Anda di halaman 1dari 31

BAB I

ENDOMETRIOSIS
PENDAHULUAN1,2
Endometriosis adalah suatu keadaan di mana terdapat kelainan ginekologi
yang bersifat jinak yaitu terdapatnya kelenjar dan stroma endometrium di luar
lokasi normalnya. Berikut ini adalah lokasi tersering ditemukannya endometriosis :
a. Ovarium (44%), kantong Douglas dan ruang vesikouterina (34%), ligamentum
uterosacral (20%), peritoneum pelvikum (22%).
b. Tempat tambahan lainnya seperti jaringan parut bekas laparatomi atau
episiotomi, apendiks, rongga pleura dan pericardial, serta serviks.
Endometriosis adalah suatu penyakit yang tergantung pada hormone, karena itu
sering ditemukan pada wanita dalam usia reproduksi. Jaringan endometrium yang
ditemukan pada miometrium disebut adenomyosis.

Gbr 1. Lokasi tempat tersering terdapat endometriosis 1

EPIDEMIOLOGI1,2
1

Untuk menghitung jumlah insidens terjadinya endometriosis sulit dilakukan


karena sebagian besar wanita yang mengalami penyakit ini asimptomatis, sedang
pemeriksaan

pencitraan

mempunyai

sensitifitas

yang

rendah

terhadap

endometriosis. Wanita dengan endometriosis biasanya tidak menunjukkan gejala,


subfertil, atau mengalami nyeri pelvis dalam berbagai derajat. Metode primer untuk
mendiagnosa penyakit ini adalah laparaskopi dengan atau tanpa biopsi untuk
pemeriksaan histologis. Keluhan utamanya adalah nyeri pelvis(40%-50%) dan
infertil(20%-50%).

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI1,2


Penyebab endometriosis sampai saat ini masih belum diketahui, namun ada
beberapa pakar yang mengemukakan beberapa teori tentang patofisiologi dan
penyebab dari endometriosis.
A. MENSTRUASI RETROGARD
Teori dari Sampson : penyebaran jaringan endometrium melalui tuba fallopi
ke dalam kavum peritoneum. Bagian-bagian kecil dari jaringan ini yang
refluks

kemudian

akan

menempel

dan

menginvasi

mesotelium

dari

peritoneum, kemudian akan terbentuk vaskularisasi sehingga jaringan ini


kemudian dapat bertahan hidup dan berkembang di tempat yang baru.
Ketika pertama kali teori ini diajukan, banyak mendapat dukungan karena
ditemukan banyak darah dan jaringan endometrium yang refluks ke dalam
pelvis dari wanita dengan endometriosis. Uterus dari wanita dengan
endometriosis melakukan peristaltic dan disperistaltik sehingga darah dan
jaringan yang refluks akan semakin banyak. Hal ini ditopang oleh percobaan
DHoohghe (1997) yang mengadakan bedah untuk menghilangkan jalan
keluar darah menstruasi pada seekor babon kemudian babon terserbut
mengalami endometriosis. Wanita dengan obstruksi pada jalan keluar darah
menstruasi juga cenderung mengalami endometriosis dan biasanya keadaan
ini akan membaik bila obstruksi ini dihilangkan.
B. PENYEBARAN SECARA LIMFOGEN DAN HEMATOGEN

Bukti-bukti yang ada mendukung teori terjadinya endometriosis yang berasal


dari penyimpangan penyebaran kelenjar limfe dan vaskularisasi dari jaringan
endometrium. Penemuan endometriosis di tempat-tempat yang tidak biasa
seperti di perineum dan lipat paha memperkuat teori ini. Ada juga kasus di
mana endometriosis tidak ditemukan di dalam kavum abdomen namun di
ruang retroperitoneum yang terisolasi, sehingga hal ini dicurigai akibat dari
penyebaran

secara

limfogen.

Sebagai

tambahan,

kecenderungan

adenokarsinoma jaringan endometrium yang menyebar melalui rute limfogen


memberI ide bahwa penyebaran endometriosis pun dapat melalui jalan yang
sama.
C. METAPLASIA COELOM
Teori ini mengatakan bahwa peritoneum parietal merupakan jaringan yang
pluripoten yang dapat mengalami transformasi metaplastik menjadi jaringan
yang secara histology tidak dapat dibedakan dari endometrium normal.
Karena ovarium dan bentuk awal dari endometrium yaitu tuba Muller berasal
dari

epitel

coelom,

metaplasia

ini

dapat

menjelaskan

terbentuknya

endometriosis ovarium. Teori ini meluas dan sampai mencakup ke peritoneum


karena daya proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini
ditentang karena tidak semua organ yang berasal dari epithelium coelom
kemudian dapat berkembang menjadi endometriosis.
D. TEORI INDUKSI
Teori ini mengajukan bahwa beberapa hormon atau faktor biologis tertentu
dapat menginduksi terjadinya diferensiasi sel menjadi jaringan endometrium.
Substansi ini dapat eksogen maupun berasal dari jaringan endometrium itu
sendiri. Dalam studi in vitro didemonstrasikan potensi dari epitel permukaan
ovarium dalam responnya terhadap estrogen, mengalami transformasi
membentuk lesi endometriotik.
E. FAKTOR INFLAMASI
-

Banyak studi yang menunjukkan kadar interleukin dan TNF (Tumor


Necrosis Factor) yang meningkat (IL-6) dalam cairan peritoneal pasien.
3

Interleukin-8 dapat membantu terjadinya implantasi endometrial di dalam


peritoneum, dan juga merupakan angiogenik agent.

