Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kista coklat ovarium adalah salah satu entitas atau jenis kista ovarium
yang paling sering ditemukan para klinisi dalam bidang obstetri dan ginekologi.
Salah satu dari kista coklat yang paling memberikan dampak klinis adalah kista
endometriosis atau sering disebut endometrioma. Endometriosis selain dapat
menyebabkan nyeri pelvis kronis atau dysmenorrhea, ia sering juga menyebabkan
infertilitas. Selain dari pada itu, sering kasus neoplasma ganas pada ovarium
maupun ekstraovarium berawal dan berkembang dari lesi endometriosis itu
sendiri. 1,2

Jaringan endometriosis memiliki gambaran bercak kecil, datar, gelembung


atau flek-flek yang tumbuh di permukaan organ-organ di rongga pelvis. Flek-flek
ini bisa berwarna bening, putih, coklat, merah, hitam, atau biru. Jaringan
endometriosis dapat tumbuh di permukaan rongga pelvis, peritoneum, dan organ-
organ di rongga pelvis, yang kesemuanya dapat berkembang membentuk nodul-
nodul. Endometriosis bisa tumbuh di permukaan ovarium atau menyerang bagian
dalam ovarium dan membentuk kista berisi darah yang disebut sebagai kista
endometriosis atau kista coklat. Kista ini disebut kista coklat karena terdapat
penumpukan darah berwarna merah coklat hingga gelap. Kista ini bisa berukuran
kecil seukuran kacang dan bisa tumbuh lebih besar dari buah anggur.
Endometriosis dapat mengiritasi jaringan di sekitarnya dan dapat menyebabkan
perlekatan (adhesi) akibat jaringan parut yang ditimbulkannya.3

Tampilannya yang khas secara ultrasonografi dan tampilan makroskopik


saat operasi sering kali begitu khas sehingga klinisi sering menjadi sangat yakin
akan diagnosis kista endometriosis ini. Padahal kista coklat ovarium dalam
terminologi histopatologi bukanlah semata hanya kista endometriosis. Kita masih
mengenal jenis - jenis kista coklat lainnya seperti kista lutein berdarah dan kista
hemoragis lainnya. 1,2

1
Tampilan mikroskopik histopatologi kista coklat ini sebenarnya cukup
khas untuk bisa menegakkan jenis dari kista coklat tersebut. Seperti contoh, untuk
menegakkan diagnosis kista endometriosis atau endometrioma, diperlukan kriteria
identifikasi kelenjar dan stroma endometrium ektopik di dalam ovarium. Namun
sering sekali terjadi, dalam sebuah specimen histopatologi, gambaran kelenjar
maupun stroma endometriosis tidaklah begitu spesifik. Begitu juga halnya dengan
jenis kista ovarium hemoragis lainnya yang memberikan gambaran yang mirip
dengan endometrioma. Pemeriksaan histopatologi rutin konvensional ini sering
memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Karena terapi dari kondisi di
atas sangat berbeda, maka penting sekali untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis
endometriosis sehingga diperlukan metode yang lebih baik dan objektif dalam
penegakan diagnosis endometriosis. 4

Endometriosis terjadi pada 10-14% wanita usia reproduksi dan mengenai


40-60% wanita dengan dismenorhea dan 20-30% wanita subfertil. Saudara
perempuan dan anak perempuan dari wanita yang menderita endometriosis
berisiko 6-9 kali lebih besar untuk berkembang menjadi endometriosis.5
Endometriosis menyebabkan nyeri panggul kronis berkisar 70%. Risiko untuk
menjadi tumor ovarium adalah 15-20%, angka kejadian infertilitas berkisar 30-
40%, dan risiko berubah menjadi ganas 0,7-1%. Endometriosis sekalipun sudah
mendapat pengobatan yang optimum memiliki angka kekambuhan sesudah
pengobatan berkisar 30%.6

