lebih ke arah proksimal.
Pada hipospadia,kulit prepusium berlebih di dorsal dan minimal di ventral(hanya
terbentuk alur pada sisi ventral glans penis).
Pada keadaan hipospadia yang tipe proksimal dapat di jumpai skrotum bifidum
yang membentuk seperti labia yang nantinya meraguakn penampilan genitalia
eksternal (ambigus genitalia),sehingga di perlukan pemeriksaan analisis kromosom.
Selain itu hipospadia dapat disertai mikropenis,undencended testis,hernia
inguinalis.

2. Apa yang menyebabkan perbedaan kelamin saat Rudi lahir?


Penyebab perbedaan kelamin adalah multifaktorial seperti
a. Hipospadia
Penyebabnya:
 Faktor Genetik
Sekitar 28 % penderita hipospadia memiliki hubungan familial.
Terdapat predisposisi non-Mendelian pada hipospadia. Jika salah satu
saudara kandung mengalami hipospadia, risiko kejadian berulang pada
keluarga tersebut adalah 12%. Jika bapak dan anak laki-lakinya mengalami
hipospadia, risiko kejadian berulang pada anak laki-laki berikutnya adalah
25%.
 Faktor Hormonal
Proses diferensiasi uretra pada penis bergantung kepada androgen
dihidrotestosteron (DHT). DHT merupakan hasil konversi dari testosteron
oleh enzim 5-α reduktase. Gangguan pada sekresi testosteron, defisiensi
enzim 5-α reduktase, atau defek pada reseptor androgen (androgen
insensitivity syndrome) dapat menyebabkan hipospadia.
 Faktor Lingkungan / Eksternal
Salah satu faktor eksternal yang dapat mengakibatkan hipospadia
adalah paparan terhadap estrogen eksternal. Hal ini dapat terjadi pada ibu
hamil yang mendapatkan terapi estrogen. Selain itu,hipospadia juga dapat
diakibatkan oleh paparan zat kimia yang disebut dengan endocrine
disrupter chemicals (EDC). Zat ini dapat mengganggu atau mengubah
fungsi endokrin sehingga terjadi penghambatan kerja androgen, terutama
DHT. Salah satu contoh EDC adalah zat yang terdapat dalam pestisida
kimia, seperti diklorodifenil-trikloroetan (DDT). Zat ini dapat bereaksi
dengan estrogen atau reseptor androgen serta berperan sebagai senyawa
antagonis terhadap hormon endogen.

b. Undescendend testis
Penyebabnya :
 Idiopatik
Terutama pada neonatus yang lahir aterm dengan cryptorchidismtapi
tidak ditemukan adanya kelainan genitalia lainnya.
 Faktor Genetik/Herediter
Terdapat beberapa gen yang dihubungkan dengan insiden
cryptorchidism. Sekitar 4% ayah dan 6-10% saudara laki-laki pasien
cryptorchidism juga mengalami cryptorchidism.
 Faktor Hormonal
Proses penurunan testis sangat dipengaruhi oleh hormon gonadotropin
dan testosteron. Proses inidapat mengalami gangguan jika terjadi defek
dalam sekresi atau fungsi kedua hormon tersebut. Beberapa penyebab
defek tersebut antara lain:
- sekresi hCG yang tidak adekuat
- gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis-testis
(i) Kegagalan hipotalamus janin untuk merangsang sekresi
gonadotropin dari hipofisis pada trimester ketiga (Sindroma
Kallman, Prader-Willi, anensefali)
(ii) Kegagalan testis untuk mensekresikan androgen:
 Akibat defek intrinsik testis (disgenesis gonad). Disgenesis gonad dapat
membuat testis tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin, sehingga
tidak dapat menghasilkan testosteron, dan selanjutnya dapat mengganggu
proses penurunan testis.
 Akibat prematuritas. Tidak turunnya testis pada bayi prematur diduga
terjadi akibat tidak adekuatnya gonadotropin menstimulasi sekresi
testosteron pada masa fetus karena immaturitas dari sel Leydig.
- Tidak adanya atau berkurangnya fungsi dari reseptor androgen
(androgen insensitivity syndrome)
 Faktor Mekanik
- Gangguan pertumbuhan gubernakulum sehingga testis tidak turun
secara sempurna ke arah skrotum
- Adanya penyumbatan di kanalis atau anulus inguinalis
- Adanya fiber/serat yang menghambat turunnya testis

Gambar ambigus genitalia

Gambar undescended testis

3. Apa kemungkinan yang terjadi kalau bidan tidak merujuk Rudi ke rumah sakit?
Jika bidan tidak segera merujuk ke rumah sakit, maka gangguan diferensiasi
genitalia yang diderita Rudi akan semakin terlambat untuk mendapat penanganan
yang tepat .
Gender assignment (menentukan identitas kelamin) sebaiknya telah mampu
dilakukan pada masa neonatus. Semakin lama menunda penentuan jenis kelamin oleh
ahli yang berpengalaman, dapat menimbulkan risiko terjadinya penolakan terhadap
eksistensi anak yang diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh kembang anak
terutama pada perkembangan organ reproduksi selanjutnya.
Semakin lama penentuan jenis kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan
pemilihan terapi yang akan menentukan kapan dimulainya pemberian terapi
hormonal, jenis terapi hormonal yang dipilih serta lama pemberiannya, pemilihan
waktu yang tepat untuk pembedahan, hingga potensi seksualitas dan fertilitas di usia
dewasa yang mempengaruhi kualitas hidupnya.
Jika tidak cepat dirujuk ke RS pada :
 hipospadia phenoskrotal  Reparasi hipospadi dianjurkan pada usia pra
sekolah agar tidak mengganggu kegiatan belajar pada saat operasi, karena
seringkali rekonstruksi hipospadia membutuhkan lebih dari sekali operasi ,
koreksi ulangan jika terjadi komplikasi
 Undencended testis dextra testis didalam rongga abdomen mendapat suhu
yang lebih tinggi dari testis normal (1°C lebih tinggi daripada sushu di dalam
skrotum) hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis
kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi
mengecil
Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum 
mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma , dan lebih mudah mengalami
degenerasi maligna.

4. Bagaimana pengaruh pola asuh Rudi sebagai laki-laki dengan keadaan Rudi yang
sekarang dan kedepannya?
Karena Rudi mendapatkan pola asuh sebagai anak laki-laki , maka tentu ia akan
kesulitan beradaptasi dengan kondisi yang dihadapinya sekarang. Seperti saat Rudi
kencing celananya selalu basah , hal tersebut terjadi akibat hipospadia phenoskrotal
dan juga terdapat khordae yang menyebabkan jika Rudi kencing dalam posisi berdiri,
tentu arah aliran kencingnya akan kebawah dan hal tersebut yang menyebabkan
celananya basah. Dalam hal ini, Rudi perlu memulai adaptasi terhadap kondisi yang
dihadapi.
Semakin besar usia anak  semakin tinggi kejadian gangguan psikososial pada
anak tersebut. Sebelum usia dua tahun anak biasanya belum terlalu mengerti
kondisinya sehingga hampir tidak terpengaruh secara mental, tapi jika menentuakan
jenis kelamin baru dilakukan pada usia anak-anak ( >2 tahun) Rudi usia 8 tahun,
evaluasi psikososial sangat penting, karena sudah terjadi perkembangan perilaku
berdasarkan jenis kelamin sebelumnya. Upaya untuk mengubah prilaku berdasarkan
jenis kelamin yang baru, sulit dilakukan bila pemberian informasi dan konseling tidak
dilakukan secara mendalam dan rutin terhadap pihak orangtua ataupun terhadap anak
tersebut
Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan
membentuk support groups. Adanya support groups membantu menimbulkan rasa
kepercayaan diri, saling membantu antar sesama dan meningkatkan kualitas hidup,
serta mampu menimbulkan rasa dukungan dari pihak keluarga.

5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan urogenital pada Rudi?


Interpretasi dari pemeriksaan urogenital yaitu adanya skrotum bifidum disertai
hipospadia phenoskrotal, adanya pembukaan seperti introitus vagina dengan ukuran
kecil. Teraba gonad kiri dengan volume 2 ml dan gonad kanan tidak teraba. Ukuran
phallus 2,5 cm disertai ada khordae.
Adanya skrotum bifidum disertai dengan hipospadia phenoskrotal menyatakan
bahwa adanya kelainan dalam penutupan urethral groove oleh urethral fold sehingga
terbentuknya muara uretra bisa di salah satu titik di ventral penis dan adanya
penebalan skrotum karena skrotum bifidum tersebut dapat terlihat seperti labia
mayora pada kelamin wanita. Pada skenario, hipospadia terletak pada daerah
pertengahan antara skrotum dan penis yang disebut hipospadia phenoskrotal.

Terabanya gonad kiri dengan volume 2 ml bisa dibilang gonad dalam keadaan
normal karena menurut Warne GL, 1988 gonat usia <11 tahun memiliki volume
<2ml. Selain itu, berdasarkan standar ukur orchidometri, dalan usia anak-anak yang
belum pebertas normal volume gonad bisa berkisar antara 1-3 ml.

Gonad kanan tidak teraba menyatakan bahwa tidak adanya gonad kanan didalam
skrotum kanan. Hal ini terjadi karena tidak turunnya gonad ke dalam skrotum bisa
disebabkan karena kelainan dari hormonal atau kelainan organik pada jalur penurunan
testis.
Umumnya, penis anak yang baru lahir mncapai 2-4 cm, sedangkan pada umur satu
tahun bisa mencapai 3-5 cm. jika ukuran penis anak kurang dari 2,5 cm dai standar
deviasi maka penis anak tersebut mikropenis.
Adanya Khordae menyatakan adanya kegagalan jaringan mesenkim
berdiferensiasi menjadi korpus spongiosum, fascia buck, dan dartos.

6. Mengapa dapat terjadi gangguan diferensiasi genitalia dan bagaimana hubungannya


dengan gangguan atau kelainan yang tampak?
Gangguan diferensiasi genitalia yaitu karena adanya kelainan pada gen SRY di
lengan pendek kromosom Y. Protein produk dari gen ini adalah suatu faktor
transkripsi yang memicu jenjang gen-gen di hilir yang menentukan nasib organ
seksual rudimenter. Protein SRY adalah testis determining factor di bawah
pengaruhnya, terjadi perkembangan ke arah pria, jika tidak ada yangberkembang
adalah jenis kelamin wanita.

7. Mengapa perlu dilakukan analisis kromosom pada Rudi? Dan bagaimana proses
karyotyping?
Diferensiasi seksual dimulai dengan penentuan seksual, yang bergantung pada
kromosom seks, X dan Y. Penentuan seksual melibatkan spesifikasi gonad baik
sebagai testis atau ovarium. Jika embrio adalah XY, gen SRY (untuk wilayah
penentuan kelamin kromosom Y) akan hadir. Protein yang diproduksi oleh SRY
mengaktifkan jaringan gen yang mengarahkan gonad untuk berkembang sebagai
testis. Dengan tidak adanya kromosom Y dan SRY, gonad berkembang sebagai
ovarium.
Begitu gonad mulai berkembang sebagai testis, kedua sel pendukung di testis
berdiferensiasi dan mulai menghasilkan molekul peraturan penting yang mengarahkan
diferensiasi seksual. Sel Leydig memproduksi testosteron, yang mempromosikan
pengembangan duktus Wolffian. Saluran Wolffian kemudian berdiferensiasi menjadi
epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, dan saluran ejakulasi. Sel Sertoli
menghasilkan zat penghambat Müllerian (MIS, juga dikenal sebagai hormon Anti-
Müllerian, AMH), hormon peptida yang menyebabkan saluran Müllerian mengalami
kemunduran.
Female development proceeds when there is an absence of the SRY gene. No
testosterone or MIS is made. The Wolffian ducts regress, and the Müllerian ducts
persist, developing into the fallopian tubes, the uterus and the upper part of the
vagina.
Proses karyotyping
Penentuan testis manusia diprakarsai oleh SRY, faktor transkripsi arsitektur Y-
encoded. Mutasi pada SRY menyebabkan 46 XY gonadal dysgenesis dengan
phenotype somatik betina (sindrom Swyer) dan memberikan risiko tinggi keganasan
(gonadoblastoma). Mutasi tersebut berkelompok dalam kotak SRY high mobility
group (HMG), motif kekar DNA mengikat dan mengikat. Untuk mengeksplorasi
hubungan struktur-fungsi, kami membangun semua substitusi yang mungkin terjadi di
lokasi mutasi klinis (W70L). Penelitian kami berfokus pada residu aromatik inti
(posisi 15 dari kotak HMG konsensus) yang tidak sesuai antara faktor transkripsi
kotak HMG SRY (keluarga SOX) dan dilestarikan sebagai aromatik (Phe atau Tyr) di
antara kotak urutan khusus lainnya. Dalam sistem ragi satu hibrida yang sensitif
terhadap ikatan SRY-DNA tertentu, domain varian dipamerkan dikurangi (Phe dan
Tyr) atau aktivitas yang tidak ada (substitusi 17 yang tersisa). Varian nonpolar
representatif dengan aktivitas parsial atau tidak ada (Tyr, Phe, Leu, dan Ala dalam
rangka penurunan volume rantai samping) dipilih untuk studi in vitro dan dalam
kultur sel mamalia. Mutasi klinis (Leu) ditemukan secara nyata mengganggu beberapa
aktivitas biokimia dan seluler masing-masing melalui: (i) pengujian in vitro terhadap
pengikatan DNA dan kestabilan protein tertentu, dan (ii) uji degradasi proteaseom
berbasis kultur sel, Impor nuklir, peningkatkan hunian DNA, dan aktivasi transkripsi
SRY-dependent. Anehnya, bagaimanapun, pembungkusan DNA kuat untuk ini atau
substitusi Ala terkait yang sangat merusak stabilitas kotak. Bersama-sama, temuan
kami menunjukkan bahwa fungsi lipat, trafiking, dan regulasi gen SRY memerlukan
"buttress" aromatik di balik permukaan bending DNA spesifiknya.

Kariotipe adalah gambaran kromosom dalam suatu sel dengan berbagai struktur
dari masing-masing kromosom tersebut. Kariotipe bisa digunakan untuk
mengidentifikasi berbagai kelainan kromosom. Pada penyusunan ditemukan kariotipe
klinefelter dan kariotipe perempuan normal. Barr body dan drumstick merupakan sex
chromatin yang terbentuk akibat inaktivasi kromosom X. Dilakukan pengamatan
menggunakan preparat awetan dan ditemukan barr body dan drumstick pada nukleus.
Dalam setiap inti sel, molekul DNA dikemas dalam struktur sepeti benang yang
disebut kromosom. Setiap kromosom memiliki titik penyempitan yang disebut
sentromer. Sentromer membagi kromosom menjadi dua bagian atau disebut lengan.
Lengan pendek disebut lengan “P” dan lengan panjang disebut lengan “Q”. Lokasi
sentromer memberikan karakteristik pada masing-masing kromosom dan dapat
digunakan untuk menggambarkan lokasi gen tersebut (May dkk 2011:1). Macam-
macam kromosom berdasarkan letak sentromernya, pertama, metasentris, yaitu
kromosom yang memiliki sentromer di tengah, sehingga kromosom dibagi atas dua
lengan yang sama panjang. Kedua, submetasentris, yaitu kromosom yang memiliki
sentromer tidak di tengah, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang.
Ketiga, akrosentris, yaitu kromosom yang memiliki sentromer dekat dengan salah satu
ujungnya, sehingga kedua lengan tidak sama panjangnya. Keempat, telosentris, yaitu
kromosom yang memiliki sentromer di salah satu ujungnya sehingga kromosom tetap
lurus dan tidak terbagi atas dua lengan (suryo 1995: 60).
Kariotipe memperlihatkan berapa banyak kromosom yang terdapat pada sel
dengan beberapa rincian struktur kromosom tersebut. Para ilmuan hanya dapat
melihat rincian tersebut menggunakan pewarnaan khusus. Cara kerja untuk
memeriksa kromosom yaitu, pertama, memperoleh sampel sel. Hampir semua sel
yang membelah bisa digunakan, termasuk sel darah, sel kulit dan sel-sel dari akar
tanaman. Kedua, sel tersebut dibudidayakan, diberi nutrisi yang tepat untuk
pertumbuhan agar bisa aktif membelah. Ketiga, beberapa sel dikeluarkan dari
budidaya dan dilakukan pemberhentian mitosis pada tahap metafase. Selanjutnya
kromosom diberi pewarnaan dan dilakukan analisis mengenai jumlah dan kelainan
yang terjadi (Robinson 2005: 241).

