Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti halilinta. Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tibatiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia
pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda
pre-eklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejangan
yang diikuti oleh koma. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan
eklampsia gravidarum, eklampsia partureintum, eklampsia puerperale. Perlu
dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan mulai
tidak lama kemudian.
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh preeklampsia, tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur,
sebagai usaha untuk mencegah timbulnya penyakit itu.
Preeklampsia yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut
eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga pernah disebut eklampsia; namun,
sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan
kematian pada kasus non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh pre
eklampsia berat. Eklampsia disebut antepartum, peripartum atau postpartum
tergantung kapan kejangnya muncul.
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutkedutan (twitching). Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang
berikutnya. Apabila kejangnya jarang wanita yang bersangkutan biasanya pulih
kesadarannya setelah tiap serangan. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikuti
koma yang berkepanjangan walaupun umumnya kematian tidak terjadi sampai
setelah kejang berulang-ulang.
Pada preeklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai
dengan segera setelah kejang dan berkembang dengan cepat, kadang-kadang
sebelum petugas menyadari bahwa wanita yang tidak sadar ini mengalami his.
Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat sangat
mneingkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami

hipoksemia ada asidemia laktat akibat kejang janin dapat mengalami bradikardia
setelah serangan kejang. Pada sebagian wanita dengan eklampsia kematian
mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat
perdarahan otak massif. Perdarahan sub luteal dapat menyebabkan hemiplegia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang
spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga
didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu
kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus
(kehamilan

mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang

dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan.
Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau
parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan,
hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke
lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan
metabolik

fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi

abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk
mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi
plasenta inilah yang tampak

secara

klinis

sebagai preeklampsia. Meskipun

menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.


Preeklampsia

merupakan

suatu

diagnosis

klinis.

Definisi

klasik

preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan


sebagai suatu tekanan darah yang menetap 140/90 mmHg pada wanita yang
sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai 300
mg/24 jam atau +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan
onset baru edema

yang bermakna. Pada beberapa konsensus

terakhir

dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.


Pada makalah ini akan dibahas tentang komplikasi klinis dari
preeklampsia. Beberapa komplikasi akut preeklampsia, yaitu eklampsia,
sindroma HELLP (hemolisis, elevasi enzim hati, penurunan platelet), ruptur
hepar, edema pulmonal, gagal ginjal, koagulopati intravascular diseminasi (DIC),
kedaruratan hipertensi dan hipertensi ensefalopati serta kebutaan kortikal.

Pembahasan selanjutnya akan menampilkan detil diagnosis dan penatalaksanaan


dari beberapa komplikasi diatas, yaitu: eklampsia, gagal ginjal, kedaruratan
hipertensi, serta hipertensi ensefalopati dan kebutaan kortikal.
II.1 EKLAMPSIA
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada
preeclampsia tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia
dikatakan sebagai hasil akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya.
Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan eklampsia tidak diketahui.
Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme serebral dengan iskemia
lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan
kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan
penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi

penyebab umum

kematian ibu yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli),


sekitar 15% dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian
maternal di seluruh dunia disebabkan oleh eklampsia.
Epidemiologi dan insiden
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan
golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal
20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia
jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada
kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid. Insiden eklampsia

secara

keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju.
Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran
hidup.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini
tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan; terutama pada

persalinan bahaya ini besar.


Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan
atau koma pada wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis
lainnya. Kejang eklampsia hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih
dari 3-4 menit. Kejang eklamptik secara klinis dan elektroensefalografik tidak
dapat dibedakan dari kejang tonik klonik umum lainnya. Secara umum, wanita
dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisitneurologik fokal atau koma yang
berlangsung

lama,

tidak

dianjurkan

untuk

dilakukan

pemeriksaan

elektroensefalografik atau pencitraan serebral. Kondisi klinis selain eklampsia


yang dapat dipertimbangkan ketika melakukan evaluasi pada wanita hamil
yang mengalami kejang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis banding dari eklampsia
Traumatik cerebrovaskuler
Perdarahan intraserebral
Trombosis arteri dan vena serebral
Penyakit hipertensi
Hipertensi ensefalopati
Pheochromocytoma
Penekanan lesi pada susunan syaraf pusat
Tumor otak
Abses
Kelainan metabolik
Hipoglikemia
Uremia
Inappropriate antidiuretic hormone secretion
intoxiccation
Infeksi
Meningitis
Encefalitis
Trombotik trombositopenik purpura
Epilepsi idiopatik

resulting

in

water

Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan
proteinuria, merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil.
Pada waktu keluhan seperti sakit kepala, gangguan penglihatan atau nyeri
epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat.
Tekanan darah

Kelainan dasar pada preeklampsi adalah vasospasme arteriol, sehingga


tidak mengherankan bila tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan
adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan diastolik mungkin merupakan tanda
prognostik yang lebih andal dibandingakan tekanan sistolik, dan tekanan diastolik
sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan keadaan abnormal.
Kenaikan Berat badan
Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dapat mendahului serangan
preeklampsia, dan bahkan kenaikan berat badan yang berlebihan merupakan tanda
pertama preeklampsia pada sementara wanita. Peningkatan berat badan sekitar
0,45 kg perminggu adalah normal tetapi bila melebihi dari 1 kilo dalam seminggu
atau 3 kilo dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia harus
dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan terutama
disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum timbul gejala
oedema non dependen yang terlihat jelas, seperti kelopak mata yang
membengkak, kedua tangan atau kaki yang membesar.
Proteinuria
Derajat protein uria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu penyebab
fungsional (vasospasme) dan bukannya organik. Pada preeklampsia awal,
proteinuria mungkin hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus
yang paling berat, proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/lt.
Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan
biasanya lebih belakangan darapada kenaikan berat badan yang berlebihan.
Nyeri kepala
Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan semakin sering terjadi
pada kasus-kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah
frontalis dan oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa.
Pada wanita hamil yang mengalami serangan eklampsi, nyeri kepala hebat hampir
dipastikan mendahului serangan kejang pertama.

Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang
sering ditemukan preeklampsi berat dan dapat menunjukan serangan kejang yang
akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat
oedem atau perdarahan.
Gangguan penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian
atau total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan ptekie pada
korteks oksipital.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:
1.

Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula
tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.

2.

Kemudian timbul tingkat kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih


30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan
kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan
berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.

3.

Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang


berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot
berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut
membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol.
Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongesti dan
sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejangan klonik ini dapat
demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya.
Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik nafas secara
mendengkur.

4.

Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu


sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi
dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang
berulang, sehingga ia tetap dalam koma. Selama serangan tekanan darah

meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40 oC. Sebagai akibat
serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti; (1) lidah tergigit;
perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernafasan; (3) solusio plasenta; dan
(4) perdarahan otak.

Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm,


lebih dari 20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari
kasus terjadi pada kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama
48 jam postpartum. Kejang karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat
postpartum. Sering selama beberapa jam sampai beberapa hari post partum.
Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis yang paling akurat dari
pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin

tidak

berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang


eklamptik

yang

berkembang > 48

jam

postpartum, namun < 4 minggu

postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara
terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek,
yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol
tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila
terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan
nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke
kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obatobat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis,

kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4


1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4

secara cepat,

diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada
ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam
mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja
MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak
juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal
bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau
memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D
aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia.

Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat

dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek
diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit.
Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan
benzodiazepin

karena

sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada

janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin
pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan
kematian

serebrovaskular

pada eklampsia.

terjadi

pada

15-20%

dari

seluruh

Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki

hubungan secara langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik


dan sedikit berhubungan dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi
pada keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah tersebut masih belum
jelas.

Sebagian

besar

peneliti

menganjurkan untuk

menggunakan

anti

hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar
105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini
belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi
kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh

darahnya, sedangkan

pada

orang

dewasa

dengan

tekanan

darah

yang

normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada
kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat
dan persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan
serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV,
diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20
menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis
ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan

dosis

kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau
mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang
walaupun telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa
wanita dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah
kejang dan komplikasi dari

berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti:

asidosis, pneumonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan


respirasi.

Namun,

kontroversial.

pemilihan jenis obat

untuk

keadaan

ini masih

Ahli obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai obat

pilihan untuk mencegah berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi


memilih anti konvulsan tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak
hamil seperti fenitoin atau diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh
sejumlah penelitian klinis terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:

The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian


prospektif terhadap 905 wanita eklampsia yang secara random dipilih
untuk mendapat Magnesium atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia
yang dipilh secara random menerima Magnesium atau Fenitoin.
Pengukuran keluaran primer adalah
maternal.

Wanita

dengan

kejang

rekuren

dan

kematian

terapi Magnesium mendapatkan separuh

angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%).

10

Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau


perinatal atau angka

komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita

yang diberi magnesium memiliki sepertiga

angka kejang rekuren

dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%). Dalam rangkaian


penelitian

ini

wanita

yang

menerima

magnesium

<8%

yang

menerima perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan


<5% menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan
fenitoin. Tidak ada perbedaan signifikan pada angka kematian maternal
dan perinatal.

Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada
litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan
meperidin hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita
eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah,
cara pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung)
dan

lebih sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin.

Magnesium juga tampak secara selektif meningkatkan aliran darah


serebral dan konsumsi oksigen pada wanita dengan preeklampsia. Hal ini
tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4 adalah 2-3 gram/jam
diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase pemeliharaan hanya jika
reflek

patella ada (kehilangan reflek tendon yang dalam adalah

manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit, urine


output >100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar

serum magnesium tidak

diperlukan jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk
membuktikan toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu
konsentrasi ambang yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang,
meskipun

telah

direkomendasikan

sekitar

4,8-8,4

mg/dL. Dosis

harus disesuaikan menurut respon klinis pasien, sesuai table 2.