Penanganan endometriosis baik secara medikamentosa maupun operatif


tidak memberikan hasil yang memuaskan disebabkan patogenesis penyakit
tersebut belum terungkap secara tuntas. Keberhasilan penanganan endometriosis
hanya dapat dievaluasi saat ini dengan mempergunakan laparoskopi. Laparoskopi
merupakan tindakan yang minimal invasif tetapi memerlukan keterampilan
operator, biaya tinggi dan kemungkinan dapat terjadi komplikasi dari yang ringan
sampai berat. Alasan yang dikemukakan tadi menyebabkan banyak penderita
endometriosis yang tidak mau dilakukan pemeriksaan laparoskopi untuk
mengetahui apakah endometriosis sudah berhasil diobati atau tidak.6

2
Tampilannya yang khas secara ultrasonografi dan tampilan makroskopik
saat operasi sering kali begitu khas sehingga klinisi sering menjadi sangat yakin
akan diagnosis kista endometriosis ini. Padahal kista coklat ovarium dalam
terminologi histopatologi bukanlah semata hanya kista endometriosis. Kita masih
mengenal jenis - jenis kista coklat lainnya seperti kista lutein berdarah dan kista
hemoragis lainnya. 1,2

Tampilan mikroskopik histopatologi kista coklat ini sebenarnya cukup


khas untuk bisa menegakkan jenis dari kista coklat tersebut. Seperti contoh, untuk
menegakkan diagnosis kista endometriosis atau endometrioma, diperlukan kriteria
identifikasi kelenjar dan stroma endometrium ektopik di dalam ovarium. Namun
sering sekali terjadi, dalam sebuah specimen histopatologi, gambaran kelenjar
maupun stroma endometriosis tidaklah begitu spesifik. Begitu juga halnya dengan
jenis kista ovarium hemoragis lainnya yang memberikan gambaran yang mirip
dengan endometrioma. Pemeriksaan histopatologi rutin konvensional ini sering
memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Karena terapi dari kondisi di
atas sangat berbeda, maka penting sekali untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis
endometriosis sehinggadiperlukan metode yang lebih baik dan objektif dalam
penegakan diagnosis endometriosis.4

Oleh karena kejadiannya yang terus meningkat, maka diperlukan


pengetahuan tentang endometriosis, sehingga dapat dideteksi secara dini agar
dapat ditatalaksana dengan tepat dan memperbaiki prognosis serta menghindarkan
komplikasinya.7

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar-
kelenjar dan stroma.8 Kista endometriosis adalah suatu jenis kista yang berasal
dari jaringan endometrium. Ukuran kista bisa bervariasi antara 0.4-4 inchi. Jika
kista mengalami ruptur, isi dari kista akan mengisi ovarium dan rongga pelvis.9

Gambar 1. Kista endometriosis

4
2.2 Etiologi

Hingga saat ini penyebab endometriosis belum diketahui secara pasti, oleh karena
belum ada satupun teori yang sempurna dan dapat menerangkan penyebab
terjadinya endometriosis,

Ada beberapa teori yang diutarakan oleh beberapa ahli mengenai penyebab
endometriosis yaitu:

Endometriosis mungkin disebabkan oleh faktor keturunan, atau beberapa


anggota keluarga mempunyai sifat yang membuat mereka terlihat seperti
endometriosis.
Tumbuhnya jaringan endometrium dibagian tubuh yang lain selain uterus
melalui sistem peredaran darah atau sistem limfa.
Endometriosis dapat disebabkan adanya ganguan pada sistem imunitas,
endometriosis juga dapat menjadi kanker ovarium.
Hormon estrogen dapat menjadi pemicu pertumbuhan endometriosis.
Beberapa penelitian memandang hal ini sebagai penyakit sistem endokrin,
sistem kelenjar, hormon, dan sekresi lain dari tubuh.
Jaringan endometrium juga dapat ditemukan pada bekas luka abdominal
dan mungkin ditemukan di tempat tersebut akibat kesalahan sewaktu
pembedahan.
Sejumlah kecil jaringan saat pembentukan embrio yang kemudian berubah
menjadi endometriosis.
Penelitian terbaru menunjukan adanya hubungan antara paparan dioksin
dan endometriosis. Dioksin adalah senyawa yang bersifattoksik yang
berasal dari pembuatan pestisida dan pembakaran sampah plastik.

2.3 Patogenesis

Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab
terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan
kejadian endometriosis, antara lain :

5
1. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson)

Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi)


melalui tuba ke dalam rongga pelvis.10,11 Sudah dibuktikan bahwa dalam darah
haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup
ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. 11 Teori ini paling banyak
penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di
luar pelvis.