8. Mengapa perlu dilakukan pemeriksaan gen SRY, hormonal, dan genitografi? Dan
bagaimana cara pemeriksaannya?
Gen SRY
Sex-determining region(SRY) merupakan gen yang berperan dalam
perkembangan karakteristikpria. Gen SRY berlokasi pada lengan pendek
(p)kromosom Y pada posisi 11.3. Terdiri dari satu eksonyang mengkode 204 asam
amino. SRY padakromosom Y menyebabkan embrio berkembangsebagai pria.
Deteksi rangkaian SRY akanmembedakan sampel DNA pria dari sampel DNAwanita.
Penelitian terbaru dalam aplikasi analisisSRY yaitu pemeriksaan menggunakan sel
epitelyang diekstraksi dari akrilik gigi tiruan sebagaisampel DNA untuk determinasi
jenis kelamin.Peneliti tersebut melaporkan bahwa sampel yangditeliti berhasil dalam
deteksi dan kuantifikasiDNA.
Berbagai metode yang dapat dilakukan untuk membantu proses identifikasi telah
banyak dikembangkan khususnya dalam usaha penentuan jenis kelamin baik untuk
orang hidup maupun pada korban jiwa. Gigi dan tulang adalah bagian tubuh yang
menggambarkan karakteristik jenis kelamin seseorang dan merupakan bagian tubuh
yang keras dan tahan lama, khususnya pada gigi yang juga tahan terhadap suhu yang
tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk menegakkan identifikasi individu.
Hal terpenting yang harus dilakukan sebelum melakukan identifikasi pada gigi
maupun pada tulang adalah menentukan terlebih dahulu apakah gigi dan tulang
tersebut berasal dari manusia atau hewan, karena beberapa bentuk dan ukuran gigi
dan tulang hewan mirip dengan bentuk dan ukuran gigi dan tulang manusia.
Pemeriksaan kromosom dilakukan dengan pemeriksaan sitogenetik konvensional
dilakukan dengan menggunakan limfosit darah perifer dengan prosedur sebagai
berikut: penanaman sel dengan meneteskan masing-masing 7 tetes buffycoat atau
sepuluh tetes darah heparin dalam 2 tabung 5ml berbeda (M199 dan TC199) yang
mengandung 10% FBS dan 10 µl PHA (0,02% PHA), kemudian diinkubasi selama 72
jam pada suhu 37 °C. Sel dipanen dengan pemberian colcemid, larutan KCL
hipotonik, difiksasi dengan larutan carnoys kemudian dicat dengan trypsine-
Gbanding dan dianalisis sebanyak 20 sel pada semua penderita ambigus genitalia
dalam periode penelitian (Faradz, 2002).
Pemeriksaan gen SRY dilakukan dengan cara menggandakan gen SRY
menggunakan 2 set primer yaitu forward primer gen SRY (GAA TAT TCC CGC
TCT CCG GA SRY (GCT GGT GCT CCA TTC TTG AG), Amplifikasi
menggunakan Gene Amp PCR System 9700 (Applied Biosystem, Foster City, USA).
Hasil amplifikasi kemudian divisualisasikan dengan agarose gel elektroforesis yang
mengandung ethidium bromide 2% dengan marker Hae III digest dengan besar
produk sebagai berikut: 1353bp, 1078bp, 872bp, 603bp, 310bp, 281bp, 271bp, 234bp,
194bp, 118bp, 72bp atau gel Polyacrylamide 10% dengan menggunakan marker
100bp, sedangkan untuk besar produk gen SRY yang dihasilkan 472 pasangan basa
dan kontrol internal adalah gen ZFY dengan 495 bp (Forster, 1985; Simoni et al.,
2004).
Hasil dari analisis gen SRY yang dilakukan pada penderita ambigus genitalia
disajikan pada Gambar 2. Pemeriksaan molekuler mendeteksi adanya gen SRY pada
semua pasien yang mempunyai kromosom Y pada hasil pemeriksaan sitogenetik,
namun pasien tanpa kromosom Y tidak ditemukan adanya gen SRY di dalamnya.

Hormonal
Terapi hormon adalah istilah yang digunakan untuk pemanfaatan hormon dalam
mengobati beberapa jenis penyakit. Jenis terapi yang paling umum adalah terapi
hormon onkologi untuk pasien kanker dan terapi penggantian hormon, yang
mengobati kondisi akibat kekurangan produksi atau kadar hormon yang tidak
mencukupi.
Hormon adalah molekul atau senyawa yang menyampaikan pesan kimiawi ke
berbagai bagian tubuh melalui aliran darah. Hormon diproduksi oleh beberapa
kelenjar dan bertanggung jawab dalam mengatur bermacam fungsi dan proses
fisiologis, termasuk pertumbuhan, metabolisme makanan, reproduksi, fungsi seksual,
dan suhu tubuh. Beberapa hormon yang paling umum adalah asam amino,
polipeptida, protein, eikosanoid, peptida, dan steroid.
Terapi hormon terdiri dari beberapa mekanisme tindakan yang disesuaikan dengan
kondisi yang hendak diobati. Sejumlah hormon akan dilepaskan untuk mencegah
hormon lain agar tidak terikat pada penerima, membatasi efek hormon terhadap
proses di dalam tubuh. Beberapa hormon menekan produksi hormon tertentu,
sedangkan jenis hormon yang lainnya mampu menyingkirkan atau memperbaiki
struktur penerima dan mencegahnya agar tidak merangsang hormon sasaran. Dalam
terapi hormon, tubuh menerima hormon dan menjaga agar fungsi fisiologis tidak
terganggu.
Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal
Turunnya testis dipengaruhi oleh aksis hipotalamus hipofise testis. Oleh karena
itu, digunakan terapi hormonal HCG dan LHRH untuk pengobatan kriptorkismus. Di
samping itu, terapi hormonal akan meningkatkan rugocity skrotum, ukuran testis, vas
deferens, memperbaiki suplai darah, diduga meningkatkan ukuran dan
panjang vesselspermaticcord, serta menimbulkan efek kontraksi otot polos
gubernakulum untuk membantu turunnya testis. Terapi hormonal sebaiknya diberikan
pada kriptorkismus yang palpable.
Bila kriptorkismus ini diobati sebelum usia 2 tahun maka fertilitas yang
didapatkan berkisar 87%,58 kalau tidak diobati setelah usia 3 tahun maka terjadi
penurunan jumlah sel germinal, spermatogonia, dan sel Leydig. Jika tidak diturunkan
sebelum pubertas, menyebabkan germinal hipoplasia dan mengakibatkan
hipospermatogenesis. Bila diturunkan sewaktu pubertas, 30% menjadikan
spermatogenesis yang akseptable. Sedangkan bila diturunkan setelah pubertas maka
hasilnya hanya 13,5%8. Dari laporan ini, terlihat bahwa pengobatan dini sangat
penting dalam penatalaksanaan kriptorkismus. Dianjurkan agar terapi hormonal
dimulai sebelum usia 2 tahun1, dan sebaiknya pada usia 10 bulan sampai 24 bulan23.
Di Bagian I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM, terapi dimulai setelah anak berusia di atas
9 bulan, karena setelah usia 9 bulan hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis
secara spontan.

Human ChorioGonadotropicHormone
HCG ini mempunyai cara kerja seperti LH merangsang sel leydig untuk
memproduksi testosteron yang kemudian secara sendiri atau melalui Dihidro-
testosteron (DHT) akan menginduksi turunnya testis.
Schapiro B. (1931) melaporkan keberhasilan terapi HCG terhadap kasus
kriptorkismus. Mosier H.D. (1984) menganjurkan untuk kasus kriptorkismusinguinal
bilateral, terapi HCG diberikan setelah anak berusia 4–5 tahun dengan dosis 1000-
4000 IU, diberikan 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri JM, Job JC,
Canlorbe, P, dan Chaussain JL (1982) melakukan penelitian terhadap 153 kasus
kriptorkismus dengan rentang usia 6–59 bulan, terdiri dari 109 unilateral dan 44
bilateral, diterapi dengan HCG dosis 500–1500 IU I.M sebanyak 9 kali dengan selang
sehari. Penelitian ini melaporkan kegagalan terapi pada kelompok usia kurang dari 3
tahun dan usia 3–4 tahun masing-masing 81% dan 55%. Tingginya persentase
kegagalan terapi didapatkan pada kasus-kasus dimana dosis HCG < 1000 IU/m2 dan
tingginya lokasi testis. Terapi HCG paling baik diberikan pada kriptorkismus bilateral
dengan lokasi testis dekat ke skrotum, tidak dianjurkan untuk kriptorkismus unilateral,
dan testis yang berlokasi di intra abdominal atau yang letak tinggi. Penulis lain
menganjurkan untuk kriptorkismus bilateral diberi HCG 3300 units intra muskuler
setiap selang sehari (3 X injeksi) dan untuk yang unilateral diberikan 500 units intra
muskuler, 3 kali seminggu selama 6,5 minggu (20 X injeksi).
Terapi hormonal HCG secara injeksi tidak dilakukan tiap hari. Hal ini untuk
mencegah desensitisasi sel leydig terhadap HCG yang dapat
menyebabkan steroidogenic refractorines dan dosisnya jangan terlalu tinggi karena
dapat menyebabkan refrakternya testis terhadap stimulasi HCG, edema interstisial
testis, gangguan tubulus, dan efek toksik pada testis.
Sebelum dan sesudah penyuntikan, diperiksa kadar testosteron untuk melihat
fungsi sel leydig dalam meningkatkan kadar testosteron plasma yang diperlukan untuk
proses penurunan testis. Jika tidak ada respons, penyuntikan dapat diulang 6 bulan
kemudian. Kontra indikasi pemakaian HCG adalah kriptorkismus dengan hernia,
pasca operasi hernia, orchiopexy, dan testis ektopik.

Luteinizing-Hormone-Releasing-Hormone
LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan maksud merangsang
hipotalamus untuk mengeluarkan LH dan FSH yang kemudian akan merangsang sel
Leydig untuk mengeluarkan testosteron yang berfungsi dalam proses penurunan testis.
LHRH dengan dosis 3 x 400 ug intra nasal selama 4 minggu, menurunkan testis
secara komplit berkisar 30–64% dari kasus dan desensus parsial antara 25–43% kasus.
LHRH intra nasal dengan dosis 1–1,2 mg/hari selama 4 minggu tidak menimbulkan
efek samping.
Job JC, Gendrel D, Safar A, etal tidak mendapatkan manfaat yang berarti pada
penggunaan LHRH untuk meningkatkan kadar LH terhadap kasus kriptorkismus pada
kelompok usia 4–11 bulan. Vliet GV, Caufriez A, Robyn C, Wolter R, meneliti 13
anak kriptorkismus unilateral (usia 1,8–8,5 tahun) dan 13 anak kriptorkismus bilateral
(usia 3–8,5 tahun) dimana tiap anak diberi LHRH (Hoechst, FRG 25 ug/m2) I.V bolus
1 kali. Ternyata, didapati peningkatan kadar FSH basal dan respons FSH terhadap
LHRH sama pada kriptorkismus unilateral dan bilateral. Pengobatan dengan LHRH
tidak dilakukan karena hasilnya kurang meyakinkan, tidak tersedianya obat-obat
tersebut, serta potensinya di bawah HCG.

Kombinasi LHRH dengan HCG


Terdapat hipotesis bahwa pemberian HCG dan atau LHRH dapat digunakan pada
anak dengan kriptorkismus. Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya relaps pada pengobatan dengan LHRH saja dan untuk kasus yang testisnya
di luar externalinguinal ring.
Waldschmidt J, EL Dessouky M, Friefer A (1987) memberikan LHRH sebanyak 3
kali sehari 400 µg secara intranasal selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian HCG intra muskuler sebanyak 5 kali dengan selang sehari. Dosis HCG
yang dipakai sesuai dengan anjuran WHO, yaitu 5 kali 250 µg (usia < 2 tahun), 5 kali
500 µg (usia 3–5 tahun), dan 5 kali 1000 µg (usia > 5 tahun). Didapatkan penurunan
testis sebanyak 86,4% sehingga penderita yang sangat memerlukan tindakan bedah
hanya 13,6%. Tetapi, setelah di-follow-up selama 2 tahun, sebagian penderita
mengalami relaps dan penurunan testis ini berkurang menjadi 70,6%63.

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan pada tahap selama pengobatan, pada akhir
pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan, dan 12 bulan kemudian.
Penurunan testis dikatakan komplit bila testis desensus ke dalam skrotum, dan
dikatakan parsial bila turunnya testis dari abdomen atau inguinal ring turun
ke inguinalmiddle atau lebih rendah.
Hasil penelitian kriptorkismus yang diberi terapi dengan HCG atau LHRH,
tergantung dari:
1. Posisi testis sebelum pengobatan. Terapi hormonal lebih berhasil pada
penderita dengan lokasi testis di inguinal dibandingkan dengan intra
abdominal.
2. Umur penderita saat pengobatan. Hasil terapi lebih baik pada anak-anak
dengan usia lebih besar dibanding anak usia lebih rendah.
3. Bilateral/Unilateral kriptorkismus. Terapi lebih berhasil pada penderita dengan
kriptorkismus bilateral. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih banyaknya
ditemukan penyebab kelainan anatomi pada kriptorkismus unilateral.
4. Kegagalan terapi hormonal disebabkan 80% kasus karena adanya kelainan
anatomis.

Efek Samping
Sebelum pengobatan dimulai, kemungkinan terjadinya efek samping ini dijelaskan
kepada orangtua. Semua efek samping ini bersifat reversibel. Efek samping
pengobatan HCG antara lain: Bertambahnya volume testis; pembesaran penis, ereksi,
meningkatnya rugocity skrotum, kadang-kadang pertumbuhan rambut pubis,
pigmentasi, serta gangguan emosi.
Sedangkan LHRH tidak memberikan efek samping yang berarti. Walaupun
banyak sekali “controledtrial”pemakaianhormonal pada undescended testis dengan
hasil yang bervariasi, terapi hormonal tetap merupakan pilihan utama pengobatan
sebelum dilakukan tindakan operasi.

