Anda di halaman 1dari 59

PERSALINAN

Persalinan normal adalah pengeluaran hasil konsepsi janin yang dapat hidup dari dalam
uterus dan keluar melalui vagina secara spontan pada kehamilan cukup bulan tanpa bantuan
alat dan tidak terjadi komplikasi pada ibu ataupun janin dengan presentasi belakang kepala
berlangsung dalam kurang dari 24 jam.

Pencetus Persalinan

1. Faktor hormonal

1-2 minggu sebelum persalinan sebelum persalinan terjadi penurunan hormon


estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai relaksasi otot polos sehingga aliran
darah berkurang dan hal ini menyebabkan/merangsang pengeluaran prostaglandin yang
kemudian merangsang dilepaskannya oksitosin. Hal ini juga merangsang kontraksi uterus.
Faktor struktur uterus atau rahim membesar dan menekan, menyebabkan iskemia otot-otot
rahim sehingga mengganggu sirkulasi otot plasenta yg berakibat yang berakibat degenerasi

2. Menurunnya fungsi plasenta.

plasenta mengalami degenerasi dan menyebabkan supply nutrisi ke janin dari plasenta
berkurang sehingga hasil konsepsi harus dikeluarkan

3. tekanan pada ganglion servikalis di pleksus frankenhauser

karena pembesaran janin dan masuknya janin ke panggul maka akan menekan dan menggesek
ganglion servikalis yang akan merangsang timbulnya kontraksi uterus

1
2
3
4
5
INDUKSI DAN STIMULASI PERSALINAN

Induksi persalinan adalah upaya memfasilitasi persalinan pervaginam dengan cara


menimbulkan kontraksi uterus sebelum tanda dan gejala persalinan terjadi, sedangkan pada
akselerasi (stimulasi) tanda dan gejala persalinan telah terjadi.

Indikasi:

- Post term
- Hipertensi dalam kehamilan
- Penyakit diabetes,
- Ketuban Pecah Dini
- Kondisi yang membahayakan janin seperti oligohidramnion, chorioamnionitis

Dengan demikian, induksi persalinan tidak dilakukan pada kondisi yang normal baik pada
ibu ataupun janin.

Kontraindikasi induksi persalinan :

- Riwayat trauma uterus


- Abnormalitas uterus, vagina atau panggul
- Adanya plasenta previa atau dugaan obrupsio plasenta
- Adanya herpes tipe 2 dalam traktus genitalia
- Grandemultipara
- Overdistensi dari uterus yaitu pada kehamilan ganda atau polihidramnion
- Adanya carcinoma cervical
- Factor janin : 1. Kelainan janin (lintang atau bokong) 2. BBLR . 3 fetal ditress

Metode induksi

- Pemecahan ketuban
- Pemberian oksitosin
- Pemberian obat misoprostol
- Pemberian hormone prostaglandin

6
- Pemasangan laminaria
- Pemasangan balon kateter

A. Pengertian

Induksi pesalinan yaitu suatu tindakan yang dilakukan terhadap ibu hamil yang belum inpartu
untuk merangsang terjadinya persalinan. Induksi persalinan terjadi antara 10% sampai 20%
dari seluruh persalinan dengan berbagai indikasi baik dari ibu maupun dari janinnya (Wing
DA, 1999). Indikasi terminasi kehamilan dengan induksi adalah KPD, kehamilan post term,
polyhidramnion, perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta), riwayat persalinan
cepat, kanker, PEB, IUFD (Orge Rost, 1995).

Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses persalinan, yaitu dari tidak
ada tanda-tanda persalinan, kemudian distimulasi menjadi ada dengan menimbulkan mulas/his.
Cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk mempermudah keluarnya bayi dari rahim secara
normal.

Indikasi-indikasi yang penting ialah postmaturitas dan hipertensi pada kehamilan lebih dari 37
minggu. Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi,
diantaranya :

1. Hendaknya serviks uteri sudah “matang”, yaitu serviks sudah mendatar dan menipis dan
sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu serviks menghadap ke depan.

2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)

3. Tidak ada kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan

7
4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.

Apabila kondisi-kondisi ini tidak dipenuhi, maka induksi persalinan mungkin tidak memberi
hasil yang diharapkan.

B. KLASIFIKASI INDUKSI PERSALINAN TERBAGI ATAS:

1. Secara Medis

a) Infus oksitosin

Oksitosin adalah suatu hormon yang diproduksi di hipotalamus dan diangkut lewat aliran
aksoplasmik ke hipofisis posterior yang jika mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan
dilepas kedalam darah. Impuls neural yang terbentuk dari perangsangan papilla mammae
merupakan stimulus primer bagi pelepasan oksitosin sedangkan distensi vagina dan uterus
merupakan stimulus sekunder. Estrogen akan merangsang produksi oksitosin sedangkan
progesterone sebaliknya akan menghambat produksi oksitosin. Selain di hipotalamus, oksitosin
juga disintesis di kelenjar gonad, plasenta dan uterus mulai sejak kehamilan 32 minggu dan
seterusnya. Konsentrasi oksitosin dan juga aktivitas uterus akan meningkat pada malam hari.

Mekanisme kerja dari oksitosin belum diketahui pasti, hormon ini akan menyebabkan kontraksi
otot polos uterus sehingga digunakan dalam dosis farmakologik untuk menginduksi persalinan.
Sebelum bayi lahir pada proses persalinan yang timbul spontan ternyata rahim sangat peka
terhadap oksitosin. Didalam uterus terdapat reseptor oksitosin 100 kali lebih banyak pada
kehamilan aterm dibandingkan dengan kehamilan awal. Jumlah estrogen yang meningkat pada
kehamilan aterm dapat memperbesar jumlah reseptor oksitosin.

Begitu proses persalinan dimulai serviks akan berdilatasi sehinga memulai refleks neural yang
menstimulasi pelepasan oksitosin dan kontraksi uterus selanjutnya. Faktor mekanik seperti
jumlah regangan atau gaya yang terjadi pada otot, mungkin merupakan hal penting.