2. Teori metaplasia (Rober Meyer)

Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal


dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini
akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan
endometrium.11 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium,
endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama. 10 Teori Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak ditentang. Disamping itu masih terbuka
kemungkinan timbulnya endometroisis dengan jalan penyebaran melalui darah
atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium saat operasi. 11

3. Teori penyebaran secara limfogen (Halban)

Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui


saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai
tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik. Jaringan
endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita
endometriosis. 12

4. Teori imunologik

Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit


autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan,
bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan
menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa
danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka

6
bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati
penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada
monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik. 10

2.4 Klasifikasi Derajat dan Lokasi Lesi Endometriosis

Endometriosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan


lokasi dan tipe lesi, yaitu:13

1. Peritoneal endometriosis

Pada awalnya lesi di peritoneum akan banyak tumbuh vaskularisasi


sehingga menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan
menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi sehingga
tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah dapat berubah
menjadi lesi hitam tipikal dan setelah itu lesi akan berubah menjadi lesi putih
yang miskin vaskularisasi dan ditemukan debris glandular.

2. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)

Ovarian endometrioma diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks


ovarium setelah penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan
endometriosis. Kista endometrium bisa besar (>3cm) dan multilokus, dan bisa
tampak seperti kista coklat karena penimbunan darah dan debris ke dalam rongga
kista.

3. Deep Nodular Endometriosis

Pada endometriosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi septum


rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti uterosakral dan
ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh hiperplasia otot polos dan
jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang menginfiltrasi. Jaringan endometriosis
akan tertutup sebagai nodul, dan tidak ada perdarahan secara klinis
yangberhubungan dengan endomeriosis nodular dalam.

7
Pada tahun 1996, ASRM merevisi sistem klasifikasinya, yang dikenal
dengan sistem skoring revised AFS (r-AFS). Dalam sistem ini dibagi menjadi
empat derajat keparahan, yakni :14

a. Stadium I (minimal) : 1 - 5

b. Stadium II (ringan) : 6 - 15

c. Stadium III (sedang) :16 - 40

d. Stadium IV (berat) : > 40

Gambar 2. Klasifikasi endometriosis.

8
2.5 Diagnosis

Anamnesis

Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri.15 Nyeri pelvik kronis


yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
endometriosis.16 Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang
sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. 15,17

Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit


ini bersifat diwariskan.18 Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar
untuk mengalami hal serupa.19 Endometriosis juga lebih mungkin berkembang
pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus
displastik telah diperlihatkan berhubungan dengan endometriosis. 17,19

Tanda dan Gejala

15
Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada
endometriosis biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan endometriosis,
yang dipengaruhi hormon ovarium selama siklus haid, berupa nyeri pada daerah
pelvik,20 akibat dari:


melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang
peritoneum.17,18,19
kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2 alpha
dan PGE) yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis itu sendiri.17,20

Dismenore pada endometriosis umumnya bersifat sekunder atau


peningkatan dari yang primer, dimenore dan dispareuni makin mengarah ke
endometriosis jika gejala muncul bertahun-tahun dengan haid dan senggama yang
semula tanpa nyeri.20 Semakin lama dan berat intensitas nyeri semakin berat
stadium endometriosis pada diagnosis awal.17

Endometriosis juga dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan gejala


yang tidak khas. Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum douglas dan nyeri

9
pinggang yang semakin berat selama haid nyeri rektum dan saat defekasi juga
dapat terjadi tergantung daeran invasi jaringan endometriosisnya. Sering
dirasakan nyeri pelvik siklik yang mungkin berkaitan dengan nyeri traktus
urinarius dan gastrointestinal.17,20,21

Pada penderita endometriosis juga sering dijumpai infertilitas.5 Gangguan


haid berupa bercak prahaid atau hipermenore. 17,20,21

Pemeriksaan Fisik

Untuk mendapatkan hasil yang lebih mendukung, dilakukan pemeriksaan


fisik saat awal mensturasi dimana implant dalam keadaan paling besar dan paling
lunak. Jika terdapat penyakit yang lebih luas, dapat diketemukan dengan nodul
pada uterosacral pada pemeriksaan rectovaginal atau uterus retrovert yang
terfiksasi. Jika ovary terlibat, ditemukan bagian masa adnexa yang terfiksasi,
lunak dapat teraba dengan pemeriksaan bimanual atau ultrasonografi.22

