PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Pterigyum merupakan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degenerative dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas kedaerah kornea. Pterigyum berbentuk segitiga dengan puncak
dibagian sntral atau di daerah kornea. Pterigyum mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterigyum akan berwarna merah, umumnya
bilateral disisi nasal.
2. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membrane yang menutupi sclera dan kelopak
bagian belakang. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalaui
konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan
oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi dari bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus
2
2. Konjungtiva bulbi menutupi sclera dan mudah digerakkan dari sclera
dibawahnya.
3. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Hingga saat ini etiologi pasti dari pterigyum masih belum diketahui
secara pasti. Bebrapa faktor risiko pterigyum antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain
itu, kekurangan fungsi lakrimasi, konjungtivitis kronis dan difisiensi vitamin
A juga berpotensi menimbulkan pterigyum. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa etiologi pterigyum merupakan suatu fenomena iritatif
akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada dilingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Bebrapa kasus
dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigyum dan berdasarkan
penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigyum kemungkinan
diturunkan autosom dominan.
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
prevalensi usia meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi juga dapat ditemui pada usia anak-anak
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterigyum berhubungan dengan paparan sinar UV
3. Jenis kelamin
Perbedaan risiko laki-laki > perempuan
4. Herediter
Pterigyum dipengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan.
5. Infeksi
3
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakn sebagai penyebab pterigyum.
6. Tempat tinggal
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikro trauma karena partikel-pertikel
tertentu seperti asap rokok.
4. Klasifikasi
1. Berdasarkan stadium pterigyum dibagi ke dalam 3 stadium, yaitu :
Stadium 1 : jika pterigyum hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium 2 : jika pterigyum sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea
Stadium 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3 4 mm)
Stadium 4 : jika pertumbuhan pterigyum sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.
2. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
Pterigyum progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrate
di kornea di depan kepala pterigyum (cap pterigyum)
Pterigyum regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Akhirnya
menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
3. Berdasarkan tipenya, dibagi menjadi 2, yaitu :
Membran/fibrosa : tipis, pucar, pembuluh darah < 5
Vascular : hiperemis, pembuluh darah > 5
5. Patofisiologi
Terjadinya pterigyum sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor suppressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal
di limbus. Ekskresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF ( vasculsr
4
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringana
subepitel fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular
di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membrane Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai inflamasi ringan.
Kerusakan membrane Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhan pterigyum. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasi.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell.
Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di
daerah interpalpebra.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.
Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi
fibrovaskular dan inflamasi.
5
6. Gambaran klinis
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan tanpa disertai
keluhan sama sekali. Bebrapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata
perih, berair, silau, dan tampak merah, merasa seperti ada yang mengganjal.
Sedangkan pada tahap lanjut dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Diplopia timbul apabila pterigyum besar.
7. Diagnosa
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Se;ain itu, perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja
diluar ruangan pada dearah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pemeriksaa fisik
Pada inspeksi pterigyum terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang
vascular dan tebal tetap ada juga yang avaskular dan flat. Pterigium paling
sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigyum adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa stigmatisma
ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
8. Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang
sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi,
masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura
interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak
6
diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur.
Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian
sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor
resiko penyebab pinguekula.
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya
membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal
degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya
jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju
kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi
pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan
muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium
pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada
pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang
berbeda dengan true pterygium.
9. Pentalaksanaan
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakan
konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun
paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kecamata anti UV dan
pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dab Guillermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
7
d. Mendahului sutau operasi intraokuler
Menurut Guilermo Pico :
a. Progresif, resiko rekurensi > luas
b. Mangganggu visus
c. Mengganggu pergerakan bola mata
d. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
e. Pada pterigium dan kornea sekitarnya terdapat nodul
10. Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi
pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft
oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral
dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva,
skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang
terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi.
11. Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali .
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah
sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan
dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan
konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan
graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.
Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi.
8
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.
9
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, S., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Mescher, Anthony L, 2007. Junqueiras Basic Histology: Text and Atlas, 12th ed. Mc
Graw Hill, USA.
Saerang, J.S.M., 2013. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai Faktor
Risiko Tumbuh Ulang Pterygium. J Indon Med Assoc Volum: 63, 100105.
Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102104.
10