Secara in vivo, oksitosin diproduksi pada nucleus paraventrikuler hipotalamus dan disalurkan
ke hipofisis posterior. Meskipun regimen dari oksitosin bermacam-macam, diperlukan dosis

8
yang adekuat untuk menghasilkan efek pada uterus. Dosisnya antara 4 sampai 16 miliunit
permenit. Dosis untuk tiap orang berbeda-beda, namun biasanya dimulai dengan dosis rendah
sambil melihat kontraksi uterus dan kemajuan persalinan.

Syarat-syarat pemberian infus oksitosin :

Agar infus oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan tidak memberikan penyulit
baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan syarat – syarat sebagai berikut :

1. Kehamilan aterm

2. Ukuran panggul normal

3. Tak ada CPD

4. Janin dalam presentasi belakang kepala

5. Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai membuka)

Teknik infus oksitosin berencana :

1. Semalam sebelum drip oksitosin, hendaknya penderita sudah tidur pulas

2. Pagi harinya penderita diberi pencahar

3. Infus oksitosin hendaknya dilakukan pagi hari dengan observasi yang baik

4. Disiapkan cairan RL 500 cc yang diisi dengan sintosinon 5 IU

5. Cairan yang sudah mengandung 5 IU sintosinon dialirkan secara intravena melalui aliran
infus dengan jarum abocath no 18 G

6. Jarum abocath dipasang pada vena dibagian volar bawah

9
7. Tetesan dimulai dengan 8 mU (1 mU = 2 tetes) permenit dinaikan 4 mU setiap 30 menit.
Tetesan maksimal diperbolehkan sampai kadar oksitosin 30-40 mU. Bila sudah mencapai kadar
ini kontraksi rahim tidak muncul juga, maka berapapun kadar oksitosin yang diberikan tidak
akan menimbulkan kekuatan kontraksi. Sebaiknya infus oksitosin dihentikan.

8. Penderita dengan infus oksitosin harus diamati secara cermat untuk kemungkinan timbulnya
tetania uteri, tanda – tanda ruptur uteri membakat, maupun tanda – tanda gawat janin.

9. Bila kontraksi rahim timbul secara teratur dan adekuat maka kadar tetesan oksitosin
dipertahankan. Sebaiknya bila terjadi kontraksi rahim yang sangat kuat, jumlah tetesan dapat
dikurangi atau sementara dihentikan.

10. Infus oksitosin ini hendaknya tetap dipertahankan sampai persalinan selesai yaitu sampai 1
jam sesudah lahirnya plasenta.

11. Evaluasi kemajuan pembukaan serviks dapat dilakukan dengan periksa dalam bila his telah
kuat dan adekuat.

b) Prostaglandin

Pemberian prostaladin dapat merangsang otok -otot polos termasuk juga otot-otot rahim.
Prostagladin yang spesifik untuk merangsang otot rahim ialah PGE2 dan PGF2 alpha.
Pemakaian prostaglandin sebagai induksi persalinan dapat dalam bentuk infus intravena
(Nalador) dan pervaginam (prostaglandin vagina suppositoria).

Pada kehamilan aterm, induksi persalinan dengan prostagladin cukup efektif untuk
memperpendek proses persalinan, menurunkan angka seksio sesaria dan menurunkan angka
agar skor yang kurang dari 4. Selain melunakkan servik prostaglandin juga menghasilkan
vasodilatasi dan meningkatkan curah jantung 30%. Juga merelaksasi otot polos gastrointestinal
dan bronchial.

c) Cairan hipertonik intra uteri

Pemberian cairan hipertonik intramnnion dipakai untuk merangsang kontraksi rahim pada
kehamilan dengan janin mati. Cairan hipertonik yang dipakai dapat berupa cairan garam
hipertonik 20, urea dan lain-lain. Kadang-kadang pemakaian urea dicampur dengan

10
prostagladin untuk memperkuat rangsangan pada otot-otot rahim. Cara ini dapat menimbulkan
penyakit yang cukup berbahaya, misalnya hipernatremia, infeksi dan gangguan pembekuan
darah.

2. Secara manipulatif

a) Amniotomi

Amniotomi artifisialisis dilakukan dengan cara memecahkan ketuban baik di bagian bawah
depan (fore water) maupun dibagian belakang ( hind water ) dengan suatu alat khusus
(drewsmith catheter) atau dengan omnihook yang sering dikombinasikan dengan pemberian
oksitosin. Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti bagaimana pengaruh amniotomi
dalam merangsang timbulnya kontraksi rahim.

Beberapa teori mengemukakan bahwa :

• Amniotomi dapat mengurangi beban rahim sebesar 40% sehingga tenaga kontraksi rahim
dapat lebih kuat untuk membuka serviks

• Amniotomi menyebabkan berkurangnya aliran darah didalam rahim kira-kira 40 menit


setelah amniotomi dikerjakan, sehingga berkurangnya oksigenasi otot – otot rahim dan keadaan
ini meningkatkan kepekaan otot rahim.

• Amniotomi menyebabkan kepala dapat langsung menekan dinding serviks dimana


didalamnya terdapat banyak syaraf – syaraf yang merangsang kontraksi rahim.

Bila setelah amniotomi dikerjakan 6 jam kemudian, belum ada tanda – tanda permulaan
persalinan, maka harus diikuti dengan cara – cara lain untuk merangsang persalinan, misalnya
dengan infus oksitosin.

Pada amniotomi perlu diingat akan terjadinya penyulit – penyulit sebagai berikut :

11
• Infeksi intrauteri

• Prolapsus funikuli

• Gawat janin

• Tanda-tanda solusio plasenta ( bila ketuban sangat banyak dan dikeluarkan secara tepat).

Teknik amniotomi.

Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan di masukkan kedalam jalan lahir sampai sedalam
kanalis servikalis. Setelah kedua jari berada dalam kanalis servikalis, maka posisi jari diubah
sedemikian rupa, sehingga telapak tangan menghadap kearah atas. Tangan kiri kemudian
memasukan pengait khusus kedalam jalan lahir dengan tuntunan kedua jari yang telah ada
didalam. Ujung pengait diletakkan diantara jari telunjuk dan jari tengah tangan yang didalam.