Genitografi
Genitografi adalah pemeriksaan secara radiografi yang menunjukan gambaran
anatomi traktus genitalia bagian dalam. Pemeriksaan ini seperti hal nya pemeriksaan
urethrografi, cystografi, dan vaginografi hanya pada genitography dikerjakannya
lebih ke arah sistem genitalia. Sehingga dapat memberikan suatu informasi genitalia
yang tidak diketahui atau di ragukan jenis kelamin nya. Pada kasus Rudi, di dapatkan
ambiguous genitalia, maka diperlukan pemeriksaan genitografi untuk membantu
diagnosa serta tatalaksana.
Pemeriksaan genitography jauh lebih invasive dibandingkan dengan pemeriksaan
lain, karena pada pemeriksaan genitography, dimasukkan kateter. prosedurnya pasien
harus terlentang atau dalam posisi lateral.
Zat kontras yang digunakan adalah water-soluble non ionic contrast medium
9. Mengapa diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk kasus ini?
Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD membutuhkan peran dari tim
multidisiplin yang berpengalaman yang meliputi lingkup psikososial, medis dan
pembedahan serta disiplin ilmu subspesialis lainnya seperti ahli neonatalogi, pediatrik
endokrinologi, pediatrik urologi, endokrinologi ginekologi, ahli genetik, konselor,
psikiater atau ahli psikologi, perawat dan pekerja sosial.

Lingkup penanganan psikososial


Manajemen psikososial pada DSD diantaranya adalah dengan melakukan gender
assignment & reassignment. Gender assignment (menentukan identitas kelamin)
sebaiknya telah mampu dilakukan pada masa neonatus. Semakin lama menunda
penentuan jenis kelamin oleh ahli yang berpengalaman, dapat menimbulkan risiko
terjadinya penolakan terhadap eksistensi anak penderita DSD oleh kedua orangtua
yang diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh kembang anak terutama pada
perkembangan organ reproduksi selanjutnya.
Semakin lama penentuan jenis kelamin akan berpengaruh pula pada prognosis dan
pemilihan terapi yang akan menentukan kapan dimulainya pemberian terapi
hormonal, jenis terapi hormonal yang dipilih serta lama pemberiannya, pemilihan
waktu yang tepat untuk pembedahan, hingga potensi seksualitas dan fertilitas pada
DSD di usia dewasa yang mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penentuan jenis
kelamin masih sulit ditentukan, sebaiknya para ahli yang menangani rutin
memberikan penjelasan dan konseling terhadap pihak orangtua sehingga dapat
memulai adaptasi terhadap kondisi yang dihadapi.
Tidak memutup kemungkinan dalam penatalaksanaan DSD dilakukan gender
reassignment (menentukan kembali identitas kelamin). Saat ini, usia 18 bulan
dianggap sebagai batas atas dalam melakukan gender reassignment. Jika gender
reassignment baru dilakukan pada usia balita atau usia anak-anak, evaluasi
psikososial sangat penting, karena sudah terjadi perkembangan perilaku berdasarkan
jenis kelamin sebelumnya. Upaya untuk mengubah prilaku berdasarkan jenis kelamin
yang baru, sulit dilakukan bila pemberian informasi dan konseling tidak dilakukan
secara mendalam dan rutin terhadap pihak orangtua ataupun terhadap anak penderita
DSD sendiri.
Manajemen informasi kepada anak penderita DSD oleh konselor yang
terlatih,adalah termasuk dalam hal yang penting untuk dipahami. Seorang konselor
harus mampu menceritakan secara jujur tentang kondisi atau riwayat perjalanan
penyakit DSD kepada penyandang DSD bila ia sudah mampu memahami kondisi
kesehatan dirinya (umumnya dilakukan pada usia tamat sekolah menengah pertama).
Dengan melakukan manajemen informasi yang baik, diharapkan penyandang DSD
dapat menerima kondisinya saat ini, mampu menjalankan terapi yang
berkesinambungan, serta mendapat edukasi mengenai perkembangan pubertas,
seksualitas, dan kemungkinan potensi fertilitas di masa mendatang. Manajemen
informasi juga diberikan kepada pihak orangtua terkait dengan kondisi, prognosis, dan
pengetahuan orangtua tentang DSD.
Metode lain dalam lingkup psikososial yang dapat dilakukan adalah dengan
membentuk support groups. Terbukti dalam beberapa waktu belakangan ini, seiring
dengan perkembangan teknologi informasi, perkembangan support groups DSD
sangat membantu dalam penatalaksanaan DSD. Adanya support groups membantu
menimbulkan rasa kepercayaan diri, saling membantu antar sesama dan meningkatkan
kualitas hidup, serta mampu menimbulkan rasa dukungan dari pihak keluarga.

Lingkup penanganan medis


Penatalaksaan medis umumnya adalah meliputi pemberian terapi hormonal.
Pemberian terapi hormonal ini juga termasuk dalam upaya pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis DSD sesuai dengan klasifikasinya.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan analisa
kromosom dengan cara yang konvensional atau menggunakan teknikfluorescence in-
situ hybridization (FISH) dengan tujuan untuk melakukan analisis keberadaan
kromosom X dan Y.Pemeriksaan lain seperti ultrasonografi abdomen dan pelvis,
pengukuran hormon 17-OH-progesteron, testosteron, gonadotropin, AMH, elektrolit
dan urinalisis juga sering dibutuhkan untuk dapat menentukan jenis DSD.
Selain itu terdapat pula suatu uji dinamik yang bertujuan untuk menguji fungsi
testis untuk memproduksi hormon androgen. Pemeriksaan tersebut disebut sebagai uji
hCG. Namun protokol pemeriksaan dosis, frekuensi dan kapan saat yang tepat
dimulai pemeriksan masih diperdebatkan. Protokol yang sering digunakan yaitu,
dengan menggunakan hCG 1500 unit selama 3 hari dan sampel pasca injeksi diambil
setelah 24 jam dari suntikan terakhir, serta saat yang tepat dilakukan adalah setelah
melewati masa neonatus (usia lebih dari 4 minggu karena terkait dengan peningkatan
aktivitas sel Leydig).
Bentuk uji dinamik lainnya adalah dengan melakukan uji stimulasi
adrenocorticotropic hormone (ACTH) untuk mengetahui ada tidaknya defek di
kelenjar gonad. Selain itu untuk memastikan adanya kelainan pada kelenjar adrenal
pemeriksaan analisis steroid pada urin juga dapat dilakukan.
Pemberian terapi hormon pada DSD didasari atas kebutuhan hormon seks untuk
menginisiasi maturasi pubertas. Terapi hormonal ini dapat dilakukan saat usia
penyandang DSD memasuki usia pubertas dimana lingkungan pergaulannya juga
memasuki masa tersebut. Jika terlalu lama menunda pemberian terapi hormon dapat
menimbulkan keterlambatan perkembangan genitalia, fungsi reproduksi dan fungsi
seksual serta mempengaruhi kualitas hidupnya di masa mendatang.

Lingkup penanganan pembedahan


Berdasarkan guidelines American Academy of Pediatrics, lingkup pembedahan
sudah termsuk dalam pemilihan terapi DSD. Terapi pembedahan berupa genitoplasty
dapat dilakukan jika diagnosis DSD sudah ditegakkan dengan pasti dan hasil keluaran
pasca operasi bermanfaat dalam penentuan jenis kelamin di usia dewasa.
Genitoplastyadalah merupakan jenis terapi yang bersifat irreversibel seperti
dilakukannya kastrasi dan reduksi phallus pada DSD yang akan menjadi wanita dan
reseksi utero-vagina pada DSD yang akan menjadi pria. Terkadang DSD yang tidak
terdiagnosis pada masa infan dan baru diketahui saat memasuki masa pubertas, seperti
pada kasus anak perempuan dengan CAH dan dibesarkan sebagai anak lelaki atau
pada kasus anak lelaki dengan defisiensi 17β-hydroxysteroid dehydrogenase dan 5α-
reductase dibesarkan sebagai anak perempuan. Kondisi tersebut menimbulkan
tekanan mental pada orangtua dan penyandang DSD, namun pemilihan terapi
pembedahan tidak boleh langsung dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan
endokrin dan pendekatan terapi psikososial. Seluruh jenis tindakan pembedahan yang
akan dilakukan harus dipertimbangkan secara hati-hati, dengan selalu mengutamakan
kepentingan pasien di atas segala-galanya.
Hingga saat ini penentuan usia yang tepat untuk menentukan kapan sebaiknya
tindakan operasi dilakukan masih diperdebatkan. Berdasarkan aspek psikososial,
tindakan operasi yang dilakukan pada masa infan lebih disukai, karena lebih mudah
dilakukan dan riwayat trauma operasi dapat dihilangkan jika dibandingkan dengan
melakukan tindakan pembedahan pada anak saat mulai memasuki usia dewasa.
Namun pendapat lain menyatakan bahwa tindakan operasi DSD sebaiknya menunggu
sampai usia yang cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya dilakukan
informed consent langsung kepada penyandang DSD, mengingat yang dilakukan
berhubungan dengan fungsi seksualitas.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan penting diketahui bagi pihak orangtua
dan penyandang DSD mengenai untung-ruginya tindakan pembedahan serta hasil
akhir yang akan didapat.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah mengembalikan fungsi organ genitalia
dibandingkan fungsi estetiknya. Tujuan lainnya adalah menentukan jenis kelamin
yang tepat, membantu pembentukan image tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya,
menghindari stigma sosial, dan terakhir berkaitan dengan fungsi seksualiats dalam
berhubungan seksual.
Jika tindakan pembedahan sudah ditetapkan, setelah menjalankan operasi
penatalaksaan lainnya yaitu aspek psikososial dan medis harus tetap dijalankan secara
teratur. Karena rangkaian penatalaksanaan antara ketiganya saling mendukung satu
sama lain. Terapi pembedahan gonad saat ini juga dinilai penting, terutama pada
kasus 46XY DSD, di mana umumnya testis masih tetap berada di dalam rongga
abdomen. Kemungkinan adanya diferensiasi gonad ke arah keganasan membuat terapi
pengangkatan gonad dibutuhkan. Pemeriksaan biopsi gonad kadang juga diperlukan
untuk membuktikan adanya kelainan disgenesis gonad atau adanya kondisi ovotestis.

10. Mengapa diperlukan penyesuaian jenis kelamin?


Dengan Keputusan Men Kes RI No. 191/MENKES/SK/III/1989 tentang
penunjukan rumah sakit dan tim ahli sebagai tempat dan pelaksanaan operasi
penyesuaian kelamin maka pada tanggal 12 juni 1989 dibentuk Tim Pelaksana
Operasi Penggantian Kelamin yang terdiri dari ahli bedah urologi, bedah plastik, ahli
penyakit kandungan dan ginekologi, anestesiologi, ahli endokrinologi anak dan
dewasa (internist), ahli genetika, andrologi, psikiater/psikolog; ahli patologi, ahli
hukum, pemuka agama dan petugas sosial medik. Sejak tahun 2003 ada perubahan
kebijakan dan nama tim yaitu dengan nama baru Tim Penyesuaian Kelamin yang
hanya melakukan operasi penyesuaian kelamin untuk penderita interseksual (tidak
pada penderita transeksual) yang membutuhkan penentuan jenis kelamin, perbaikan
alat genital dan pengobatan. Semua kasus yang datang akan didata, diperiksa
laboratorium rutin, analisis kromosom dan DNA, pemeriksaan hormonal dan test-test
lain yang dianggap perlu seperti USG , foto ronsen dll. Kegiatan tim ini adalah
melaksanakan pertemuan rutin secara multidisipliner antara seluruh anggota tim
dengan penderita (yang telah selesai dengan pemeriksaan penunjang untuk
penegakkan diagnosis) untuk mendiskusikan penatalaksanaan, tindakan dan
pengobatan yang akan dilakukan termasuk pemberian konseling.

11. Bagaimana dampak dari kelainan yang dialami Rudi?


Hipospadia
Hipospadia mengakibatkan pada saat kencing, air kemih menetes rendah ke
bawah, dan juga pada masa pubertas dapat mempengaruhi ereksi pasien. Dikarenakan,
pada hipospadia, daerah tempat tidak terbentuknya uretra, terbentuk korde, yaitu suatu
jaringan ikat yang berasal dari mesenkim yang seharusnya berdiferensiasi menjadi
korpus spongiosum, fascia buck, dan fasia dartos. Karena jaringan tidak elastik, korde
menyebabkan penis membengkok ke arah ventral saat ereksi. Dan juga, pada pasien
yang sudah berkeluarga, ini akan mempengaruhi dari kesuburan untuk mendapatkan
keturunan. Jika dari segi sosial, maka pasien hipospadia cenderung minder kepada
orang sekitar dikarenakan alat kelamin nya yang berbeda dari orang normal pada
umumnya.
Pada hipospadia tipe proksimal, dapat dijumpai skrotum bifida, mikropenis,
dimana penisnya berukuran lebih kecil dari seusianya, dan pada kasus yang lebih
berat, penampilan genitalia eksterna dapat meragukan sehingga untuk pemeriksaan
kromatin seks.

Testis maldensensus
Suhu di dalam abdomen 1C lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum, sehingga
testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis normal,
hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis. Pada usia 2 tahun,
sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami kerusakan,
sedangkan pada usia 3 tahun, hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal.
Kerusakan makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil.
Karena sel-sel leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak ikut rusak, maka
potensi seksual tidak mengalami gangguan.
Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah
mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami
degenerasi maligna.
Kelainan genitalia kongenital, sering menyebabkan kebingungan untuk
menentukan apakah pasien ini laki-laki atau wanita. Sehingga, seringkali pola asuh,
akte kelahiran, dan pergaulan, serta lingkungan sosial turut serta memberi pengaruh
dalam pembentukan pribadi pasien. Oleh karena itulah, pada saat telah dilakukan
pemeriksaan secara menyeluruh, maka penyesuaian jenis kelamin pasien dilakukan
oleh suatu tim yang terdiri dari beberapa disiplin ilmu kedokteran.

12. Bagaimana mekanisme penanganan pada Rudi?


Dari penjelasan sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa Rudi mengalami
Disorder of Sex Development karena mempunyai gangguan perkembangan seks
dimulai dari tingkat kromosom, gonad maupun anatomi.

Klasifikasi dan Etiologi


1. Gangguan pada gonad dan atau kromosom.
Yang termasuk dalamn klasifikasi ini antara lain hermafrodit sejati, disgenesis
gonad campuran, disgenesis gonad yang berhubungan dengan kromosom Y, dan
testes rudimenter atau sindrom anorkia.
 Hermafrodit sejati.
Pada hermafrodit sejati, jaringan ovarium dan testes dapat ditemukan sebagai
pasangan yang terpisah atau kombinasi keduanya di dalam gonad yang sama
dan disebut sebagai ovotestis.
 Disgenesis gonad campuran.
Pada disgenesis gonad campuran ini biasanya ditemukan testes unilateral dan
fungsional abnormal.
 Disgeriesis gonad dengan translokasi kromosom Y.
Pada kelainan ini ditemukan disgenesis gonad, namun dari hasil pemeriksaan
analisis kromosom menunjukkan adanya translokasi kromosom Y.
 Testes rudimenter atau sindrom anorkia.
Ditemukan pada lelaki 46 XY dengan diferensiasi seksual normal sejak
minggu ke-8 s/d 13, tetapi kemudian testes menjadi sangat kecil atau anorkia
komplit. Struktur saluran interna adalah lelaki. Terjadi kegagalan pada proses
virilisasi.