Inspeksi

Selalunya tidak terdapat sebarang kelainan pada inspeksi visual dari luar.
Namun, pada beberapa kasus, terdapat tanda endometriosis di dalam bekas
episiotomy ataupun bekas operasi lainnya, paling banyak adalah pada insisi
Pfannenstiel. Endometriosis dapat bertumbuh secara spontan dalam perineum atau
perianal.23

Gambar 3. Endometriosis pada bagian bawah bekas insisi vertical bagian median.

10
Pemeriksaan Inspekulo

Pemeriksaan vagina dan serviks dengan inspekulum selalu mendapatkan


tiada tanda endometriosis. Namun, dapat juga terlihat adanya lesi kebiruan atau
kemerahan pada serviks atau forniks posterior vagina. Lesi ini mungkin
berkonsistensi lunak atau berdarah jika disentuh. Dengan pemeriksaan ini
sebanyak 14% pasien dapat didiagnosis dengan endometriosis infiltrasi yang
dalam.23

Pemeriksaan bimanual

Pada palpasi rongga pelvic, dapat ditemukan anatomi yang abnormal


menunjukkan endometriosis. Ligament uterosacral bernodul dan lunak dapat
menunjukkan penyakit yang aktif atau terdapat jaringan parut sepanjang ligament.
Masa yang besar dan kistik pada adneksa dapat menandakan endometrioma ovary,
yang dapat mobil atau adheren pada struktur pelvic. Pemeriksaan bimanual ini
dapat mengetahui apakah uterus retrovert, tetap, lunak atau keras. Meskipun
palpasi organ panggul dapat membantu dalam diagnosis, sensitivitas dan
spesifisitas nyeri panggul fokus dalam mendeteksi endometriosis menampilkan
variasi yang luas dan rentang 36-90 persen dan 32 sampai 92 persen. 23

Pemeriksaan laboratorium

Untuk menolak penyebab lain pada nyeri panggul, dilakukan pemeriksaan


laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, urinalisis dan kultur urin, kultur vagina
dan hapusan serviks dapat digunakan untuk menolak penyebab disebabkan infeksi
atau penyakit menular seksual yang dapat menyebabkan pelvic inflammatory
disease.23

SERUM CA125

CA125 diidentifikasi pada beberapa jaringan dewasa seperti epithelium


pada tuba falopi, endometrium, endoserviks, pleura dan peritoneum. Jika terdapat
peningkatan CA125 pada pemeriksaan esei antibody monoclonal, terdapat

11
peningkatan derajat keparahan pada endometriosis. Walaupun begitu,
pemeriksaan esei ini mempunyai sensitifiti yang buruk dalam mendeteksi
endometriosis derajat ringan. Namun marker ini lebih tepat untuk mendiagnosa
endometriosis derajat III dan IV. Juga meningkat pada infeksi radang panggul,
mioma dan trimester awal kehamilan. Untuk monitor prognostic pascaoperatif
endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostic kekambuhannya tinggi. Bila
CA 125> 65 mIU/ml praoperatif menunjukkan derajat beratnya endometriosis.23

Serum marker yang lain


CA 19-9, glikoprotein antigenic yang lain merupakan serum marker
yang menunjukkan korelasi yang positif dengan derajat keparahan
endometriosis.
Serum placental protein 14 (PP14; glycodelin-A) juga menunjukkan
sensitivity yang adekuat (59%) namun tidak dikonfirmasi oleh studi
yang lain.
Serum Interluekin-6 (IL-6), jika kadarnya melebihi 2 pg/mL (90%
sensitivity dan 67% specificity), tumor necrosis factor- (TNF- ) dengan
peritoneal fluid levels diatas 15 pg/mL (100% sensitivity dan 89%
specificity) dapat digunakan untuk diskriminasi antara yang
mempunyai endometriosis ataupun tidak.23

Pemeriksaan Penunjang

Ultrasonografi (USG)
o Hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista
endometriosis) >1cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-
bintik endometriosis ataupun perlengketan
o Dengan USG transvaginal dapat melihat gambaran karakteristik
kista endometriosis dengan bentuk kistik dan adanya interval eko
di dalam kista. (ground grass appearance)22,23,24,25

12
Gambar 4. Sonogram transvaginal menunjukkan endometrioma ovarian.
Terdapat kista dengan eko yang rendah dapat dilihat.

