PENDAHULUAN
Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti halilinta. Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tibatiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Sekarang kita ketahui bahwa eklampsia
pada umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda
pre-eklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejangan
yang diikuti oleh koma. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan
eklampsia gravidarum, eklampsia partureintum, eklampsia puerperale. Perlu
dikemukakan bahwa pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan mulai
tidak lama kemudian.
Dengan pengetahuan bahwa biasanya eklampsia didahului oleh preeklampsia, tampak pentingnya pengawasan antenatal yang teliti dan teratur,
sebagai usaha untuk mencegah timbulnya penyakit itu.
Preeklampsia yang dipersulit oleh kejang tonik-klonik generalisata disebut
eklampsia. Koma fatal tanpa kejang juga pernah disebut eklampsia; namun,
sebaiknya diagnosis dibatasi pada wanita dengan kejang dan menggolongkan
kematian pada kasus non kejang sebagai kasus yang disebabkan oleh pre
eklampsia berat. Eklampsia disebut antepartum, peripartum atau postpartum
tergantung kapan kejangnya muncul.
Serangan kejang biasanya dimulai disekitar mulut dalam bentuk kedutkedutan (twitching). Kejang pertama biasanya menjadi pendahulu kejang-kejang
berikutnya. Apabila kejangnya jarang wanita yang bersangkutan biasanya pulih
kesadarannya setelah tiap serangan. Meski jarang, satu kali kejang dapat diikuti
koma yang berkepanjangan walaupun umumnya kematian tidak terjadi sampai
setelah kejang berulang-ulang.
Pada preeklampsia antepartum, tanda-tanda persalinan dapat dimulai
dengan segera setelah kejang dan berkembang dengan cepat, kadang-kadang
sebelum petugas menyadari bahwa wanita yang tidak sadar ini mengalami his.
Apabila kejang terjadi saat persalinan, frekuensi dan intensitas his dapat sangat
mneingkat, dan durasi persalinan dapat memendek. Karena ibu mengalami
hipoksemia ada asidemia laktat akibat kejang janin dapat mengalami bradikardia
setelah serangan kejang. Pada sebagian wanita dengan eklampsia kematian
mendadak terjadi bersamaan dengan kejang atau segera sesudahnya akibat
perdarahan otak massif. Perdarahan sub luteal dapat menyebabkan hemiplegia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KOMPLIKASI AKUT PADA PREEKLAMPSIA
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang
spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga
didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu
kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus
(kehamilan
dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan.
Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau
parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan,
hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke
lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan
metabolik
abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk
mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi
plasenta inilah yang tampak
secara
klinis
merupakan
suatu
diagnosis
klinis.
Definisi
klasik
terakhir
penyebab umum
secara
keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju.
Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran
hidup.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Pada umumnya kejangan didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini
tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan; terutama pada
lama,
tidak
dianjurkan
untuk
dilakukan
pemeriksaan
resulting
in
water
Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia yaitu hipertensi dan
proteinuria, merupakan kelainan yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil.
Pada waktu keluhan seperti sakit kepala, gangguan penglihatan atau nyeri
epigastrium mulai timbul, kelainan tersebut biasanya sudah berat.
Tekanan darah
Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang
sering ditemukan preeklampsi berat dan dapat menunjukan serangan kejang yang
akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar akibat
oedem atau perdarahan.
Gangguan penglihatan
Seperti pandangan yang sedikit kabur, skotoma hingga kebutaan sebagian
atau total. Disebabkan oleh vasospasme, iskemia dan perdarahan ptekie pada
korteks oksipital.
Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yakni:
1.
Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula
tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
2.
3.
4.
meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40 oC. Sebagai akibat
serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti; (1) lidah tergigit;
perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernafasan; (3) solusio plasenta; dan
(4) perdarahan otak.
tidak
yang
berkembang > 48
jam
postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara
terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek,
yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol
tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila
terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan
nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke
kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4
menit, obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obatobat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat
(MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis,
secara cepat,
diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada
ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam
mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja
MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak
juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal
bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau
memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D
aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan
kejang eklampsia.
dimana efek anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek
diazepam ini akan mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit.