2. Maskulinisasi dengan genetik perempuan (Female pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XX, ovarium tidak ambiguous
dan tidak ditemukan komponen testis di gonad, sehingga struktur saluran Muller
tidak mengalami regressi. Terjadinya maskulinisasi akibat terdapatnya androgen
dalarn jumlah berlebihan dari sumber endogen atau eksogen, yang merangsang
janin perempuan terutama sebelum minggu ke-12 masa kehamilan, sehingga
genitalia eksterna mengalami virilisasi.
Sebab-sebab paling umum dari kelainan ini adalah Congenital adrenal
hyperplasia (CAH) yang menyebabkan kekurangan/ ketidakhadiran ensim 21α-
hidroksilase, 11β-hidroksilase dan 3β-hidroksilase dehidrogenase.
Congenital adrenal hyperplasia (CAH) merupakan penyebab terbesar kasus
interseksual dan kelainan ini diturunkan lewat ayah dan ibu yang sebagai
pembawa separo sifat menurun dan penderitanya bisa laki-laki dan perempuan
yang mendapatkan kedua paroan gen abnormal tersebut dari kedua orang tuanya.
Penyakit ini digolongkan menjadi tipe yang klasik dan non klasik. Tipe yang
klasik ini bisa menunjukkan gejala kehilangan garam tubuh (natrium) sampai
terjadi syok, sehingga sering meninggal pada bulan pertama setelah lahir, sebelum
diagnosis bisa ditegakkan. Sedang yang tidak menununjukan gejala kekurangan
garam bisa bertahan hidup yaitu pada wanita disertai gejala maskulinisasi dan
pada laki-laki dengan gejala pubertas dini tanpa disertai gejala keraguan alat
kelamin sehingga laki-laki sering tidak datang berobat. Pada pengalaman di klinik
kenyataanya hampir tidak pernah tertangkap penderita laki-laki. Penderita
perempuan menunjukkan gejala pembesaran kelentit (klitoris) yang mirip penis
sejak lahir atau pada yang lebih ringan akan muncul setelah lahir. Anak-anak
penderita CAH akan tumbuh cepat tapi kemudian pertumbuhan akan berhenti
lebih awal, sehingga pada keadaan dewasa mereka akan lebih pendek dari ukuran
tinggi badan normal. Pada tipe yang non klasik gejala muncul setelah 5-6
tahun dengan maskulinisasi yang lebih ringan, pembesaran klitoris akan muncul
belakangan.
Maskulinisasi pada penderita CAH dengan genetik wanita hanya mungkin
terjadi akibat adanya hormon androgen ekstragonad (dari luar gonad) yang dapat
berasal dari endogen mau pun eksogen, karena pada penderita ini tidak ditemukan
testis yang merupakan penghasil utama hormon androgen. Manifestasi klinik dari
hormon androgen yang berlebihan ini terbatas pada alat genital bagian luar dan
derajat berat-ringannya kelainan tergantung pada tahap pertumbuhan seksual saat
terjadinya paparan hormon androgen tersebut. Pada penderita kelainan ini tidak
akan ditemukan organ laki-laki bagian dalam. Pada keadaan ringan sering
munculnya pembesaran kelentit (menjadi seperti penis) pada wanita setelah lahir,
sehingga masyarakat menganggap alat kelaminnya berubah dari wanita menjadi
laki-laki. Penyakit ini bisa diobati, untuk menghindari gejala yang lebih berat
pengobatan harus dilakukan sedini mungkin dan seumur hidup. Penapisan pada
bayi baru lahir seharusnya dilakukan di Indonesia karena prevalensi penyakit ini
cukup tinggi.
Paparan hormon androgen eksogen bisa disebabkan bahan hormonal yang
bersifat androgenik yang dikonsumsi ibu saat mengandung janin wanita, misalnya
preparat hormonal yang mengandung progestogen, testosteron atau danazol. Berat
ringannya kelainan alat genital janin tergantung dari usia kehamilan, potensi, dosis
serta lama pemakaian obat. Paparan hormon androgen dan progestogen saat usia
kehamilan 6-10 minggu dapat berakibat perlekatan pada bagian belakang vagina,
skrotalisasi labia dan pembesaran klitoris. Kelainan organ genitalia yang
disebabkan oleh paparan hormon androgen eksogen mempunyai ciri khas yaitu
proses maskulinisasi tidak berjalan progresif dan tidak didapatkan kelainan
biokimiawi. Yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain Hiperplasia Adrenal
Kongenital, Androgen berlebihan bersumber dari Ibu atau obat-obatan yang
diperoleh Ibu semasa kehamilan, dan Defisiensi Aromatase.

3. Maskulinisasi tak lengkap pada genetik lelaki (Male pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XY dan mempunyai testes.
Maskulinisasi tak lengkap disebabkan oleh adanya gangguan sintesis atau sekresi
testosteron janin, atau gangguan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron,
kekurangan atau kerusakan aktivitas reseptor androgen atau kerusakan produksi
dan aksi lokal dari Mullerian inhibiting factor.
Ada beberapa jenis cacat hormon laki-laki yang menimbulkan gejala
hermaprodit semu laki-laki antara lain: yang paling sering adalah Sindrom
Resistensi Androgen atau Androgen Insensitivity Syndrome (AIS) atau Testicular
Feminization Syndrome.
Penyakit ini merupakan penampilan hermaprodit semu laki-laki yang paling
sering dijumpai di klinik. AIS merupakan kelompok kelainan yang sangat
heterogen yang disebabkan tidak atau kurang tanggapnya reseptor androgen atau
sel target terhadap rangsangan hormon testosteron. AIS diturunkan melalui jalur
perempuan (ibu), perempuan adalah pembawa sifat yang menurunkan, penderita
hanya pada laki-laki. Kejadian AIS dalam satu keluarga adalah hal yang sering
dijumpai tetapi ternyata 1/3 kasus AIS tidak mempunyai riwayat keluarga yang
positif. AIS dapat terjadi dalam bentuk complete Androgen Insensitivity
Syndrome (CAIS) atau incomplete/partial Androgen Insensitivity
Syndrome(PAIS).
Penderita PAIS adalah laki-laki dengan kelainan alat kelamin luar yang sangat
bervariasi, kadang-kadang bahkan terdapat pada beberapa pria normal yang tidak
subur. Penderita PAIS mempunyai penis yang kecil yang tampak seperti
pembesaran clítoris, disertai dengan hipospadia berat (jalan kencing bocor
ditengah tidak melewati penis) yang membelah skrotum sehingga tampak seperti
lubang vagina. Skrotum kadang tidak menggantung dengan testis umumnya
berukuran normal dan terletak pada abdomen, selakangan atau sudah turun
kedalam skrotum. Pada usia dewasa sering tumbuh payudara dan keluarnya jakun,
walaupun tidak disertai perubahan suara
Pada CAIS, penderita dengan penampilan seperti perempuan normal, dengan
alat kelamin luar seperti wanita, mempunyai vagina yang lebih pendek dari
normal,dan payudara akan tumbuh mulai masa prepubetas dengan hasil
pemeriksaan kromosom menunjukkan 46,XY (sesuai kromosom pada laki-laki)
dan kadar hormon testosteron normal atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan
fisik dan USG akan teraba atau tampak 2 testis yang umumnya tidak berkembang
dan terletak dalam rongga perut atau selakangan, tanpa struktur alat genital dalam
wanita. Individu dengan CAIS sering menunjukkan gejala seperti hernia inguinalis
(hernia pada selakangan), oleh karena itu pada anak perempuan prapubertas yang
mengalami hernia inguinalis (benjolan pada selakangan) dan gejala tidak
menstruasi sejak lahir, perlu pemeriksaan kromosom.

4. Gangguan pada embriogenesis yang tidak melibatkan gonad ataupun hormon


Kelainan genitalia eksterna dapat terjadi sebagai bagian dari suatu defek dari
embriogenesis. Contoh dari kelainan ini ialah epispadia glandular, transposisi
penoskrotal, penis yang dihubungkan dengan ahus imperforata, dan klitoromegali
pada neurofibromatosis.

Manifestasi Klinik DSD


Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonatus atau tidak terlihat
sampai menginjak usia pubertas. Pada masa neonatus, umumnya petugas medis
mendapatkan masalah untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja
dilahirkan akibat klitoromegali, pembengkakan daerah inguinal pada neonatus
“perempuan”, tidak terabanya testis pada neonatus “laki-laki”, ataupun hipospadia.
Sedangkan pada masa pubertas, umumnya manifestasi dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan seks sekunder, amenore primer, adanya virilisasi pada perempuan,
gynecomastia dan infertilitas.
Diagnosa
Untuk menentukan penyebab terjadinya interseksualitas atau ambiguous genitalia
tidak mudah, diperlukan kerja sama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana
diagnostik, dan sarana perawatan. Pada pemeriksaan medis perlu perhatian khusus
terhadap hal-hal tertentu.
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :
 Riwayat kehamilan adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau
alkohol, terutama pada trimester I kehamilan.
 Riwayat keluarga adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
 Riwayat kematian neonatal dini.
 Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua
penderita.
 Perhatikan penampilan ibu akne, hirsutisme, suara kelaki-lakian.

2. Pemeriksaan jasmani
 Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis : tentukan apakah testes
teraba keduanya, atau hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana
lokasinya, apakah di kantong skrotum, di inguinal atau di labia mayora.
Tentukan apakah klitoromegali atau mikropenis, hipospadia atau muara uretra
luar. Bagaimana bentuk vulva, dan adakah hiperpigmentasi.
 Tentukan apakah ada anomalia kongenital yang lain.
 Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.
 Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh
atau tidak.

3. Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium
o Analisis kromosom.
o Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti
testosteron, uji HCG, 17 OH progesteron.
o Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.
 Pencitraan
o USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.
o Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan
ada atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan
terutama untuk menentukan ada/ tidaknya organ yang berasal dari dari
saluran Muller.

Tatalaksana
Penyebab penyakit interseks sangat kompleks, terbanyak oleh karena kelainan
genetik, namun pengaruh lingkungan terutama penggunaan obat-obat hormonal pada
masa kehamilan merupakan salah satu yang diduga. Paparan pada masa kehamilan yang
mengakibatkan ambiguitas seksual pada bayi perempuan dengan kromosom 46,XX
semestinya dipertimbangan dengan hati-hati pada ibu hamil, pemakaian obat hormonal
yang tidak terlalu perlu seharusnya dihindari.
Hambatan pada penanganan penyakit ini adalah sarana penunjang diagnosis yang
masih minimal dan mahal, pengetahuan dan kesadaran yang kurang dari masyarakat dan
tenaga medis baik dokter, penolong persalinan maupun perawat kesehatan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan konseling genetika untuk penyakit yang
menurun, penggunaan obat dan lingkungan yang aman pada awal kehamilan. Penanganan
seharusnya dilakukan sedini mungkin saat bayi baru lahir dengan secara multidisiplin.
Bayi baru lahir dengan kelainan alat kelamin harus ditentukan jenis kelaminnya agar tidak
terjadi salah pengasuhan dan gangguan psikologis dikemudian hari. Surat keterangan
kelahiran semestinya dibuat setelah jenis kelamin dapat ditentukan. Tindakan operasi
harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati atau bahkan penundaan
sampai anak mencapai usia dewasa. Penentuan jenis kelamin dan tindakan operasi koreksi
tidak hanya ditentukan secara sepihak oleh orang tua saja. Untuk menghindari masalah
medikolegal maka perlunya penyusunan standard baku nasional untuk penanganan
kelamin ganda yang diatur oleh Departemen Kesehatan.
Penatalaksanaan genitalia ambigua meliputi penentuan jenis kelamin (sex
assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara
pembedahan, dan psikologis. Oleh karena itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah
dilakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi bidang : Ilmu Kesehatan Anak,
Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri, Genetika klinik,
Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan Bagian hukum Rumah
Sakit/Kedokteran forensik.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan:
1. Potensi fertilitas
2. Kapasistas fungsi seksual
3. Fungsi endokrin.
4. Perubahan keganasan
5. Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
6. Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran gender)
dan gender orientation (orientasi gender)
7. Aspek kultural
8. Informed consent dari keluarga.

Pengobatan
1. Pengobatan Endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah
mendorong perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda
seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi dan
masa tubuh) dengan pemberian testosteron. Bila pasien menjadi perempuan maka
tujuan pengobatan adalah mendorong secara simultan perkembangan karakteristik
seksual ke arah feminim dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan
dan menstruasi) yang dapat timbul beberapa individu setelah pengobatan
estrogen). Pada CAH di tentukan glukortikoid dan hormon untuk retensi garam.
2. Pengobatan penbedahan
Tujuan pembedahan rekontruksi pada genetalia perempuan agar mempunyai
genetalia eksterna feminim, sedapat mungkin seperti normal dan mengoreksi agar
fungsi seksual normal. Pada laki-laki tujuan pembedahan rekonstruksi adalah
meluruskan penis dan merubah letak uretra yang tidak berada pada tempat normal
ke ujung penis.
3. Pengobatan psikologis
Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarga di pertimbangkan
untuk di berikan konseling. Yang sangat penting adalah yang memberikan
konseling harus sangat familier dengan hal yang berhubungan dengan diagnosis
dan pengelolaan interseks.

IV. Skema

Rudi,
Laki-laki, 8
tahun

Hipospadia Khordae DSD


phenoskrotal

Skrotum Mikropenis
bifidum

 Mutasi gen Kelainan Tatalaksana


 Hormon genital
 Lingkungan

Pemeriksaan Koreksi Koreksi


penunjang hormon genital
Faktor
penyebab Tim
Penyesuaian
Karyotyping
Jenis Kelamin
Gen SRY
Hormonal
Genitografi
Prognosis
V. Learning Objective
Mahasiswa mampu menjelaskan
1. Epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, menifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan komprehensif, komplikasi, dam prognosis kelainan pembentukan dan
perkembangan urogenital pada pria.
2. Epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, menifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan komprehensif, komplikasi, dam prognosis kelainan pembentukan dan
perkembangan urogenital pada wanita.
A. TESTIS MALDESENSUS
Definisi
Pada masa janin, testis berada di ringga abdomen dan beberapa saat sebelum bayi dilahirkan,
testis mengalami desensus testikulorum atau turun ke dalam kantung skrotum. Oleh karena suatu
hal, proses tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga testis tidak berada dalam kantong
skrotum (maldesensus). Terdapat dua jenis keadaan maldesensus, yaitu kriptorkismus (testis tidak
mampu mencapai skrotum tetapi masih berada di jalurnya yang normal) dan testis ektopik (testis
keluar dari jalurnya yang normal).
Angka kejadian
Kriptorkismus pada bayi premature kurang lebih 30%.
Etiologi
1. Kelainan pada gubernakulum testis
2. Kelainan intrinsic testis
3. Defisiensi hormone gonadotropin yang memacu proses desensus testis
Patologi
Testis abdominal selalu mendapat suhu yang lebih tinggi dari testis normal; hal ini mengakibatkan
kerusakan sel-sel epitel germinal testis. Kerusakan tersebut makin progresif sehingga akhirnya
testis mengecil.
Akibat lain yang ditimbulkan adalah testis mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan
lebih mudah terkena degenerasi maligna.
Gambaran klinis
- Infertilitas, yaitu belum mempunyai anak setelah kawin.
- Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bawah.
- Inspeksi: hipoplasia kulit skrotum
- Palpasi: testis tidak teraba di kantong skrotum.
- Pemeriksaan penunjang menggunakan flebografi selektif atau diagnostic laparoskopi.
Diagnosis banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berad di kantong skrotum tiba-tiba berada di daerah
inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Hal ini disebut sebagai testis retraktil
atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati.
Diagnosis banding yang lain adalah anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Cara untuk
membedakan anorkismus dengan maldesensus testis adalah menggunakan pemeriksaan hormonal
antara lain hormone testosterone, kemudian dilanjutkan uji denagn pemberian hCG.
Tindakan
- Medikamentosa
Hormone hCG yang disemprotkan intranasal
- Operasi
Orkidopeksi, yaitu meletakkan testis ke dalan skrotum dengan melakukan fiksasi pada
kantong sub dartos.