Magnetic resonance imaging (MRI)


o Tidak menawarkan pemeriksaan lebih superior dibandingkan
dengan USG
o Dapat digunakan untuk melihat kista, masa ekstraperitoneal,
adanya invasi ke usus dan septum rektovagina22,23,24,25

Bedah laparoskopi diagnostic

Laparoskopi adalah bahan baku emas untuk mendiagnosis endometriosis.


Lesi aktif baru berwarna merah terang, sedangkan yang sudah lama berwarna
merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat berwarna putih dengan jaringan parut.
Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium dapat terbentuk kista yang disebut
endometrioma. Biasanya isinya berwarna coklat kehitaman sehingga juga diberi
nama kista cokelat.

Penemuan laparoskopi terdapat pembagai jenis dan dapat dibedakan antara lesi
endometriotik, endometrioma dan formasi adheren. 22,23,24,25

13
Lesi endometriotik

Organ pelvic dan peritoneum pelvic adalah lokasi tipikal untuk


endometriosis. Penampilan lesi bervariasi dan warnanya dapat menjadi merah,
putih, hitam. Lesi yang gelap karena berpigmen dari pemendapan hemosiderin
dari debris mensturasi yang terperangkap. Lesi ini juga dapat muncul sebagai
gelembung-gelembung kecil dan halus pada permukaan peritoneum, lubang atau
defek pada peritoneum atau lesi stellata yang datar mengelilingi jaringan parut.
Lesi endometriotik terdapat pada permukaan dan invasi peritoneum atau organ
pelvic.23

Gambar 5. Dibawah hujung irrigator, terdapat lesi endometriotik berwarna putih


dan merah di dalam peritoneum pelvic sewaktu laparoskopi.

Endometrioma

Endometrioma adalah lesi kistik endometrial di dalam ovary. Lesi ini


kelihatan kista coklat mengandungi cairan coklat yang pekat. Masa ovary ini
dapat unilokal, namun selalunya multilokal jika diameter lebih dari 3cm.23

14
Gambar 6,7,8. Endometrioma dalam rongga pelvic, kista coklat endometriosis,
keadaan endometrioma yang dibelah, menunjukkan shaggy hemorrhagic lining.

Pemeriksaan patologi anatomi


o Didapatkan adanya kelenjar dan stroma endometrium

Gambar 9. Endometriosis kolon. Terdapat kelenjar endometrial


yang jinak dan struma endometrial di dalam submukosa kolon.

15
2.6 Diagnosa Banding

Gejala endometriosis tidak spesifik dan dapat menyerupai banyak proses


penyakit. Karena endometriosis merupakan suatu diagnosis bedah, beberapa
diagnosis lain dapat diperkirakan sebelum diadakannya eksplorasi tindakan
bedah.26. Adapun yang dapat menjadi diagnosis banding adalah penyakit inflamasi
panggul, abses tubo-ovarian, salpingitis, endometritis, kista ovarium hemoragik,
torsi ovarium, dismenore primer, sistitis, infeksi traktus urinarius kronik, batu
ginjal, penyakit inflamasi usus, divertikulitis, penyakit muskuloskeletal, dan lain-
lain.27,28

2.7 Penatalaksanaan

Pencegahan

Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis.


Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan
sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang
endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama,
dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang
diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya
merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari
terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan
pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat
menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga
panggul.11

16
Pengobatan

Bagan : Diagnostik dan penanganan untuk perempuan dengan presumsi atau telah
dibuktikan dengan endometriosis. COCs = combination oral contraceptives;
GnRH = gonadotropin-releasing hormone; IUI = intrauterine insemination;
NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs.23

Endometriosis bisa diterapi dengan medikamentosa dan/atau pembedahan.