Evaluasi pada persalinan


Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa

11

memandang usia kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan


anak. Tetapi ini tidak perlu menghalangi dilakukannya induksi persalinan.
Setelah dilakukan stabilisasi terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan

sebelum

menentukan

cara

yang paling

sesuai

untuk

persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin.
Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan

preeklampsia berat /

eklampsia berada pada kehamilan preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan


serviks yang belum matang untuk dapat melahirkan pervaginam. Pada keadaan
ini, obat-obat untuk mematangkan serviks dapat digunakan guna meningkatkan
nilai Bishop, namun induksi yang terlalu lama harus dihindari. Bradikardi pada
janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan keadaan
yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan hal ini
tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi
ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu,
hiperkarbia

dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering

berhubungan dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi


denyut jantung janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20
sampai 30 menit.
Prognosis
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang
meminta korban besar dari ibu dan bayi. Dari berbagai pengumuman, diketahui
kematian ibu berkisar antara 9,8%-25,5% sedangkan kematian bayi lebih tinggi
lagi, yakni 42,2%-48,9%. Sebaliknya, kematian ibu dan bayi di negara maju lebih
kecil. Tingginya kematian ibu dan anak di negara-negara yang kurang maju
disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal; penderitapenderita eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Kematian
ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan
edema paru-paru, payah ginjal, dan masuknya isis lambung ke dalam jalan
pernafasan waktu kejangan. Sebab kematian bayi terutama oleh hipoksia
intrauterin dan prematuritas.
Berlawanan dengan yang sering diduga, pre-eklampsia dan eklampsia

12

tidak menyebabkan hipertensi menahun. Oleh penulis-penulis tersebut ditemukan


bahwa pada penderita yang mengalami eklampsia pada kehamilan pertama,
frekuensi hipertensi 15 tahun kemudian atau lebih tidak lebih tinggi daripada
mereka yang hamil tanpa eklampsia.

Kriteria yang dipakai untuk menentukan prognosis eklamsia adalah


kriteria Eden:
1.

Koma yang lama.

2.

Nadi > 120x/menit.

3.

Suhu > 40 C

4.

TD sistolik > 200 mmHg.

5.

Kejang > 10 kali.

6.

Proteinuria > 10 gr/dl.

7.

Tidak terdapat oedem.

Dikatakan buruk bila memenuhi salah satu kriteria di atas


Kehamilan berikutnya
Eklampsia dapat timbul kembali pada kehamilan berikutnya. Risiko
tersebut

dapat dikurangi

dengan

pemantauan

ibu

yang

ketat

dan

intervensi segera jika terjadi preeklampsia. Tetapi belum ada cara yang
efektif

untuk

mencegah

terjadinya preeklampsia. Tingkat rekurensia

eklampsia diperkirakan berkisar sekitar 2%.


Kehamilan berikutnya pada wanita dengan riwayat preeklampsia berat /
eklampsia juga meningkatkan risiko komplikasi obstetri lainnya dibandingkan
dengan wanita tanpa riwayat tersebut, termasuk solusio plasenta (2,5-6,5%
berbanding 0,8%), persalinan preterm (15-21% berbanding 7-8%), pertumbuhan
janin terhambat (12-23% berbanding 10%) dan peningkatan tingkat kematian
perinatal

(4,6-16,5%

berbanding

1-3%).

Wanita

dengan

riwayat

preeklampsia/eklampsia pada kehamilan < 28 minggu, memiliki risiko tertinggi


untuk terjadinya komplikasi tersebut. Risiko tersebut tampaknya sama, baik
pada preeklampsia berat maupun eklampsia.

13

Dapatkah eklampsia diprediksi ?


Hubungan antara hipertensi, gejala dan tanda dari iritabilitas kortikal
(sakit kepala, gangguan penglihatan, mual, muntah, demam, hiperrefleksia) dan
kejang-kejang masih belum jelas. Analisis retrospektif terhadap 383 kasus
eklampsia di Inggris menemukan hanya 59% wanita eklampsia menunjukkan
satu atau lebih gejala prodromal sakit kepala,

gangguan

penglihatan

(skotomata, amaurosis, pandangan kabur, diplopia, hemianopsia homonimus),


atau nyeri epigastrium sebelum terjadinya kejang eklampsia. Selanjutnya,
besarnya peningkatan tekanan darah

tampaknya tidak dapat memprediksi

terjadinya eklampsia, walaupun keadaan tersebut berhubungan erat dengan


insidensi terjadinya gangguan serebrovaskular. Analisis retrospektif menunjukkan
bahwa eklampsia merupakan manifestasi pertama dari penyakit hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan pada 20-38% kasus. Temuan yang sama
juga dilaporkan

pada penelitian di Swedia, Skotlandia dan Amerika Serikat.

Pada salah satu dari penelitian tersebut, faktor-faktor tersebut paling tidak
secara parsial bertanggung jawab terhadap gagalnya
eklampsia

(179

kasus)

merupakan

kesalahan

pencegahan

terhadap

dokter (36%), kegagalan

magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%), onset dini sebelum
kehamilan 21 minggu (3%), onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang
kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-kasus eklampsia

tampaknya

tidak dapat dicegah, walaupun pada wanita-wanita dengan asuhan prenatal yang
teratur.
Pencegahan terhadap kejang eklampsia pertama
Walaupun tidak semua kasus eklampsia dapat diprediksi, pemberian
terapi anti kejang terhadap parturien risiko tinggi dapat mencegah terjadinya
kejang pertama pada wanita dengan

preeklampsia

berat.

Dua

penelitian

besar telah menunjukkan keunggulan magnesium sulfat dibandingkan dengan


fenitoin dalam mencegah eklampsia, Kelompok rumah sakit Parkland secara
acak memberikan magnesium atau fenitoin terhadap 2138 wanita preeklampsia.
Kejang eklamptik timbul pada 10 dari 1089 wanita yang menerima fenitoin
dibandingkan dengan tidak ada satupun kejang eklamptik dari 1049 wanita yang

14

menerima magnesium (P = 0,004). Keluaran ibu dan neonatus adalah sama


pada kedua kelompok. Data tersebut didukung oleh penelitian yang baru
dilakukan di Afrika Selatan dimana 685 wanita dengan preeklampsia berat
secara acak diberikan profilaksis kejang dengan terapi magnesium sulfat atau
placebo. Perkembangan menjadi eklampsia lebih rendah pada kelompok
magnesium (0,3% berbanding 3,2% [P = 0,003]).
Terapi anti kejang secara umum dimulai selama kehamilan atau pada
saat memberikan terapi kortikosteroid antenatal atau obat untuk mematangkan
serviks sebelum perencanaan persalinan pada wanita dengan preeklampsia berat.
Terapi harus dilanjutkan hingga 24 sampai 48 jam pascapersalinan dan risiko
terjadinya kejang adalah rendah. Regimen magnesium sulfat yang paling sering
digunakan adalah dosis awal 4 sampai 6 g diberikan intravena lebih dari 20
menit, diikuti dengan 2 sampai 3 g / jam sebagai infus kontinyu. Tidak jelas
apakah semua wanita dengan preeklampsia memerlukan profilaksis untuk
mencegah terjadinya kejang pada sejumlah kecil pasien (0,6 3,2%).
Selanjutnya pada wanita hipertensi tanpa proteinuria , insidensi terjadinya
kejang adalah sangat rendah (< 0,1%) yang akan aman bila tidak diberikan
profilaksis kejang pada wanita tersebut.

TABEL 2. Pencegahan kejang berulang pada wanita dengan eklampsia


Obat

Dosis awal
Kadar terapi

Dosis

rumatan

Direkomendasikan sebagai terapi utama


Magnesium sulfat

4-6 g IV lebih dari 10-20 menit

2-3 g/jam IV infus

4-8 mEq/L*

10 g IM (5 g pada setiap bokong)

5 g IM setiap 4 jam

Seperti diatas

Terapi yang direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap magnesium sulfat
Fenitoin

1-1,5g IV lebih dari 1 jam

250-500 mg setiap

(tergantung berat badan)

10-12 jam oral atau IV

Diazepam

10 mg/jam IV infuse

Chlormethiazole

40-100 mL dari 0,8%

60 ml/jam IV infus

10-20 g/ml
-

lebih dari 20 menit


* Tidak diuji secara pro spektif

15

Amobarbital / pentotal
Tidak tersedia di Amerika Serikat

II.2 HELLP SYNDROME

HELLP Syndrome adalah sebuah sindrom yang menampilkan kombinasi


dari "H" untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah), "EL" untuk peningkatan
enzim hati, dan "LP" platelet rendah (yang penting elemen pembekuan darah)
yang mengancam kehidupan wanita hamil yang merupakan komplikasi terberat
dari pre-eklampsia pada kehamilan.
Kedua kondisi tersebut terjadi selama tahap kehamilan, atau kadangkadang setelah melahirkan. HELLP adalah singkatan dari temuan utama:
1

Anemia hemolytic

Peningkatan enzim hati

Hitung trombosit menurun

Faktor-faktor yang diyakini dapat meningkatkan risiko seorang wanita


menderita sindrom HELLP:

Sebelumnya kehamilan dengan Sindrom HELLP ( 19-27%


kemungkinan terulangnya di setiap kehamilan )

Preeklamsia atau hipertensi akibat kehamilan

Wanita di atas usia 25 tahun

Wanita kulit putih

Multiparous (melahirkan dua atau lebih kali)

16

Gejala
Sering kali, seorang pasien berkembang menjadi sindrom HELLP setelah
ditindak lanjuti dari kehamilan yang disertai dengan hipertensi (gestational
hypertension), atau dicurigai untuk berkembang menjadi pre-eklampsia (tekanan
darah tinggi dan proteinuria). Sampai dengan 8% dari semua kasus yang ada
HELLP syndrome timbul setelah melahirkan.
Gejala yang timbul terjadi secara bertahap dan pada awalnya ditandai:
1

sakit kepala (30%) yang lama kelamaan semakin memberat

penglihatan kabur

malaise (90%)

mual / muntah (30%) yang semakin lama semakin memburuk

"band pain" di sekitar perut bagian atas (65%)

paresthesia (kesemutan pada ekstremitas)

proteinuria

Edema dapat terjadi tetapi ketiadaan oedem tidak mengecualikan adanya


sindrom HELLP. Hipertensi arteri merupakan persyaratan diagnostik, namun
mungkin lebih ringan. Pecahnya kapsul hati dapat mengakibatkan munculnya
hematoma. Jika pasien mendapat serangan atau koma, maka kondisi tersebut telah
berkembang

menjadi

eklampsia

sepenuhnya.