B. FIMOSIS
1.Definisi Fimosis
Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di retraksi (ditarik)
ke proksimal sampai ke korona glandis. Pada fimosis, preputium melekat pada bagian glans dan
mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran kencing, sehingga bayi dan anak menjadi kesulitan dan
rasa kesakitan pada saat buang air kecil. 1-5

2.Klasifikasi Fimosis2-4
a. Fimosis kongenital (fimosis fisiologis, fimosis palsu, pseudo phimosis) timbul sejak lahir.
Fimosis ini bukan disebabkan oleh kelainan anatomi melainkan karena adanya faktor
perlengketan antara kulit pada penis bagian depan dengan glans penis sehingga muara pada
ujung kulit kemaluan seakan-akan terlihat sempit. Sebenarnya merupakan kondisi normal
pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia
serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan epitel
dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit
preputium terpisah dari glans penis.
b. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis) timbul
kemudian setelah lahir. Fimosis Patologis didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk
menarik preputim setelah sebelumnya yang dapat ditarik kembali. Fimosis ini disebabkan
oleh sempitnya muara di ujung kulit kemaluan secara anatomis. Hal ini berkaitan dengan
kebersihan (higiene) yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium
(balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada
fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat
bagian kulit preputium yang membuka.
Rickwood mendefinisikan fimosis patologis adalah kulit distal penis (preputium) yang kaku dan tidak
bisa ditarik, yang disebabkan oleh Balanitis Xerotica Obliterans (BXO).5
Fimos
is Fisiologis Fimosis Patologis

3. Patofisiologi
Fimosis yang fisiologis merupakan hasil dari adhesi lapisan-lapisan epitel antara preputium
bagian dalam dengan glans penis. Adhesi ini secara spontan akan hilang pada saat ereksi dan retraksi
preputium secara intermiten, jadi seiring dengan bertambahnya usia (masa puber) phimosis fisiologis
akan hilang. Higienitas yang buruk pada daerah sekitar penis dan adanya balanitis atau balanophostitis
berulang yang mengarah terbentuknya scar pada orificium preputium, dapat mengakibatkan fimosis
patologis. Retraksi preputium secara paksa juga dapat mengakibatkan luka kecil pada orificio
preputium yang dapat mengarah ke scar dan berlanjut phimosis. Pada orang dewasa yang belum
berkhitan memiliki resiko fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas kulit.3-7

Pada kasus fimosis lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga tidak bisa ditarik
mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang yang sangat kecil
di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena “balloning” dimana preputium
mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine yang tidak diimbangi besarnya lubang di
ujung prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning maka sisa-
sisa urin mudah terjebak di dalam preputium. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya infeksi.3-6
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan kotoran-kotoran pada glans penis sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis dan prepusium (balanitis) yang
meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium tidak dapat ditarik kebelakang.1-7
Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma. Cairan
ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan prepusium
dan glans penis yang membentuk semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala
penis yang berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan
bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis,
pembersihan tersebut sulit dilakukan karena prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila
yang terjadi adalah perlekatan prepusium dengan glans penis, debris dan sel
mati yang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan.4
Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan
pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi
pus di antara glans penis dan prepusium. 5,6

4. Manisfestasi Klinis1-7
1. Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin (“balloning” )
2. Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung saat mulai buang air
kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih. Hal tersebut disebabkan oleh karena urin
yang keluar terlebih dahulu tertahan dalam ruangan yang dibatasi oleh kulit pada ujung penis
sebelum keluar melalui muaranya yang sempit.
3. Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul rasa sakit.
4. Kulit penis tak bisa ditarik kearah pangkal ketika akan dibersihkan

5. Air seni keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-kadang memancar dengan
arah yang tidakdapat diduga
6. Bisa juga disertai demam
7. Iritasi pada penis.

5.Diagnosis1-7
Untuk menegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis didapatkan keluhan berupa ujung kemaluan menggembung saat mulai buang air kecil yang
kemudian menghilang setelah berkemih dan Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air
kecil karena timbul rasa sakit.
Pada pemeriksaan fisik kasus fimosis, dapat ditemukan kulit yang tidak dapat diretraksi
melewati gland penis. Pada fimosis fisiologis, bagian preputial orifice tidak ada luka dan terlihat
sehat, sedangkan pada fimosis patologis terdapat jaringan fibrus berwana putih yang melingkar.5,6

6.Penatalaksanaan
a.preventif
pria diharapkan menjaga hygine saat berkemih serta melakukan sirkumsisi sebelum dewasa.
b.promotif
memberikan penyuluhan pentingnya sirkumsisi dan menjaga kesehatan genital.
c.konservatif
Sebagai pilihan terapi konservatif dapat diberikan salep kortikoid (0,05-0,1%) dua kali sehari
selama 20-30 hari. Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi dan anak-anak yang masih memakai popok,
tetapi dapat dipertimbangkan untuk usia sekitar tiga tahun.
Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada penderita fimosis,
karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium sebagai fimosis
sekunder. Indikasi medis utama dilakukannya tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis
patologik. Pada kasus dengan komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau balloning kulit
prepusium saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan usia pasien.
Prosedur Teknik Dorsumsisi adalah teknik sirkumsisi dengan cara memotong preputium pada
bagian dorsal pada jam 12 sejajar sumbu panjang penis ke arah proksimal, kemudian dilakukan
pemotongan sirkuler kekiri dan kekanan sejajar sulcus coronarius.
1. Disinfeksi penis dan sekitarnya dengan cairan disinfeksi
2. Persempit lapangan tindakan dengan doek lubang steril
3. Lakukan anestesi infiltrasi subkutan dimulai dari pangkal penis melingkar. Bila perlu
tambahkan juga pada daerah preputium yang akan dipotong dan daerah ventral
4. Tunggu 3 – 5 menit dan yakinkan anestesi lokal sudah bekerja dengan mencubitkan pinset
5. Bila didapati phimosis, lakukan dilatasi dengan klem pada lubang preputium, lepaskan
perlengketannya dengan glans memakai sonde atau klem sampai seluruh glans bebas. Bila ada
smegma, dibersihkan.
6. Jepit kulit preputium sebelah kanan dan kiri garis median bagian dorsal dengan 2 klem lurus.
Klem ketiga dipasang pada garis tengah ventral. (Prepusium dijepit klem pada jam 11, 1 dan
jam 6 ditarik ke distal)
7. Gunting preputium dorsal tepat digaris tengah (diantara dua klem) kira-kira ½ sampai 1
sentimeter dari sulkus koronarius (dorsumsisi),buat tali kendali. kulit Preputium dijepit
dengan klem bengkok dan frenulum dijepit dengan kocher

8. Pindahkan klem (dari jam 1 dan 11 ) ke ujung distal sayatan (jam 12 dan 12’). Insisi meingkar
kekiri dan kekanan dengan arah serong menuju frenulum di distal penis (pada frenulum insisi
dibuat agak meruncing (huruf V), buat tali kendali )
9. Cari perdarahan dan klem, ikat dengan benang plain catgut yang disiapkan.
10. Setelah diyakini tidak ada perdarahan (biasanya perdarahan yang banyak ada di frenulum)
siap untuk dijahit.Penjahitan dimulai dari dorsal (jam 12), dengan patokan klem yang
terpasang dan jahitan kedua pada bagian ventral (jam 6). Tergantung banyaknya jahitan yang
diperlukan, selanjutnya jahitan dibuat melingkar pada jam 3,6, 9,12 dan seterusnya
11.
12. Luka ditutup dengan kasa atau penutup luka lain, dan diplester. Lubang uretra harus bebas
dan sedapat mungkin tidak terkena urin.

7.Komplikasi5
 Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih
 Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena infeksi sekunder dan
akhirnya terbentuk jaringan parut.
 Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
 Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.

 Infeksi saluran kemih

8.Diagnosis Banding1-7
Parafimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium penis yang diretraksi sampai di sulkus
koronarius tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan menimbulkan jeratan pada penis
dibelakang sulkus koronarius. Warna gland penis akan semakin berwarna pucat dan bengkak. Seiring
perjalanan waktu keadaan ini akan mengakibatkan nekrosis sel di gland penis, warnanya akan
menjadi biru atau hitam dan gland penis akan terasa keras saat di palpasi.4,5,6
Gambar Parafimosis

9.Prognosis
Prognosis dari fimosis akan semakin baik bila cepat didiagnosis dan ditangani.

C. HORSE SHOE KIDNEY (GINJAL TAPAL KUDA)

A. Definisi
 anomali ginjal kongenital dimana terjadinya penyatuan (fusi) kedua ginjal kanan dan kiri oleh
bagian yang disebut isthmus, bagian yang menyatu biasanya pole bawah yang menjadikan kedua
ginjal seperti tapal kuda
- Isthmus ini di bentuk oleh jaringan parenkim dan jaringan fibrous.
- Letak ginjal tapal kuda lebih rendah dari pada posisi normal dan isthmus letaknya setinggi
vertebra lumbal 4-5

B. Etiologi
Ada 2 teori yang berkaitan dengan kelainan embriogenesis pada horseshoe kidney yang pernah
dilaporkan :

1. Teori klasik fusi mekanik : Ketika proses organogenesis, kedua poles inferior saling bersentuhan di
midline bawah garis aksial tubuh. Teori ini baru bisa valid pada kasus horseshoe kidney dengan
Isthmus fibrosa.

2. Teori baru : berdasarkan hasil studi terbaru menyatakan bahwa fusi jaringan abnormal dengan
Isthmus parenkimatosa merupakan hasil teratogenik yang melibatkan migrasi abnormal sel-sel
nephrogenic posterior, yang kemudian bergabung membentuk Isthmus. Berdasarkan teori ini juga
dinyatakan bahwa teratogenik mungkin juga bertanggung jawab pada peningkatan kejadian kelainan
kongenital yang terkait dan neoplasia tertentu, seperti tumor asWilms dan tumor karsinoid terkait
dengan isthmus horseshoe kidney.

C. Epidemiologi
• Insiden terjadi pada 1:400 kelahiran
• Laki-laki > perempuan  2:1
• Terlihat pada 7% penderita sindroma turner
• Tumor wilms 2-8 lebih sering ditemukan pada anak dg horseshoe kidney
• 90 %  fusion pada pole bawah

D. Patogenesis
Ginjal terbentuk dari metanephros pada minggu kelima dari kehidupan embryonal.Ginjal tapal
kuda terjadi sebagai akibat penyatuan dari renal blastema (nephroblast = tunas ginjal) pada minggu
ke-8 sampai ke-10 kehidupan embryo, biasanya pada pole bawahnya di dekat daerah bifurcatio aortae.

Dalam pertumbuhannya, ginjal bergerak menuju ke-cranial sambil berputar 90 derajat, tetapi
apabila terjadi penyatuan pada pole bawahnya maka ginjal tersebut tidak akan mencapai tempatnya
yang normal, terhalang pada isthmusnya oleh arteri messenterica superior. Karena kedua pole
bawahnya bersatu, maka masing-masing ginjal tidak dapat melakukan rotasi 90 derajat, sehingga
pelvis renalis yang seharusnya menghadap ke medial jadi menghadap ke depan dan letak ureter di
depan isthmus. Juga letak kedua ginjal menjadi lebih berdekatan dan sumbu memanjangnya arahnya
sejajar atau menguncup ke bawah.

E. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala klinis yang terjadi disebabkan oleh adanya tekanan pada ureter oleh bagian yang
menghubungkan kedua ginjal (isthmus), yang mengakibatkan terjadinya obstruksi aliran
kemih.Gejalanya bisa berupa haematuria dan kolik abdomen yang disebabkan hidronephrose,
penyakit infeksi pada ginjal dan batu ginjal.
Jika tidak menimbulkan komplikasi, anomali ini tidak menunjukkan gejala, dan secara tak
sengaja hanya terdeteksi pada saat dilakukan pemeriksaan pencitraan saluran kemih untuk mencari
anomali di tempat lain. Keluhan muncul jika disertai obstruksi pada uretropelvic junction atau refluk
vesiko ureter (VUR) berupa nyeri atau timbulnya massa pada pinggang. Obstruksi dan VUR dapat
menimbulkan infeksi dan batu saluran kemih. Pada PIV tampak ginjal menyatu pada bagian kaudal
dengan sumbu mengarah dari kranio lateral ke kaudo medial. Kadang – kadang dijumpai adanya
dilatasi pelvikalises.

F. Diagnosis
Gejala yang terjadi pada horse shoe kidney lebih banyak merupakan komplikasi dari kelainan
yang terjadi dalam waktu lama. Sekitar 1/3 pasien yang mengalami keadaan yang asimptomatik dan
biasanya kelainan horse shoe kidney ditemukan secara insidental pada pemeriksaan radiologi.
Gejala yang muncul biasanya merupakan manifestasi dari obstruksi, batu ginjal, atau infeksi.
Pada anak-anak biasanya lebih sering manifestasi akibat infeksi. Tanda-tanda klinis penyakit ini sama
seperti yang yang akan ditemukan dalam ginjal normal. Namun, gejalanya mungkin tidak jelas
Setelah pasien didiagnosa horse shoe kidney, maka pemeriksaan laboratorium lebih lanjut dan
evaluasi pencitraan harus dilakukan untuk menilai status ginjal dan mencari penyebabnya. Urinalisis
dengan kultur urin harus dilakukan. Kelainan sedimen urin harus dievaluasi sebagai manifestasi
klinis.
FOTO POLOS
G. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Kelainan kongenital lain yang mempunyai gejala klinis yang mirip dengan Horseshoe Kidney
adalah : Ektopi Renal Menyilang. Pada ektopi renal menyilang, ginjal mengalami gagal naik dimana
seharusnya masing-masing ginjal mengalami kenaikan setinggi
Pada ektopi renal menyilang, posisi ureter berada pada sisi yang berlawanan dengan ureter
dan mengalami fusi dengan salah satu ginjal yang masih dalam posisi normal. Sehingga yang
membedakannya dengan horseshoe kidney adalah pada kelainan ektopik menyilang masih ada ginjal
yang berada pada posisi normal sedangkan pada horseshoe kidney kedua ginjal mengalami penurunan
level posisi karena ditarik oleh isthmus ke bawah.

H. PENGOBATAN
Jika tidak menimbulkan komplikasi  tidak perlu diterapi , mungkin hanya perlu kontrol scr
teratur berupa pemeriksaan USG dan sintigrafi untuk mengetahui kemungkinan timbulnya penyulit
berupa kerusakan ginjal / timbulnya batu saluran kemih.
Terapi medikamentosa diberikan sesuai penyakit yang menjadi komplikasi dari horse shoe
kidney. Pelaksanaan terapi bedah dilakukan berdasarkan indikasi standar bedah. Terapi bedah yang
biasa dilakukan adalah isthmusectomy. Untuk isthmusectomy biasa dilakukan insisi di bagian anterior
subkostal ekraperitoneal karena lebih mudah diakses rotasinya terjadi ke arah anterior. Isthmus
dipisahkan dari pembuluh darah besar, sementara dilakukan jahit nol atau jahit matras di sisi lain yang
melewati parenkim sepanjang 1 cm untuk mengontrol perdarahan. Kemudian dilakukan jahitan di
bagian atas otot-otot abdominal untuk reposisi polus inferior ginjal sehingga bisa terbuka ruang buat
ureter di bagian posterior dinding abdomen.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi adalah : batu ginjal, Wilms tumor, tumor karsinoid, infeksi
traktus urinarius,vertebra anomalies, anal atresia, cardiovascular anomalies, tracheoesophageal fistula,
esophageal atresia, renal or radial anomalies.

