ENDOMETRIOSIS
PENDAHULUAN1,2
Endometriosis adalah suatu keadaan di mana terdapat kelainan ginekologi
yang bersifat jinak yaitu terdapatnya kelenjar dan stroma endometrium di luar
lokasi normalnya. Berikut ini adalah lokasi tersering ditemukannya endometriosis :
a. Ovarium (44%), kantong Douglas dan ruang vesikouterina (34%), ligamentum
uterosacral (20%), peritoneum pelvikum (22%).
b. Tempat tambahan lainnya seperti jaringan parut bekas laparatomi atau
episiotomi, apendiks, rongga pleura dan pericardial, serta serviks.
Endometriosis adalah suatu penyakit yang tergantung pada hormone, karena itu
sering ditemukan pada wanita dalam usia reproduksi. Jaringan endometrium yang
ditemukan pada miometrium disebut adenomyosis.
EPIDEMIOLOGI1,2
1
pencitraan
mempunyai
sensitifitas
yang
rendah
terhadap
kemudian
akan
menempel
dan
menginvasi
mesotelium
dari
secara
limfogen.
Sebagai
tambahan,
kecenderungan
epitel
coelom,
metaplasia
ini
dapat
menjelaskan
terbentuknya
F. FAKTOR HORMONAL
Salah satu faktor yang sudah dapat dipastikan mempunyai peranan besar
dalam terbentuknya endometriosis adalah hormone estrogen. Walupun
sebagian besar estrogen pada wanita diproduksi di ovarium, namun beberapa
jaringan perifer juga diketahui memproduksi estrogen melalui proses
aromatisasi dari ovarium dan androgen adrenal. Implantasi endometriosis
diketahui menghasilkan aromatase dan 17-hidroksisteroid dehidrogenase
tipe 1, enzim yang berfungsi untuk mengubah androstenedion menjadi
estrone kemudian menjadi estradiol secara berturut-turut. Sebaliknya,
implantasi ini kekurangan enzim 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang menginaktivasikan estrogen. Kombinasi ini mengakibatkan implantasi
endometrium akan selalu berada dalam keadaan yg terekspos oleh estrogen.
Dalam keadaan normal, jaringan endometrium tidak mengeluarkan enzim
aromatase dan mempunyai kadar 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang tinggi sebagai respon terhadap progesterone, yang menjamin efek
estrogen akan melemah karena adanya progesterone. Hasilnya progesterone
akan melawan efek estrogen di dalam endometrium normal pada fase luteal
dalam siklus haid. Pada endometriosis, keadaan yang terbentuk adalah
relative resisten terhadap progesterone sehingga mencegah pelemahan efek
estrogen terhadap jaringan endometrium.
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah zat penginduksi aktivitas aromatase yang
paling kuat di dalam stroma sel endometrium, beraksi melalui reseptor
prostaglandin subtype EP2. Estradiol yang diproduksi sebagai respon
terhadap
aromatase
kemudian
meningkatkan
produksi
PGE2
dengan
menstimulasi enzim COX-2 di dalam sel endotel uterus. Hal ini menciptakan
feedback
positif
dan
meningkatkan
efek
estrogen
yaitu
proliferasi
endometriosis.
G. FAKTOR IMUNOLOGI
Walaupun banyak wanita mengalami menstruasi retrogard,yang mempunyai
peranan dalam implantasi dari endometriosis, tapi sangat sedikit yang
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan mens dan endometrium yang
refluks ke kavum peritoneum selalu dibersihkan oleh sel imun seperti
makrofag, se NK, dan limfosit. Karena alasan inilah, disfungsi dari sistem
imun merupakan salah satu mekanisme terbentuknya endometriosis.
Makrofag berperan sebagai pemakan sel dalam berbagai jaringan dan
jumlahnya meningkat dalam kavum peritoneum pada wanita dengan
endometriosis. Walupun jumlah makrofag yang meningkat ini logikanya dapat
menekan proliferasi dari endometriosis, tapi pada wanita ini justru makrofag
mempunyai efek stimulasi pada jaringan endometriosis. Dalam sebuah studi
in vitro ditemukan bahwa siklus monosit pada wanita dengan endometriosis
memberi efek menguatkan pada proliferasi jaringan, sedangkan efek monosit
pada wanita tanpa endometriosis adalah sebaliknya. Hal ini menunjukkan
proliferasi dari jaringan dipengaruhi oleh perubahan fungsi dari makrofag dan
bukan oleh jumlah makrofag.