Pengobatan endometriosis juga bertujuan untuk menghilangkan nyeri dan/atau
memperbaiki fertilitas.29,30,31

17
Endometriosis dan subfertilitas
o Adhesi peritubal and periovarian dapat menginterferensi dengan
transportasi ovum secara mekanik dan berperan dalam
menyebabkan subfertilitas. Endometriosis peritoneal telah terbukti
berperan dalam menyebabkan subfertilitas dengan cara
berinterferensi dengan motilitas tuba, follikulogenesis, dan fungsi
korpus luteum. Aromatase dipercaya dapat meningkatkan kadar
prostaglandin E melalui peningkatan ekspresi COX-2.
Endometriosis juga dapat menyebabkan subfertilitas melalui
peningkatan jumlah sperma yang terikat ke epitel ampulla sehingga
mempengaruhi interaksi sperm-endosalpingeal.
o Pemberian medikamentosa pada endometriosis minimal atau
sedang tidak terbukti meningkatkan angka kehamilan.
Endometriosis sedang sampai berat harus dioperasi.
o Pilihan lainnya untuk mendapatkan kehamilan ialah inseminasi
intrauterin, superovulasi, dan fertilisasi invitro. Pada suatu
penelitian case-contol, rata-rata kehamilan dengan injeksi sperma
intrasitoplasmik tidak dipengaruih oleh kehadiran endometriosis.
Lebih jauh, analisi lainnya menunjukkan peningkatan kejadian
kehamilan akibat fertilisasi in vitro dengan preterapi endometriosis
tingkat 3 dan 4 dengan agonis gonadotropin-releasing hormone
(GnRH).
Terapi interval
o Beberapa peneliti percaya bahwa endometriosis dapat ditekan
dengan pemberian profilaksis berupa kontrasepsi oral kombinasi
berkesinambungan, analog GnRH, medroksiprogesteron, atau
danazol sebagai upaya untuk meregresi penyakit yang
asimtomastik dan mengatasi fertilitas subsekuen.
o Ablasi melalui pembedahan untk endometriosis simptomatik juga
dapat meningkatkan kesuburan dalam 3 tahun setelah follow-up.

18
Tidak ada hubungan antara endometriosis dengan abortus rekuren dan
tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa terapi medikamentosa atau
pembedahan dapat mengurangi angka kejadian abortus.
Terapi medis: pil kontrasepsi oral kombinasi, danazol, agen progestational,
dan analog GnRH. Semua obat ini memiliki efek yang sama dalam
mengurangi nyeri dan durasinya.
o Pil kontrasepsioral kombinasi berperan dalam supresi ovarium dan
memperpanjang efek progestin.
o Semua agen progesteron berperan dalam desidualisasi dan atrofi
endometrium.
Medroksiprogesteron asetat berperan dalam mengurangi
nyeri.
Megestrol asetat juga memiliki efek yang sama
The levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS) berguna
dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis.
o Analog GnRH berguna untuk menurunkan gejala nyeri, namun
tidak berefek dalam meningkatkan angka fertilitas. Terapi dengan
GnRH menurunkan gejala nyeri pada 85-100% wanita dengan
endometriosis.
o Danazol berperan untuk menghambat siklus follicle-stimulating
hormone (FSH) and luteinizing hormone (LH) dan mencegah
steroidogenesis di korpus luteum.

Penanganan pembedahan pada endometriosis

Tujuannya untuk menangani efek endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri


panggul, subfertilitas dan kista. Pembedahan juga untuk menghilangkan gejala,
meningkatkan kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis
serta menahan laju kekambuhan.

19
Konservatif
o Untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepaskan
perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi
reproduksi
o Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter,
ataupun laser
o Kista endometriosis <3cm di drainase dan di kauter dinding kista
o Kista endometriosis > 3cm dilakukan kistektomi dengan
meninggalkan jaringan ovarium yang sehat
o Dapat dilakukan secara laparatomi ataupun laparoskopi
o Laparaskopi menawarkan keuntungan lama rawatan yang pendek,
nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit perlengketan, visualisasi
operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintiuk endometriosis.
o Menjadi pilihan pada perempuan masih muda, menginginkan
keturunan, memerlukan hormone reproduksi, mengingat
endometriosis ini merupakan suatu penyakit yang lambat progresif,
tidak cenderung ganas dan akan regresi bila menopause. 22,23,24,25
Radikal
o Dilakukan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
o Ditujukan kepada perempuan yang mengalami penanganan medis
atau bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi
reproduksi
o Setelah pembedahan radikal diberikan terapi substitusi hormone.
22,23,24,25

Simtomatis
o Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral
neuroctomy atau LUNA (laser uterosacral nerve ablation) 22,23,24,25

20
2.8 Komplikasi

Berlakunya obstruksi pada saluran gastroinstestinal, uterus dan tuba falopi.