I. PROGNOSIS
Horse shoe kidney yang terjadi tanpa disertai komplikasi tidak menimbulkan resiko kematian.
Namun, ketika kelainan ini sudah disertai komplikasi-komplikasi lain maka resiko kematian akan
meningkat sesuai progressifitas penyakit yang menyertainya.

D. Himen Imperforata

Himen Imperforata adalah selaput dara yang tidak menunjukkan lubang (hiatus himenalis) sama
sekali.

Epidemiologi dan faktor risiko


Himen imperforata adalah kondisi bawaan yang sangat jarang terjadi yang disebabkan oleh
perkembangan abnormal urogenitalis sinus dengan kejadian 0,02%.
Sumber lain mengatakan bahwa prevalensi himen imperforata ini 0.014-0,1%.

Etiologi
Cedera atau infeksi yang menyebabkan jaringan parut

Patogenesis dan Patofisiologi


Himen adalah suatu membran yang perkembangan embriologinya melalui penyatuan dari bagian
cauda duktus paramesonefros dan sinus urogenital. Bagian tengah dari membran mengalami perforasi
melalui degenerasi dar sel epitel. Kegagalan dari degenerasi sel epitel dan perforasi menyebabkan
terjadinya himen imperforata.

Diagnosis
 Anamnesis
Sering datang dengan usia 13-15 tahun
Molimina menstruali setiap bulan
Keluhan yang timbul berupa rasa nyeri, kram pada perut selama menstruasi dan haid tidak keluar
Over distensi vagina mengakibatkan rasa sakit perut bagian bawah, nyeri pelvis dan sakit di punggung
bagian belakang.
Gangguan buang air kecil karena penekanan dari vagina yang distensi ke uretra dan menghambat
pengosongan kandung kemih. Rasa sakit pada daerah supra pubik bersamaan dengan gangguan air
kecil menimbulkan disuria, urgensi, inkontinensia overflow, selain itu juga dapat disertai penekanan
pada rectum yang menimbulkan gangguan defekasi.
 Inpeksi
Ciri seks sekunder normal
Darah terkumpul di vagina (hematokolpos) dan menyebabkan himen kebiru-biruan dan menonjol
keluar.
 Palpasi
Uterus yang terisi darah haid dan membesar dinamakan hematometra. Apabila pengisian darah
sampai ketuba (hematosalpingks) teraba sebagai tumor kistik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, dan urinalisa.
Pemeriksaan Imaging
 Foto abdomen (BNO-IVP), USG abdomen serta MRI Abdominal dan pelvis dapat
memberikan gambaran imaging untuk uterovaginal anomali.
 USG mendiagnosis hematokolpos atau hematometrokolpos (over distensi vagina dan kanalis
servikalis dan uterus). Apabila dengan USG tidak jelas, diperlukan pemeriksaan MRI.
 USG dan MRI sebagai pemeriksaan penunjang untuk mengetahui apakah ada kongenital
anomali traktus urinaria yang menyertai.

Tatalaksana
Tindakan Pembedahan
Apabila hymen imperforata dijumpai sebelum pubertas, membran hymen dilakukaninsisi/
hymenotomi dengan cara sederhana dengan melakukan insisi silang atau dilakukan pada posisi 2, 4, 8
dan 10 arah jarum jam disebut insisi stellate.
Pendapat lain mengatakan, bila dijumpai hymen imperforata pada anak kecil/ balita tanpa
menimbulkan gejala, maka keadaan diawasi sampai anak lebih besar dan keadaan anatomi lebih jelas,
dengan demikian dapat diketahui apakah yang terjadi hymen imperforata atau aplasia vagina.
Pada insisi silang tidak dilakukan eksisi membrane hymen, sementara pada insisi stellate setelah insisi
dilakukan eksisi pada kuadran hymen dan pinggir mukosa hymendi aproksimasi dengan jahitan
mempergunakan benang delayed-absorbable. Tindakan insisi saja tanpa disertai eksisi dapat
mengakibatkan membrane hymen menyatu kembali dan obstruksi membrane hymen terjadi kembali.
Untuk mencegah terjadinya jaringan parut dan stenosis yang mengakibatkan dispareunia, eksisi
jaringan jangan dilakukan terlalu dekat dengan mukosa vagina.Setelah dilakukan insisi akan keluar
darah berwarna merah tua kehitaman yang kental.Sebaiknya posisi pasien dibaringkan dengan posisi
fowler. Selama 2-3 hari darah tetap akan mengalir, disertai dengan pengecilan vagina dan uterus.
Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis juga diperlukan.
Evaluasi vagina dan uterus perlu dilakukan sampai 4-6 minggu paska pembedahan, bila uterus tidak
mengecil, perlu dilakukan pemeriksaan inspeksi dan dilatasi serviks untuk memastikan drainase
uterus berjalan dengan lancar. Bila hematokolpos belum keluar, instrumen intrauterine jangan
dipergunakan karena bahaya perforasi dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan.

E. Epispadia
A. Pengertian
Epispadaia adalah suatu kelainan bawaan berupa tidak adanya dinding uretra sebelah atas
atau susunan dorsal pada meatus uretra. (Ngastiyah, 2005 : 288).
Epispadia adalah suatu anormali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada permukaan
dorsal penis. Insiden epipadia yang lengkap sekitar 120.000 laki-laki. Keadaan inibiasanya tidak
terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali saluran kemih.

B. Klasifikasi
a. Balanica atau epispadias kelenjar adalah malformasi terbatas pada kelenjar, meatus terletak
pada permukaan, alur dari meatus di puncak kepala penis. Ini adalah jenis epispadias kurang
sering dan lebih mudah diperbaiki.
b. Epispadias penis
Derajat pemendekan lebih besar dengan meatus uretra terletak di titik variabel antara kelenjar
dan simfisis pubis.
c. Penopubica epispadia
Varian yang lebih parah dan lebih sering. Uretra terbuka sepanjang perpanjangan seluruh
hingga leher kandung kemih yang lebar dan pendek.

C. Epidemiologi
Epispadia terjadi sekitar 1 dari 120.000 anak laki-laki. Biasanya epispadia ini disertai dengan
anomali saluran kemih. Pada tipe penopubica, terjadi inkontinensia urin sekitar 95%.

D. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadi dan epispadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap
paling berpengaruh antara lain:
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis
kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh
yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk
cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek
yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak
mencukupi pun akan berdampak sama.
2. GenetikaTerjadi karena gagalnya sintesis androgen.
Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut
sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

E. Patofisiologi
Epispadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero.
Epispadia terbukanya uretra sebelah ventral. Kelainan ini meliputi leher kandung kemih
(epispadia total) atau hanya uretra (epispadia persial). Epispadia dimana lubang uretra terdapat
pada permukaan dorsum penis, dan tampak sebagai celah atau alur tanpa tutup. Epispadia
parsialis di mana muara uretra terdapat di sebelah atas dan di belakang glans penis, permukaan
dorsal penis biasanya bertarik sampai ujungnya tetapi lubang uretra dapat berakhir pada corona
atau di sebelah proksimalnya.
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu ektoderm dan endoderm.
Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah yaitu mesoderm yang kemudian bermigrasi ke
perifer, memisahkan ektoderm dan endoderm, sedangkan di bagian kaudalnya tetap bersatu
membentuk membran kloaka.
Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara umbilical corddan tailyang disebut
genital tubercle.Di bawahnya pada garis tengah terbenuk lekukan dimana di bagian lateralnya ada
2 lipatan memanjang yang disebut genital fold. Selama minggu ke-7, genital tubercleakan
memanjang dan membentuk glans.Bila terjadi agenesis dari mesoderm, maka genital tubercletak
terbentuk, sehingga penis juga tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia akan ruptur dan
membentuk sinus. Sementara itu genital foldakan membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia. Bila
genital fold gagal bersatu maka akan terjadi episspadia.

F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada epispadia, antara lain:
1. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar
2. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
3. Adanya inkontinensia urin

G. Diagnosis
1. Anamnesis keluhan utama dan penyerta pasien, biasanya disertai inkontinensia urin.
2. Pemeriksaan fisik
a) Uretra terbuka pada saat lahir
b) Ada chordae
3. Pemeriksaan penunjang
a) Radiologis (IVP)
b) USG

H. Tatalaksana
Berbeda dengan hipospadia di mana ada sejumlah besar teknik bedah yang menawarkan
pilihan terapi yang berbeda, karena koreksi epispadia termasuk alternatif bedah dan hasil dari
sudut pandang fungsional sering tidak memuaskan. Ketika epispadias tidak terkait dengan
inkontinensia urin perawatan bedah terbatas pada rekonstruksi kepala penis dan uretra
menggunakan plat uretra.
Ketika epispadias dikaitkan dengan inkontinensia urin pengobatan menjadi lebih kompleks.
Dalam rangka meminimalkan dampak psikologis, usia yang paling cocok untuk perbaikan
bertepatan dengan tahun pertama atau kedua kehidupan.
Yang penting untuk perbaikan epispadia sukses meliputi:
1. Pemanjangan penis
2. Urethroplasty
3. Cakupan cacat kulit dorsal penis.

I. Prognosis dan Komplikasi


Untuk prognosis baik apabila ditatalaksana dengan prosedur yang sesuai. Komplikasi yang
mungkin muncul adalah pseudohemaphroditisme dan adanya rasa malu terhadap kebiasaan buang
air kecil pasien.
F. Disorders of Sexual Development (DSD)
A. Konsep Dasar

I. Pengertian Disorders of Sexual Development (DSD)


Suatu keadaan tidak terdapatnya kesesuaian karakteristik yang menentukan jenis kelamin
seseorang, atau bisa juga disebutkan sebagai seseorang yang mempunyai jenis kelamin ganda (=
ambiguous genitalia). Genitalia meragukan adalah kelainan yang menyebabkan jenis kelamin tidak
sesuai dengan klasifikasi tradisional laki-laki atau perempuan. Dicurigai ambigius genitalia apabila
alat kelamin kecil disebut penis terlalu kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana skrotum
melipat pada garis tengah sehingga tampak seperti labia mayora yang tidak normal dan gonad tidak
teraba. Namun harus diketahui bahwa semua ambigius genitalia pada bayi baru lahir mengakibatkan
tampilan genital yang meragukan, misalnya hipospadia, genitalnya jelas mengalami malformasi
walaupun jenis kelamin tidak diragukan lagi adalah laki-laki.

II. Kriteria Jenis Kelamin


Untuk menentukan jenis kelamin seseorang anak diperlu kan minimal 7 sifat, yaitu 5 sifat
organik dan 2 sifat psikologis.
Ketujuh sifat itu ialah :
1) Susunan Kromosom
Susunan kromosom disebut juga kelamin genetik (=genetic sex). Manusia memiliki 23 pasangan
kromosom, 22 di antaranya hampir serupa, dan yang ke-23 adalah yang menentukan perbedaan jenis
kelamin. Pada perempuan kromosom itu ialah XX, sedangkan pada lelaki ialah XY.
2) Jenis Gonad (= gonadal sex)
Lelaki mempunyai testes, dan perempuan mempunyai ovarium.
3) Morfologi Genitalia Eksterna
Genitalia eksterna pada lelaki adalah skrotum, penis dan glans penis. Sedangkan genitalia eksterna
pada perempuan adalah labia mayora, labia minora dan klitoris.
4) Morfologi Genitalia Interna
Genitalia interna pada lelaki yaitu vasa deferens, vesikula seminalis, dan epididimus. Sedangkan
genitalia interna pada perempuan yaitu tuba falloppii, uterus, dan sepertiga bagian atas vagina.
5) Hormon seks
Merupakan faktor endokrin yang berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, serta
berpengaruh terhadap morfologi genitalia dan tanda seks sekunder.
6) Pengasuhan (the sex of rearing)
Cara anak dibesarkan oleh orangtuanya akan menentukan penampilan dalam kehidupan kelak. Ini
merupakan faktor psikologis. Bila seseorang sejak lahir dibesarkan sebagai perempuan maka
perilakunya akan seperti perempuan. Inilah yang dilihat oleh masyarakat.
7) Peranan dan orientasi (gender role and orientation)
Yang dimaksudkan di sini ialah apa yang dinyatakan oleh seseorang untuk mewujudkan dirinya
sebagai seorang perempuan atau seorang lelaki. Yang perlu diperhatikan ialah: kelakuan, pilihan
permainan, minat, khayalan, percakapan, impian, kebiasaan erotisme, dan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang kadang-kadang menentukan.

Ketujuh kriteria ini harus dipenuhi untuk menyatakan seseorang anak lelaki atau perempuan.
Jika ada kontradiksi antara 5 sifat organis (yaitu nomor 1 s/d 5), maka terjadilah interseksualitas
organis. Jika timbul sifat berlainan antara 5 faktor organis dengan 2 faktor psikologis, maka terjadilah
transeksual. Untuk menentukan jenis kelamin bayi baru lahir cukup menggunakan 5 sifat organik,
karena 2 sifat psikologis belum bisa dinilai.

III. Perkembangan Alat Kelamin


Sel manusia normal terdiri dari 23 pasang kromosom, 22 pasang krornosom autosomal, dan
sepasang kromosom seks yang merupakan penentu perbedaan jenis kelamin. Pada perempuan ialah
XX, dan pada lelaki XY. Sampai pada minggu ke-6 masa kehamilan, gonad embrio masih belum
dapat dibedakan lelaki atau perempuan. Pada masa ini janin telah mempunyai premordial saluran
genital yaitu saluran Muller dan saluran Wolf, serta mempunyai premordial genitalia eksterna.
Perkembangan genitalia lelaki merupakan suatu proses aktif. Pada minggu ke-7 kehamilan, atas
prakarsa Testes Determining Factor yang diproduksi oleh kode gen untuk seks lelaki, yaitu gen
SRY (sex determining region of the y chromosome), gonad berdiferensiasi menjadi testes. Proses
diferensiasi ini melibatkan 3 kelompok sel utama yaitu sel Sertoli dan sel-sel lainnya yang terbentuk
dari tubulus seminiferus, sel Leydig dan komponen lainnya dari intersisium, dan spermatogonia. Pada
minggu ke-8 s/d ke-12 masa kehamilan, kadar gonadotropin korion plasenta meningkat, dan
merangsang sel Leydig janin untuk mengeluarkan testoteron serta merangsang sel sertoli untuk
mengeluarkan Mullerian inhibiting factor. Testosteron akan merangsang diferensiasi saluran Wolf
menjadi epididimus, vasa deferens, vesikula seminalis, dan saluran ejakulator lelaki.
Sedangkan Mullerian inhibiting factor akan menyebabkan involusi pada prekusor embriogenik dari
tuba fallopii, uterus, serviks, dan sepertiga bagian atas vagina. Pada minggu ke-9 kehamilan, enzim 5-
reduktase dari sel target akan mengubah sebagian testosteron menjadi 5-dihidrotestosteron, dan
dihidrotesteron inilah yang merangsang terjadinya diferensiasi alat kelamin luar lelaki, merangsang
pertumbuhan tuberkel genital, fusi lekuk uretra, dan pembengkakan labioskrotal untuk membentuk
glans penis, penis, dan skrotum.
Perkembangan genitalia perempuan lebih sederhana bila dibandingkan dengan perkembangan
genitalia lelaki. Pada minggu ke-7 s/d ke-12 masa kehamilan, sejumlah sel germinal mengalami
transisi dari oogonia menjadi oosit, sehingga terjadi diferensiasi dari gonad menjadi ovarium. Saluran
Muller berkembang menjadi tuba fallopii, uterus, serviks, dan sepertiga bagian atas vagina, sedangkan
saluran Wolf menjalani proses regresi. Pada diferensiasi genitalia eksterna perempuan, tuberkel
genital tetap kecil dan membentuk klitoris. Lekuk uretra membentuk labia minora, dan lekuk
labioskrtital membentuk labia mayora.
Bila terjadi gangguan pada proses perkembangan genitalia yang demikian kompleks, maka
akan terjadi kelainan pada genitalia sesuai dengan pada tahapan dimana gangguan terjadi.