Akan tetapi saat ini banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan
benzodiazepin
karena
janin. Secara klinis, efek ini menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin
pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan
kematian
serebrovaskular
pada eklampsia.
terjadi
pada
15-20%
dari
seluruh
Sebagian
besar
peneliti
menganjurkan untuk
menggunakan
anti
hipertensi yang poten untuk mengatasi tekanan darah diastolik pada kadar
105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik > 160 mmHg, walaupun hal ini
belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang telah mengalami hipertensi
kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran terhadap tekanan darah
sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada pembuluh
darahnya, sedangkan
pada
orang
dewasa
dengan
tekanan
darah
yang
normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada
kadar tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat
dan persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan
serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV,
diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20
menit) atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis
ganda, namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan
dosis
kumulatif total 300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan segera setelah mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau
mereka yang memiliki kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang
walaupun telah ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa
wanita dengan eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah
kejang dan komplikasi dari
Namun,
kontroversial.
untuk
keadaan
ini masih
Wanita
dengan
kejang
rekuren
dan
kematian
10
ini
wanita
yang
menerima
magnesium
<8%
yang
Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada
litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan
meperidin hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita
eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah,
cara pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung)
dan
diperlukan jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk
membuktikan toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu
konsentrasi ambang yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang,
meskipun
telah
direkomendasikan
sekitar
4,8-8,4
mg/dL. Dosis
11
sebelum
menentukan
cara
yang paling
sesuai
untuk
persalinan. Diantaranya usia kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin.
Secara umum, kurang dari sepertiga wanita dengan
preeklampsia berat /
12
2.
3.
Suhu > 40 C
4.
5.
6.
7.
dapat dikurangi
dengan
pemantauan
ibu
yang
ketat
dan
intervensi segera jika terjadi preeklampsia. Tetapi belum ada cara yang
efektif
untuk
mencegah
(4,6-16,5%
berbanding
1-3%).
Wanita
dengan
riwayat
13
gangguan
penglihatan
Pada salah satu dari penelitian tersebut, faktor-faktor tersebut paling tidak
secara parsial bertanggung jawab terhadap gagalnya
eklampsia
(179
kasus)
merupakan
kesalahan
pencegahan
terhadap
magnesium (13%), onset pada paska persalinan lanjut (12%), onset dini sebelum
kehamilan 21 minggu (3%), onset mendadak (18%) dan asuhan antenatal yang
kurang (19%). Oleh karena itu, banyak kasus-kasus eklampsia
tampaknya
tidak dapat dicegah, walaupun pada wanita-wanita dengan asuhan prenatal yang
teratur.
Pencegahan terhadap kejang eklampsia pertama
Walaupun tidak semua kasus eklampsia dapat diprediksi, pemberian
terapi anti kejang terhadap parturien risiko tinggi dapat mencegah terjadinya
kejang pertama pada wanita dengan
preeklampsia
berat.
Dua
penelitian
14
Dosis awal
Kadar terapi
Dosis
rumatan
4-8 mEq/L*
5 g IM setiap 4 jam
Seperti diatas
Terapi yang direkomendasikan pada wanita yang refrakter terhadap magnesium sulfat
Fenitoin
250-500 mg setiap
Diazepam
10 mg/jam IV infuse
Chlormethiazole
60 ml/jam IV infus
10-20 g/ml
-
15
Amobarbital / pentotal
Tidak tersedia di Amerika Serikat
Anemia hemolytic
16
Gejala
Sering kali, seorang pasien berkembang menjadi sindrom HELLP setelah
ditindak lanjuti dari kehamilan yang disertai dengan hipertensi (gestational
hypertension), atau dicurigai untuk berkembang menjadi pre-eklampsia (tekanan
darah tinggi dan proteinuria). Sampai dengan 8% dari semua kasus yang ada
HELLP syndrome timbul setelah melahirkan.