Sel NK mempunyai aktivitas sitotoksis melawan sel-sel asing. Walaupun
jumlah sel NK tidak berubah dalam cairan peritoneal wanita dengan
endometriosis,
tapi
studi
menunjukkan
adanya
penurunan
fungsi
menjadi
salah
satu
pathogenesis
terbentuknya
endometriosis.
endometriosis.
Contohnya
adalah
baik
MCP-1(Monocyte
Chemoattractant Protein-1) dan RANTES (Regulated on Activation, Normal Tcells Expressed and Secreted) adalah zat kemoatraksi bagi monosit. Kadar
zat-zat ini meningkat dalam cairan peritoneal wanita dengan endometriosis
dan berhubungan erat dengan tingkat keparahan dari penyakit. Selain itu,
6
VEGF adalah angiogenic growth factor yang diregulasi oleh estradiol dalam
stroma sel endometrial dan makrofag dalam cairan peritoneal. Kadar faktor
ini meningkat dalam cairan peritoneal wanita dengan endometriosis.
FAKTOR RESIKO2
Wanita yang mempunyai relative (keluarga dekat) dalam tingkat primer yang
terkena endometriosis mempunyai resiko 7x lipat lebih besar untuk memperoleh
penyakit yang sama. Cara penurunan penyakit ini secara genetic melibatkan
multifactor.
KLASIFIKASI1
Pada tahun 1997, untuk menyamakan antara penemuan klinis dengan
penemuan secara pembedahan, maka American Society for Reproductive Medicine
(ASRM) merevisi sistem klasifikasi endometriosis. Dalam sistem ini, endometriosis
dibagi menjadi 4 stadium yaitu : stadium I (minimal), stadium II (ringan), stadium III
(sedang), dan stadium IV (berat). Daftar criteria pengklasifikasian dapat dilihat pada
gambar berikut :
DIAGNOSA
GEJALA
Walaupun sebagian besar wanita dengan endometriosis tidak memberikan
gejala, namun keluhan yang paling sering adalah nyeri pelvis, dismenorea,
dispareneu, dan infertilitas.1
Dismenorea
Insidens terjadinya dismenorea kira-kira 40-60%. Sebuah studi mengatakan bahwa
69.9% dari sekelompok remaja
kegagalan
dari
ovulasi
dan
fertilisasi,
ada
pathogenesis
dari
endometriosis yang lebih tidak terlihat dengan jelas yang menyebabkan infertilitas
seperti kekacauan di dalam ovarium dan faktor imunitas yang berkaitan dengan
implantasi.1
i.
Controlled
Trials)
menemukan
konflik
apakah
terapi
adanya
pengurangan
jumlah
oosit
dari
wanita
dengan
Perubahan endometrial
Adanya perkembangan abnormal dari endometrium pada wanita dengan
endometriosis dapat menerangkan kemungkinan gagalnya implantasi yang
berakibat
seorang
wanita
menjadi
subfertil.
Penelitian
yang
ada
Faktor lain
11
menunjukkan
adanya
peningkatan
aktivitas
fagositosis
pada
PENEMUAN KLINIS
Penemuan klinis dan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
adanya nodul pada ligament uterosacral yang biasanya nyeri dan membesar, nyeri
pada adnexa, pembengkakan yang disertai nyeri pada septum rektovaginal, dan
nyeri goyang pada uterus dan adnexa. Posisi uterus yang retrofleksi dan
pembesaran adnexa serta imobilisasi adnexa mengindikasikan adanya nyeri pelvis.
Nodul juga dapat ditemukan pada jaringan parut bekas SC tipe insisi Pfannenstiel
atau pada bekas episiotomy. 1
i.
dapat melalui
laparaskopi
dan
pemeriksaan
terlihat
seperti
bintik-bintik
berwarna
biru-kehitaman,
ii.
Teknik pencitraan
13
endometriosis
di
samping
biaya
yang
lebih
murah
iii.