F. FAKTOR HORMONAL
Salah satu faktor yang sudah dapat dipastikan mempunyai peranan besar
dalam terbentuknya endometriosis adalah hormone estrogen. Walupun
sebagian besar estrogen pada wanita diproduksi di ovarium, namun beberapa
jaringan perifer juga diketahui memproduksi estrogen melalui proses
aromatisasi dari ovarium dan androgen adrenal. Implantasi endometriosis
diketahui menghasilkan aromatase dan 17-hidroksisteroid dehidrogenase
tipe 1, enzim yang berfungsi untuk mengubah androstenedion menjadi
estrone kemudian menjadi estradiol secara berturut-turut. Sebaliknya,
implantasi ini kekurangan enzim 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang menginaktivasikan estrogen. Kombinasi ini mengakibatkan implantasi
endometrium akan selalu berada dalam keadaan yg terekspos oleh estrogen.
Dalam keadaan normal, jaringan endometrium tidak mengeluarkan enzim
aromatase dan mempunyai kadar 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang tinggi sebagai respon terhadap progesterone, yang menjamin efek
estrogen akan melemah karena adanya progesterone. Hasilnya progesterone
akan melawan efek estrogen di dalam endometrium normal pada fase luteal
dalam siklus haid. Pada endometriosis, keadaan yang terbentuk adalah
relative resisten terhadap progesterone sehingga mencegah pelemahan efek
estrogen terhadap jaringan endometrium.
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah zat penginduksi aktivitas aromatase yang
paling kuat di dalam stroma sel endometrium, beraksi melalui reseptor
prostaglandin subtype EP2. Estradiol yang diproduksi sebagai respon
terhadap

aromatase

kemudian

meningkatkan

produksi

PGE2

dengan

menstimulasi enzim COX-2 di dalam sel endotel uterus. Hal ini menciptakan
feedback

positif

dan

meningkatkan

efek

estrogen

yaitu

proliferasi

endometriosis.

Gbr 2. Pengaruh faktor hormone terhadap endometriosis1

G. FAKTOR IMUNOLOGI
Walaupun banyak wanita mengalami menstruasi retrogard,yang mempunyai
peranan dalam implantasi dari endometriosis, tapi sangat sedikit yang
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan mens dan endometrium yang
refluks ke kavum peritoneum selalu dibersihkan oleh sel imun seperti
makrofag, se NK, dan limfosit. Karena alasan inilah, disfungsi dari sistem
imun merupakan salah satu mekanisme terbentuknya endometriosis.
Makrofag berperan sebagai pemakan sel dalam berbagai jaringan dan
jumlahnya meningkat dalam kavum peritoneum pada wanita dengan
endometriosis. Walupun jumlah makrofag yang meningkat ini logikanya dapat
menekan proliferasi dari endometriosis, tapi pada wanita ini justru makrofag
mempunyai efek stimulasi pada jaringan endometriosis. Dalam sebuah studi
in vitro ditemukan bahwa siklus monosit pada wanita dengan endometriosis
memberi efek menguatkan pada proliferasi jaringan, sedangkan efek monosit
pada wanita tanpa endometriosis adalah sebaliknya. Hal ini menunjukkan
proliferasi dari jaringan dipengaruhi oleh perubahan fungsi dari makrofag dan
bukan oleh jumlah makrofag.
Sel NK mempunyai aktivitas sitotoksis melawan sel-sel asing. Walaupun
jumlah sel NK tidak berubah dalam cairan peritoneal wanita dengan
endometriosis,

tapi

studi

menunjukkan

sitotoksisitas terhadap jaringan endometrium.

adanya

penurunan

fungsi

Lebih spesifik lagi, cairan

peritoneal dari wanita dengan endometriosis ditemukan menekan aktivitas


5

sel NK, menunjukkan adanya faktor terlarut mungkin memainkan peranan


dalam menekan aktivitas sel NK.
Imunitas selular pada wanita dengan endometriosis juga dapat terganggu,
dan melibatkan limfosit T. sebagai contoh, wanita dengan endometriosis dan
tidak bila dibandingkan maka jumlah limfosit helper dan supresornya di
dalam darah tepi tidak banyak berbeda, tapi ada peningkatan perbedaan
jumlah dalam cairan peritoneal. Selain itu fungsi sitotoksisitas dari limfosit T
melawan jaringan endometrium terganggu pada wanita ini.
Imunitas humoral pada wanita dengan endometriosis juga mengalami
perubahan. Peningkatan kadar IgG dan IgA ditemukan pada wanita dengan
endometriosis, karena itu dapat disimpulkan bahwa endometriosis mungkin
adalah bagian dari penyakit autoimun. Hal ini dapat menjelaskan rendahnya
tingkat kehamilan dan keberhasilan implantasi secara IVF pada wanita
dengan endometriosis.
Sitokin adalah faktor imun yang kecil dan mudah larut yang terlibat di dalam
parakrin dan autokrin. Jumlah sitokin yang meningkat terutama interleukin,
dapat

menjadi

salah

satu

pathogenesis

terbentuknya

endometriosis.

Meningkatnya kadar interleukin-1 (IL-1) dapat ditemukan dalam cairan


endometrial pada wanita dengan endometriosis. Lebih lanjut lagi, IL-6 terlihat
meningkat dalam sel stroma endometrial pada wanita dengan endometriosis.
Kadar serum IL-6 lebih dari 2pg/ml dan kadar TNF- lebih dari 15 pg/ml dalam
cairan peritoneal dapat digunakan sebagai penentu apakah wanita ini terkena
endometriosis atau tidak. Kadar IL-8 dalam cairan peritoneal juga meningkat
pada wanita dengan endometriosis dan menstimulasi proliferasi dari sel
stroma endometrium.
Substansi non-interleukin sitokin dan growth factor juga terlibat di dalam
pathogenesis

endometriosis.

Contohnya

adalah

baik

MCP-1(Monocyte

Chemoattractant Protein-1) dan RANTES (Regulated on Activation, Normal Tcells Expressed and Secreted) adalah zat kemoatraksi bagi monosit. Kadar
zat-zat ini meningkat dalam cairan peritoneal wanita dengan endometriosis
dan berhubungan erat dengan tingkat keparahan dari penyakit. Selain itu,
6

VEGF adalah angiogenic growth factor yang diregulasi oleh estradiol dalam
stroma sel endometrial dan makrofag dalam cairan peritoneal. Kadar faktor
ini meningkat dalam cairan peritoneal wanita dengan endometriosis.