Tangan yang diluar kemudian memanipulasi pengait khusus tersebut untuk dapat menusuk dan
merobek selaput ketuban. Selain itu menusukkan pengait ini dapat juga dilakukan dengan satu
tangan, yaitu pengait dijepit diantara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanan, kemudian
dimasukkan kedalam jalan lahir sedalam kanalis servikalis. Pada waktu tindakan ini dikerjakan,
seorang asisten menahan kepala janin kedalam pintu atas panggul. Setelah air ketuban mengalir
keluar, pengait dikeluarkan oleh tangan kiri, sedangkan jari tangan yang didalam melebar
robekan selaput ketuban. Air ketuban dialirkan sedikit demi sedikit untuk menjaga
kemungkinan terjadinya prolaps tali pusat, bagian – bagian kecil janin, gawat janin dan solusio
plasenta. Setelah selesai tangan penolong ditarik keluar dari jalan lahir.

b) Melepas selaput ketuban dari bagian bawah rahim (stripping of the membrane).

Yang dimaksud dengan stripping of the membrane, ialah melepaskan ketuban dari dinding
segmen bawah rahim secara menyeluruh setinggi mungkin dengan jari tangan. Cara ini
dianggap cukup efektif dalam merangsang timbulnya his. Beberapa hambatan yang dihadapi
dalam melakukan tindakan ini, ialah : Serviks yang belum dapat dilalui oleh jari, Bila
didapatkan persangkaan plasenta letak rendah, tidak boleh dilakukan. Bila kepala belum cukup
turun dalam rongga panggul.

12
c) Pemakaian rangsangan listrik

Dengan dua elektrode, yang satu diletakkan dalam servik, sedangkan yang lain ditempelkan
pada dinding perut, kemudian dialirkan listrik yang akan memberi rangsangan pada serviks
untuk menimbulkan kontraksi rahim. Bentuk alat ini bermacam – macam, bahkan ada yang
ukurannya cukup kecil sehingga dapat dibawa – bawa dan ibu tidak perlu tinggal di rumah
sakit. Pemakaian alat ini perlu dijelaskan dan disetujui oleh pasien.

d) Rangsangan pada puting susu (breast stimulation )

Sebagaimana diketahui rangsangan putting susu dapat mempengaruhi hipofisis posterior untuk
mengeluarkan oksitosis sehingga terjadi kontraksi rahim. Dengan pengertian ini maka telah
dicoba dilakukan induksi persalinan dengan merangsang putting susu. Pada salah satu puting
susu, atau daerah areola mammae dilakukan masase ringan dengan jari si ibu. Untuk
menghindari lecet pada daerah tersebut, maka sebaiknya pada daerah puting dan aerola
mammae di beri minyak pelicin. Lamanya tiap kali melakukan masase ini dapat ½ jam – 1 jam,
kemudian istirah beberapa jam dan kemudian dilakukan lagi, sehingga dalam 1 hari maksimal
dilakukan 3 jam. Tidak dianjurkan untuk melakukan tindakan ini pada kedua payudaraan
bersamaan, karena ditakutkan terjadi perangsangan berlebihan. Menurut penelitian di luar
negeri, cara induksi ini memberi hasil yang baik. Cara – cara ini baik sekali untuk melakukan
pematangan serviks pada kasus – kasus kehamilan lewat waktu.

Induksi persalinan adalah suatu usaha mempercepat persalinan dengan tindakan rangsangan
kontraksi uterus. Induksi persalinan dapat bersifat mekanis, atau secara kimiawi
(medikamentosa)

Sebelum melakukan induksi, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Penilaian serviks

Keberhasilan induksi persalinan bergantung pada skor pelvis.

• Jika skor >6, biasanya induksi cukup dilakukan dengan oksitosin.

Jika < 5, matangkan serviks lebih dahulu dengan prostaglandin atau kateter Foley.

13
2. OKSITOSIN

• Oksitosin digunakan secara hati-hati karena dapat terjadi gawat janin dari hiperstimulasi.
Walaupun jarang, dapat terjadi ruptura uteri, terutama pada multipara.

Selalu Iakukan observasi ketat pada pasien yang mendapat Oksitosin.

• Dosis efektif oksitosin bervariasi. Infus oksitosin dalam dekstrose atau garam fisio¬logik,
dengan tetesan dinaikkan secara bertahap sampai his adekuat.

Pertahankan Tetesan sampai persalinan.

• Pantau denyut nadi, tekanan darah, dan kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung
janin (DJJ).

• Kaji ulang indikasi induksi.

• Baringkan ibu hamil miring kiri.

• Catat semua pengamatan pada partograf tiap 30 menit

- Atur kecepatan infus oksitosin (Lihat Tabel);

- Frekuensi dan lamanya kontraksi;

- Denyut jantung janin (DJJ). Dengar DJJ tiap 30 menit, dan selalu langsung setelah
kontraksi. Apabila DJJ kurang dari 100 per menit, segera hentikan infus.

Ingat : Ibu dengan infus Oksitosin Jangan ditinggal sendirian.

• Infus oksitosin 2,5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau garam fisiologik) mulai dengan 10
tetes per menit

• Naikkan kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat (3 kali
tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) dan pertahankan sampai terjadi kelahiran.

• Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi lebih dari 60 detik) atau lebih dari 4 kali
kontraksi dalam 10 menit, hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan:

14
- terbutalin 250 mcg IN. pelan-pelan selama 5 menit, ATAU

- salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan (garam fisiologik atau Ringer Laktat) 10 tetes per
menit.

• Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40
detik) setelah infus oksitosin mencapai 60 tetes per menit:

- Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekslrose (atau garam
fisiologik) dan sesuaikan kecepatan infus sampai 30 tetes per menit (15 mIU/menit);

- Naikkan kecepatan infus 10 tetes per menit tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat (3 kali
tiap 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik) atau setelah infus oksitosin mencapai 60 tetes
per menit.

• Jika masih tidak tercapai kontraksi yang adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi:

- Pada multigravida, induksi dianggap gagal, lakukan seksio sesarea.