Penemuan laboratorium
Yang meningkat di sini adalah kadar CA-125 sebagai penanda adanya
endometriosis.
keadaan
leiomioma
Namun
seperti
uteri,
CA-125
penyakit
dan
juga
pelvis
PID),
meningkat
lainnya
karena
itu
dalam
berbagai
(neoplasma
ovarium,
spesifisitasnya
dalam
14
BAB II
MANAJEMEN INFERTILITAS YANG
BERHUBUNGAN DENGAN
ENDOMETRIOSIS
Seperti yang kita telah ketahui bahwa endometriosis dibagi menjadi 4
stadium yaitu minimal, ringan, sedang, dan berat, di mana masing-masing dari
stadium
ini
memberikan
tingkat
infertilitas
yang
berbeda-beda.
Beberapa
pendekatan telah dilakukan untuk mencapai terjadinya hasil konsepsi pada masingmasing
kelompok
dari
penderita
endometriosis,
dengan
berbagai
derajat
kesuksesan. Berikut ini akan dibahas data-data yang berhubungan dengan masingmasing kelompok stadium.4,5
Sebelum mengevaluasi keuntungan dari berbagai terapi spesifik, sebaiknya
dinilai terlebih dahulu kemampuan seorang wanita dengan endometriosis untuk
menjadi hamil tanpa intervensi medis apapun. Analisa ini tergantung dari seberapa
jauhnya mekanisme distorsi dan obstruksi tuba yang terjadi. Seperti yang diketahui,
kemampuan penderita dengan stadium yang berat untuk menjadi hamil sangat
terbatas. Olive et al melaporkan tidak ada kehamilan pada pasien di kelompok ini. 5
15
Terapi medis untuk mengatasi rasa sakit yang diakibatkan oleh endometriosis
tidak dapat meningkatkan tingkat kesuburan dalam kasus ini (Hughes, 2003).
Pembedahan ablasi dianggap dapat menguntungkan untuk pasien infertile dan
dalam kasus stadium ringan, walaupun hasilnya sangat minimal (Marcoux, 1997).
Endometriosis stadium sedang sampai berat dapat dianjurkan untuk menjalani
terapi pembedahan dengan tujuan memperbaiki anatomi dan fungsi normal dari
tuba. Pilihan lainnya untuk pasien ini adalah menjalani terapi control hiperstimulasi
dari ovarium, inseminasi buatan atau dengan IVF (In Vitro Fertilization). 1
Endometriosis
termasuk
salah
satu
dari
penyakit
pada
peritoneum,
sedangkan yang lainnya adalah perlengketan pelvis. Terapi yang efektif untuk
penderita dengan endometriosis stadium I dan II berdasarkan penelitian adalah
seperti tabel berikut : (Guzick, 1999)
16
a : dan koleganya
b : p > .05 penelitian bermakna
IUI : intrauterine insemination ; IVF : In Vitro Fertilization
Sumber : American Society of Reproductive Medicine , 2004a, dengan izin
Gbr 9. Terapi yang bermakna pada infertilitas akibat endometriosis std I dan II5,6
Sayangnya,
terkadang
terdapat
penyakit
pemberat
sehingga
INDUKSI OVULASI
Indikasi tersering dari penggunaan cara induksi ovulasi adalah disfungsi
ovarium. Agen yang dipakai dapat juga digunakan oleh wanita yang sedang tidak
mengalami
gangguan
ovulasi
untuk
meningkatkan
kemungkinan
terjadinya
kehamilan, biasanya pada kasus infertilitas dengan penyebab lain atau dengan
infertilitas yang tidak dapat dijelaskan (unexplained infertility). Banyak istilah yang
digunakan untuk metode terapi ini, tapi Williams Obstetry and Gynecology memilih
istilah
induksi
ovulasi
untuk
mendeskripsikan
suatu
cara
terapi
dengan
dari
disfungsi
ovarium
harus
sesuai
dengan
penyebab
yang
telah
diidentifikasi dan berhubungan dengan usaha yang pernah dilakukan sebelumnya. 1,7
CHLOMIPHENE CITRATE
Chlomiphene citrate (CC) adalah terapi inisial yang digunakan untuk sebagian
besar wanita infertile karena terjadinya anovulasi. Secara kimiawi, CC sama dengan
tamoxifen karena sama-sama turunan dari golongan nonsteroid trifeniletilen yang
menunjukkan baik agonis dan antagonis dari property estrogen. Property dari sisi
antagonis lebih menonjol kecuali dalam keadaan kadar estrogen yang sangat
rendah. Sebagai hasilnya adalah feedback negative yang biasanya diproduksi oleh
18
estrogen
dalam
hipotalamus
berkurang.