FAKTOR RESIKO2
Wanita yang mempunyai relative (keluarga dekat) dalam tingkat primer yang
terkena endometriosis mempunyai resiko 7x lipat lebih besar untuk memperoleh
penyakit yang sama. Cara penurunan penyakit ini secara genetic melibatkan
multifactor.

KLASIFIKASI1
Pada tahun 1997, untuk menyamakan antara penemuan klinis dengan
penemuan secara pembedahan, maka American Society for Reproductive Medicine
(ASRM) merevisi sistem klasifikasi endometriosis. Dalam sistem ini, endometriosis
dibagi menjadi 4 stadium yaitu : stadium I (minimal), stadium II (ringan), stadium III
(sedang), dan stadium IV (berat). Daftar criteria pengklasifikasian dapat dilihat pada
gambar berikut :

Gbr 3. Klasifikasi endometriosis berdasarkan ASRM,19971

DIAGNOSA
GEJALA
Walaupun sebagian besar wanita dengan endometriosis tidak memberikan
gejala, namun keluhan yang paling sering adalah nyeri pelvis, dismenorea,
dispareneu, dan infertilitas.1
Dismenorea
Insidens terjadinya dismenorea kira-kira 40-60%. Sebuah studi mengatakan bahwa
69.9% dari sekelompok remaja

yang mengalami nyeri pelvis setelah dilakukan

laparaskopi ditemukan adanya endometriosis. Dismenorea ini berlangsung dari


sebelum haid dimulai sampai selama haid berlangsung. 1
Nyeri pelvis
Nyeri pelvis yang berhubungan dengan endometriosis adalah nyeri di daerah rectal.
Nyeri yang dirasakan biasanya lokasinya di sentral, namun dapat juga unilateral bila
lesi terdapat di ovarium atau di tepi dinding pelvis. 40-50% wanita dengan
dispareneu yang disertai dengan luka lecet yang dalam ditemukan menderita
endometriosis. Nyeri ini lebih dominan saat premenstrual dan selama siklus haid
berlangsung. Bila endometriosis mengenai traktus urinaria atau traktus intestinal
maka dapat dirasakan disuria dan dischezia.1,2
Usia saat terdiagnosa
9

Rata-rata usia penderita yang terdiagnosa endometriosis adalah 25-30 tahun.


Sebuah studi menyatakan adanya keterlambatan sekitar 6-7 tahun dari tanda dan
gejala sebelum endometriosis betul-betul ditegakkan diagnosanya. 1,2
Infertilitas
Insidens terjadinya subfertil pada wanita dengan endometriosis adalah 20-30%.
Wanita dengan infertilitas biasanya menderita endometriosis yang berat (Matorras
and colleague, 2001). Hal ini disebabkan oleh perlengketan yang terjadi pada
endometriosis dan gagalnya transportasi oosit oleh tuba fallopi. Lebih dari sekedar
mekanisme

kegagalan

dari

ovulasi

dan

fertilisasi,

ada

pathogenesis

dari

endometriosis yang lebih tidak terlihat dengan jelas yang menyebabkan infertilitas
seperti kekacauan di dalam ovarium dan faktor imunitas yang berkaitan dengan
implantasi.1
i.

Pada stadium minimal dan ringan


Rodriguez-Escudero and colleagues (1988) melaporkan bahwa wanita dengan
endometriosis ringan mempunyai tingkat kesuburan tiap bulannya kurang
lebih 6% dan dikumulatifkan setahunnya kurang lebih 47% kemungkinan
untuk hamil. Walaupun persentasi ini lebih rendah daripada wanita fertile
normal, namun bias dalam penelitian bisa saja terjadi. Lebih jauh lagi, suatu
studi kohort prospektif memperlihatkan bahwa wanita dalam stadium
minimal/ringan mempunyai tingkat kesuburan yang sama dengan infertilitas
yang tidak dapat dijelaskan (unexplained infertility). Sebuah studi RCTs
(Randomized

Controlled

Trials)

menemukan

konflik

apakah

terapi

pembedahan dapat meningkatkan kesuburan dan tingkat harapan hamil pada


para wanita ini. Beberapa studi menunjukkan wanita ini menjadi fertile tapi
studi yang lain menunjukkan tidak ada hasil (Marcoux, 1997 ; Parazzini 1999).
ii.

Pada stadium sedang dan berat


Pada stadium ini biasanya arsitektur tuba dan ovarium sudah berubah.
Hasilnya, gangguan fertilitas sudah pasti terjadi. Sayangnya penelitian
tentang kesuburan pada endometriosis di stadium ini masih sangat jarang.
Sebuah studi membandingkan tingkat kesuburan pada wanita dengan
10

endometriosis ringan, sedang, dan berat. Hasilnya adalah tingkat kesuburan


8.7% pada wanita dengan endometriosis stadium ringan, 3.2% pada stadium
sedang, dan tidak ada kehamilan pada stadium berat. Tidak ada studi yang
dirancang dengan khusus tentang terapi pembedahan pada stadium ini,
namun tingkat kumulatif kehamilan meningkat sampai 30% setelah dilakukan
tindakan pembedahan insisi (Adamson, 1993 ; Osuga, 2002). Hasil ini
tampaknya lebih memuaskan daripada diterapi dengan ekspektatif.
iii.

Gangguan folikulogenesis dan embryogenesis


Beberapa peneliti mengatakan bahwa proses folikulogenesis pada wanita
dengan endometriosis mengalami gangguan. Perkembangan dan kualitas
embrio pada wanita dengan endometriosis yang sedang menjalani program
IVF dibandingkan dengan embrio wanita yang mengalami infertilitas karena
faktor tuba. Hasilnya adalah, adanya jumlah blastomer yang berkurang
secara signifikan pada embrio dan lebih besarnya kemungkinan terjadi henti
kembang pada embrio dari wanita dengan endometriosis. Penelitian lainnya
mengatakan

adanya

pengurangan

jumlah

oosit

dari

wanita

dengan

endometriosis. Teori yang sedang dikembangkan adalah teori steroidogenesis


dan teori apoptosis, namun sayangnya penelitian di bidang ini masih sangat
kurang.1
iv.