- Pada primigravida, infus oksitosin bisa dinaikkan konsentrasinya yaitu:

• 10 unit dalam 500 ml dekstrose (atau garam fisiologik) 30 tetes per menit.

• Naikkan 10 tetes tiap 30 menit sampai kontraksi adekuat.

• Jika kontraksi tetap tidak adekuat setelah 60 tetes per menit (60 mIU per menit), lakukan
seksio sesarea .

Catatan : Jangan Berikan Oksitosin 10 Unit dalam 500 CC pada multigravida dan pada bekas
seksio sesaria

3. PROSTAGLANDIN

Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi persalinan.

• Pantau denyut nadi, tekanan darah, kontraksi ibu hamil, dan periksa denyut jantung janin
(DJJ). Catat semua pengamatan pada partograf.

15
• Kaji ulang indikasi.

• Prostaglandin E2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau gel 2-3 mg ditempatkan pada forniks
posterior vagina dan dapat diulangi 6 jam kemudian (jika his tidak timbul).

Pantau DJJ dan his pada induksi persalinan dengan Prostaglandin.

• Hentikan pemberian prostaglandin dan mulailah infus oksitosin, jika:

- ketuban pecah,

- pematangan serviks telah tercapai,

- proses persalinan telah berlangsung,

- ATAU pemakaian prostaglandin telah 24 jam.

4. MISOPROSTOL

• Penggunaan misoprostol untuk pematangan serviks hanya pada kasus-kasus tertentu


misalnya:

 preeklampsia berat/eklampsia dan serviks belum matang sedangkan seksio sesarea


belum dapat segera dilakukan atau bayi terlalu prematur untuk bisa hidup;
 kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu belum in partu, dan terdapat tanda-
tanda gangguan pembekuan darah.

• Tempatkan tablet misoprostol 25 mcg di forniks posterior vagina dan jika his tidak timbul
dapat diulangi setelah 6 jam.

• Jika tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25 mcg, naikkan dosis menjadi 50 mcg tiap 6
jam.

• Jangan lebih dari 50 mcg setiap kali pakai dan jangan lebih dari 4 dosis atau 200 mcg.

• Misoprostol mempunyai risiko meningkatkan kejadian ruptura uteri. Oleh karena itu, hanya
dikerjakan di pelayanan kesehatan yang lengkap (ada fasilitas bedah sesar).

16
5. KATETER FOLEY

Kateter Foley merupakan alternatif lain di samping pemberian prostaglandin untuk


mematangkan serviks dan induksi persalinan.

Catatan : Jangan menggunakan Kateter Folley Jika ada riwayat perdarahan, Ketuban Pecah,
pertumbuhan Janin terhambat, atau infeksi Vaginal.

• Kaji ulang indikasi.

• Pasang spekulum DTT di vagina.

• Masukkan kateter Foley pelan-pelan melalui serviks dengan menggunakan forseps DTT.
Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum.

• Gembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air.

• Gulung sisa kateter dan letakkan di vagina.

• Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau sampai 12 jam.

• Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkan kateter, kemudian lanjutkan dengan infus
oksitosin.

6. AKSELERASI PERSALINAN DENGAN OKSITOSIN

• Kaji ulang indikasi.

• Pemakaian infus oksitosin sama seperti untuk induksi persalinan

17
C. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI

1. INDIKASI

Indikasi induksi persalinan bisa berasal dari anak atau dari ibu. Indikasi yang berasal dari ibu
adalah :

1. Kelainan hipertensi pada kehamilan, Gangguan hipertensi pada awal kehamilan disebabkan
oleh berbagai keadaan, dimana terjadi peningkatan tekanan darah maternal disertai risiko yang
berhubungan dengan kesehatan ibu dan janin. Preeklamsi, eklamsia, dan hipertensi sementara
merupakan penyakit hipertensi dalam kehamilan, sering disebut dengan pregnancy-induced
hypertensio (PIH). Hipertensi kronis berkaitan dengan penyakit yang sudah ada sebelum hamil.

2. Diabetes, Wanita diabetik yang hamil memiliki risiko mengalami komplikasi. Tingkat
komplikasi secara langsung berhubungan dengan kontrol glukosa wanita sebelum dan selama
masa kehamilan dan dipengaruhi oleh komplikasi diabetic. Diabetes yang diikuti dengan
komplikasi lain seperti makrosomia, preklamsia, atau kematian janin, pengakhiran kehamilan
lebih baik dilakukan dengan induksi atau operasi caesar.

3. Perdarahan Antepartum, Perdarahan antepartum yang bisa dilakukan induksi persalinan


adalah solusio plasenta dan plasenta previa lateralis. Solutio plasenta adalah terlepasnya
plasenta yang lepasnya normal pada korpus uteri sebelum janin lahir. Perdarahan yang terjadi
karena terlepasnya plasenta dapat tersembunyi di belakang plasenta menembus selaput
ketuban, masuk ke dalam kantong ketuban. Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang
lepas. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas, anoksia akan mengakibatkan kematian
janin. Apabila sebagian kecil yang lepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau
mengakibatakan gawat janin. Solusio placenta juga dapat mnyebabkan renjatan pada ibu.
Untuk solusio plasenta yang sedang atau berat.

Indikasi yang berasal dari anak antara lain :

1. Kehamilan lewat waktu (penelitian dilakukan oleh peneliti kehamilan lewat waktu di Kanada
pada ibu yang mengalami kehamilan lewat dari 41 minggu yang diinduksi dengan yang tidak
diinduksi, hasilnya menunjukkan angka seksio sesaria pada kelompok yang diinduksi lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak diinduksi). Permasalahan kehamilan lewat

18
waktu adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga janin
mempunyai risiko asfiksia sampai kematian dalam rahim.

Makin menurunya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan :

- Pertumbuhan janin makin melambat


- Terjadi perubahan metabolisme janin.
- Air ketuban berkurang dan makin kental.
- Saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia.

Risiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa menjadi tiga kali dibandingkan dengan
kehamilan aterm. Ada komplikasi yang lebih sering menyertainya seperti; letak defleksi, posisi
oksiput posterior, distosia bahu dan pendarahan postpartum.