Gejala yang timbul terjadi secara bertahap dan pada awalnya ditandai:
1
penglihatan kabur
malaise (90%)
proteinuria
menjadi
eklampsia
sepenuhnya.
Disseminated
intravascular
coagulation ( DIC ) juga dapat ditemukan pada sekitar 20% dari semua wanita
dengan sindrom HELLP dan pada 84% ketika HELLP syndrome disertai dengan
komplikasi gagal ginjal akut.
Sayangnya, sejak gejala sindrom HELLP mungkin merupakan tanda
pertama pre-eklampsia, inilah yang sering menyebabkan terjadinya misdiagnosis.
Gejala misdiagnoses HELLP dapat menyebabkan kondisi lain seperti hepatitis,
17
Diagnosis
Pada pasien dengan kemungkinan terjadinya HELLP syndrome, dilakukan
beberapa macam tes darah: hitung darah lengkap, enzim hati, fungsi ginjal,
elektrolit dan fungsi koagulasi. Sering kali, fibrin,
abnormal muncul.
Klasifikasi
Menurut Mississippi Classification, hitung jumlah platelet telah ditemukan
untuk menjadi cukup prediktif dalam menilai tingkat keparahan penyakit:
1
18
Patofisiologi
Penyebab pasti HELLP syndrome tidak diketahui, tetapi aktivasi secara
umu dari proses koagulasi yang terus menerus dipertimbangkan sebagai masalah
mendasar utama. Jaringan fibrin saling berkaitan satu sama lain di dalam
pembuluh darah kecil. Hal ini menyebabkan terjadinya anemia hemolitik
mikroangiopati: hal yang menyebabkan penghancuran sel darah merah seolaholah mereka sedang dipaksa lewat melalui saringan, selain itu, platelet juga ikut
dihancurkan.
Ketika organ hati tampaknya menjadi tempat utama dari proses ini, sel hati
menderita iskemia, menyebabkan terjadinya nekrosis periportal. Organ lain dapat
juga terpengaruh. Sindrom HELLP dapat mengarah pada berbagai bentuk varian
dari koagulasi intravaskular diseminata (DIC), yang dapat menyebabkan
paradoxical bleeding, yang dapat membuat operasi darurat mendapatkan
tantangan yang serius.
Pengobatan
Satu satunya pengobatan yang efektif Sindrom HELLP terutama
didasarkan pada masa kehamilan, dimana kelahiran bayi adalah cara terbaik untuk
menghentikan komplikasi serius bagi ibu dan bayi. Kebanyakan gejala dan efek
samping dari HELLP akan hilang dalam waktu 2-3 hari setelah kelahiran.
Penatalaksanaan HELLP Syndrome secara umum meliputi :
1
19
Fetal monitoring dan termasuk tes biofisik, sonograms, non stress test
dan evaluasi gerakan janin.
20
kasus
ringan,
kortikosteroid
dan
antihipertensi
(labetalol,
21
Pada wanita hamil yang mendekati aterm dan penipisan serviks parsial,
dengan HELLP Syndrome yang ringan akan meningkatkan resiko untuk bayi dan
janin daripada induksi persalinan secara hati hati memonitor infuse oksitosin.
Jika terjadi HELLP Syndrome ringan tetapi serviks tertutup, persalinan dengan
sectio Caesarea berbahaya daripada membiarkan kehamilan berlanjut sampai
serviks siap untuk induksi.
Pada wanita hamil dengan HELLP Syndrome, terminasi dianjurkan untuk
keselamatan ibu dan janin. Persalinan bisa diinduksi dengan oksitosin intravena.
Banyak klinisi melakukan preinduksi pematangan serviks dengan prostaglandin
atau dilator osmotic. Ketika induksi persalinan dinyatakan hampir tidak berhasil
atau gagal, persalinan dengan sectio Caesarea diindikasikan untuk beberapa kasus
yang berat.
Ketika memutuskan untuk melakukan terminasi kehamilan pada pasien
dengan HELLP Syndrome, harus dipertimbangkan : usia kehamilan, kondisi ibu
dan janin, presentasi janin, dan kematangan serviks. Jika dilakukan terminasi
kehamilan secara sectio Caesarea, lakukanlah insisi kulit vertikal, insisi korporeal
uterus, serta pengeluaran plasenta spontan untuk mencegah perdarahan.