Disseminated

intravascular

coagulation ( DIC ) juga dapat ditemukan pada sekitar 20% dari semua wanita
dengan sindrom HELLP dan pada 84% ketika HELLP syndrome disertai dengan
komplikasi gagal ginjal akut.
Sayangnya, sejak gejala sindrom HELLP mungkin merupakan tanda
pertama pre-eklampsia, inilah yang sering menyebabkan terjadinya misdiagnosis.
Gejala misdiagnoses HELLP dapat menyebabkan kondisi lain seperti hepatitis,

17

penyakit kandung empedu, atau idiopatik / thrombotic thrombocytopenic purpura


(ITP, yang merupakan gangguan perdarahan.). Jarang, pasien pasca caesarian
dapat terjadi kondisi shock yang menirukan gejala baik emboli paru atau
perdarahan reaksioner.

Diagnosis
Pada pasien dengan kemungkinan terjadinya HELLP syndrome, dilakukan
beberapa macam tes darah: hitung darah lengkap, enzim hati, fungsi ginjal,
elektrolit dan fungsi koagulasi. Sering kali, fibrin,

produk degradasi (FDPs)

menjadi penentu, yang dapat meningkat. Laktat dehidrogenase adalah penanda


hemolisis dan dapat meningkat (> 600 U / liter). Proteinuria bisa juga terjadi,
tetapi ringan.
Sebuah tes D-dimer positif pada preeklamsia baru-baru ini dilaporkan
bahwa diprediksikan dapat muncul pada pasien akan berkembang menjadi
sindrom HELLP. [5]. D-dimer merupakan indikator yang lebih sensitif dari
subklinis koagulopati dan bahkan mungkin

dapat positif sebelum koagulasi

abnormal muncul.

Klasifikasi
Menurut Mississippi Classification, hitung jumlah platelet telah ditemukan
untuk menjadi cukup prediktif dalam menilai tingkat keparahan penyakit:
1

severe ( kelas I ) : di bawah 50.000 / mm3

moderately severe : 50.000 - 100.000 / mm3

mild: > 100.000 / mm3

18

Patofisiologi
Penyebab pasti HELLP syndrome tidak diketahui, tetapi aktivasi secara
umu dari proses koagulasi yang terus menerus dipertimbangkan sebagai masalah
mendasar utama. Jaringan fibrin saling berkaitan satu sama lain di dalam
pembuluh darah kecil. Hal ini menyebabkan terjadinya anemia hemolitik
mikroangiopati: hal yang menyebabkan penghancuran sel darah merah seolaholah mereka sedang dipaksa lewat melalui saringan, selain itu, platelet juga ikut
dihancurkan.
Ketika organ hati tampaknya menjadi tempat utama dari proses ini, sel hati
menderita iskemia, menyebabkan terjadinya nekrosis periportal. Organ lain dapat
juga terpengaruh. Sindrom HELLP dapat mengarah pada berbagai bentuk varian
dari koagulasi intravaskular diseminata (DIC), yang dapat menyebabkan
paradoxical bleeding, yang dapat membuat operasi darurat mendapatkan
tantangan yang serius.

Pengobatan
Satu satunya pengobatan yang efektif Sindrom HELLP terutama
didasarkan pada masa kehamilan, dimana kelahiran bayi adalah cara terbaik untuk
menghentikan komplikasi serius bagi ibu dan bayi. Kebanyakan gejala dan efek
samping dari HELLP akan hilang dalam waktu 2-3 hari setelah kelahiran.
Penatalaksanaan HELLP Syndrome secara umum meliputi :
1

persalinan segera bila usia kehamilan 34 minggu

persalinan dalam waktu 48 jam setelah evaluasi, stabilisasi kondisi


maternal dan pemberian kortikosteroid bila usia kehamilan antara 32
34 minggu

19

konservatif bila usia kehamilan < 32 minggu, dimana yang terbanyak


digunakan adalah kortikosteroid.

Penatalaksanaan yang dapat digunakan untuk mengelola HELLP


syndrome sampai bayi dilahirkan meliputi:

istirahat total dan masuk ke sebuah fasilitas medis yang dapat


memonitor keadaan ibu dan bayi secara dekat.

Kortikosteroid (untuk membantu mengembangkan paru-paru bayi lebih


cepat).

Magnesium Sulfate (untuk membantu mencegah kejang).

Transfusi darah jika platelet terlalu rendah.

Obat obatan untuk tekanan darah yang meningkat.

Fetal monitoring dan termasuk tes biofisik, sonograms, non stress test
dan evaluasi gerakan janin.

Jika kehamilan kurang dari 34 minggu kehamilan, dokter biasanya


mencoba untuk mengevaluasi fungsi paru-paru bayi untuk melihat seberapa baik
kelahiran akan dapat ditangani.
Jika kehamilan lebih dari 34 minggu kehamilan atau gejala HELLP mulai
memburuk, melahirkan adalah pengobatan dianjurkan. Di masa lalu, bedah caesar
adalah cara paling umum untuk melahirkan bayi dari ibu yang berurusan dengan
sindrom HELLP. Tetapi sekarang dianjurkan bahwa perempuan, yang sedikitnya
34 minggu kehamilan dan memiliki leher rahim yang baik, harus diberi partus
percobaan atau trial of labor (TOL).
Sindrom HELLP bukanlah indikasi untuk operasi Caesar karena operasi
pembedahan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak karena

20

kemungkinan masalah pembekuan darah yang berhubungan dengan hitung


trombosit yang rendah.
DIC diobati dengan plasma beku segar (FFP) untuk memenuhi kebutuhan
protein koagulasi, dan pada anemia mungkin memerlukan transfusi darah.
Pada

kasus

ringan,

kortikosteroid

dan

antihipertensi

(labetalol,

hydralazine, nifedipine) mungkin cukup bermanfaat. Cairan intravena umumnya


diperlukan. Perdarahan hepatika dapat diobati dengan embolisasi juga jika
perdarahan yang terjadi tersebut mengancam kehidupan.
Insiden tersebut dilaporkan 0,2-0,6% dari seluruh kehamilan, dan 10-20%
pada wanita dengan komorbiditas preeklamsia. HELLP syndrome biasanya
dimulai pada trimester ketiga, dan biasanya pada wanita berkulit puith di atas usia
25 tahun. (Padden, 1999). Jarang dilaporkannya terjadi kasus HELLP syndrome
pada kehamilan usia 23 minggu. Hasil untuk ibu dengan sindrom HELLP
umumnya baik. Dengan pengobatan, angka kematian ibu sekitar 1 %. Namun
komplikasi yang telah diamati, termasuk plasenta abruption, akut gagal ginjal, hati
subcapsular hematom, dan retina detasemen.

Penatalaksanaan HELLP Syndrome pada kehamilan trimester III


Alexander and colleagues (1999) meneliti 278 bayi hidup dengan berat
750 1500 gr yang dilahirkan dari wanita dengan HELLP Syndrome. Setengah
dari wanita tersebut menjalani persalinan terinduksi, sisanya dengan sectio
Caesarea. Induksi tidak berhasil pada 35% wanita yang menjalani persalinan
terinduksi. Hal yang sama juga dilaporkan dalam penelitian Nassar and colleagues
(1998).
Beberapa keadaan penting, termasuk serviks yang kurang siap sehingga
induksi persalinan sulit berhasil, kedaruratan karena HELLP Syndrome yang berat
dan kebutuhan penanganan neonatus yang terkoordinasi, menyebabkan banyak
praktisi menganjurkan persalinan dengan sectio Caesarea.