IV. Patofisiologi
Untuk mengetahui patofisiologi ambigius genitalia, harus memahami diferensiasi seksual
normal dan abnormal yang merupakan pengertian dasar pada kelainan ini.
Embrio Diferensiasi Seksual
Penentuan fenotip seks di mulai dari seks genetik yang kemudian di ikuti oleh kaskade: kromosom
seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan fenotip seks. Tipe gonad menentukan diferensiasi
atau regresi duktus internal (milleri dan wolfii). Indentitas gender tidak hanya di tentukan oleh fenotip
individu, tetapi juga oleh perkembangan otak prenatal dan posnatal.
Diferensiasi Gonad
Dalam bulan ke dua kehidupan fetus, gonad indeferen di pandu menjadi tetes informasi genetik yang
ada pada lengan pendek kromosom Y disebut tetes determining faktor (DTF) merupakan rangkaian
35-kbp dalam subband 11,3, area ini disebut daerah penentu seks pada kromosom Y (SRY), bila mana
daerah ini tidak ada atau berubah, maka gonad dalam perkembangan tetes antara lain DAX I pada
pada kromosom X. SFI pada gq33,WTI pada 11p 13,SOX 9 pada 17q24-q25, dan AMH pada 19q 13.
Diferensiasi Duktus Internal
Perkembangan duktus internal pada akibat efek parakrin gonad ipsilateral. Penelitian klasik Jost pada
tahun 1942 dengan kelinci menjelaskan dengan sangat baik peran gonad dalam mengendalikan
perkembangan duktus internal dan fenotip genetalia eksternal. Bila ada jaringan tetes, maka ada 2
subtansi produk internal laki-laki yaitu testosteron substansi penghambat milleri (MIS) atau hormon
anti milleri (AMH).
Testosteron di produksi sel leydig testes, merangsang duktus wolfi menjadi epididunis, vas deferens
dan vesikula seminalis. Struktur wolfi paling dekat dengan sumber testosteron, duktus wolfi tidak
berkembang seperti yang diharapkan bila testes atau gonad disgenetik sehingga tidak memproduksi
testosteron. Kadar testosteron lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi duktus wolfi namun pada
fetus perempuan androgen ibu saja yang tinggi tidak dapat menyebabkan deferensiasi duktus internal
laki-laki, hal ini juga tidak terjadi pada bayi perempuan dengan congenital adrenal hiperplasia (CAH).
MIS diproduksi oleh sel sertoli testes, penting untuk perkembangan duktus internal laki-laki normal,
merupakan suatu protein dengan berat molekul dengan 15.000 yang disekresi mulai minggu ke-8.
Peran utamanya adalah represi perkembangan pasif duktus milleri (tuba fallopi, uterus, vagina atas).
Testosteron dan estrogen tidak mempengaruhi peran MIS.
Deferensiasi genetalia eksternal
Genitalia kedua jenis kelamin masih identik sampai 7 minggu pertama masa gestasi. Tanpa hormon
endrogen (testosteron dan dihidrotestesteron-DHT), genitalia eksterna secara fenotip perempuan. Bila
ada gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif setelah minggu ke-8 menjadi fenotip laki-laki.
Diferensi ini dipengaruhi oleh testosteron, yang berubah menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa
reduktase dalam sitoplasma sel genitalia eksterna dan sinusurogenital. DHT di berikan dengan
reseptor androgen dalam sitoplasma kemudian ditranspor ke nukleus. Menyebabkan translasi dan
transkripsi material genetik. Akhirnya menyebabkan perkembangan genetalia eksterna laki-laki
normal. Bagian primordial membentuk skrotum, dari pembengkakan genetalia membentuk batang
penis dari lipatan tuberkel membentuk glans penis. Dari sinus urogenitalis menjadi prostal maskulisasi
tidak sempurna bila testosteron gagal berubah menjadi DHT atau DHT gagal bekerja dalam
sitosplasma atau genetalia eksterna dan sinus urogenital kadar testosteron tetap tinggi sampai minggu
ke-14. Setelah minggu ke-14, kadar testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih rendah dan di
pertahankan oleh stimulasi human chorionic gonadotropin (HCG) maternal daripada oleh LH.
Kemudian pada fase gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap pertumbuhan falus
yang responsif terhadap testosteron dan DHT.

V. Klasifikasi Disorders of Sexual Development (DSD)


Interseksualitas dapat diklasifikasikan dalam 4 kelompok,yaitu .
1) Gangguan pada gonad dan atau kromosom.
Yang termasuk dalamn klasifikasi ini antara lain hermafrodit sejati, disgenesis gonad campuran,
disgenesis gonad yang berhubungan dengan kromosom Y, dan testes rudimenter atau sindrom
anorkia.

Hermafrodit sejati.
Pada hermafrodit sejati, jaringan ovarium dan testes dapat ditemukan sebagai pasangan yang terpisah
atau kombinasi keduanya di dalam gonad yang sama dan disebut sebagai ovotestis.
Disgenesis gonad campuran.
Pada disgenesis gonad campuran ini biasanya ditemukan testes unilateral dan fungsional abnormal.
Disgeriesis gonad dengan translokasi kromosom Y.
Pada kelainan ini ditemukan disgenesis gonad, namun dari hasil pemeriksaan analisis kromosom
menunjukkan adanya translokasi kromosom Y.
Testes rudimenter atau sindrom anorkia.
Ditemukan pada lelaki 46 XY dengan diferensiasi seksual normal sejak minggu ke-8 s/d 13, tetapi
kemudian testes menjadi sangat kecil atau anorkia komplit. Struktur saluran interna adalah lelaki.
Terjadi kegagalan pada proses virilisasi.

2) Maskulinisasi dengan genetik perempuan (Female pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XX, ovarium tidak ambiguous dan tidak ditemukan
komponen testis di gonad, sehingga struktur saluran Muller tidak mengalami regressi. Terjadinya
maskulinisasi akibat terdapatnya androgen dalarn jumlah berlebihan dari sumber endogen atau
eksogen, yang merangsang janin perempuan terutama sebelum minggu ke-12 masa kehamilan,
sehingga genitalia eksterna mengalami virilisasi.
Sebab-sebab paling umum dari kelainan ini adalah Congenital adrenal hyperplasia (CAH) yang
menyebabkan kekurangan/ ketidakhadiran ensim 21α-hidroksilase, 11β-hidroksilase dan 3β-
hidroksilase dehidrogenase.
Congenital adrenal hyperplasia (CAH) merupakan penyebab terbesar kasus interseksual dan kelainan
ini diturunkan lewat ayah dan ibu yang sebagai pembawa separo sifat menurun dan penderitanya bisa
laki-laki dan perempuan yang mendapatkan kedua paroan gen abnormal tersebut dari kedua orang
tuanya.
Penyakit ini digolongkan menjadi tipe yang klasik dan non klasik. Tipe yang klasik ini bisa
menunjukkan gejala kehilangan garam tubuh (natrium) sampai terjadi syok, sehingga sering
meninggal pada bulan pertama setelah lahir, sebelum diagnosis bisa ditegakkan. Sedang yang tidak
menununjukan gejala kekurangan garam bisa bertahan hidup yaitu pada wanita disertai gejala
maskulinisasi dan pada laki-laki dengan gejala pubertas dini tanpa disertai gejala keraguan alat
kelamin sehingga laki-laki sering tidak datang berobat. Pada pengalaman di klinik kenyataanya
hampir tidak pernah tertangkap penderita laki-laki. Penderita perempuan menunjukkan gejala
pembesaran kelentit (klitoris) yang mirip penis sejak lahir atau pada yang lebih ringan akan muncul
setelah lahir. Anak-anak penderita CAH akan tumbuh cepat tapi kemudian pertumbuhan akan berhenti
lebih awal, sehingga pada keadaan dewasa mereka akan lebih pendek dari ukuran tinggi badan
normal. Pada tipe yang non klasik gejala muncul setelah 5-6 tahun dengan maskulinisasi yang lebih
ringan, pembesaran klitoris akan muncul belakangan.
Maskulinisasi pada penderita CAH dengan genetik wanita hanya mungkin terjadi akibat adanya
hormon androgen ekstragonad (dari luar gonad) yang dapat berasal dari endogen mau pun eksogen,
karena pada penderita ini tidak ditemukan testis yang merupakan penghasil utama hormon androgen.
Manifestasi klinik dari hormon androgen yang berlebihan ini terbatas pada alat genital bagian luar dan
derajat berat-ringannya kelainan tergantung pada tahap pertumbuhan seksual saat terjadinya paparan
hormon androgen tersebut. Pada penderita kelainan ini tidak akan ditemukan organ laki-laki bagian
dalam. Pada keadaan ringan sering munculnya pembesaran kelentit (menjadi seperti penis) pada
wanita setelah lahir, sehingga masyarakat menganggap alat kelaminnya berubah dari wanita menjadi
laki-laki. Penyakit ini bisa diobati, untuk menghindari gejala yang lebih berat pengobatan harus
dilakukan sedini mungkin dan seumur hidup. Penapisan pada bayi baru lahir seharusnya dilakukan di
Indonesia karena prevalensi penyakit ini cukup tinggi.
Paparan hormon androgen eksogen bisa disebabkan bahan hormonal yang bersifat androgenik yang
dikonsumsi ibu saat mengandung janin wanita, misalnya preparat hormonal yang mengandung
progestogen, testosteron atau danazol. Berat ringannya kelainan alat genital janin tergantung dari usia
kehamilan, potensi, dosis serta lama pemakaian obat. Paparan hormon androgen dan progestogen saat
usia kehamilan 6-10 minggu dapat berakibat perlekatan pada bagian belakang vagina, skrotalisasi
labia dan pembesaran klitoris. Kelainan organ genitalia yang disebabkan oleh paparan hormon
androgen eksogen mempunyai ciri khas yaitu proses maskulinisasi tidak berjalan progresif dan tidak
didapatkan kelainan biokimiawi. Yang termasuk dalam klasifikasi ini antara lain Hiperplasia Adrenal
Kongenital, Androgen berlebihan bersumber dari Ibu atau obat-obatan yang diperoleh Ibu semasa
kehamilan, dan Defisiensi Aromatase.

3) Maskulinisasi tak lengkap pada genetik lelaki (Male pseudohermaphroditism)


Terdapat pada seseorang dengan kromosom 46 XY dan mempunyai testes. Maskulinisasi tak lengkap
disebabkan oleh adanya gangguan sintesis atau sekresi testosteron janin, atau gangguan konversi
testosteron menjadi dihidrotestosteron, kekurangan atau kerusakan aktivitas reseptor androgen atau
kerusakan produksi dan aksi lokal dari Mullerian inhibiting factor.
Ada beberapa jenis cacat hormon laki-laki yang menimbulkan gejala hermaprodit semu laki-laki
antara lain: yang paling sering adalah Sindrom Resistensi Androgen atauAndrogen
Insensitivity Syndrome (AIS) atau Testicular Feminization Syndrome
Penyakit ini merupakan penampilan hermaprodit semu laki-laki yang paling sering dijumpai di klinik.
AIS merupakan kelompok kelainan yang sangat heterogen yang disebabkan tidak atau kurang
tanggapnya reseptor androgen atau sel target terhadap rangsangan hormon testosteron. AIS diturunkan
melalui jalur perempuan (ibu), perempuan adalah pembawa sifat yang menurunkan, penderita hanya
pada laki-laki. Kejadian AIS dalam satu keluarga adalah hal yang sering dijumpai tetapi ternyata 1/3
kasus AIS tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. AIS dapat terjadi dalam bentuk complete
Androgen Insensitivity Syndrome (CAIS) atau incomplete/partial Androgen Insensitivity
Syndrome(PAIS).
Penderita PAIS adalah laki-laki dengan kelainan alat kelamin luar yang sangat bervariasi, kadang-
kadang bahkan terdapat pada beberapa pria normal yang tidak subur. Penderita PAIS mempunyai
penis yang kecil yang tampak seperti pembesaran clítoris, disertai dengan hipospadia berat (jalan
kencing bocor ditengah tidak melewati penis) yang membelah skrotum sehingga tampak seperti
lubang vagina. Skrotum kadang tidak menggantung dengan testis umumnya berukuran normal dan
terletak pada abdomen, selakangan atau sudah turun kedalam skrotum. Pada usia dewasa sering
tumbuh payudara dan keluarnya jakun, walaupun tidak disertai perubahan suara
Pada CAIS, penderita dengan penampilan seperti perempuan normal, dengan alat kelamin luar seperti
wanita, mempunyai vagina yang lebih pendek dari normal,dan payudara akan tumbuh mulai masa
prepubetas dengan hasil pemeriksaan kromosom menunjukkan 46,XY (sesuai kromosom pada laki-
laki) dan kadar hormon testosteron normal atau sedikit meningkat. Pada pemeriksaan fisik dan USG
akan teraba atau tampak 2 testis yang umumnya tidak berkembang dan terletak dalam rongga perut
atau selakangan, tanpa struktur alat genital dalam wanita. Individu dengan CAIS sering menunjukkan
gejala seperti hernia inguinalis (hernia pada selakangan), oleh karena itu pada anak perempuan
prapubertas yang mengalami hernia inguinalis (benjolan pada selakangan) dan gejala tidak menstruasi
sejak lahir, perlu pemeriksaan kromosom.

4) Gangguan pada embriogenesis yang tidak melibatkan gonad ataupun hormon


Kelainan genitalia eksterna dapat terjadi sebagai bagian dari suatu defek dari embriogenesis. Contoh
dari kelainan ini ialah epispadia glandular, transposisi penoskrotal, penis yang dihubungkan dengan
ahus imperforata, dan klitoromegali pada neurofibromatosis.

VI. Gejala Klinis


Beberapa keadaan di bawah ini harus dipertimbangkan sebagai kasus genitalia ambigua yang perlu
mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut :
Tampak laki-laki
Kriptorkismus bilateral
Hipospadia dengan skrotum bifidum
Kriptorkismus dengan hipospadia
Inderteminate/meragukan
Genitalia ambigua
Tampak Perempuan
Clitoromegali
Vulva yang sempit
Kantong hernia inguinalis berisi gonad

VII. Diagnosa
Untuk menentukan penyebab terjadinya interseksualitas atau ambiguous genitalia tidak mudah,
diperlukan kerja sama interdisipliner/intradisipliner, tersedianya sarana diagnostik, dan sarana
perawatan. Pada pemeriksaan medis perlu perhatian khusus terhadap hal-hal tertentu.
1) Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan mengenai :
a) Riwayat kehamilan adakah pemakaian obat-obatan seperti hormonal atau alkohol, terutama pada
trimester I kehamilan.
b) Riwayat keluarga adakah anggota keluarga dengan kelainan jenis kelamin.
c) Riwayat kematian neonatal dini.
d) Riwayat infertilitas dan polikistik ovarii pada saudara sekandung orangtua penderita.
e) Perhatikan penampilan ibu akne, hirsutisme, suara kelaki-lakian.
2) Pemeriksaan jasmani
a) Khusus terhadap genitalia eksterna/status lokalis : tentukan apakah testes teraba keduanya, atau
hanya satu, atau tidak teraba. Bila teraba di mana lokasinya, apakah di kantong skrotum, di inguinal
atau di labia mayora. Tentukan apakah klitoromegali atau mikropenis, hipospadia atau muara uretra
luar. Bagaimana bentuk vulva, dan adakah hiperpigmentasi
b) Tentukan apakah ada anomalia kongenital yang lain.
c) Tentukan adakah tanda-tanda renjatan.
d) Bagi anak-anak periksalah status pubertas, tentukan apakah ada gagal tumbuh atau tidak.

3) Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Analisis kromosom.
Pemeriksaan hormonal disesuaikan dengan keperluannya seperti testosteron, uji HCG, 17 OH
progesteron.
Pemeriksaan elektrolit seperti Natriurn dan Kalium.
b) Pencitraan
USG pelvis : untuk memeriksa keadaan genital interna.
Genitografi untuk menentukan apakah saluran genital interna perempuan ada atau tidak. Jika ada,
lengkap atau tidak. Jadi pencitraan ini ditujukan terutama untuk menentukan ada/ tidaknya organ yang
berasal dari dari saluran Muller.

VIII. Hambatan dan Penanggulangan


Penyebab penyakit interseks sangat kompleks, terbanyak oleh karena kelainan genetik, namun
pengaruh lingkungan terutama penggunaan obat-obat hormonal pada masa kehamilan merupakan
salah satu yang diduga. Paparan pada masa kehamilan yang mengakibatkan ambiguitas seksual pada
bayi perempuan dengan kromosom 46,XX semestinya dipertimbangan dengan hati-hati pada ibu
hamil, pemakaian obat hormonal yang tidak terlalu perlu seharusnya dihindari.
Hambatan pada penanganan penyakit ini adalah sarana penunjang diagnosis yang masih
minimal dan mahal, pengetahuan dan kesadaran yang kurang dari masyarakat dan tenaga medis baik
dokter, penolong persalinan maupun perawat kesehatan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan konseling genetika untuk penyakit yang menurun,
penggunaan obat dan lingkungan yang aman pada awal kehamilan. Penanganan seharusnya dilakukan
sedini mungkin saat bayi baru lahir dengan secara multidisiplin. Bayi baru lahir dengan kelainan alat
kelamin harus ditentukan jenis kelaminnya agar tidak terjadi salah pengasuhan dan gangguan
psikologis dikemudian hari. Surat keterangan kelahiran semestinya dibuat setelah jenis kelamin dapat
ditentukan. Tindakan operasi harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati atau bahkan
penundaan sampai anak mencapai usia dewasa. Penentuan jenis kelamin dan tindakan operasi koreksi
tidak hanya ditentukan secara sepihak oleh orang tua saja. Untuk menghindari masalah medikolegal
maka perlunya penyusunan standard baku nasional untuk penanganan kelamin ganda yang diatur oleh
Departemen Kesehatan.

IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan genitalia ambigua meliputi penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh
seksual (sex rearing), pengobatan hormonal, koreksi secara pembedahan, dan psikologis. Oleh karena
itu pelibatan multi-disiplin ilmu harus sudah dilakukan sejak tahap awal diagnosis yang meliputi
bidang : Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah plastik, Kandungan dan Kebidanan, Psikiatri,
Genetika klinik, Rehabilitasi medik, Patologi klinik, Patologi anatomi, dan Bagian hukum Rumah
Sakit/Kedokteran forensik.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan :
1) Potensi fertilitas
2) Kapasistas fungsi seksual
3) Fungsi endokrin.
4) Perubahan keganasan
5) Testosteron imprinting dan waktu saat pembedahan
6) Faktor psikoseksual: gender identity (identitas gender), gender role (peran gender) dangender
orientation (orientasi gender)
7) Aspek kultural
8) Informed consent dari keluarga.

X. Pengobatan
1) Pengobatan Endokrin
Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah mendorong perkembangan
maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda seks feminisasi (membesarkan ukuran penis,
menyempurnakan distribusi dan masa tubuh) dengan pemberian testosteron. Bila pasien menjadi
perempuan maka tujuan pengobatan adalah mendorong secara simultan perkembangan karakteristik
seksual ke arah feminim dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan dan menstruasi) yang
dapat timbul beberapa individu setelah pengobatan estrogen). Pada CAH di tentukan glukortikoid dan
hormon untuk retensi garam.
2) Pengobatan penbedahan
Tujuan pembedahan rekontruksi pada genetalia perempuan agar mempunyai genetalia eksterna
feminim, sedapat mungkin seperti normal dan mengoreksi agar fungsi seksual normal. Pada laki-laki
tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan merubah letak uretra yang tidak berada
pada tempat normal ke ujung penis.

3) Pengobatan psikologis
Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarga di pertimbangkan untuk di berikan konseling.
Yang sangat penting adalah yang memberikan konseling harus sangat familier dengan hal yang
berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks.

B. Konsep Keperawatan

I. Pengkajian
a) Anamnesis
Riwayat kehamilan ibu :
Penggunaan progesterone atau androgen pada awal kehamilan
Ibu yang mengalami virilisasi
Riwayat kematian perinatal.
Riwayat keluarga :
Adanya keluarga yang menderita genitalia ambigua atau kelainan urologi
Adanya keluarga yang mengalami hyperplasia adrenal kongenital
Perempuan yang amenorrhea atau infertilitas.

b) Pemeriksaan fisik
Pemerikasaan fisik harus dapat menentukan keadaan apakah ada suatu bentuk dismorfik dan keadaan
kesehatan bayi. Genitalia eksterna harus diperiksa secara teliti, dengan sistematika sebagai berikut :
Tentukan teraba gonad, posisi, ukuran, dan teksturnya
Pengukuran panjang fallus
Tentukan posisi meatus dari uretra, adanya hipospadia dan korda
Tentukan derajat dari fusi labioscrotal folds
Tentukan apakah terdapat orifisium vagina
Tanda-tanda lain :
Hiperpigmentasi, dehdrasi, hipoglikemia, atau hipertensi
Webbed neck, low hairline

G. HIPOSPADIA
1) Definisis
Hipospadia merupakan kelainan kongenital dimana muara uretra terletak disisi
ventral penis lebih ke proksimal.

2) Epidemiologi
Angka kejadian hipospadia lebih sering dibandingkan dengan epispadia yaitu sekitar 1 : 300
kelahiran hidup.

3) Klasifikasi
Ada beberapa tipe hipospadia:
 Hipospadia type Perenial, lubang kencing berada di antara anus dan buah zakar
(skrotum).
 Hipospadia type Scrotal, lubang kencing berada tepat di bagian depan buah zakar
(skrotum).
 Hipospadia type Peno Scrotal, lubang kencing terletak di antara buah zakar (skrotum)
dan batang penis.

 Hipospadia type Peneana Proximal, lubang kencing berada di bawah pangkal penis.
 Hipospadia type Mediana, lubang kencing berada di bawah bagian tengah dari batang
penis.
 Hipospadia type Distal Peneana, lubang kencing berada di bawah bagian ujung
batang penis.
 Hipospadia type Sub Coronal, lubang kencing berada pada sulcus coronarius penis
(cekungan kepala penis).
 Hipospadia type Granular, lubang kencing sudah berada pada kepala penis hanya
letaknya masih berada di bawah kepala penisnya.
Hipospadia dibagi menjadi beberapa tipe menurut letak orifisium uretra eksternum yaitu
sebagai berikut :
 Tipe Sederhana / Tipe Anterior
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini
bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit
dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
 Tipe Penil / Tipe Middle
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai
dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih.
 Tipe Penoskrotal dan Tipe Perineal / Tipe Posterior
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.

4) Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui
penyebab pasti dari epispadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap
paling berpengaruh, antara lain :
 Faktor Genetik
Sekitar 28 % penderita hipospadia memiliki hubungan familial. Terdapat
predisposisi non-Mendelian pada hipospadia. Jika salah satu saudara kandung
mengalami hipospadia, risiko kejadian berulang pada keluarga tersebut adalah
12%. Jika bapak dan anak laki-lakinya mengalami hipospadia, risiko kejadian
berulang pada anak laki-laki berikutnya adalah 25%.
 Faktor Hormonal
Proses diferensiasi uretra pada penis bergantung kepada androgen
dihidrotestosteron (DHT). DHT merupakan hasil konversi dari testosteron oleh
enzim 5-α reduktase. Gangguan pada sekresi testosteron, defisiensi enzim 5-α
reduktase, atau defek pada reseptor androgen (androgen insensitivity syndrome)
dapat menyebabkan hipospadia.
 Faktor Lingkungan / Eksternal
Salah satu faktor eksternal yang dapat mengakibatkan hipospadia adalah paparan
terhadap estrogen eksternal. Hal ini dapat terjadi pada ibu hamil yang mendapatkan
terapi estrogen. Selain itu,hipospadia juga dapat diakibatkan oleh paparan zat kimia
yang disebut dengan endocrine disrupter chemicals (EDC). Zat ini dapat
mengganggu atau mengubah fungsi endokrin sehingga terjadi penghambatan kerja
androgen, terutama DHT. Salah satu contoh EDC adalah zat yang terdapat dalam
pestisida kimia, seperti diklorodifenil-trikloroetan (DDT). Zat ini dapat bereaksi
dengan estrogen atau reseptor androgen serta berperan sebagai senyawa antagonis
terhadap hormon endogen.

5) Manifestasi Klinis
 Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, biasanya kebawah, menyebar,
mengalir melalui batang penis, sehingga anak akan jongkok pada saat BAK.
 Pada hipospadia grandular/ koronal anak dapat BAK dengan berdiri dengan
mengangkat penis keatas.
 Pada hipospadia peniscrotal/ perineal anak berkemih dengan jongkok.
 Penis akan melengkung kebawah pada saat ereksi.
 Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah
penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
 Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung
penis.
 Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang
hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
 Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
 Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
 Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
 Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
 Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).

6) Diagnosis
 Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi.
Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadi sering
disertai kelainan pada ginjal.
 Ultrasound perinatal untuk mendeteksi agenesis ginjal. \
 Segera setelah lahir, scan computerized axial tomography (CAT) atau ultrasoud ginjal
digunakan untuk mendiagnosis kelainan.
 Uretroskopi dan sistoskopi membantu dalam mengevaluasi perkembangan reproduksi
internal.
 Urografi untuk mendeteksi kelainan kongenital lain pada ureter dan ginjal.

7) Tatalaksana
Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan
penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga
aliran kencing arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal.
Operasi harus dilakukan sejak dini, dan sebelum operasi dilakukan bayi atau anak
tidak boleh disirkumsisi karena kulit depan penis digunakan untuk pembedahan nanti.
Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari beberapa tahap
yaitu: Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, dan Teknik
Horton dan Devine.
 Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan
yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ - 2 tahun. Penis diharapkan
lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi
menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis.
Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah
lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu
dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan
flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada
garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka
operasi pertama telah matang.

 Teknik Horton dan Devine


Dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah
cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung
penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis
dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya prepurium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia,
maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan
operasi hipospadia.

H. Kista Vagina
Kista adalah tumor jinak di organ reproduksi perempuan yang paling sering ditemui. Bentuknya
kistik, berisi cairan kental, dan ada pula yang berbentuk anggur. Kista juga ada yang berisi udara,
cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. Berdasarkan tingkat keganasannya, kista terbagi dua,
yaitu non-neoplastik dan neoplastik. Kista non-neoplastik sifatnya jinak dan biasanya akan
mengempis sendiri setelah 2 hingga 3 bulan. Sementara kista neoplastik umumnya harus dioperasi,
namun hal itu pun tergantung pada ukuran dan sifatnya.

Ada macam-macam kista tapi yang paling sering ditemukan adalah kista gartner atau duktus muller.
Bentuknya seperti gelembung air atau bisul. Kista di vagina bisa mempersempit lubang vagina yang
akhirnya akan menghambat persalinan. Bahkan jika bentuknya besar, bisa menghalangi hubungan
intim dan akibatnya malah tak bisa hamil.

Patofisiologi
Tumor ini berasal dari epitel permukaan ovarium invaginasi yang sederhana dari epitel germinal
sampai ke invaginasi disertai permukaan ruangan kista yang luas terjadi pembentukan papil-papil
kearah dalam tumor kistik.

Etiologi
Faktor yang menyebabkan gajala kista meliputi Gaya hidup tidak sehat. Diantaranya;
1. Konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kurang serat
2. Zat tambahan pada makanan
3. Kurang olah raga
4. Merokok dan konsumsi alcohol
5. Terpapar denga polusi dan agen infeksius
6. Sering stress
7. Faktor genetic = Dalam tubuh kita terdapat gen gen yang berpotensi memicu kanker, yaitu yang
disebut protoonkogen, karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan yang bersifat karsinogen
, polusi, atau terpapar zat kimia tertentu atau karena radiasi, protoonkogen ini dapat berubah menjadi
onkogen, yaitu gen pemicu kanker.

Tanda dan Gejala


Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulakan gejala dalam waktu yang lama.
Gejala umumnya sangat berfariasi dan tidak spesifik.
Pada stadium awal gejalanya dapat berupa;
1. Gangguan haid
2. Jika sudah menekan rectum atau VU mungkin terjadi konstipasi atau sering berkemih.
3. Dapat terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang menyebabkan nyeri spontan dan
sakit diperut.
4. Nyeri saat bersenggama.

V. Bagaimana Hubungannya Pada Janin


Kista yang besar bisa menimbulkan kelainan letak janin dalam kandungan, atau menghalangi
turunnya kepala di jalan lahir pada waktu persalinan. Oleh karena itu bila ditemukan kista permanen
yang besar, maka perlu tindakan pembedahan pada kehamilan sekitar 18 minggu. Bila kista yang
besar tersebut tidak menghalangi jalan lahir atau tidak menimbulkan gejala sakit, operasi dapat
dilakukan 3 bulan setelah ibu melahirkan. Jadi, tindakan yang diambil dokter sangat ditentukan oleh
jenis kista, ukuran dan letaknya di jalan lahir serta keluhan dari ibu hamil itu sendiri.

Tindakan
Cara yang paling efektif untuk mengatasi kista yaitu:
1. Dengan mengangkat kista melalui operasi. Namun, tindakan pengobatan tersebut hingga kini belum
memberikan hasil yang memuaskan. Tindakan operasi pengangkatan kista tidak menjamin kista tidak
akan tumbuh kembali nantinya. Selama seorang wanita masih memproduksi sel telur, maka potensi
untuk tumbuh kista akan tetap ada. Namun, dengan meningkatnya pengetahuan serta kesadaran kaum
wanita saat ini untuk memeriksakan organ reproduksinya merupakan langkah awal yang tepat untuk
mengurangi risiko terjadinya kista.

2. Mengatasi Kista dengan Laparoskopi


Laparoskopi merupakan teknik pembedahan atau operasi yang dilakukan dengan membuat dua atau
tiga lubang kecil (berdiameter 5-10 milimeter) di sekitar perut pasien. Satu lubang pada pusar
digunakan untuk memasukkan sebuah alat yang dilengkapi kamera untuk memindahkan gambar
dalam rongga perut ke layar monitor, sementara dua lubang yang lain untuk peralatan bedah yang
lain.
Penderita kanker ovarium stadium dini dapat ditangani dengan operasi yang kemudian dilanjutkan
dengan terapi. Bila kanker ovarium telah memasuki stadium lanjut baru di lakukan kemoterapi atau
radiasi.

Anda mungkin juga menyukai