Sekresi
GnRH
meningkat
dan
Tamoxifen
juga dianjurkan setelah terjadi mens spontan. Walaupun tidak masuk dalam
kategori teratogenik, CC diklasifikasikan dalam golongan X oleh FDA, karena itu
kontraindikasi pada suspek kehamilan atau memang didiagnosa hamil. 1,8
Dosis yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi tergantung dari berat badan,
walaupun tidak ada cara yang tepat untuk memprediksi dengan tepat dosis yang
dibutuhkan pada setiap individu wanita (Lobo, 1982). Maka itu, dosis CC diberikan
secara titrasi dari dosis yang terkecil untuk mencari tahu di dosis mana CC ini
memberi efek pada setiap individu wanita. Terapi biasa dimulai dengan dosis awal
50 mg single dose setiap hari selama 5 hari berturut-turut. Dosis ini ditingkatkan 50
mg lagi pada siklus selanjutnya sampai ovulasi terinduksi. Dosis dari CC sebaiknya
tidak ditingkatkan bila induksi ovulasi normal sudah terjadi, dan bila kehamilan
tetap tidak terjadi, hal ini bukan indikasi untuk meningkatkan dosis CC. 1,8
Dosis efektif dari CC berkisar antara 50 mg- 250 mg per hari, walaupun
tambahan 100 mg/ hari tidak diperbolehkan oleh FDA. Sebuah studi mengatakan
bahwa
bila
terapi
diberikan
bersama-sama
dengan
glukokortikoid
dapat
meningkatkan respon pada pasien yang tidak respon bila hanya diterapi dengan CC
saja.
Terapi
ini
berhubungan
dengan
peningkatan
kadar
DHEAS
(dehidroepiandrosteron sulfat).1,8
Secara umum, bila seorang wanita yang telah diterapi dengan dosis 100 mg/
hari masih gagal terjadi ovulasi atau masih gagal terjadi kehamilan dalam jangka
waktu 3 sampai 6 minggu setelah adanya respon dari ovulasi, maka pasien ini
merupakan calon untuk dilakukannya terapi lain. Dalam suatu studi retrospektif
yang melibatkan 428 wanita yang menerima CC untuk induksi ovulasi, 84.5%
kehamilan terjadi dalam 3 siklus ovulasi pertama setelah terapi dimulai. 1,8
GONADOTROPIN
CC sangat mudah digunakan dan biasanya menghasilkan ovulasi pada
sejumlah besar pasien, tapi tingkat terjadinya kehamilan masih mengecewakan
(50% atau kurang). Tingkat kehamilan lebih rendah daripada yang diharapkan
dengan pemberian CC berhubungan dengan waktu paruhnya yang panjang dan
efek perifer anti-estrogen, terutama pada endometrium dan mukosa cerviks. Pada
beberapa individual yang dikategorikan dalam resisten chlomiphene, langkah
20
besar
klinisi
memulai
percobaan
induksi
ovulasi
dengan
step-down
juga
dapat
digunakan
bila
ingin
mendapatkan
efek
21
pengurangan jangka waktu dari ovulasi. Namun demikian, resiko respon berlebihan
dari ovarium, seperti perkembangan folikel multiple atau sindom hiperstimulasi
ovarium, dapat meningkat dengan pendekatan ini. Bila kedua protocol ini gagal
pada pasien, maka pada siklus berikutnya dosis yang digunakan harus ditingkatkan
dosisnya berdasarkan dari respon di awal terapi. 1,8
AROMATASE INHIBITOR
Gonadotropin
lebih
efektif
untuk
menginduksi
terjadinya
ovulasi
dan
menghambat
aromatase,
sebuah
hemoprotein
sitokrom
P-450
yang
1,8,9
23
bahwa
penggunaan
letromazole
dengan
tujuan
spesifik
untuk
untuk
(Casper,
2007).