21

Pada wanita hamil yang mendekati aterm dan penipisan serviks parsial,
dengan HELLP Syndrome yang ringan akan meningkatkan resiko untuk bayi dan
janin daripada induksi persalinan secara hati hati memonitor infuse oksitosin.
Jika terjadi HELLP Syndrome ringan tetapi serviks tertutup, persalinan dengan
sectio Caesarea berbahaya daripada membiarkan kehamilan berlanjut sampai
serviks siap untuk induksi.
Pada wanita hamil dengan HELLP Syndrome, terminasi dianjurkan untuk
keselamatan ibu dan janin. Persalinan bisa diinduksi dengan oksitosin intravena.
Banyak klinisi melakukan preinduksi pematangan serviks dengan prostaglandin
atau dilator osmotic. Ketika induksi persalinan dinyatakan hampir tidak berhasil
atau gagal, persalinan dengan sectio Caesarea diindikasikan untuk beberapa kasus
yang berat.
Ketika memutuskan untuk melakukan terminasi kehamilan pada pasien
dengan HELLP Syndrome, harus dipertimbangkan : usia kehamilan, kondisi ibu
dan janin, presentasi janin, dan kematangan serviks. Jika dilakukan terminasi
kehamilan secara sectio Caesarea, lakukanlah insisi kulit vertikal, insisi korporeal
uterus, serta pengeluaran plasenta spontan untuk mencegah perdarahan.
Kehamilan 34 minggu dengan komplikasi HELLP Syndrome disetujui
secara universal adalah tepat bila dilakukan terminasi. Persalinan pervaginam
dipilih secara umum daripada sectio Caesarea. Persalinan secara sectio Caesarea
dinyatakan berhubungan dengan peningkatan morbiditas maternal pada wanita
hamil dengan HELLP Syndrome. HELLP Syndrome bukanlah suatu indikasi
untuk melakukan persalinan dengan sectio Caesarea.
Terminasi diindikasikan jika HELLP Syndrome terjadi pada kehamilan
34 minggu atau bila kondisi maternal dan atau janin memburuk. Dapat dilakukan
persalinan pervaginam. Jika serviks belum siap, dapat diterima untuk induksi
mematangkan serviks lalu mulailah persalinan.
Curtin et al (1999) melaporkan bahwa akan didapatkan mortalitas perinatal
yang terendah bila dilakukan terminasi kehamilan dengan Sectio Caesarea dimana

22

tingkat morbiditas serta mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara
signifikan.
Penatalaksanaan yang paling tepat untuk HELLP Syndrome adalah
terminasi tanpa menghiraukan usia kehamilan. Pada saat ini, para klinisi
menyarankan untuk melakukan penatalaksanaan agresif dengan persalinan yang
tepat ketika merawat pasien HELLP Syndrome.
Murray et al (2001) meneliti 20 kasus kehamilan trimester III dengan
HELLP Syndrome dalam periode 5 tahun antara 1995 2000. 85% dilakukan
terminasi dengan sectio Caesarea dalam waktu 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan. Sebanyak 65% adalah preterm. Rata rata usia kehamilan pada waktu
terminasi adalah 33.5 minggu.
Rodriguez et al (2003) mengungkapkan bahwa penatalaksanaan HELLP
Syndrome adalah dengan terminasi kehamilan secepat mungkin sejak diagnosis
ditegakkan. Persalinan dapat dilakukan dengan sectio Caesarea atau secara
pervaginam jika kondisi serviks sudah optimal ( tanpa komplikasi maternal atau
fetus). Diagnosis dini HELLP Syndrome dapat meningkatkan prognosis maternal
dan perinatal. Alokasi waktu yang tepat pada center perinatal dan memonitor
secara intensif ibu dan bayi setelah diagnosis ditegakkan, adalah penatalaksanaan
yang sukses pada pasien. Tujuan terapi adalah stabilisasi segera kondisi ibu
dengan pemberian profilaksis antikonvulsif yaitu magnesium sulfat intravena,
serta kontrol tekanan darah dengan pemberian nifedipine. Persalinan segera
adalah metode yang tepat pada kasus kehamilan 34 minggu dengan HELLP
Syndrome, lebih dianjurkan secara sectio Caesarea untuk pasien yang mempunyai
serviks belum siap. Indikasi maternal dan fetus untuk terminasi segera harus
ditegakkan secara hati hati.
Baxter et al (2004) melakukan penelitian pada 269 kehamilan usia 24 36
minggu dengan komplikasi HELLP Syndrome, akan dilakukan terminasi. Seperti
yang sudah diperkirakan, terjadi penurunan yang signifikan pada tingkat
morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan usia kehamilan. Mortalitas dan

23

morbiditas neonatal berhubungan dengan usia kehamilan waktu terminasi


dibanding keberadaan HELLP Syndrome itu sendiri.
Rath et al (2004) meneliti 126 kasus kehamilan dengan HELLP Syndrome.
Sebanyak 63 wanita menjalankan persalinan pervaginam, sisanya dengan sectio
Caesarea. Terminasi kehamilan merupakan pilihan utama untuk sindrom ini.
Metode terminasi masih controversial pada beberapa literatur yang menyarankan
persalinan pervaginam, tetapi beberapa jurnal memuat sectio Caesarea sebagai
metode yang memberikan hasil lebih baik. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara persalinan pervaginam dengan sectio Caesarea. Didapatkan hasil bahwa
persalinan pervaginam tidak meningkatkan mortalitas serta morbiditas maternal
dan perinatal.
Ganzevoort et al (2005) melibatkan 216 pasien dengan HELLP Syndrome
pada usia kehamilan 24 34 minggu antara tahun 2000 2003. Dilakukan
terminasi kehamilan dengan sectio Caesarea sebesar 90%. Tidak dilakukan
persalinan pervaginam karena serviks belum siap sehingga mempunyai
kemungkinan resiko gagal induksi. Sebab, induksi persalinan sulit berhasil apabila
dilakukan pada serviks yang belum matang. Sectio Caesarea menurunkan tingkat
kematian maternal dan perinatal.
Osmanagaoglu (2006) meneliti 37 pasien dengan HELLP Syndrome pada
usia kehamilan 34 minggu antara tahun 1992 2004. Terminasi kehamilan
dengan sectio Caesarea dilakukan pada 75% kasus. Telah dilaporkan, insiden
sectio Caesarea tidak meningkatkan keparahan HELLP Syndrome. Meskipun
demikian, sectio Caesarea memberikan faktor kontribusi yang besar pada
kelahiran perinatal yang baik. Di sisi lain, terminasi kehamilan dengan sectio
Caesarea tidak mencegah kematian maternal. Oleh sebab itu, disarankan
penatalaksanaan yang tepat untuk HELLP Syndrome sebaiknya meliputi
penilaian, stabilisasi setelah itu terminasi.
Sibai (2009) meneliti 14 wanita usia kehamilan 34 minggu dengan HELLP
Syndrome antara tahun 1996 1999. Dilakukan terminasi cepat dari kehamilan
sebagai cara yang paling efektif untuk membatasi resiko penyakit dan komplikasi

24

maternal. Terminasi dengan sectio Caesarea dipercaya dapat menurunkan tingkat


morbiditas serta mortalitas maternal dan perinatal.

KESIMPULAN

Terminasi adalah pilihan metode yang tepat pada kehamilan 34 minggu


dengan HELLP Syndrome. Selama dekade terakhir, peningkatan
kewaspadaan obstetricians dan disiplin ilmu yang lain secara signifikan
telah menurunkan mortalitas maternal ( < 1% ) dan mortalitas perinatal
( 9.4 16.2% ) pada kasus HELLP Syndrome di beberapa negara Eropa.

Persalinan dilakukan dengan sectio Caesarea pada pasien dengan serviks


yang belum siap karena induksi persalinan sulit berhasil, kedaruratan
karena HELLP Syndrome yang berat dan

kebutuhan penanganan

neonatus yang terkoordinasi. Terminasi secara sectio Caesarea dilaporkan


tingkat kematian perinatal keseluruhan sebesar 5.6%.

Komplikasi
Jika sindrom HELLP tidak terdiagnosis atau tidak diobati, dapat
mengakibatkan komplikasi yang mengancam kehidupan bagi ibu dan bayi.
Komplikasi yang paling serius dan risiko dari sindrom HELLP meliputi:

Plasenta Abruption

Edema paru (penumpukan cairan di paru-paru)

Diseminated koagulasi intravascular (DIC-masalah penggumpalan


darah yang mengakibatkan pendarahan)

25

Adult respiratory distress syndrome (kegagalan paru-paru)

Ruptur hematom hati

Gagal ginjal akut

Intrauterine Growth Restriction (IUGR)

Infant respiratory distress syndrome (kegagalan paru-paru)

Transfusi darah

Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP adalah sekitar 1,1%.


Morbiditas bayi dan angka kematian adalah di mana saja dengan range 10-60%
tergantung pada banyak faktor seperti masa gestasi pada kehamilan, tingkat
keparahan gejala dan ketepatan pengobatan.

Pencegahan
Karena HELLP syndrome tidak diketahui penyebab, maka tidak ada cara
yang pasti untuk mencegahnya. Identifikasi dan perawatan dini adalah cara terbaik
untuk mencegah terjadinya sindrom HELLP menjadi semakin serius. Karena
sindrom HELLP diyakini berkaitan dengan pre-eklampsia, maka tetap waspada
tentang diet, olahraga dan tekanan darah yang sehat.

II.3 GAGAL GINJAL


Gagal ginjal akut ditandai dengan pelepasan reduksi pada filtrasi
glomerular, yang mengarah kepada eksesif retensi urea dan air sama halnya
dengan sejumlah elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Gagal ginjal
akut adalah salah satu komplikasi yang jarang

terjadi

pada

preeklampsia,

tetapi keadaan yang sebenarnya tetap tidak bisa ditentukan. Berdasarkan


pengalaman pada satu senter, 18% dari semua kasus gagal ginjal akut berasal dari

26

kasus obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi dengan
didahului oleh preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi
sindroma hemolisis uremia, penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.
Etiologi dan Patogenesis
Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah
adanya endoteliasis glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak
dengan

sel-sel

endotel bervakuola. Gambaran histologis ini, berpasangan

dengan vasokonstriksi umum yang menandai

preeklampsia,

menyebabkan

penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma ginjal dan glomerular filtrasi
dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun, kerusakan fungsional
pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum bersifat ringan
dan mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal
ginjal akut pada wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang terjadi.
Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori
besar; prerenal

(yang

dihubungkan

dengan

hipoperfusi

ginjal

tanpa

melibatkan parenkim), intraarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik


pada

parenkim

ginjal),

dan postrenal (yang berimplikasi pada obstruktif

uropati). Keadaan patologis prerenal dan intrarenal (akut tubular nekrosis)


sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal akut pada preeklampsia.
Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat
paling umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna
setelah persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29%
dari kasus-kasus gagal ginjal akut pada kehamilan, adalah kondisi yang jauh
lebih serius dan dihubungkan dengan angka kematian maternal dan angka
kematian perinatal beserta komplikasinya. Hal ini paling umum terlihat pada
wanita dengan latar belakang hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia,
dikenal sebagai penyakit parenkim ginjal, solusio plasenta atau DIC.
Prognosis
Pada tahun 1990, Sibai dan kawan-kawan melaporkan pengalaman
mereka tentang hasil kehamilan preterm, keluaran kehamilan selanjutnya, dan
mengontrol prognosis pada 31 pasien dengan preeklamsia yang berkomplikasi