Perubahan endometrial
Adanya perkembangan abnormal dari endometrium pada wanita dengan
endometriosis dapat menerangkan kemungkinan gagalnya implantasi yang
berakibat

seorang

wanita

menjadi

subfertil.

Penelitian

yang

ada

membandingkan ekspresi gen dari endometrium seorang wanita normal


dengan wanita yang menderita endometriosis, hasilnya adalah adanya
abnormalitas dari endometrium pada wanita dengan endometriosis (Kao,
2003). Penelitian ini menemukan defisiensi ekspresi integrin JMMMMJ dalam
keadaan peri-implantasi pada endometrium wanita penderita endometriosis,
dan ini berhubungan dengan kemampuan menerima hasil konsepsi pada
endometrium tersebut.1,3
v.

Faktor lain
11

Abnormalitas sitokin dan faktor inflamasi lainnya pada wanita penderita


endometriosis berhubungan dengan infertilitas yang berhubungan dengan
endometriosis. Fungsi sperma dapat dipengaruhi oleh wanita ini. Studi yang
ada

menunjukkan

adanya

peningkatan

aktivitas

fagositosis

pada

spermatozoa dari wanita dengan endometriosis. Lebih lanjut lagi, bagian


sperma yang paling dirugikan adalah yang berikatan dengan zona pellucid
(Qiao, 1998). Bagaimanapun, penelitian tentang efek dari endometriosis
terhadap motilitas sperma dan reaksi akrosom masih menjadi perdebatan
(Bielfeld, 1993 ; Curtis, 1993 ; Tasdemir, 1995). 1,3

PENEMUAN KLINIS
Penemuan klinis dan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
adanya nodul pada ligament uterosacral yang biasanya nyeri dan membesar, nyeri
pada adnexa, pembengkakan yang disertai nyeri pada septum rektovaginal, dan
nyeri goyang pada uterus dan adnexa. Posisi uterus yang retrofleksi dan
pembesaran adnexa serta imobilisasi adnexa mengindikasikan adanya nyeri pelvis.
Nodul juga dapat ditemukan pada jaringan parut bekas SC tipe insisi Pfannenstiel
atau pada bekas episiotomy. 1

Gbr 4. Endometriosis pada jaringan parus bekas SC insisi low-vertical 1

i.

Diagnose dengan laparaskopi


Diagnose definitive

dapat melalui

laparaskopi

dan

pemeriksaan

histology, di mana dapat dinilai secara langsung baik kelenjar


12

endometriumnya maupun stroma selnya. Hasil specimen biopsy 77%


menunjukkan adanya makrofag Hemosiderin-laden.
Klinisi yang sudah berpengalaman biasanya mendiagnosa lesi ini
menjadi 2 jenis yaitu yang klasik dan yang non-klasik. Yang klasik
lesinya

terlihat

seperti

bintik-bintik

berwarna

biru-kehitaman,

sedangkan yang non-klasik dapat berwarna merah, putih, kecoklatan,


tidak berpigmen, ataupun lesi vesikuler. Lesi yang berwarna merah
dianggap sebagai bentuk aktif dari endometriosis. Sindrom AllenMasters adalah adanya keadaan timbulnya endometriosis pada bekas
jaringan parut. Endometrioma juga dapat dilihat melalui laparaskopi
sebagai kista coklat.

Gbr 5. Endometriosis merah dan putih1

Gbr 6. Endometrioma (kista coklat)1

ii.

Teknik pencitraan
13

Pencitraan melalui USG pelvis dapat berguna untuk mendeteksi


adanya

endometriosis

di

samping

biaya

yang

lebih

murah

dibandingkan dengan CT atau MRI. USG yang digunakan adalah USG


TVS (TrasnVaginal Sonograph). Yang terbaru adalah sonovaginograph
yaitu teknik pencitraan yang menggunakan saline vagina untuk
melokalisasi endometriosis rektovaginal dengan lebih akurat. 1

Gbr 7. Gambaran TVS endometrioma1

iii.

Penemuan laboratorium
Yang meningkat di sini adalah kadar CA-125 sebagai penanda adanya
endometriosis.
keadaan
leiomioma

Namun

seperti
uteri,

CA-125

penyakit
dan

juga

pelvis

PID),

meningkat

lainnya

karena

itu

dalam

berbagai

(neoplasma

ovarium,

spesifisitasnya

dalam

menegakkan diagnose endometriosis hanyalah sedikit. 1


Pada bab berikutnya akan dibahas mengenai infertilitas yang berhubungan
dengan endometriosis dan bagaimana manajemen yang sebaiknya dilakukan dalam
kasus ini.

14

BAB II
MANAJEMEN INFERTILITAS YANG
BERHUBUNGAN DENGAN
ENDOMETRIOSIS
Seperti yang kita telah ketahui bahwa endometriosis dibagi menjadi 4
stadium yaitu minimal, ringan, sedang, dan berat, di mana masing-masing dari
stadium

ini

memberikan

tingkat

infertilitas

yang

berbeda-beda.