2. Ketuban pecah dini, Ketika selaput ketuban pecah, mikroorganisme dari vagina dapat masuk
ke dalam kantong amnion. . Untuk itu perlu ditentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda
infeksi antara lain bila suhu ibu ≥38°C. Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami
infeksi intrauterin. Yang ditakutkan jika terjadi ketuban pecah dini adalah terjadinya infeksi
korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan
menyebabkan infeksi ibu. Untuk itu jika kehamilan sudah memasuki aterm maka perlu
dilakukan induksi.

3. Kematian janin dalam rahim.

4. Restriksi pertumbuhan intrauteri, Bila dibiarkan terlalu lama dalam kandungan diduga akan
berisiko/ membahayakan hidup janin/kematian janin.

5. Isoimunisasi dan penyakit kongenital janin yang mayor, Kelainan kongenital mayor
merupakan kelainan yang memberikan dampak besar pada bidang medis, operatif, dan
kosmetik serta yang mempunyai risiko kesakitan dan kematian tinggi, misalnya : anensefalus,
hidrosefalus, hidronefrosis, hidrops fetalis.

19
2. KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi dari induksi persalinan ada yang absolut dan yang relatif.

Kontraindikasi absolut adalah :

1. Disproposi sefalopelvik absolut

2. Gawat janin

3. Plasenta previa totalos

4. Vasa previa

5. Presentasi abnormal

6. Riwayat seksio sesaria klasik sebelumnya

7. Presentasi bokong

Kontraindikasi yang sifatnya relatif adalah :

1. Perdarahan antepartum

2. Grande multiparitas

3. Riwayat seksio sesaria sebelumnya (SSTP)

4. Malposisi dan malpresentasi

Apabila kondisi-kondisi di atas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak
memberikan hasil yang diharapkan.Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop.
Jika skor Bishop kurang atau sama dengan 3 maka angka kegagalan induksi mencapai lebih
dari 20% dan berakhir pada seksio sesaria. Bila nilai lebih dari 8 induksi persalinan
kemungkinan akan berhasil. Angka yang tinggi menunjukkan kematangan serviks.

20
21
D. KOMPLIKASI

Menurut Rustam (1998), komplikasi induksi persalinan adalah :

a) Terhadap Ibu

1) Kegagalan induksi.
2) Kelelahan ibu dan krisis emosional.
3) Inersia uteri partus lama.
4) Tetania uteri (tamultous lebar) yang dapat menyebabkan solusio plasenta, ruptura uteri
dan laserasi jalan lahir lainnya.
5) Infeksi intra uterin.

b) Terhadap janin

1) Trauma pada janin oleh tindakan.


2) Prolapsus tali pusat.
3) Infeksi intrapartal pada janin

Komplikasi induksi persalingan dengan pemberian oksitosin dalam infus intravena dengan
pemecahan ketuban cukup aman bagi ibu apabila syarat-syarat seperti disebut diatas dipenuhi.
Kematian perinatal lebih tinggi daripada persalinan spontan, akan tetapi hal ini mungkin
dipengaruhi oleh keadaan yang menjadi indikasi untuk melakukan induksi persalinan.
Kemungkinan bahwa induksi persalinan gagal, dan perlu dilakukan seksio sesaria, harus selalu
diperhitungkan.

Komplikasi induksi persalinan yang mungkin terjadi diantaranya adalah :

1. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan. Itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam
pengawasan yang ketat dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa
sakit yang ditimbulkan, biasanya proses induksi dihentikan dan dilakukan operasi Caesar.
Kontraksi yang dihasilkan oleh uterus dapat menurunkan denyut jantung janin.

2. Janin akan merasa tidak nyaman sehingga dapat membuat bayi mengalami gawat janin
(stress pada bayi). Itu sebabnya selama proses induksi berlangsung, penolong harus memantau

22
gerak janin. Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan gawat janin, proses induksi harus
dihentikan.

3. Dapat merobek bekas jahitan operasi caesar. Hal ini bisa terjadi pada yang sebelumnya
pernah dioperasi caesar, lalu menginginkan kelahiran normal.

4. Emboli. Meski kemungkinannya sangat kecil sekali namun tetap harus diwaspadai. Emboli
terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke pembuluh darah dan menyangkut di otak ibu,
atau paru-paru. Bila terjadi, dapat merenggut nyawa ibu seketika.

5. Janin bisa mengalami ikterus neonatorum dan aspirasi air ketuban.

6. Infeksi dan rupture uterus juga merupakan komplikasi yang terjadi pada induksi persalinan
walaupun jumlahnya sedikit.

23
PREEKLAMPSIA

A. Definisi
Preeklampsia adalah kelainan malafungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang
menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu, mengakibatkan
terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang menimbulkan terjadinya hipertensi,
edema nondependen, dan dijumpai proteinuria 300mg per 24 jam atau 30mg/dl (+1 pada dipstick)
dengan nilai sangat fluktuatif saat pengambilan urin sewaktu (Brooks MD, 2011). Preeklampsia dapat
berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).
Preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/24 jam atau ≥ +3 disebut sebagai preeklampsia berat. Beberapa
tanda dan gejala dari preeklampsia berat antara lain nyeri epigastrium, sakit kepala dan gangguan
penglihatan akibat edema serebral.

B. Etiologi
Penyebab terjadinya hipertensi dalam kehamilan masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa faktor yang diduga terlibat dalam mekanisme terjadinya hipertensi pada kehamilan
yaitu:

Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast sehingga tidak
terjadi distensi dan dilatasi lumen dan menyebabkan kegagalan“remodeling a.spiralis” serta
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi.

24
 Gangguan metabolisme prostaglandin
Salah satu fungsi endotel yaitu memproduksi prostaglandin. Adanya disfungsi endotel
menyebabkan gangguan metabolisme prostaglandin sehingga menurunkan produksi
prostasiklin (PGE2).
 Agregasi sel-sel trombosit yang kemudian mengakibatkan produksi tromboxan (TXA2).
Normalnya, kadar prostasiklin > tromboxan, akan tetapi pada hipertensi dalam kehamilan
kadar tromboxan > prostasiklin.