27

dengan gagal ginjal akut yang dikumpulkan lebih dari 11 tahun. Insisdensi
nyata gagal ginjal akut tidak bisa ditentukan karena sebagian besarpasien dikirim
dari institusi lain. Angka kematian maternal adalah 10 % (3/31). Secara
keseluruhan 14 dari 31 pasien

(46,6%) memerlukan dialisis, dan tidak ada

perbedaan dalam presentase antara wanita yang memerlukan dialisis untuk


preeklampsia (50%) dan hipertensi kronik dengan superimpos preeklampsia
(42%). Dari ke-18 pasien dengan gagal ginjal akut yang didahului oleh
preeklampsia mengalami akut tubular nekrosis, dengan resolusi lengkap dari
fungsi ginjal

setelah

melahirkan. Sebaliknya 3 dari 13 pasien

dengan

hipertensi kronik dan superimpos preeklampsia mengalami nekrosis korteks


bilateral, 9 dari 11 (81,8%) pasien yang hidup memerlukan dialisis jangka
panjang, dan 4 pasien mengalami kematian karena gagal ginjal terminal
sebelum publikasi. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa identifikasi
dini dan penanganan yang tepat dari gagal ginjal akut pada parturien yang
sebelumnya sehat dengan preeklamsia tidak berakhir dengan kerusakan ginjal
residual jangka panjang.
Penelitian yang sama dari Memphis, Tennessee, sebelumnya melaporkan
pengalaman mereka dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut. Dari
semua kasus gagal ginjal akut yang didahului oleh sindroma HELLP adalah 7,3
%. Pada penelitian kohort mereka, didapatkan angka kematian maternal sebesar
13 % dan angka kematian perinatal sebesar 34%. Sebagian besar dari 32 pasien
dengan sindroma HELLP dan gagal ginjal akut terjadi saat pascapersalinan.
Analisis lebih lanjut mengatakan bahwa keadaan dengan latar belakang
hipertensi kronik berhubungan dengan keluaran hasil persalinan yang kurang
begitu baik diharapkan dan prognosis jangka panjang yang lebih baik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari gagal ginjal akut yang didahului oleh preeklamsia
harus difokuskan pada penyingkiran diagnosis lain, khususnya kondisi-kondisi
yang mungkin bersifat reversibel (misal dehidrasi atau obstruktif uropati).
Terapi suportif meliputi kontrol tekanan darah, pengaturan posisi pasien untuk
meningkatkan aliran darah ginjal, koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,

28

dan mempertahankan nutrisi yang adekuat. Bila dialisis diperlukan selama


masa kehamilan, maka hemodialisis yang dianjurkan bukan dengan dialisis
peritoneal.
II.4 KEDARURATAN HIPERTENSI
Kedaruratan hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia
sebagaimana yang terjadi pada hipertensi kronik. Walaupun patofisiologinya
mungkin berbeda pendekatan evaluasi akut dan penatalaksanaanya adalah sama,
dengan tujuan utama untuk mencegah terjadinya hipertensi ensefalopati dan
serangan serebrovaskular (CVA). Sampai sekarang yang belum jelas apakah
tekanan darah yang terkontrol secara agresif dapat menurunkan terjadinya
eklampsia. Walaupun jarang, CVA sebagai

akibat dari hipertensi akut

merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian maternal dari preeklampsia.


Diagnosis banding
Hipertensi akut mungkin juga merupakan salah satu hasil dari berbagai
macam kelainan ini. Walaupun etiologinya tampak jelas, pertimbangan harus
diberikan untuk berbagai kemungkinan diagnosa selain dari eklampsia, jika
manifestasi kliniknya atipikal. Diagnosia alternatif yang mungkin antara lain :
kromositoma, trombosis vena renalis, gejala rebound pada pemberian klonidin,
penyalahgunaan kokain dan metamfetamin, hiperemi akut pada kulit akibat
penyakit kolagen vaskuler. Dalam berbagai kasus, yang melatarbelakangi
terjadinya hipertensi akut adalah hipertensi esensial yang memburuk atau
eksaserbasi akut dari preeklampsia.
Patofisiologi
Mengapa kedaruratan hipertensi terjadi pada beberapa pasien sedangkan
yang

lainnya tampak tidak jelas? Beberapa ahli telah berusaha untuk

mendifinisikan ambang parameter dari krisis hipertensi dan mengeluarkan


pernyataan bahwa tekanan darah diastolik harus lebih dari 115 mmHg dan/
atau sistolik lebih dari 200 mmHg untuk menetapkan diagnosis hipertensi
krisis. Namun dari pengalaman klinik menunjukkan bahwa CVA dapat terjadi
pada wanita dengan tekananan darah yang konsisten dibawah parameter diatas.

29

Para ahli yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah
dibandingkan dengan pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab
terjadinya kerusakan otak.
Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio
retina dan atau perdarahan pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard,
gagal ginjal, gagal hati, solusio plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana
semuanya ini dapat terjadi akibat hipertensi akut yang tidak terkontrol. Buktibukti klinis dari akibat kerusakan pada organ akhir tersebut harus segera
mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang mengacu pada
pengontrolan tekanan darah.
Sebagian besar

pasien

dirawat

tanpa

menggunakan

pengawasan

hemodinamik yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat
sebaiknya dirawat pada pusat rujukan tersier dengan dibawah pengawasan
dokter-dokter yang memiliki keahlian dalam bidang kedaruratan medik (critical
care medicine).
Penatalaksanaan
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan
klinis yang sangat bermakna.
penatalaksanan

hipertensi

Langkah

pertama

yang

terpenting

dalam

krisis adalah untuk menurunkan tekanan darah,

namun menurunkan tekanan darah secara tiba- tiba harus dihindari. Idealnya
penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %, dengan target untuk
sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga hasilnya akan
sangat membantu dalam memperbaiki keadaan

pasien. Hipertensi yang

refrakter dalam terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan


terminasi kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea
perimortem perlu dilakukan.
Pada

hipertensi

penatalaksanaanya harus

akut

dengan

dilakukan

komplikasi

dengan

hipertensi

menggunakan

ensefalopati

fasilitas

ICU.

Pemberian sodium nitropruside merupakan obat pilihan utama antihipertensi


pada keadaan ini. Pada dosis yang melebihi dari 8 g/kg/menit, hati-hati
terjadinya akumulasi sianida dan tiosianat pada janin . Dianjurkan dilakukan

30

pengawasan ketat dari kadar sianida pada pasien-pasien yang mendapat


sodium nitropruside dosis tinggi. Obat-obat lainnya yang dapat digunakan pada
keadaan ini untuk menurunkan tekanan darah secara akut telah dirangkum dalam
tabel 3.

Penatalaksanaan definitive dari hipertensi krisis yang disebabkan


preeklampsia adalah terminasi kehamilan. Anestesi analgesik regional lebih
sering dipakai pada keadaan ini jika tidak ada bukti-bukti terjadinya koagulopati
dan tidak ada kontraindikasi untuk dilakukannya anestesi regional. Pada pasienpasien ini penting untuk mencegah terjadinya

hipotensi.

Jika

dibutuhkan

anestesi umum maka diperlukan pengawasan tekanan darah dan diperlukan


premedikasi untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang seringkali
dijumpai pada fase induksi dari anestesi umum.

II.5 HIPERTENSI ENSEFALOPATI DAN BUTA KORTIKAL

31

Buta kortikal diketahui sebagai komplikasi dari preeclampsia berat.


Manifestasi optalmologi dari preeklampsia antara lain : ablasio retina, vasospasme
arteriola retina dan trombosis arteri-arteri sentralis retina. Insiden dari buta
kortikal

yang

merupakan manifestasi dari ensefalopati hipertensi pada

preeklampsia berat adalah 1-15 %.


Patofisiologi
Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim
oleh suatu sistim autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan
sistemik yang mempunyai rentang yang bervariasi. Untuk penatalaksanaan
hipertensi

sistemik,

mempertahankan

arteriol-arteriol serebral

perfusi

yang

adekuat,

perlu

dilebarkan

untuk

dimana pembuluh-pembuluh

mengalami penyempitan sebagai respon dari tingginya tekanan sistemik.


Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi, dapat terjadi ensefalopati hipertensi.
Hipertensi ensefalopati merupakan suatu sindroma neurologik subakut
yang ditandai dengan sakit kepala, kejang, penurunan penglihatan dan
gangguan-gangguan neurologik lainnya (perubahan status mental, gejala-gejala
fokal neurologik) pada keadaan tekanan darah yang meningkat. Walaupun
sindroma ini bersifat reversibel jika hipertensi yang terjadi diobati secara dini,
namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali atau

jika

pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan


diagnosisnya
pasien

mungkin

sulit

untuk

ditegakkan

terutama

pada

pasien-

yang menderita penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang

bervariasi seperti CVA, trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis
dari hipertensi ensefalopati. MRI berguna dalam menegakkan diagnosa pada
kasus-kasus klinik yang sesuai.
Studistudi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960
menghasilkan suatu pendapat
sering

dihubungkan

bahwa

preeklampsia

dan

eklampsia

lebih

dengan meluasnya edema serebral. Lesi yang paling

sering dijumpai adalah perdarahan petekie multipel pada daerah kortek,


subkortek, substansia alba dan otak bagian tengah. Karena perdarahan
berkaitan dengan adanya trombus

petekie

kapiler, maka para ahli menyimpulkan

32

bahwa lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu gangguan vaskuler yang


menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang edema difus yang berat tampak
pada eklampsia, namun semakin spesifik lesi, maka edem otak semakin
terlokalisir pada jaringan penghubung substansia alba dan grisea pada lobus
oksipital. Kerentanan dari sirkulasi

posterior

pada

lesi

hipertensi

ensefalopati sudah dikenal, tapi fenomena terjadinya masih belum banyak


dimengerti.