Beberapa

pendekatan telah dilakukan untuk mencapai terjadinya hasil konsepsi pada masingmasing

kelompok

dari

penderita

endometriosis,

dengan

berbagai

derajat

kesuksesan. Berikut ini akan dibahas data-data yang berhubungan dengan masingmasing kelompok stadium.4,5
Sebelum mengevaluasi keuntungan dari berbagai terapi spesifik, sebaiknya
dinilai terlebih dahulu kemampuan seorang wanita dengan endometriosis untuk
menjadi hamil tanpa intervensi medis apapun. Analisa ini tergantung dari seberapa
jauhnya mekanisme distorsi dan obstruksi tuba yang terjadi. Seperti yang diketahui,
kemampuan penderita dengan stadium yang berat untuk menjadi hamil sangat
terbatas. Olive et al melaporkan tidak ada kehamilan pada pasien di kelompok ini. 5

15

Gbr 8. Pilihan manajemen untuk infertilitas yang berhubungan dengan infertilitas 5

Terapi medis untuk mengatasi rasa sakit yang diakibatkan oleh endometriosis
tidak dapat meningkatkan tingkat kesuburan dalam kasus ini (Hughes, 2003).
Pembedahan ablasi dianggap dapat menguntungkan untuk pasien infertile dan
dalam kasus stadium ringan, walaupun hasilnya sangat minimal (Marcoux, 1997).
Endometriosis stadium sedang sampai berat dapat dianjurkan untuk menjalani
terapi pembedahan dengan tujuan memperbaiki anatomi dan fungsi normal dari
tuba. Pilihan lainnya untuk pasien ini adalah menjalani terapi control hiperstimulasi
dari ovarium, inseminasi buatan atau dengan IVF (In Vitro Fertilization). 1
Endometriosis

termasuk

salah

satu

dari

penyakit

pada

peritoneum,

sedangkan yang lainnya adalah perlengketan pelvis. Terapi yang efektif untuk
penderita dengan endometriosis stadium I dan II berdasarkan penelitian adalah
seperti tabel berikut : (Guzick, 1999)

16

a : dan koleganya
b : p > .05 penelitian bermakna
IUI : intrauterine insemination ; IVF : In Vitro Fertilization
Sumber : American Society of Reproductive Medicine , 2004a, dengan izin
Gbr 9. Terapi yang bermakna pada infertilitas akibat endometriosis std I dan II5,6

Endometriosis stadium sedang sampai berat berpengaruh terhadap kacaunya


susunan anatomi organ-organ yang berhubungan dengan reproduksi. Dalam banyak
kasus, terapi pembedahan dapat memperbaiki anatomi dan hasilnya adalah terjadi
kehamilan.

Sayangnya,

terkadang

terdapat

penyakit

pemberat

sehingga

menghalangi pemulihan anatomi pelvis secara sempurna. Karena itu, penemuan


selama operasi dan hasilnya harus disertai dengan strategi postoperative. Bila hasil
dari pembedahan memuaskan, maka kehamilan dapat terjadi dalam jangka waktu
6-12 bulan dengan mempertimbangkan IVF. Harus diingat bahwa endometriosis
dapat berulang dengan cepat, karena itu penundaan kehamilan postoperasi tidak
dianjurkan.1,6
Beberapa studi menyatakan bahwa pada wanita dengan endometriosis
tingkat lanjut , terapi jangka panjang dengan analog GnRH sebelum siklus ovulasi
dimulai dapat meningkatkan kesuburan (Dicker, 1992 ; Surrey, 2002). Namun
sampai sekarang teori ini belum diterima secara universal. 6
Jika dalam operasi ditemukan endometrioma, maka dokter bedah harus dapat
mengambil keputusan apakah akan dilakukan : drainase kista, drainase kista diikuti
dengan ablasi dinding kista, atau eksisi kista. Ketiga prosedur ini dapat dilakukan
secara laparaskopi dalam segala suasana dengan dokter bedah yang adekuat.
Drainase sederhana dapat meminimalkan kerusakan ovarium, tapi kebanyakan kista
dapat berulang kembali dengan cepat. Studi terbaru memperlihatkan bahwa ratarata 60% dari dinding kista (antara 10-98%) dibatasi oleh endometrium setebal 0.6
mm (Muzii, 2007). Karena itu, drainase dan ablasi dari dinding kista juga
berhubungan dengan tingkat rekurensi kista. Karena alasan inilah eksisi dinding
kista dengan laparaskopi dengan teknik stripping dapat dipertimbangkan sebagai
terapi terbaik untuk endometrioma. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa
tindakan eksisi kista juga berarti pembuangan jaringan ovarium sampai 80%, dan
17

biasanya diikuti dengan penyusutan volume ovarium dan hilangnya tempat


penyimpanan ovum.1,6
Terapi dengan sistem IUI (Intra Uterine Insemination) dan IVF (In Vitro
Fertilization) menurut literature adalah penatalaksanaan yang digunakan untuk
infertilitas pada pihak pria, sedang terapi untuk menangani infertilitas dari pihak
wanita biasa digunakan induksi ovulasi, dan berdasarkan tabel di atas, persentasi
keberhasilan terbesar dalam kasus endometriosis adalah dengan penggunaan
preparat chlomiphene dan gonadotropin.5,6

INDUKSI OVULASI
Indikasi tersering dari penggunaan cara induksi ovulasi adalah disfungsi
ovarium. Agen yang dipakai dapat juga digunakan oleh wanita yang sedang tidak
mengalami

gangguan

ovulasi

untuk

meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

kehamilan, biasanya pada kasus infertilitas dengan penyebab lain atau dengan
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan (unexplained infertility). Banyak istilah yang
digunakan untuk metode terapi ini, tapi Williams Obstetry and Gynecology memilih
istilah

induksi

ovulasi

untuk

mendeskripsikan

suatu

cara

terapi

dengan

medikamentosa untuk menstimulasi ovulasi normal pada wanita dengan disfungsi


ovulasi.7
Penyebab paling sering terjadinya disfungsi ovulasi adalah PCO dan
berkurangnya cadangan ovarium. Penyebab lain yang tidak begitu sering adalah
adanya gangguan sentral (hipotalamus atau pituitary) atau disfungsi dari tiroid.
Terapi

dari

disfungsi

ovarium

harus

sesuai

dengan

penyebab

yang

telah

diidentifikasi dan berhubungan dengan usaha yang pernah dilakukan sebelumnya. 1,7
CHLOMIPHENE CITRATE
Chlomiphene citrate (CC) adalah terapi inisial yang digunakan untuk sebagian
besar wanita infertile karena terjadinya anovulasi. Secara kimiawi, CC sama dengan
tamoxifen karena sama-sama turunan dari golongan nonsteroid trifeniletilen yang
menunjukkan baik agonis dan antagonis dari property estrogen. Property dari sisi
antagonis lebih menonjol kecuali dalam keadaan kadar estrogen yang sangat
rendah. Sebagai hasilnya adalah feedback negative yang biasanya diproduksi oleh
18

estrogen

dalam

hipotalamus

berkurang.