25
 Glomerular endotheliosis, perubahan pada sel endotel kapiler glomerulus
 ↑ permeabilitas kapiler
 ↑ Endothelin (vasokonstriktor) dan ↓ NO (vasodilator)
 ↑ Faktor koagulasi

4. Adaptasi Kardiovaskuler
Pada kehamilan normal, pembuluh darah refrakter terhadap vasopressor. Hal ini terjadi akibat
adanya sintesis prostaglandin. Pada hipertensi dalam kehamilan, kehilangan daya refrakter
dan ↑ kepekaan terhadap vasopressor.
5. Genetic Imprinting
Faktor keturunan memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan terjadinya preeclampsia
dan mempunya irisiko 7,11 kali untuk terjadi preeclampsia pada ibu hamil yang mempunyai
riwayat keluarga dengan preeklamsia dibandingkan dengan mereka yang tidak mempunyai
riwayat keluarga dengan preeklamsia. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ibu hamil yang
mengalami pre-eklamsia memiliki kecenderungan anak perempuannya akan mengalami
preeklamsia juga.

26
C. Patofisiologi

D. Klasifikasi
Berdasarkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working
Group, hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Gestational hypertension / Pregnancy Induced Hypertension
Hipertensi yang baru muncul setelah usia kehamilan 20 minggu tanpa disertai dengan
proteinuria dan tekanan darah dapat kembali normal dalam 12 minggu post partum.
2. Chronic hypertension
Hipertensi yang muncul sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai 12 minggu post partum.
3. Preeclampsia: Hipertensi yang baru muncul setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita
dengan riwayat tekanan darah normal sebelum kehamilan dan disertai dengan adanya
proteinuria.
4. Eclampsia: Preeclampsia yang disertai dengan kejang dan atau koma. Kejang dapat terjadi
sebelum, selama dan postpartum.
5. Superimposed preeclampsia (on chronic hypertension)
Chronic hypertension yang disertai dengan proteinuria.

27
E. Faktor Resiko
- Usia < 20 tahun atau > 35 tahun
- Nullipara
- Primigravida
- Hydatidiform mole
- Diabetes mellitus
- Thyroid disease
- Chronic hypertension
- Renal disease
- Riwayat keluarga dengan preeclampsia kehamilan normal
- Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya
- Obesitas

F. Diagnosis
Diagnosis preeklamsia berat apabila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut:
- Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110 mmHg pada minimal 2
kali pemeriksaan dengan jarak pemeriksaan minimal 6jam meskipun pasien dalam keadaan
tirah baring.
- Proteinuria ≥ 5 gr atau ≥ +3
- Trombositopenia < 100.000/μl
- Oliguria, urine output < 500 ml / 24 jam
- ↑ kadar creatinin > 1,1 mg/dl
- Gangguan visus dan serebral : ↓ kesadaran, nyeri kepala, pandangan kabur
- Nyeri epigastrik atau nyeri pada kuadran kanan atas
- Gangguan fungsi hepar : ↑ kadar SGOT dan SGPT ( ↑ 2x dari nilai normal)
- Edema pulmo
- Sianosis
- Hemolisis mikroangiopati
- Janin tumbuh lambat
Preeklamsia berat dibagi menjadi:
 Preeklamsia berat tanpa impending eclampsia
 Preeklamsia berat dengan impending eclampsia
impending eclampsia apabila disertai dengan gejala nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah,
nyeri epigastrik, dan ↑ tekanan darah yang progresif.

28
G. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan PEB:
1. Mencegah kejang
Pemberian obat antikejang berupa MgSO4
Dosis:
 Loading dose : initial dose 4 gr MgSO4 IV
1. Ambil 4 g MgSO4 (20ml larutan MgSO4 20%) dilarutkan dalam 100 ml
RL/D5%  habis dalam 15-20 menit
2. Ambil 4 g larutan MgSO4 (10ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dengan
10 ml akuades. Berikan larutan tersebut secara IV selama 20 menit. Jika akses
itravena sulit, berikan masing-masing 5g MgSO4 (12,5 ml larutan MgSO4
40%) IM di bokong kiri dan kanan.
 Maintenance dose 6 gr dalam larutan RL selama 6 jam atau 4-5 gr IM /4-6 jam
1. Ambil 6 g MgSO4 (30 ml larutan MgSO4 20%) dan laurtkan dalam 500 ml
larutan RL/Ringer Asetat, lalu berikan IV dengan kecepatan 28 tetes/menit
selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang
berakhir (bila eklampsia)
2. Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan RL/Ringer Asetat, lalu berikan IV dengan kecepatan 28 tetes/menit
selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang
berakhir (bila eklampsia).
Syarat pemberian
 Tersedia antidotum : kalsium glukonas 10% = 1gr IV selama 3 menit
 Reflex patella (+) kuat
 RR > 16x/menit, tidak ada tanda-tanda respirasi distress
 Urin ≥ 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir
Pemberian MgSO4 dihentikan apabila ditemukan:
 Tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam postpartum atau 24 jam setelah kejang terakhir
Dosis terapeutik dan toksik MgSO4
 Dosis terapeutik : 4,8-8,4 mg/dl
 Hilangnya reflex tendon : 12 mg/dl
 Henti pernafasan : 18 mg/dl
 Henti jantung : >36 mg/dl
Apabila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka dapat diberikan salah satu obat
berikut:

29
 Thiopental sodium
 Sodium amobarbital
 Diazepam
 Fenitoin
2. Mengendalikan hipertensi
Pemberian obat antihipertensi:
a. Hipertensi ringan-sedang
Keuntungan dan risiko terapi anti hipertensi pada hipertensi ringan-sedang (tekanan darah
sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-109 mmHg) masih kontroversial.
Guideline European Society of Hypertension (ESH) / European Society of Cardiology
(ESC) terbaru merekomendasikan pemberian terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg
atau diastolik 90 mmHg pada wanita dengan:
• Hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria)
• Hipertensi kronis superimposed hipertensi gestasional
• Hipertensi dengan kerusakan target organ subklinis atau adanya gejala selama masa
kehamilan.
b. Hipertensi berat
ESC merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg atau diastolik >110
mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai emergensi dan merupakan indikasi
rawat inap. Terapi farmakologis dengan labetalol intravena, metildopa oral, atau nifedipin
sebaiknya segera diberikan. Obat pilihan untuk preeklampsia dengan edema paru adalah
nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus intravena dengan dosis 5 μg/menit dan ditingkatkan
bertahap tiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 100 μg/menit. Furosemid intravena dapat
digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-40 mg bolus intravena selama 2 menit),
dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit jika respons diuresis kurang adekuat. Morfin
intravena 2-3 mg dapat diberikan untuk venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat
memerlukan ventilasi mekanik.