Satu penjelasan

yang

mungkin

adalah terdapatnya hubungan

dengan heterogenitas regional dari penemuan simpatis vaskuler.


Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriolarteriol intrakranial

telah terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan

tekanan darah yang bermakna. Kemudian , studi-studi ultrastruktural telah


menunjukkan bahwa sistim karotis interna mendapat suplai yang lebih baik
dengan inervasi simpatis jika dibandingkan dengan sistim vertebrobasiler.
Hipertensi akut menurut hipotesa ini dapat menstimulasi saraf-saraf simpatis
perivaskuler, yang dapat melindungi bagian anterior tapi tidak inervasi
bagian posterior yang sirkulasinya lebih sedikit. Hipotesa tersebut dapat
menghasilkan suatu hipotesa baru dengan edema yang sebagian besar terdapat
pada lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.
Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan
klinis dan radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I
menyatakan bahwa hipertensi ensefalopati disebabkan karena adanya spasme
dari vaskular serebral sebagai respon dari hipertensi akut, yang juga dapat
menyebabkan kerusakan iskemik, nekrosis arteriol, dan edema sitotoksik.
Hipotesis alternatif yang terbaru adalah sindrom-sindrom yang berasal dari
rusaknya autoregulasi dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol serebral,
yang mengacu pada peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan
dan protein sampai disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik (
hidrostatik). Pada kedua contoh diatas hasil akhir dari progresifitas penyakit
adalah edema serebral fokal. Terdapatnya edema serebral pada hasil CTscan dan
MRI

kepala,

tidak

membantu dalam mendefinisikan mekanisme yang

melatarbelakangi terjadinyahipertensi ensefalopati. Peningkatan neuroimaging


mungkin dilakukan, termasuk SPECT (single photon emission computed

33

tomography), yang dapat membedakan baik area hiper/hipoperfusi, yang telah


memungkinkan dilakukannya penyelidikan secara lebih terperinci dari respon
vaskuler serebral pada hipertensi.
Pada tahun 1992, Schwarts dkk melaporkan pada penggunaan CT
MRI dan SPECT pada 14 pasien dengan ensefalopati hipertensi, termasuk 8
diantaranya menderita preeklampsia. Semua pasien

mempunyai lesi-lesi

hipodens pada lobus oksipital yang tampak pada CT, yang berkaitan dengan
lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang terdapat pada T2 weighted MRI.
SPECT yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode hipertensi pada area yang
terbuka akan meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan dengan lesi-lesi
yang ditemukan pada CT-scan dan MRI. Data-data ini menunjang konsep yang
menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi merupakan hasil primer dari
peningkatan permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema vasogenik.
Jika vasospasme dan resultan

iskemia merupakan hal-hal yang

penting,

penurunan perfusi serebral pada SPECT mungkin akan lebih diawasi dengan
infark yang mungkin terjadi. Namun infark ini jarang terjadi baik secara klinis
maupun secara eksperimental.
Penatalaksanaan
Buta

kortikal dan manifestasi lainnya dari ensefalopati hipertensi

merupakan suatu kontraindikasi untuk dilakukannya perawatan dari preeklampsia


dalam kehamilan. Kelahiran bayi dan plasenta merupakan satu-satunya terapi
yang kuratif. Tanggung jawab lainnya dari penatalaksanan ini termasuk
menyingkirkan penyebab lainnya dari kebutaan (mis : perdarahan oksipital, dan
ablasio retina) dan pengontrolan tekanan darah .Buta kortikal akan sembuh
secara sempurna sesudah kelahiran walaupun masa penyembuhannya mungkin
memakan waktu beberapa minggu.
KESIMPULAN
Preeklampsia
penyebab

merupakan

suatu

kematian maternal dan

penyebab

yang

bermakna

dari

perinatal serta komplikasinya. Sekali

34

diagnosis dari preeklampsia dibuat, pilihan dari terapi adalah terbatas.Karena


itu, perhatian lebih difokuskan pada pencegahan
Walaupun

penelitian

secara

ekstensif

terjadinya

preeklampsia.

telah dilakukan, tidak ada strategi

tunggal yang telah menunjukkan kelebihan dalam mencegah perkembangan


preeklampsia

baik

pada populasi dengan risiko tinggi atau rendah.

Preeklampsia merupakan suatu kelainan implantasi plasenta dan hal ini tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kelahiran dari janin dan plasenta menjadi satusatunya terapi kuratif.
Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah dengan
agresifitas dan intervensi dini dari komplikasi preeklampsia, mungkin dapat
mengurangi kerugian yang terdapat pada janin dari ibu yang mengalami
preeklampsia berat.

35

Lampiran 1. Hipertensi dalam kehamilan


Hipertensi kronik
Diobservasi sebelum kehamilan atau usia kehamilan 20 minggu, tekanan darah
lebih 140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 6 jam
Hipertensi dalam kehamilan
Transient hypertension dalam kehamilan: tanpa gejala preeklampsia dan tekanan
darah kembali normal setelah 12 minggu setelah melahirkan
Hipertensi kronik
Didiagnosis jika kenaikan tekanan darah menetap
Preeklampsia/eklampsia
Biasanya terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Hipertensi yang
disertai oleh proteinuria (protein lebih dari 0,3 g dalam 24 jam pemeriksaan).
Diduga apabila adanya gejala-gejala yang khas yakni peningkatan tekanan darah,
sakit kepala, pandangan kabur, nyeri perut, jumlah platelet rendah, peningkatan
enzim-enzim hati.
Superimpus preeklampsia pada hipertensi kronik
Ketika preeklampsia dijumpai pada wanita yang menderita hipertensi, prognosis
pada ibu dan janin yang lebih jelek dari kondisi sebenarnya.

BAB III
EKSTRASI VAKUM
PENGERTIAN
Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk
mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi
pada

bayi.

Oleh

karena

itu,

kerjasama

dan

kemampuan

ibu

untuk

mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam


menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama.
Tarikan pada kulit kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang
dihasilkan dari aplikasi tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik
akan memegang kulit kepala yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial.
Mangkuk dihubungkan dengan tuas penarik (yang dipegang oleh penolong
persalinan), melalui seutas rantai. Ada 3 gaya yang bekerja pada prosedur ini,
yaitu tekanan interauterin (oleh kontraksi) tekanan ekspresi eksternal (tenaga
mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum).
INDIKASI
Kala II lama dengan presentasi kepala belakang/verteks
KONTRA INDIKASI
Malpresentasi (dahi, puncak, kepala, muka, bokong)
Panggul sempit (disproporsi kepala-panggul)
SYARAT KHUSUS

Pembukaan lengkap atau hampir lengkap


Presentasi kepala
Cukup bulan (tidak prematur)
Tidak ada kesempitan panggul
Anak hidup dan tidak gawat janin
Penurunan H III/III+ (Puskesmas H IV / dasar panggul)
Kontraksi baik
Ibu kooperatif dan masih mampu untuk mengedan

EKSTRAKSI VAKUM

Kaji ulang dengan syarat-syarat:


o Presentasi belakang kepala/verteks;
o Janin cukup bulan;
o Pembukaan lengkap;
o Kepala di H III-IV atau 1/5 2/5.

Persetujuan tindakan medis.

Berikan dukungan emosional. Jika perlu, lakukan blok pudendal (hal-75).

Persiapan alat-alat sebelum tindakan: untuk pasien, penolong (operator


dan asisten), dan bayi.

Pencegahan infeksi sebelum tindakan.

Periksa dalam untuk menilai posisi kepala bayi dengan meraba sutura
sagitalis dan ubun-ubun kecil/posterior (Gambar 38.2)

Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan


pasang pada kepala bayi dengan titik tengah mangkok

pada sutura

sagitalis 1 cm anterior dari ubun-ubun kecil (Gambar 38.3)

Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomi tidak diperlukan


pada saat pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat
perineum meregang, ketika kepala akan lahir.

Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit.

Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif 0,2 kg/cm2


(Malmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan
tekanan secara bertahap).

Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif 0,6 kg/
cm2 (Malmstrom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.

Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan
dan lepaskan jaringan yang terjepit tesebut.

Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi searah


dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.

Tarikan dilakukann pada puncak his (Gambar 38.4) dengan mengikuti

sumbu jalan lahir. Pada saat penarikan (pada puncak his) minta pasien
meneran. Posisi tangan: tangan luar menarik pengait, ibu jari tangan dalam
pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada kulit kepala bayi.

Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.

Lakukan pemeriksaan diantara kontraksi:


o Denyut jantung janin,
o Aplikasi mangkok

Saat suboksiput sudah berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas


hingga lahirlah berturut-turut dahi, muka, dan dagu. Segera lepaskan
mangkok vakum dengan membuka tekanan negatif.

Selanjutnya kelahiran bayi dan plasenta dilakukan seperti pertolongan


persalinan normal.

LANGKAH KLINIK
A PERSETUJUAN TINDAKAN
B PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
I

Pasien
1

Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha
sudah dibersihkan dengan air dan sabun.

Uji fungsi dan perlengkapan perlatan ekstraksi vakum.

Siapkan alas bokong, sarung kaki dan penutup perut bawah.