Kehamilan 34 minggu dengan komplikasi HELLP Syndrome disetujui
secara universal adalah tepat bila dilakukan terminasi. Persalinan pervaginam
dipilih secara umum daripada sectio Caesarea. Persalinan secara sectio Caesarea
dinyatakan berhubungan dengan peningkatan morbiditas maternal pada wanita
hamil dengan HELLP Syndrome. HELLP Syndrome bukanlah suatu indikasi
untuk melakukan persalinan dengan sectio Caesarea.
Terminasi diindikasikan jika HELLP Syndrome terjadi pada kehamilan
34 minggu atau bila kondisi maternal dan atau janin memburuk. Dapat dilakukan
persalinan pervaginam. Jika serviks belum siap, dapat diterima untuk induksi
mematangkan serviks lalu mulailah persalinan.
Curtin et al (1999) melaporkan bahwa akan didapatkan mortalitas perinatal
yang terendah bila dilakukan terminasi kehamilan dengan Sectio Caesarea dimana
22
tingkat morbiditas serta mortalitas maternal dan perinatal dapat diturunkan secara
signifikan.
Penatalaksanaan yang paling tepat untuk HELLP Syndrome adalah
terminasi tanpa menghiraukan usia kehamilan. Pada saat ini, para klinisi
menyarankan untuk melakukan penatalaksanaan agresif dengan persalinan yang
tepat ketika merawat pasien HELLP Syndrome.
Murray et al (2001) meneliti 20 kasus kehamilan trimester III dengan
HELLP Syndrome dalam periode 5 tahun antara 1995 2000. 85% dilakukan
terminasi dengan sectio Caesarea dalam waktu 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan. Sebanyak 65% adalah preterm. Rata rata usia kehamilan pada waktu
terminasi adalah 33.5 minggu.
Rodriguez et al (2003) mengungkapkan bahwa penatalaksanaan HELLP
Syndrome adalah dengan terminasi kehamilan secepat mungkin sejak diagnosis
ditegakkan. Persalinan dapat dilakukan dengan sectio Caesarea atau secara
pervaginam jika kondisi serviks sudah optimal ( tanpa komplikasi maternal atau
fetus). Diagnosis dini HELLP Syndrome dapat meningkatkan prognosis maternal
dan perinatal. Alokasi waktu yang tepat pada center perinatal dan memonitor
secara intensif ibu dan bayi setelah diagnosis ditegakkan, adalah penatalaksanaan
yang sukses pada pasien. Tujuan terapi adalah stabilisasi segera kondisi ibu
dengan pemberian profilaksis antikonvulsif yaitu magnesium sulfat intravena,
serta kontrol tekanan darah dengan pemberian nifedipine. Persalinan segera
adalah metode yang tepat pada kasus kehamilan 34 minggu dengan HELLP
Syndrome, lebih dianjurkan secara sectio Caesarea untuk pasien yang mempunyai
serviks belum siap. Indikasi maternal dan fetus untuk terminasi segera harus
ditegakkan secara hati hati.
Baxter et al (2004) melakukan penelitian pada 269 kehamilan usia 24 36
minggu dengan komplikasi HELLP Syndrome, akan dilakukan terminasi. Seperti
yang sudah diperkirakan, terjadi penurunan yang signifikan pada tingkat
morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan usia kehamilan. Mortalitas dan
23
24
KESIMPULAN
kebutuhan penanganan
Komplikasi
Jika sindrom HELLP tidak terdiagnosis atau tidak diobati, dapat
mengakibatkan komplikasi yang mengancam kehidupan bagi ibu dan bayi.