Menyebabkan keganasan tahap yang ringan.
Lokasi bertumbuhnya endometriosis adalah di ovary (63%), bagian lain
adalah vagina, tuba falopi, mesosalpinx, dinding pelvic, kolon dan
parametrium.32
Obstruksi ginjal dan penurunan fungsi ginjal karena endometriosis dekat
kolon atau ureter.
Torsi ovarium atau rupture ovarium hingga terjadi peritonitis karena
endometrioma.
Catamenial seizure atau pneumothoraks karena eksisi endometriosis.24

2.9 Prognosis

Endometriosis dapat mengalami rekurensi kecuali telah dilakukan dengan


histerektomi dan ooforektomi bilateral. Angka kejadian rekurensi endometriosis
setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu 5 tahun. Ablasi
komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala nyeri sebanyak 90%
kasus. Beberapa ahli mengatakan eksisi lesi adalah metode yang baik untuk
menurunkan angka kejadian rekurensi dari gejala-gejala endometriosis. 13

Pada kasus infertilitas, keberhasilan tindakan bedah berhubungan dengan


tingkat berat ringannya penyakit. Pasien dengan endometriasis sedang memiliki
peluang untuk hamil sebanyak 60%, sedangkan pada kasus-kasus endometriosis
yang berat keberhasilannya hanya 35%.13

21
BAB III

KESIMPULAN

Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang


masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Penyebab utama endometriosis
belum dapat dipastikan, akan tetapi kemungkinan dapat disebabkan oleh aliran
menstruasi mundur, predisposisi genetik, metaplasia, maupun pengaruh dari
pencemaran lingkungan. Gejala endometriosis yang dapat dirasakan oleh
penderita yaitu antara lain berupa nyeri haid (dysmenorrhea) dan nyeri saat
berhubungan (dyspareunia). Endometriosis selalu terjadi pada perempuan dengan
nyeri panggul dan/atau infertile. Laparoskopi adalah tindakan baku emas untuk
mendiagnosa endometriosis pelvic. Banyak kasus menggunakan terapi operasi
untuk menghilangkan nyeri secara efektif dan meningkatkan kesuburan. Terapi
medis menggunakan progestin, progestin-releasing intrauterine devices, danazol,
atau GnRH analog untuk menghilangkan nyeri namun tidak dapat meningkatkan
kesuburan. Endometriosis adalah penyakit yang dapat kembali kambuh dan terapi
definitive adalah dengan membuang organ pelvic yang terlibat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Crum CP, Rose PG. Endometrium. In : Crum CP, Lee KR editor.


Diagnostic Gynecologic and Obstetric Pathology. Philadelphia : Elsevier
Saunders, Inc. 2006 ; 267 344.
2. D Hooghe TM, Hill JA. Endometriosis. In : Berek JS editor. Novaks
Gynecology. 13th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
2010 ; 931-59.
3. American Society. Endometriosis a guide for patient
http://www.asrm.org/Patients/patientbooklets/endometriosis.pdf
4. Potlog-Nahari C, Feldman AL, Stratton P, Koziol DE, Segars J, Merino
MJ, Nieman LK. CD10 immunohistochemical staining enhances the
histological detection of endometriosis. Fertility And Sterility. Elsevier
Inc, American Society for Reproductive Medicine. 2004 ; 82 (1) : 86-92.
5. NHS Evidence, Annual Evidence Update on Endometriosis
Epidemiology and aetiology. http: //www. library.nhs.uk/ womenshealth/
ViewResource.aspx?resID=258981&tabID=290&catID=11472
6. Oepomo TD. Concentration of TNF- in the peritoneal fluid and serum of
endometrioticpatients. http://www.unsjournals.com/DD0703D070302.pdf
7. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam :
Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi
Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia
(KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.
8. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP, 2002. p.314-36
9. Lee BM, The Endometriosis cyst. http://ezinearticles.com/?Cyst-
Endometriosis---Cyst-in-the-Walls-of-the-Womb&id=1794678
10. Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam :
Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi
Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia
(KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.