Medikamentosa
a

Oksigen

Ergometrin

Prokain 1%

5 Larutkan antiseptik (Povidon lodin 10%)


6

Oksigen dengan regulator


7

Instrumen
a

Set partus : 1 set

Vakum ekstraktor : 1 setc. Klem ovum : 2

Cunam tampon : 1

Tabung 5 ml dan jarum suntik No. 23 (sekali pakai) : 2

Spekulum Sims atau L dan kateter karet : 2 dan 1

II Penolong (operator dan asisten)


1

Baju kamar tindakan, pelapis plastik, masker dan kacamata


pelindung : 3 set

Sarung tangan DTT/steril : 4 pasang

Alas kaki (sepatu/boot karet) : 3 pasang

Instrumen
a Lampu sorot : 1
b Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1

III Bayi
1

Instrumen
a

Penghisap lendir dan sudep/penekan lidah : 1 set

Kain penyeka muka dan badan : 2

Meja bersih, kering dan hangat (untuk tindakan) : 1

Inkubator : 1 set

Pemotong dan pengikat tali pusat : 1 set

Tabung 20 ml dan jarum suntik No. 23/ insulin (sekali pakai) : 2

Kateter intravena atau jarum kupu-kupu : 2

Popok dan selimut : 1

Alat resusitasi bayi

Medikamentosa
a Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%
b Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB
c Epinefrin 0,01%
d Antibiotika
e Akuabidestilata dan Dekstrose 10%

Oksigen dengan regulator

C PENCEGAHAN INFEKSI SEBELUM TINDAKAN


D TINDAKAN
1

Instruksikan asisten untuk menyipakan ekstraktor vakum dan pastikan


petugas dan persiapan untuk menolong bayi telah tersedia.

Lakukan pemeriksaan dalam untuk memastikan terpenuhinya persyaratan


ekstraksi vakum.
Bila penurunan kepala di atas H IV (0/5), rujuk ke Rumah Sakit.

Masukkan tangan ke dalam wadah yang mengandung larutan klorin 0,5%,


bersihkan darah dan cairan tubuh yang melekat pada sarung tangan,
lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan tersebut.

Pakai sarung tangan DTT/Steril yang baru.

E PEMASANGAN MANGKOK VAKUM


1

Masukkan mangkok vakum melalui introitus, pasangkan pada kepala bayi


(perhatikan agar tepi mangkok tidak terpasang pada bagian yang tidak
rata/moulage di daerah ubun-ubun kecil).

Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan
dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di
sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau
porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala.

Setelah hasil pemeriksaan ternyata baik, keluarkan jari tanan pemeriksaan


dan tangan penahan mangkok tetap pada posisinya.

Instruksikan asisten untuk menurunkan tekanan (membuat vakum dalam


mangkok) secra bertahap.

Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau -2 (Malmstroom) setelah 2


menit, naikkan hingga skala 60 (silastik) atau -6 (Malmstroom) dan tunggu
2 menit.
Ingat : Jangan gunakan tekanan maksumal pada kepala bayi, lebih
dari 8 menit.)

Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase

acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut
dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif
F PENARIKAN
1

Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara
simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada
saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.

Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua.
Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat
kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.

Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir,
sebaiknya pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).

Apabila pada penarikan ternyata mangkuk terlepas hingga dua kali,


kondisi ini juga mengharuskan pasien dirujuk.

Saat subosiput berada di bawah simfisis, arahkan tarikan ke atas hingga


lahirlah berturut-turut dahi, muka dan dagu.

G MELAHIRKAN BAYI
1

Kepala bayi dipegang biparietal, gerakkan ke bawah untuk melahirkan


bahu depan, kemudian gerakkan ke atas untuk melahirkan bahu belakang,
kenudian lahirkan seluruh tubuh bayi.

Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali
pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.

H LAHIRKAN PLASENTA
1

Suntikkan oksigen, lakukan traksi terkendali, lahirkan plasenta dengan


menarik tali pusat dan mendorong uterus ke arah dorsokranial.

Periksa kelengkapan plasenta (perhatikan bila terapat bagian-bagian yang


lepas atau tidak lengkap).

Masukkan plasenta ke dalam tempatnya (hindari percikan darah).

EKSPLORASI JALAN LAHIR


1

Masukkan spekulum Sims/L atas dan bawah pada vagina.

Perhatikan apakah terdapat robekan perpanjangan luka episiotomi atau


robekan pada dinding vagina di tempat lain.

Ambil klem ovum sebanyak 12 buah, lakukan penjepitan secara bergantian


ke arah samping, searah jarum jam, perhatikan ada tidaknya robekan
porsio.

Bila terjadi robekan di luar luka episiotomi, lakukan penjahitan dan


lanjutkan ke langkah K.

5
J

Bila dilakukan episiotomi, lanjutkan ke langkah J.

PENJAHITAN EPISIOTOMI
1

Pasang penopang bokong (beri alas kain). Suntikan prokain 1% (yang


telah disiapkan dalam tabung suntik) pada sisi dalam luka episiotomi (otot,
jaringan, submukosa dan subkutis) bagian atas dan bawah.

Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan
pinset bergigi.

Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain
penutup perut bawah dengan kocher.

Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa
secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit
secara subkutikuler atau jelujur matras.

Tarik tali pengikat tampon vagina secara perlahan-lahan hingga tampon


dapat dikeluarkan, kemudian kosongkan kandung kemih.

Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang
telah diberi larutan antiseptik.

Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan
episiotomi.

K DEKONTAMINASI
L CUCI TANGAN PASCATINDAKAN
M PERAWATAN PASCATINDAKAN

Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi
lanjut bila diperlukan.

Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom
yang tersedia dalam status pasien.

Tegaskan pada petugas yang merawat untuk melaksanakan instruksi


pengobatan dan perawatan serta laporkan segera bila pada pemamntauan
lanjutan terjadi perubahan-perubahan yang harus diwaspadai.

BAB IV
LAPORAN KASUS
I

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Umur

: 19 tahun

Alamat

: Kampung Pedurenan RT 001/002 Duren Jaya, Bekasi


Timur, Kota Bekasi

Suku/Bangsa

: Jawa/Indonesia

Agama

: Islam

Pekerjaan

: SLTP

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal berobat RS

: 17 Desember 2011

IDENTITAS SUAMI
Nama

: Tn. S

Umur

: 26 tahun

Alamat

: Kampung Pedurenan RT 001/002 Duren Jaya,


Bekasi Timur, Kota Bekasi

Suku/Bangsa

: Jawa/Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: SLTP

Pekerjaan

: Pedagang

II ANAMNESIS
Autoanamnesis dan Alloanamnesis tanggal 17 Desember 2011 pukul 22.30 WIB dan
18 Desember 2011 pukul 16.00 WIB
A Keluhan Utama
Kejang
B Keluhan Tambahan
Perut mulas, keluar air-air dari vagina, pusing dan pandangan kabur
C Riwayat Penyakit Sekarang
1 hari SMRS pasien mengeluh perut bertambah mulas disertai keluar
cairan seperti air berwarna jernih, tidak berwarna kehijauan, tidak berbau dan
disertai lendir berwarna merah terang. Kemudian dalam keadaan sadar, pasien
diantar oleh keluarga ke bidan dan dipersiapkan untuk lahir secara normal

melalui jalan lahir dengan pembukaan V. Pasien tiba-tiba mengalami kejang


seluruh tubuh selama 5 menit sebanyak 3 kali

dan sulit untuk diajak

berkomunikasi karena kesadaran pasien menurun. Pasien sebelumnya

mengeluh sakit kepala dan pandangan kabur. Riwayat kejang sebelumnya


dan demam tinggi disangkal oleh keluarga pasien.
Kemudian pasien diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi
dengan surat rujukan dari bidan, atas nama Ny. Suci Indah, 19 th G1P0A0
dengan eklampsia. Tekanan darah saat dirujuk 200/100 mmHg dan sudah
mendapatkan terapi O2 dan MgSO4 secara injeksi intramuskuler dan drip
dalam 500 cc Ringer Laktat. Tidak ada keterangan mengenai pemberian
antihipertensi dan hasil pemeriksaan urine. Selama kehamilan, pasien
memeriksakan kehamilannya (ANC) di bidan pertama kali pada usia
kehamilan 5 bulan sebanyak 3 kali hingga kehamilan usia 9 bulan.
Terdapat kenaikan tekanan darah setiap kali pemeriksaan di bidan, yaitu
diatas 150/90 mmHg. Kedua tungkai juga mengalami pembengkakan sejak
2 minggu terkahir. Tidak pernah dilakukan pemeriksaan urine sebelumnya.
Riwayat darah tinggi dan kejang pada pasien sebelum kehamilan
disangkal. Kemudian disarankan oleh dr. D, Sp.OG untuk dikirim ke ICU RSUD
Kota Bekasi dan dilakukan terminasi kehamilan dengan vakum ekstraksi.

D Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi, epilepsi, DM, asthma, alergi dan penyakit jantung
disangkal.
E Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, epilepsi, DM, asthma, alergi dan penyakit jantung
disangkal.
F Riwayat Menstruasi
Menarche pada usia 15 tahun, teratur, Dismenorhea (-), lama haid 7 hari
Banyaknya 2-3 pembalut/hari
HPHT : Ibu lupa
TP

: Tidak dapat ditentukan

G Riwayat Pernikahan

Pasien menikah 1x, usia 18 tahun dengan suami 26 tahun


H Riwayat Obstetri
G 1 P 0 A 0.
1x Hamil ini
I

Riwayat KB
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun sebelumnya.

III Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum

: Sakit berat

Kesadaran

: Somnolen

Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah

: 160/90 mmHg

Nadi

: 140 x/menit

Suhu

: 37 oC

Pernafasan

: 24x/menit

Status Generalis
Kepala

: Normochepali, rambut hitam tebal, sukar dicabut.

Mata

: Conjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

THT

: Faring Hiperemis (-), Tonsil T1 T1 tenang.

Leher

: KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak


membesar.

Cor

: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).

Pulmo

: Suara nafas vesikuler, Rh-/-, Wh-/-.

Mammae

: Simetris, benjolan (-), retraksi puting (-).

Abdomen

: Lihat status obstretikus.