Komplikasi yang paling serius dan risiko dari sindrom HELLP meliputi:
Plasenta Abruption
25
Transfusi darah
Pencegahan
Karena HELLP syndrome tidak diketahui penyebab, maka tidak ada cara
yang pasti untuk mencegahnya. Identifikasi dan perawatan dini adalah cara terbaik
untuk mencegah terjadinya sindrom HELLP menjadi semakin serius. Karena
sindrom HELLP diyakini berkaitan dengan pre-eklampsia, maka tetap waspada
tentang diet, olahraga dan tekanan darah yang sehat.
terjadi
pada
preeklampsia,
26
kasus obstetri. Diantara pasien tersebut, 20,9% dari semua kasus terjadi dengan
didahului oleh preeklampsia. Kondisi lain yang harus dipertimbangkan meliputi
sindroma hemolisis uremia, penyakit renovaskuler primer dan solusio plasenta.
Etiologi dan Patogenesis
Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah
adanya endoteliasis glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak
dengan
sel-sel
preeklampsia,
menyebabkan
penurunan sebesar 25-30% dari aliran plasma ginjal dan glomerular filtrasi
dibandingkan dengan kehamilan normal. Bagaimanapun, kerusakan fungsional
pada ginjal dibandingkan dengan preeklampsia secara umum bersifat ringan
dan mengalami perbaikan sempurna setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal
ginjal akut pada wanita preeklampsia yang secara klinis bermakna jarang terjadi.
Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori
besar; prerenal
(yang
dihubungkan
dengan
hipoperfusi
ginjal
tanpa
parenkim
ginjal),
27
dengan gagal ginjal akut yang dikumpulkan lebih dari 11 tahun. Insisdensi
nyata gagal ginjal akut tidak bisa ditentukan karena sebagian besarpasien dikirim
dari institusi lain. Angka kematian maternal adalah 10 % (3/31). Secara
keseluruhan 14 dari 31 pasien
setelah
dengan
28
29
Para ahli yang lain mengajukan pendapat bahwa angka rata-rata telah berubah
dibandingkan dengan pengukuran yang absolut yang bertanggungjawab
terjadinya kerusakan otak.
Krisis hipertensi dapat mempengaruhi berbagai sistim organ. Ablasio
retina dan atau perdarahan pada retina, gagal jantung kongestif, infark miokard,
gagal ginjal, gagal hati, solusio plasenta, dan ensefalopati hipertensi dimana
semuanya ini dapat terjadi akibat hipertensi akut yang tidak terkontrol. Buktibukti klinis dari akibat kerusakan pada organ akhir tersebut harus segera
mendapat perhatian dan penanganan yang segera yang mengacu pada
pengontrolan tekanan darah.
Sebagian besar
pasien
dirawat
tanpa
menggunakan
pengawasan
hemodinamik yang invasif, tapi pasien-pasien dengan kasus atipikal yang berat
sebaiknya dirawat pada pusat rujukan tersier dengan dibawah pengawasan
dokter-dokter yang memiliki keahlian dalam bidang kedaruratan medik (critical
care medicine).
Penatalaksanaan
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan
klinis yang sangat bermakna.
penatalaksanan
hipertensi
Langkah
pertama
yang
terpenting
dalam
namun menurunkan tekanan darah secara tiba- tiba harus dihindari. Idealnya
penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %, dengan target untuk
sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga hasilnya akan
sangat membantu dalam memperbaiki keadaan
hipertensi
penatalaksanaanya harus
akut
dengan
dilakukan
komplikasi
dengan
hipertensi
menggunakan
ensefalopati
fasilitas
ICU.
30
hipotensi.
Jika
dibutuhkan
31
yang
sistemik,
mempertahankan
arteriol-arteriol serebral
perfusi
yang
adekuat,
perlu
dilebarkan
untuk
dimana pembuluh-pembuluh
jika
mungkin
sulit
untuk
ditegakkan
terutama
pada
pasien-
bervariasi seperti CVA, trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis
dari hipertensi ensefalopati. MRI berguna dalam menegakkan diagnosa pada
kasus-kasus klinik yang sesuai.