30
3. Terminasi kehamilan
Pada preeklamsia berat, sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi 2, yaitu:
- Aktif (aggressive management)
Kehamilan diterminasi bersamaan dengan pemberian terapi obat.
Indikasi :
o Ibu
 Usia kehamilan ≥ 37 minggu
 Ada impending eclampsia

31
 Kegagalan terapi konservatif : keadaan klinis dan lab ↓
 Suspek solusio placenta
 Muncul tanda-tanda persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
 Ada tanda-tanda HELLP Syndrome
o Janin
 Ada tanda-tanda fetal distress
 Ada tanda-tanda IUGR
 NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
 Terjadi oligihidramnion
- Konservatif (ekspektatif)
Kehamilan dipertahankan bersamaan dengan pemberian terapi obat. Indikasi:
o Usia kehamilan ≤ 37 minggu
o Tanpa ada impending eclampsia
o Keadaan janin baik.

H. Pencegahan
1. Antiplatelet agent
2. Suplemen antioxidant dengan vit C dan E
3. Nutrisi
Konsumsi minyak ikan dapat menurunkan resiko terjadinya preeclampsia. Hal ini dikarenakan
minyak ikan mengandung banyak asam lemak tak jemuh yang dapat menghambat produksi
tromboxan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
4. Lifestyle modification

32
H. Komplikasi
Komplikasi Maternal
1. Intravascular coagulation bleeding, DIC
Perubahan hematologic disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme, hipoalbuminemia,
dan hemolysis akibat spasme arteriole dan kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut
mengakibatkan peningkatan hematocrit, trombositopenia dan hemolysis mikroangiopatik.
2. Organ failure (hepar dan ren)
Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh:
 Penurunan perfusi ke ginjal akibat hipovolemia yang kemudian dapat menyebabkan
terjadinya oliguria bahkan anuria,
 Kerusakan glomerulus akibat peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga
terjadi kebocoran dan menyebabkan adanya proteinuria.
 Kerusakan instrinsik jaringan ginjal yang disebabkan oleh vasospasme pembuluh darah.
Perubahan pada fungsi hepar disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan pendarahan.
Perdarahan pada sel periportal lobus perifer dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis sel
hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan yang meluas hingga kebawah capsula hepar
(subscapular hematom) dapat menimbulkan rasa nyeri di region epigastrikdan rupture hepar.
3. Perubahan neurologi
Dapat berupa:
- Nyeri kepala = hiperperfusi otak, vasogenik edema
- Gangguan visus= spasme arteri retina dan edema retina hingga gangguanvisus
- Seizures/eclampsia = faktor yang dapat menimbulkan kejang yaitu edema serebri,
vasospasme serebri dan iskemia serebri
- Perdarahan otak
4. HELLP syndrome
5. Edema paru disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan endotel pembuluh darah kapiler
paru dan menurunnya diuresis.
6. Abruptio placentae

Komplikasi Perinatal
Akibat vasokonstriksi a. spiralis yang menyebabkan penurunan perfusi utero plasenta,
hipovolemia, kerusakan endotel pembuluh darah plasenta, dan iskemik sehingga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhanjanin (IUGR) dan solusio plasenta yang dapat
menyebabkan kematian janin (IUFD).

33
Konseling dan Follow Up Pascapersalinan
Hipertensi sering menetap pasca-persalinan pada pasien dengan hipertensi antenatal
atau preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil pada beberapa hari postpartum.
Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat. Obat antihipertensi
antenatal sebaiknya diberikan kembali post-partum dan dapat dihentikan dalam beberapa hari
hingga beberapa minggu setelah tekanan darah normal. Jika tekanan darah sebelum konsepsi
normal, tekanan darah biasanya normal kembali dalam 2-8 minggu. Hipertensi yang menetap
setelah 12 minggu postpartum mungkin menunjuk kan hipertensi kronis yang tidak ter diagnosis
atau adanya hipertensi sekunder. Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada pasien preeklampsia
onset dini, preeklampsia berat atau rekuren, atau pada pasien dengan proteinuria yang menetap;
perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi sekunder, dan trombofilia (misalnya
sindrom antibodi antifosfolipid). Wanita yang mengalami hipertensi gestasional mempunyai
risiko lebih tinggi untuk mengalami hipertensi di kemudian hari. Setelah follow up selama 7 tahun
pada 223 wanita yang mengalami eklampsia, didapatkan bahwa risiko paling tinggi adalah pada
wanita yang mengalami hipertensi
pada usia kehamilan sebelum 30 minggu. Wanita dengan hipertensi gestasional juga mengalami
resistensi insulin lebih tinggi. Wanita preeklampsia memiliki risiko penyakit kardiovaskuler lebih
tinggi bahkan hingga bertahun-tahun pascapersalinan, serta mempunyai risiko lebih besar
terjadinya disfungsi dan hipertrofi ventrikel kiri asimptomatik dalam 1-2 tahun pasca-persalinan.
Risiko kematian karena penyakit kardio-serebrovaskuler juga dua kali lebih besar pada wanita
dengan riwayat preeklampsia. Wanita dengan riwayat preeklampsia onset sebelum 34 minggu
atau preeklampsia yang disertai persalinan preterm mempunyai risiko kematian karena penyakit
kardiovaskuler 4-8 kali lebih besar dibandingkan wanita dengan kehamilan
normal. Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya dapat lebih tinggi di air susu ibu (ASI).
Paparan neonatus pada penggunaan obat metildopa, labetalol, captopril, dan nifedipin rendah,
sehingga obat-obat ini dianggap aman diberikan selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada
konsentrasi rendah, tetapi dapat mengurangi produksi ASI. Metildopa sebaiknya dihindari
pascapersalinan karena dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan.