23
11. Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin
AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27.
12. Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : Christina Y, editor.
Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2,
Jakarta 2001; 401-9.
13. Sud S, Tulandi T. Endometriosis http://www.obgyn.net/medical.asp?page
=/english/pubs/features/mcgill-student-projects/endometriosis.london.1999
14. Triolo, Onofrio, Antonio Simone Lagana and Emanuele Sturlese. Chronic
Pelvic Pain in Endometriosis : An Overview. J Clin Med Res 2013;5(3):
153-163
15. Mounsey AL, Wilgus A, and Slawson DC. Diagnosis and Management of
Endometriosis. American Family Physician 74 [4], 15-8-2010 ; 594-600
16. Vercellini P, Fedele L, Aimi G, Pietropaolo G, Consonni D, and
Crosignani PG. Association between Endometriosis Stage, Lesion Type,
Patient Characteristics and Severity of pelvic pain Symptoms: A
Multivariate Analysis of Over 1000 patients. Human Reproduction
Update.European Society of Human Reproduction and Embryology 22 [1],
2007 ; 266-271
17. Jacoeb TZ and Hadisaputra W. Penanganan Endometriosis. Panduan
Klinis dan Algoritme. 1 ed. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
18. Giudice LC. Endometriosis. The New England Journal of Medicine 362
[25], 24-6-2010 ; 2389-2398
19. Falcone T and Lue JR. Management of Endometriosis. The American
College Of Obstetricians and Gynecologists.Practice Bullettin 116 [1], 1-
7-2010 ; 223-236
20. Royal College of Obstetricians and Gynaecologist. The Investigation and
Management of Endometriosis. Green-top Guideline 24, 2010 ; 1-14
21. Winkel CA. Evaluation and Management of Women with Endometriosis.
The American College of Obstetricians and Gynecologists.Clinical
Gynecologic Series: An Expert's View 102 [2], 2-8-2010 ; 397-408

24
22. Gibbs, Ronald S, Karlan, Beth Y, Haney, Arthur F, Nygaard, Ingrid E.
Endometriosis. Danforths Obstetrics and Gynecology. 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. 2008. PG716-721
23. Schorge J.O, Schaffer J.I, Halvorson L.M, Hoffman B.L. Endometriosis.
Begin General Gynecology. Williams Gynecology. 23rd ed. McGraw Hill.
USA: 2010. Pg 476-514
24. Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani W.I, Setiowulan W. Endometriosis.
Ilmu Kandungan. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2009. Hl. 381-384
25. Luthan D, Adenin I, Halim B. Endometriosis. Ilmu kandungan. Edisi
ketiga. Pt. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2011. Hl.239-
250.
26. Tokushige N, Markham R, Russell P, Fraser IS. Different types of small
nerve fibers in eutopic endometrium and myometrium in women with
endometriosis. Fertility and Sterility 2007; 88: 795-803
27. Schorge et al. Endometriosis. In Schorge, Schaffe, Halvorson, Hoffman,
Bradshaw, Cunningman. Williams Gynecology. Mc Graw Hill 2008;
chapter 10
28. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Endometriosis. In Curtis MG,
Overholt S, Hopkins MP. Glass Office Gynecology. Lippincott Williams
and Wilkins 2006; chapter 13
29. Wellbery C. Diagnosis and Treatment of Endometriosis 1999;
http://www.aafp.org/afp/991015ap/contentshtml
30. Stoppler MC, Endometriosis http://www.medicinenet.com/endometriosis
/page3.htm#tocg
31. Kapoor D, Davila. Endometriosis: Treatment & Medication.
http//www.emedicine.com

25
32. Collier J, Longmore M, Turmezei T, Mafi A.R. Endometriosis.
Gynaecology. Oxford Handbook of Clinical Specialties. 8th ed. Pg 288-
289.

26

Anda mungkin juga menyukai