Studistudi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960
menghasilkan suatu pendapat
sering
dihubungkan
bahwa
preeklampsia
dan
eklampsia
lebih
petekie
32
posterior
pada
lesi
hipertensi
Satu penjelasan
yang
mungkin
kepala,
tidak
33
mempunyai lesi-lesi
hipodens pada lobus oksipital yang tampak pada CT, yang berkaitan dengan
lesi-lesi dari peningkatan intensitas sinyal yang terdapat pada T2 weighted MRI.
SPECT yang dilakukan pada 2 pasien dalam episode hipertensi pada area yang
terbuka akan meningkatkan perfusi serebral, yang berkaitan dengan lesi-lesi
yang ditemukan pada CT-scan dan MRI. Data-data ini menunjang konsep yang
menyatakan bahwa ensefalopati hipertensi merupakan hasil primer dari
peningkatan permeabilitas vaskuler yang memacu timbulnya edema vasogenik.
Jika vasospasme dan resultan
penting,
penurunan perfusi serebral pada SPECT mungkin akan lebih diawasi dengan
infark yang mungkin terjadi. Namun infark ini jarang terjadi baik secara klinis
maupun secara eksperimental.
Penatalaksanaan
Buta
merupakan
suatu
penyebab
yang
bermakna
dari
34
penelitian
secara
ekstensif
terjadinya
preeklampsia.
baik
Preeklampsia merupakan suatu kelainan implantasi plasenta dan hal ini tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kelahiran dari janin dan plasenta menjadi satusatunya terapi kuratif.
Suatu kondisi dimana kesehatan yang dipertahankan, ditambah dengan
agresifitas dan intervensi dini dari komplikasi preeklampsia, mungkin dapat
mengurangi kerugian yang terdapat pada janin dari ibu yang mengalami
preeklampsia berat.
35
BAB III
EKSTRASI VAKUM
PENGERTIAN
Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk
mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi
pada
bayi.
Oleh
karena
itu,
kerjasama
dan
kemampuan
ibu
untuk
EKSTRAKSI VAKUM
Periksa dalam untuk menilai posisi kepala bayi dengan meraba sutura
sagitalis dan ubun-ubun kecil/posterior (Gambar 38.2)
pada sutura
Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif 0,6 kg/
cm2 (Malmstrom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.
Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan
dan lepaskan jaringan yang terjepit tesebut.
sumbu jalan lahir. Pada saat penarikan (pada puncak his) minta pasien
meneran. Posisi tangan: tangan luar menarik pengait, ibu jari tangan dalam
pada mangkok, telunjuk dan jari tengah pada kulit kepala bayi.
LANGKAH KLINIK
A PERSETUJUAN TINDAKAN
B PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
I
Pasien
1
Cairan dan slang infus sudah terpasang, Perut bawah dan lipat paha
sudah dibersihkan dengan air dan sabun.
Medikamentosa
a
Oksigen
Ergometrin
Prokain 1%
Instrumen
a
Cunam tampon : 1
Instrumen
a Lampu sorot : 1
b Monoaural stetoskop dan stetoskop, tensimeter : 1
III Bayi
1
Instrumen
a
Inkubator : 1 set
Medikamentosa
a Larutan Bikarbonas Natrikus 7,5% atau 8,4%
b Nalokson (Narkan) 0,01 mg/kg BB
c Epinefrin 0,01%
d Antibiotika
e Akuabidestilata dan Dekstrose 10%
Dengan jari tengah dan telunjuk, tahan mangkok pada posisisnya dan
dengan jari tengah dan telunjuk tangan lain, lakukan pemeriksaan di
sekeliling tepi mangkok untuk memastikan tidak ada bagian vagina atau
porsio yang terjepit di antara mangkok dan kepala.
Sambil menunggu his, jelaskan pada pasien bahwa pada his puncak (fase
acme) pasien harus mengedan sekuat dan selama mungkin. Tarik lipat lutut
dengan lipat siku agar tekanan abdomen menjadi lebih efektif
F PENARIKAN
1
Pada fase acme (puncak) dari his, minta pasien untuk mengedan, secara
simultan lakukan penarikan dengan perineum yang baku) dilakukan pada
saat kepala mendorng perineum dan tidak masuk kembali.