Ekstremitas

: Oedema lengan dan tungkai +/+, akral hangat.

Status Ginekologis

I. Abdomen
Inspeksi

: perut membuncit sesuai masa kehamilan, striae


gravidarum (+), linea nigra (+)

Palpasi
Leopold I

: TFU 32 cm, teraba 1 bagian bulat, lunak, dan


tidak melenting

Leopold II

: Kanan
Kiri

: Teraba 1 bagian kecil


: Teraba 1 bagian besar,keras seperti
papan

Leopold III

: Teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting yaitu


kepala

Leopold IV

: teraba bagian bawah janin belum masuk PAP

His

: (-), gerak janin (+)

Auskultasi

: Djj: (+)152x/menit via doppler


regular

II.

Genitalia
Inspeksi

: lendir (-), darah (-).

VT

: Portio lunak, tebal, lengkap, ketuban (-), darah


(+)

IV. Resume
Anamnesis
1 hari SMRS pasien mengeluh perut bertambah mulas disertai keluar cairan
seperti air berwarna jernih, tidak berwarna kehijauan, tidak berbau dan disertai lendir
berwarna merah terang. Kemudian dalam keadaan sadar, pasien diantar oleh keluarga ke
bidan dan dipersiapkan untuk lahir secara normal melalui jalan lahir dengan pembukaan
V. Pasien tiba-tiba mengalami kejang seluruh tubuh selama 5 menit sebanyak 3 kali
dan sulit untuk diajak berkomunikasi karena kesadaran pasien menurun. Pasien

sebelumnya mengeluh sakit kepala dan pandangan kabur.


Kemudian pasien diantar oleh keluarga ke IGD RSUD Kota Bekasi
dengan surat rujukan dari bidan, atas nama Ny. Suci Indah, 19 th G1P0A0 dengan
eklampsia. Tekanan darah saat dirujuk 200/100 mmHg dan sudah mendapatkan

terapi O2 dan MgSO4 secara injeksi intramuskuler dan drip dalam 500 cc Ringer
Laktat.
Selama kehamilan, pasien memeriksakan kehamilannya (ANC) di bidan
pertama kali pada usia kehamilan 5 bulan sebanyak 3 kali hingga kehamilan usia 9
bulan. Terdapat kenaikan tekanan darah setiap kali pemeriksaan di bidan, yaitu
diatas 150/90 mmHg. Kedua tungkai juga mengalami pembengkakan sejak 2
minggu terkahir.
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: Sakit berat

Kesadaran

: Somnolen

Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah

: 160/90 mmHg

Nadi

: 140 x/menit

Suhu

: 37 oC

Pernafasan

: 24x/menit

Ekstremitas

: Oedema lengan dan tungkai +/+, akral hangat

Status Ginekologis
I. Abdomen
Inspeksi

: perut buncit, striae gravidarum (+)

Palpasi
Leopold I

: TFU 32 cm, teraba 1 bagian bulat, lunak, dan


tidak melenting

Leopold II

: Kanan
Kiri

: Teraba 1 bagian kecil


: Teraba 1 bagian besar,keras seperti
papan

Leopold III

: Teraba 1 bagian bulat, keras dan melenting yaitu


kepala

Leopold IV

: teraba bagian bawah janin belum masuk PAP

His

: (-), gerak janin (+)

Auskultasi

: Djj: (+)152x/menit via doppler, regular

II. Genitalia
Inspeksi

: lendir (-), darah (-).

VT

: Portio lunak, tebal, lengkap, ketuban (-), darah


(+)

V. Pemeriksaan Penunjang
17-12-2012

VI. Diagnosis
Ibu

: G1P0A0 hamil 38 minggu dengan eklampsia dan


KPD 24 jam

Janin

: Janin presentasi kepala tunggal hidup

VII. Prognosis
Ibu

: dubia ad malam

Janin

: dubia ad bonam

VIII. Penatalaksanaan
Rencana diagnostik :

Cek laboratorium darah lengkap dan urin lengkap

Rencana terapi :

Beri O2 4-6 liter dan bebaskan jalan nafas

Infus RL + MgSO4 40% 25tetes/menit

Injeksi Viccilin SX 3 x 1500 mg

Stesolid supp

Nifedipin 3 x 10 mg

Pasang DC

Pro vakum ekstraksi (ICU)

Rencana edukasi :

Sebelum tindakan

: Menjelaskan apa yang terjadi pada


pasien dan menjelaskan pentingnya
dilakukan terminasi kehamilan dengan
vakum ekstraksi di ruangan ICU

Saat tindakan

: Menjelaskan pada keluarga agar tetap


tenang karena akan dilakukan tindakan
vakum ekstraksi.

Setelah tindakan

: Menjelaskan akan pentingnya pasien


dimasukkan ke ruang ICU untuk
meningkatkan pengawasan setelah
dilakukan tindakan

Instruksi Post Vakum Ekstraksi


17-12-2011 (22.00 WIB)

IVFD MgSO4 40% 25tetes/menit

Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )

Injeksi Viccilin SX 3 x 1500 mg

Balance cairan 1500 cc/24 Jam

Hasil Laboratorium dalam batas normal

Hasil urine lengkap tidak ada


FOLLOW UP
18-12-2011
S

Gatal dan bentol pada kulit (-), Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-),
Demam (-), Mual (-), Muntah (-), Nyeri uluhati (-) dan Penglihatan kabur
(-)

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 140/90 mmHg

Mata

: 36,50C

: 80 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU setinggi pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

:
Laboratorium

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam

IVFD MgSO4 40% 25tetes/menit


Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )
Injeksi Viccilin SX 3 x 1500 mg
Balance cairan 1500 cc/24 Jam

19-12-2011
S

Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+)

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 150/90 mmHg

Mata

: 36,60C

: 100 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU setinggi pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+I)

IVFD MgSO4 40% 25tetes/menit


Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )
Injeksi Viccilin SX 3 x 1500 mg
Balance cairan 1500 cc/24 Jam

20-12-2011
S

Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+)

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 150/90 mmHg

Mata

: 36,50C

: 100 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU setinggi pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+II)

IVFD MgSO4 40% 25tetes/menit


Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )
Injeksi Viccilin SX 3 x 1500 mg
Balance cairan 1500 cc/24 Jam

21-12-2011
S

Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (-) 3 hari

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 150/90 mmHg

Mata

: 36,70C

: 100 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU 1 Jari Bawah Pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)

Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )
Dulcolax supp

22-12-2011
S

Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (+) normal

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 165/90 mmHg

Mata

: 36,70C

: 100 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU 1 Jari Bawah Pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)

Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg
Dopamide 3 x 250 mg
Dulcolax sup

22-12-2011
S

Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (+) normal

KU/Kes

: TSR/CM

TV

: TD : 130/90 mmHg

Mata

: 36,60C

: 88 x/menit

: 20 x/menit

: Conjungtiva anemis -/-, Sklera Ikterik -/-

Thorax
Cor

: BJ I-II regular, M(-), G(-)

Pulmo

: Sn. Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-

Ekstremitas

: Edema +/+, akral hangat

Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi

: Perut tampak mendatar

Palpasi

: Supel, NT (-), TFU 1 Jari Bawah Pusar

Perkusi

: NT (-), tympani

Auskultasi

: BU (+) normal

II. Genitalia
Inspeksi

: Terdapat jahitan memanjang di perineum ke arah anus,


darah (-), Pus (-), Lokia rubra (+)

P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)

Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg
Dopamide 3 x 250 mg

DAFTAR PUSTAKA
1. Barrilleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin
Obstet Gynecol 2002 ; 45: 22-34
2. Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia.
Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45: 308-329
3. Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd

ed.

Philadelphia.Baltimore.New York.London.Hongkong.Tokyo: Lippincot


Williams & Wilkins, 2001:101
4. Briggs GG, Freeman RK. Drug in pregnancy and lactation. 6th
Philadelphia.Baltimore.NewYork.London.Hongkong.Tokyo:

ed.

Lippincot

Williams & Wilkins, 2002:995


5. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in
pregnancy. ACOG Technical Bulletin No. 219. Washington, DC: ACOG,
1996
6. Gilstrap LC, 3rd, Cunningham FG, Whalley PJ. Mangement of
pregnancy-induced hypertension in the nulliparous patient remote from
term. Semin Perinatol. 1978;2:73
7. Campbell DM, Templeton AA. Is eclampsia preventable? In: Bonnar J,
MacGillivray I, Symonds ED, eds. Pregnancy Hypertension. Baltimore:
University Park Press, 1980:483
8. Lucas MJ, Leveno KJ. Cunningham FG. A comparison of magnesium
sulfate with phenytoin for the prevention of eclampsia. N Eng J Med.
1995;333:201
9. Hall DR, Odendaal HJ, Smith M. Is the prophylactic administration of
magnesium sulphate in women with preeclampsia indicated prior the

labour? Br J Obstet Gynaecol. 2000;107:903


10. Sibai BM, Villar MA, Mabie BC. Acute renal failure in
hypertensive disorders of pregnancy: Pregnancy outcome and remote
prognosis in thirty-one consecutive cases. Am J Obstet Gynecol.
1990;162:777-783
11. Stratta P, Canavese C, Colla L, et al. Acute renal failure in
preeclampsia-eclampsia. Gynecol Obstet Invest. 1987;24:225-231
12. Sibai BM, Ramadhan MK. Acute renal failure in pregnancies complicated
by hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets. Am J Obstet
Gynecol. 1993;168:1682-1687
13. Apollon KM, Robinson JN, Schwartz RB, et al. Cortical blindness in
severe

preeclampsia:

Computed tomography,

magnetic

resonance

imaging
and single-photon emisson computed tomography findings. Obstet
Gynecol. 2000;95:1017-1019
14. Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes
in acute hypertension: An ultrastructural study. Lab Invest.
1977;39:150-161

Anda mungkin juga menyukai