Sekresi

GnRH

meningkat

dan

dilepaskannya stimulasi dari gonadotropin pituitary. Peristiwa ini mengakibatkan


meningkatnya FSH dan mengakibatkan meningkatnya aktivitas folikel dalam
ovarium.7

Gbr 10. Farmakologi Chlomiphene Citrate1

Tamoxifen

terbukti dapat berhasil untuk menginduksi ovulasi. Namun

walaupun demikian, penggunaan tamoxifen tidak diperbolehkan oleh FDA untuk


indikasi ini, dan hasilnya tidak sebanding dengan penggunaan CC. 7
Cara pemberian
Chlomiphene citrate diberikan secara oral, biasanya dimulai pada hari ke-3
sampai hari ke-5 setelah hari pertama mens yang diinduksi oleh progestin. Tingkat
ovulasi, tingkat konsepsi, dan kehamilan hasilnya akan sama tanpa menghiraukan
apakah terapi dimulai pada hari ke-2, 3, 4, atau 5 dari siklus. Sebelum terapi
dimulai, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sonografi untuk mengeluarkan tandatanda adanya maturasi spontan dari folikel atau kista residu folikular. Tes kehamilan
19

juga dianjurkan setelah terjadi mens spontan. Walaupun tidak masuk dalam
kategori teratogenik, CC diklasifikasikan dalam golongan X oleh FDA, karena itu
kontraindikasi pada suspek kehamilan atau memang didiagnosa hamil. 1,8
Dosis yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi tergantung dari berat badan,
walaupun tidak ada cara yang tepat untuk memprediksi dengan tepat dosis yang
dibutuhkan pada setiap individu wanita (Lobo, 1982). Maka itu, dosis CC diberikan
secara titrasi dari dosis yang terkecil untuk mencari tahu di dosis mana CC ini
memberi efek pada setiap individu wanita. Terapi biasa dimulai dengan dosis awal
50 mg single dose setiap hari selama 5 hari berturut-turut. Dosis ini ditingkatkan 50
mg lagi pada siklus selanjutnya sampai ovulasi terinduksi. Dosis dari CC sebaiknya
tidak ditingkatkan bila induksi ovulasi normal sudah terjadi, dan bila kehamilan
tetap tidak terjadi, hal ini bukan indikasi untuk meningkatkan dosis CC. 1,8
Dosis efektif dari CC berkisar antara 50 mg- 250 mg per hari, walaupun
tambahan 100 mg/ hari tidak diperbolehkan oleh FDA. Sebuah studi mengatakan
bahwa

bila

terapi

diberikan

bersama-sama

dengan

glukokortikoid

dapat

meningkatkan respon pada pasien yang tidak respon bila hanya diterapi dengan CC
saja.

Terapi

ini

berhubungan

dengan

peningkatan

kadar

DHEAS

(dehidroepiandrosteron sulfat).1,8
Secara umum, bila seorang wanita yang telah diterapi dengan dosis 100 mg/
hari masih gagal terjadi ovulasi atau masih gagal terjadi kehamilan dalam jangka
waktu 3 sampai 6 minggu setelah adanya respon dari ovulasi, maka pasien ini
merupakan calon untuk dilakukannya terapi lain. Dalam suatu studi retrospektif
yang melibatkan 428 wanita yang menerima CC untuk induksi ovulasi, 84.5%
kehamilan terjadi dalam 3 siklus ovulasi pertama setelah terapi dimulai. 1,8
GONADOTROPIN
CC sangat mudah digunakan dan biasanya menghasilkan ovulasi pada
sejumlah besar pasien, tapi tingkat terjadinya kehamilan masih mengecewakan
(50% atau kurang). Tingkat kehamilan lebih rendah daripada yang diharapkan
dengan pemberian CC berhubungan dengan waktu paruhnya yang panjang dan
efek perifer anti-estrogen, terutama pada endometrium dan mukosa cerviks. Pada
beberapa individual yang dikategorikan dalam resisten chlomiphene, langkah
20

selanjutnya yang digunakan adalah pemberian preparat gonadotropin eksogen via


injeksi.7
Sama dengan CC, tujuan akhir pemberian gonadotropin adalah menormalkan
fungsi ovulasi. Idealnya dosis yang digunakan sebaiknya dosis minimal yang
dibutuhkan sebuah folikel untuk berkembang. Karena respon terhadap gonadotropin
sangat bervariasi dari setiap individu, bahkan dari siklus yang satu ke siklus lainnya,
maka dibutuhkan observasi intensif untuk menyesuaikan dosis dan menentukan
waktu terjadinya ovulasi.7
Preparat gonadotropin sangat bervariasi, tegantung dari mana sumber
diambilnya hormone tersebut (urin atau rekombinan), juga ditentukan oleh
ada/tidaknya LH. Turunan HMG(Human Menopausal Gonadotropin) yang tradisional
diekstraksi dan dimurnikan dari urin wanita yang post-menopaus, dan komponen
aktifnya adalah LH dan FSH. Sumber utama dari aktivitas LH adalah HCG, walaupun
LH secara signifikan juga terdapat pada HMG yang tidak dimurnikan. Bila preparat
dari urin tersebut dimurnikan maka pemberian secara subkutan tidak ada
menimbulkan reaksi, kalau ada juga reaksinya sangat minimal pada tempat
suntikan.1,7
Baik aktivitas LH maupun FSH diperlukan oleh proses steroidogenesis normal
di ovarium dan perkembangan folikular. Pada banyak kasus, preparat FSH murni
dapat digunakan karena diproduksinya LH endogen yang adekuat. Bagaimanapun,
untuk induksi ovulasi pada pasien dengan amenorea hipogonadotropik, aktivitas LH
harus disediakan dari sumber eksogen. Pilihan yang ada yaitu dari HMG, LH
rekombinan, dan dosis rendah (dilusi) dari urin atau HCG rekombinan. Induksi
ovulasi pada wanita dengan PCO dapat digunakan produk yang mengandung hanya
FSH saja atau yang mengandung baik FSH maupun LH. Data yang ada saat ini tidak
mendukung efektifitas mana yang lebih dominan, apakah LH atau FSH. 7,8
Sebagian