Bila belum berhasil pada tarikan pertama, ulangi lagi pada tarikan kedua.
Episiotomi pada pasien dengan perineum yang kaku) dilakukan pada saat
kepala mendorong perineum dan tidak masuk kembali.
Bila tarikan ketiga dilakukan dengan benar dan bayi belum lahir,
sebaiknya pasien dirujuk (ingat : penatalaksanaan rujukan).
G MELAHIRKAN BAYI
1
Bersihkan muka (hidung dan mulut) bayi dengan kain bersih, potong tali
pusat dan serahkan bayi pada petugas bagian anak.
H LAHIRKAN PLASENTA
1
5
J
PENJAHITAN EPISIOTOMI
1
Uji hasil infiltrasi dengan menjepit kulit perineum yang dianestasi dengan
pinset bergigi.
Masukkan tampon vagina kemudian jepit tali pengikat tampon dan kain
penutup perut bawah dengan kocher.
Dimulai dari ujung luka episiotomi bagian dalam jahit otot dan mukosa
secara jelujur bersimpul ke arah luar kemudian tautkan kembali kulit
secara subkutikuler atau jelujur matras.
Bersihkan noda darah, cairan tubuh dan air ketuban dengan kapas yang
telah diberi larutan antiseptik.
Pasang kasa yang dibasahi dengan Povidon lodin pada tempat jahitan
episiotomi.
K DEKONTAMINASI
L CUCI TANGAN PASCATINDAKAN
M PERAWATAN PASCATINDAKAN
Periksa kembali tanda vital pasien, lakukan tindakan dan beri instruksi
lanjut bila diperlukan.
Catat kondisi pasien pascatindakan dan buat laporan tindakan pada kolom
yang tersedia dalam status pasien.
BAB IV
LAPORAN KASUS
I
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 19 tahun
Alamat
Suku/Bangsa
: Jawa/Indonesia
Agama
: Islam
Pekerjaan
: SLTP
Pekerjaan
Tanggal berobat RS
: 17 Desember 2011
IDENTITAS SUAMI
Nama
: Tn. S
Umur
: 26 tahun
Alamat
Suku/Bangsa
: Jawa/Indonesia
Agama
: Islam
Pendidikan
: SLTP
Pekerjaan
: Pedagang
II ANAMNESIS
Autoanamnesis dan Alloanamnesis tanggal 17 Desember 2011 pukul 22.30 WIB dan
18 Desember 2011 pukul 16.00 WIB
A Keluhan Utama
Kejang
B Keluhan Tambahan
Perut mulas, keluar air-air dari vagina, pusing dan pandangan kabur
C Riwayat Penyakit Sekarang
1 hari SMRS pasien mengeluh perut bertambah mulas disertai keluar
cairan seperti air berwarna jernih, tidak berwarna kehijauan, tidak berbau dan
disertai lendir berwarna merah terang. Kemudian dalam keadaan sadar, pasien
diantar oleh keluarga ke bidan dan dipersiapkan untuk lahir secara normal
G Riwayat Pernikahan
Riwayat KB
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi apapun sebelumnya.
: Sakit berat
Kesadaran
: Somnolen
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah
: 160/90 mmHg
Nadi
: 140 x/menit
Suhu
: 37 oC
Pernafasan
: 24x/menit
Status Generalis
Kepala
Mata
THT
Leher
Cor
Pulmo
Mammae
Abdomen
Ekstremitas
Status Ginekologis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Leopold I
Leopold II
: Kanan
Kiri
Leopold III
Leopold IV
His
Auskultasi
II.
Genitalia
Inspeksi
VT
IV. Resume
Anamnesis
1 hari SMRS pasien mengeluh perut bertambah mulas disertai keluar cairan
seperti air berwarna jernih, tidak berwarna kehijauan, tidak berbau dan disertai lendir
berwarna merah terang. Kemudian dalam keadaan sadar, pasien diantar oleh keluarga ke
bidan dan dipersiapkan untuk lahir secara normal melalui jalan lahir dengan pembukaan
V. Pasien tiba-tiba mengalami kejang seluruh tubuh selama 5 menit sebanyak 3 kali
dan sulit untuk diajak berkomunikasi karena kesadaran pasien menurun. Pasien
terapi O2 dan MgSO4 secara injeksi intramuskuler dan drip dalam 500 cc Ringer
Laktat.