Pengalaman
dengan
penggunaan
anastrozole
24
Kombinasi dari IUI dan CC dipelajari oleh Deaton dan koleganya melalui
percobaan random. Hasilnya adalah, kombinasi dari terapi ini menaikkan tingkat
kehamilan menjadi 9.5% bila dibandingkan dengan kelompok control yaitu 3.3%.
terapi gonadotropin seperti FSH atau hMG sebenarnya sudah cukup menaikkan
tingkat kehamilan, tapi dengan ditambah terapi IUI maka hasilnya akan semakin
baik.1,10
IN VITRO FERTILIZATION (IVF)
Selama proses IVF, oosit yang sudah matang dari ovarium yang dirangsang
diambil secara transvaginal dengan panduan dari sonograf. Kemudian sperma dan
ovum digabungkan secara in vitro untuk memperbesar kemungkinan terjadinya
pembuahan. Bila proses ini berhasil, embrio yang dinilai viable akan ditransfer ke
dalam cavum endomterium secara transcervical dengan panduan sonograf. 1,10
25
26
sampai
ditemukan
teknik
yang
benar-benar
aman
untuk
diaplikasikan.1
28
KOMPLIKASI
DARI
ART
(ASSISTED
REPRODUCTIVE
TECHNOLOGY)
Sebagian besar ART ini memberi hasil memuaskan yaitu kehamilan janin
tunggal dan persalinannya juga baik. Namun demikian, kehamilan dengan cara ART
ini juga dapat memberikan komplikasi, di antaranya yang paling sering adalah
gestasi multifetal. Selain itu, resiko terjadinya prematuritas dan IUGR yang tidak
berhubungan dengan usia ibu juga meningkat. Peningkatan resiko lainnya adalah
terjadinya kelainan congenital, abnormalitas epigenik, dan plasenta previa (Ludwig,
2005; Olson, 2005). Karena peningkatan resiko-resiko yang disebut di atas, maka
kehamilan dengan bantuan ART harus disarankan untuk ANC lebih intensif. 1,10
Untungnya, data yang ada sekarang menunjukkan tidak ada perbedaan
perkembangan psikomotor pada anak-anak antara hasil pembuahan normal dengan
pembuahan ART. Perkembangan sosio-emosional pada anak-anak hasil pembuahan
dengan IVF juga tidak menunjukkan perbedaan dengan hasil pembuahan normal
(Ludwig,2006).1,10
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Williams Gynecology, 23rd edition. Section 1 Benign General Gynecology.
Chapter 10 Endometriosis, 2010.
2. Fortner KB eds, 3rd ed. The John Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.chap 34.
3. DeCherney AH eds, 10th ed. Current Diagnostic & Treatment Obstetrics &
Gynecology. USA : McGraw-Hill; 2007.chap 34.
4. Lewis V. Reproductive Endocrinology & Infertility. Texas : Landes; 2007.
5. Olive DL, Stohs GF, Metzger DA, et al. Expectant management and
hydrotubations in the treatment of endometriosis associated infertility. Fertil
Steril 1985;44:35 40.
6. Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine:
Endometriosis and infertility. Fertil Steril 82(Suppl 1):S40, 2004a.
7. Al-Omari WR, Sulaiman WR, Al-Hadithi N: Comparison of two aromatase
inhibitors in women with clomiphene-resistant polycystic ovary syndrome. Int
J Gynaecol Obstet 85:289, 2004 [PMID: 15145273].
8. Biljan MM, Hemmings R, Brassard N, et al: The outcome of 150 babies
following the treatment with letrozole or letrozole and gonadotropins. Fertil
Steril 84(Suppl.1):O-231, Abstract 1033, 2005.
9. Casper RF: Aromatase inhibitors in ovarian stimulation. J Steroid Biochem Mol
Biol [Epub ahead of print] May 24, 2007.
10.Olson CK, Keppler-Noreuil KM, Romitti PA, et al: In vitro fertilization is
associated with an increase in major birth defects. Fertil Steril 84:1308, 2005
[PMID: 16275219].
30
31