besar

klinisi

memulai

percobaan

induksi

ovulasi

dengan

gonadotropin pada dosis rendah (50-75 IU/hari) dan meningkatkannya secara


bertahap bila tidak terdapat respon dari ovarium dalam beberapa hari (didapat dari
pengukuran serum estradiol). Hal ini menunjukkan penggunaan protolkol step-up.
Protocol

step-down

juga

dapat

digunakan

bila

ingin

mendapatkan

efek
21

pengurangan jangka waktu dari ovulasi. Namun demikian, resiko respon berlebihan
dari ovarium, seperti perkembangan folikel multiple atau sindom hiperstimulasi
ovarium, dapat meningkat dengan pendekatan ini. Bila kedua protocol ini gagal
pada pasien, maka pada siklus berikutnya dosis yang digunakan harus ditingkatkan
dosisnya berdasarkan dari respon di awal terapi. 1,8

Gbr 11. Terapi dengan gonadotropin 1

AROMATASE INHIBITOR
Gonadotropin

lebih

efektif

untuk

menginduksi

terjadinya

ovulasi

dan

terjadinya kehamilan dibandingkan CC, tapi mahal dan meningkatkan resiko


terjadinya sindrom hiperstimulasi ovarium dan gestasi multifetal. Aromatase
22

inhibitor ditemukan sebagai agen baru untuk menstimulasi terjadinya ovulasi.


Awalnya agen ini dikembangkan untuk mengobati kanker payudara, dan secara
efektif

menghambat

aromatase,

sebuah

hemoprotein

sitokrom

P-450

yang

mengkatalisasi produksi estrogen. Aromatase inhibitor diberikan peroral, mudah


untuk digunakan, dan murah harganya dengan efek samping yang lebih kecil.

1,8,9

Gbr 12. Terapi aromatase inhibitor1

Penggunaan aromatase inhibitor untuk menginduksi ovulasi pada wanita


dengan anovulasi dan wanita infertile tapi masih ovulasi yang luas adalah
letromazole. Dibandingkan dengan CC, penggunaan golongan ini berhubungan
dengan penebalan endometrium, meningkatnya tingkat ovulasi, dan diikuti dengan
peningkatan terjadinya kehamilan. Bila letromazole dikombinasikan dengan CC,
maka dosis gonadotropin yang dibutuhkan setelahnya lebih rendah, dan hasil yang
diinginkan adalah sebanding dengan bila penggunaan gonadotropin sendiri
(Mitwally, 2004 ; Casper, 2003). Dosis yang digunakan biasanya 2.5 sampai 5 mg/
hari selama 5 hari.8,9

23

Data yang ada menunjukkan penggunaan letromazole untuk menerapi


infertilitas dapat meningkatkan resiko terjadinya kelainan congenital jantung dan
malformasi tulang pada neonatus, namun hal ini masih kontradiksi (Biljan, 2005 ;
Tulandi, 2006). November, 2005 perusahaan obat mengumumkan kepada dunia
luas

bahwa

penggunaan

letromazole

dengan

tujuan

spesifik

untuk

untuk

menginduksi ovulasi adalah kontraindikasi. Karena itu tampaknya penggunaan


letromazole tidak ada diterima di masyarakat luas. 8,9
Aromatase inhibitor yang kedua, yaitu anastrozole, juga dalam kelas yang
sama dengan letrimazole dan sudah diterima penggunaannya untuk terapi kanker
payudara. Hanya sedikit studi yang meneliti fungsinya dalam menginduksi ovulasi,
dan sampai saat ini tidak ada laporan yang mengatakan bahwa anastrozole ini
teratogenik

(Casper,

2007).

Pengalaman

dengan

penggunaan

anastrozole

mengatakan bahwa fungsinya untuk meningkatkan ovulasi masih sangat terbatas,


dan dosis ideal yang digunakan masih tidak diketahui. 9

ASSISTED REPRODUCTIVE TECHNOLOGY


INTRAUTERINE INSEMINATION (IUI)
Teknik ini berawal dari memisahkan spermatozoa yang motil, sehat, dengan
morfologi yang normal dari spermatozoa yang mati, leukosit, dan cairan seminalis.
Kemudian spermatozoa yang paling aktif bergerak dimasukkan secara transcervical
melalui kateter yang fleksibel pada waktu yang diharapkan dekat dengan waktu
ovulasi. IUI dapat dilakukan dengan atau tanpa superovulasi, dan merupakan terapi
yang tepat untuk unexplained infertility, infertilitas dari pihak pria, kelainan cerviks,
dan endometriosis.1,10

24

Gbr 13. Intrauterine insemination1

Kombinasi dari IUI dan CC dipelajari oleh Deaton dan koleganya melalui
percobaan random. Hasilnya adalah, kombinasi dari terapi ini menaikkan tingkat
kehamilan menjadi 9.5% bila dibandingkan dengan kelompok control yaitu 3.3%.
terapi gonadotropin seperti FSH atau hMG sebenarnya sudah cukup menaikkan
tingkat kehamilan, tapi dengan ditambah terapi IUI maka hasilnya akan semakin
baik.1,10
IN VITRO FERTILIZATION (IVF)
Selama proses IVF, oosit yang sudah matang dari ovarium yang dirangsang
diambil secara transvaginal dengan panduan dari sonograf. Kemudian sperma dan
ovum digabungkan secara in vitro untuk memperbesar kemungkinan terjadinya
pembuahan. Bila proses ini berhasil, embrio yang dinilai viable akan ditransfer ke
dalam cavum endomterium secara transcervical dengan panduan sonograf. 1,10