Selama kehamilan, pasien memeriksakan kehamilannya (ANC) di bidan
pertama kali pada usia kehamilan 5 bulan sebanyak 3 kali hingga kehamilan usia 9
bulan. Terdapat kenaikan tekanan darah setiap kali pemeriksaan di bidan, yaitu
diatas 150/90 mmHg. Kedua tungkai juga mengalami pembengkakan sejak 2
minggu terkahir.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sakit berat
Kesadaran
: Somnolen
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah
: 160/90 mmHg
Nadi
: 140 x/menit
Suhu
: 37 oC
Pernafasan
: 24x/menit
Ekstremitas
Status Ginekologis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Leopold I
Leopold II
: Kanan
Kiri
Leopold III
Leopold IV
His
Auskultasi
II. Genitalia
Inspeksi
VT
V. Pemeriksaan Penunjang
17-12-2012
VI. Diagnosis
Ibu
Janin
VII. Prognosis
Ibu
: dubia ad malam
Janin
: dubia ad bonam
VIII. Penatalaksanaan
Rencana diagnostik :
Rencana terapi :
Stesolid supp
Nifedipin 3 x 10 mg
Pasang DC
Rencana edukasi :
Sebelum tindakan
Saat tindakan
Setelah tindakan
Gatal dan bentol pada kulit (-), Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-),
Demam (-), Mual (-), Muntah (-), Nyeri uluhati (-) dan Penglihatan kabur
(-)
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 140/90 mmHg
Mata
: 36,50C
: 80 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
:
Laboratorium
19-12-2011
S
Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+)
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 150/90 mmHg
Mata
: 36,60C
: 100 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+I)
20-12-2011
S
Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+)
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 150/90 mmHg
Mata
: 36,50C
: 100 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+II)
21-12-2011
S
Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (-) 3 hari
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 150/90 mmHg
Mata
: 36,70C
: 100 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)
Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg ( Jika TD > 160/95 mmHg )
Dulcolax supp
22-12-2011
S
Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (+) normal
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 165/90 mmHg
Mata
: 36,70C
: 100 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)
Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg
Dopamide 3 x 250 mg
Dulcolax sup
22-12-2011
S
Nyeri pada kemaluan (+), Kejang (-), Demam (-), Mual (-), Muntah (-),
Nyeri uluhati (-), Penglihatan kabur (-), Pusing (+), BAB (+) normal
KU/Kes
: TSR/CM
TV
: TD : 130/90 mmHg
Mata
: 36,60C
: 88 x/menit
: 20 x/menit
Thorax
Cor
Pulmo
Ekstremitas
Status Puerpuralis
I. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: NT (-), tympani
Auskultasi
: BU (+) normal
II. Genitalia
Inspeksi
P1A0 Post Vakum Ekstraksi a.i Eklampsia dengan KPD 24 jam (H+III)
Meaiact 2 x 1
Moloco 1 x 1
Asam mefenamat 3 x 1
Nifedipin 3 x 10 mg
Dopamide 3 x 250 mg
DAFTAR PUSTAKA
1. Barrilleaux PS, Martin JN. Hypertension therapy during pregnancy. Clin
Obstet Gynecol 2002 ; 45: 22-34
2. Norwitz ER, Hsu CD, Repke JT. Acute complications of preeclampsia.
Clin Obstet Gynecol 2002 ; 45: 308-329
3. Yankowitz, Niebyl JR. Drug therapy in pregnancy. 3rd
ed.
ed.
Lippincot
preeclampsia:
Computed tomography,
magnetic
resonance
imaging
and single-photon emisson computed tomography findings. Obstet
Gynecol. 2000;95:1017-1019
14. Nag S, Robertson DM, Dinsdale HB. Cerebral cortical changes
in acute hypertension: An ultrastructural study. Lab Invest.
1977;39:150-161