25

Gbr 14. In vitro fertilization1

Gbr 15. Folikel-folikel yang matang1

26

Gbr 16. Pemasukan embrio ke dalam cavum uterus1

Sama dengan IUI, penggunaan COH (Controlled Ovarian Hyperstimulation)


sebelum pengambilan ovum dapat memberikan keuntungan. Ova yang dihasilkan
dengan cara ini mempunyai kemungkinan terjadi

abnormalitas genetika dan

fungional, karena itu untuk memperbesar kemungkinan didapatkannya embrio yang


sehat, diperlukan pengeksposan banyak ovum terhadap sperma. 10
Biasanya penggunaan analog GnRH yang berhubungan dengan gonadotropin
(FSH atau hMG) ditujukan untuk mencegah terjadinya aliran LH yang tiba-tiba yang
dapat menghambat terjadinya ovulasi sebelum waktu pengambilan ovum. Dalam
keadaan optimal, dalam sekali panen bisa sampai 10-20 ovum, dan dari sejumlah
ovum ini, setelah dilakukan pembuahan, dipilih 1 embrio yang terbaik dan sehat
untuk dimasukkan kembali ke dalam cavum uterus. 10
Sayangnya metode untuk menentukan embrio mana yang paling baik dan
sehat masih belum sempurna. Karena itu, untuk memaksimalkan kemungkinan
terjadinya kehamilan, dimasukkan lebih dari 1 embrio ke dalam cavum uterus, dan
karena itu, kemungkinan untuk terjadinya gestasi multifetal menjadi tinggi. Barubaru ini, adanya kemajuan di bidang kultur memungkinan embrio dilakukan kultur
pada fase blastokist, sehingga sekarang sudah dapat dilakukan pemasukan embrio
ke cavum uterus dalam jumlah yang lebih sedikit dengan tingkat terjadinya
kehamilan yang tidak berkurang (Langley, 2001). 1,10
27

Cara untuk menegakkan diagnose adanya kelainan genetic pada embrio


sebelum dilakukan implantasi. Teknik yang dilakukan adalah mengambil satu atau
dua buah sel pada fase 6-8 sel, dan teknik ini dapat menscreening adanya defek
tunggal pada gen, translokasi yang tidak seimbang, dan aneuploidi. Saat ini teknik
ini masih dalam tahap percobaan, namun sepertinya penelitian ini akan terus
dikembangkan

sampai

ditemukan

teknik

yang

benar-benar

aman

untuk

diaplikasikan.1

Gbr 17. Pengambilan sel dari fase blastokist1

28

KOMPLIKASI

DARI

ART

(ASSISTED

REPRODUCTIVE

TECHNOLOGY)
Sebagian besar ART ini memberi hasil memuaskan yaitu kehamilan janin
tunggal dan persalinannya juga baik. Namun demikian, kehamilan dengan cara ART
ini juga dapat memberikan komplikasi, di antaranya yang paling sering adalah
gestasi multifetal. Selain itu, resiko terjadinya prematuritas dan IUGR yang tidak
berhubungan dengan usia ibu juga meningkat. Peningkatan resiko lainnya adalah
terjadinya kelainan congenital, abnormalitas epigenik, dan plasenta previa (Ludwig,
2005; Olson, 2005). Karena peningkatan resiko-resiko yang disebut di atas, maka
kehamilan dengan bantuan ART harus disarankan untuk ANC lebih intensif. 1,10
Untungnya, data yang ada sekarang menunjukkan tidak ada perbedaan
perkembangan psikomotor pada anak-anak antara hasil pembuahan normal dengan
pembuahan ART. Perkembangan sosio-emosional pada anak-anak hasil pembuahan
dengan IVF juga tidak menunjukkan perbedaan dengan hasil pembuahan normal
(Ludwig,2006).1,10

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Williams Gynecology, 23rd edition. Section 1 Benign General Gynecology.
Chapter 10 Endometriosis, 2010.
2. Fortner KB eds, 3rd ed. The John Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.chap 34.
3. DeCherney AH eds, 10th ed. Current Diagnostic & Treatment Obstetrics &
Gynecology. USA : McGraw-Hill; 2007.chap 34.
4. Lewis V. Reproductive Endocrinology & Infertility. Texas : Landes; 2007.
5. Olive DL, Stohs GF, Metzger DA, et al. Expectant management and
hydrotubations in the treatment of endometriosis associated infertility. Fertil
Steril 1985;44:35 40.
6. Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine:
Endometriosis and infertility. Fertil Steril 82(Suppl 1):S40, 2004a.
7. Al-Omari WR, Sulaiman WR, Al-Hadithi N: Comparison of two aromatase
inhibitors in women with clomiphene-resistant polycystic ovary syndrome. Int
J Gynaecol Obstet 85:289, 2004 [PMID: 15145273].
8. Biljan MM, Hemmings R, Brassard N, et al: The outcome of 150 babies
following the treatment with letrozole or letrozole and gonadotropins. Fertil
Steril 84(Suppl.1):O-231, Abstract 1033, 2005.
9. Casper RF: Aromatase inhibitors in ovarian stimulation. J Steroid Biochem Mol
Biol [Epub ahead of print] May 24, 2007.
10.Olson CK, Keppler-Noreuil KM, Romitti PA, et al: In vitro fertilization is
associated with an increase in major birth defects. Fertil Steril 84:1308, 2005
[PMID: 16275219].

30

31

Anda mungkin juga menyukai