34
Tumor Jinak Ginekologi

 Vulva
Tumor Kistik
a. Kista inklusi (Kista Epidermis)
b. Kista sisa jaringan embrio
c. Kista kelenjar
Tumor Solid
a. Kondiloma akuminata
b. Karankura uretra neoplasma
c. Karankula uretra granulomatosa
d. Nevus pigmentosus
e. hiperkeratosis
Tumor Jinak Berpapil
a. Leukoplakia
Tumor Jaringan Mesodermal
a. Fibroma
b. Lipoma
c. Leomioma
d. Neurofibroma
e. Hemangioma
f. Limfangioma
 Vagina
Tumor Kistik
a. Kista inklusi (Kista Epidermis)
b. Kista sisa jaringan embrio
c. Kista kelenjar
Tumor Solid
a. Granuloma
b. Tumor miksoid vagina
c. Adenosis vagina
 Uterus

35
Ektoserviks
a. Kista sisa jaringa embrional pada dinding samping ektoserviks
b. Kista endometriosis
c. Kista naboti
d. Papilloma
e. Hemangioma
Endoserviks
a. Polip

Endometrium

a. Polip endometrium
b. Adenoma-adenofibroma
c. Mioma submukosum
d. Polip plasenta

Myometrium

 Ovarium
Non neoplastik
a. Akibat radang
a) Abses ovarium
b) Abses tuba ovarial
b. Tumor lain
a) Kista folikel
b) Kista korpus luteum
c) Kista lutein
d) Kista inklusi germinal
e) Kista endometrium
f) Kista Stein-Leventhal
Neoplastik
a. Kistik
a) Kista ovarii simples
b) Kistadenoma ovarii serosum
c) Kistadenoma ovarii musinosum
d) Kista endometrioid

36
e) Kista dermoid
b. Solid
a) Fibroma, leimioma, fibroadenoma, papilloma, angioma, limfangioma
b) Tumor benner
c) Tumor sisa adrenal

Tumor adalah setiap benjolan abnormal dalam tubuh. Terdapat dua jenis tumor, tumor
neoplasma dan tumor non-neoplasma.

Tumor non-neoplasma :

 Kista
Tumor yang berupa kantong dan berisi cairan encer atau setengah padat.
 Radang
Pembesaran akibat proses radang yang disebabkan oleh infiltrasi/sebukan selsel
radang edem / vasodilatasi
 Hipertrofia
Pembesaran suatu organ akibat bertambah besarnya sek-sel jaringan penyusunnya
 Hyperplasia
Pembesaran suatu organ akibat bertambah banyaknya sel-sel jaringan
penyusunnya
 Dysplasia
Pembesaran suatu organ akibat bertambah banyaknya dan bertambah besarnya sel-
sel jaringan penyusunnya diserai dengan susunan sel jaringan yang berbeda

Tumor neoplasma :

Definisi : massa/jaringan baru-abnormal yang terbentuk dalam tubuh mempunyai


bentuk dan sifat yang berbeda dari jaringan asalnya. Biasanya diakibatkan adanya
pertukbuhan dan diferensiasi abnormal akibat kerusakan gen pengaturnya. Jenis nya ada
2 : jinak dan ganas.

Tumor jinak Vulva

 Kista kelenjar bartolini


Radang menahun kelenjar bartholin, terletak pada 1/3 posterior dari setiap
labium mayor dan muara dari duktus sekretorius. Lokasi kelenjar bartolin biasanya
terdapat didepan hymen pada jam 4 dan 8. Pembesaran kista bartolini terjadi akibat

37
luka parut yang terjadi karena infeksi (terutama yang disebabkan oleh infeksi
nisereria gonore, streptokokkus, stafilokokus). Pembesaran kista bartolin juga
dapat terjadi akibat riwayat trauma yang kemudian menyebabkan sumbatan pada
saluran eksresi kelenjar Bartolini.
Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan eksresi dari kelenjar
bartolini dapat terjadi secara kronis dan berlangsung hingga bertahun-tahun. Dapat
menimbulkan nyeri apabila terjadi infeksi.
 Fibroma vulva
Tumor ini merupakan proliferasi dari jaringan fibroblast labia mayor atau
jaringan ikat vulva. Fibroma vulva tampak bertangkai dan lokasinya sering ada
pada labia mayor. diameter fibroma vulva dapat mencapai beberapa sentimeter
bahkan berat fibroma vulva bisa mencapai beberapa kilogram.

Tumor jinak Vagina

Tumor Kistik

 Kista inklusi / Kista epidermal


Biasanya ditemukan pada 1/3 baeah vagina dan posterior atau lateral. Tumor ini
tumbuh dari jaringan epidermal yang berada di bawah lapisan mukosa vagina.
Jaringan tersebut terperangkap dan tumbuh dibagian tersebut akibat penjahitan
robekan / penjahitan laserasi perineum yang kurang sempurna. Komponen kelenjar
pada jaringan epidermal yang terperangkap tersebut membentuk cairan dan
membentuk kista.

 Kista gartner
Berasal saluran Wolfii (duktus Gartner) yang berada di bagian anterior dan
bagian atas vagina. Lokasi utama kista gartner ada di bagian anterolateral puncak
vagina.

38
Tumor Solid

 Tumor epitel
Kondiloma akuminata dan granuloma adalah contoh dari tumor epitel.
 Tumor Jaringan Mesoderm
Tumor jaringan mesoderm misalnya fibroma, lipoma, dan hemangioma.
Fibroma adalah tumor jinak yang berisi jaringan berserat yang biasanya keras
seperti tulang. Lipoma adalah tumor jinak dibawah kulit yang terdiri dari lemak.
Hemangioma adalah proliferasi dari pembuluh darah yang normal.
 Adenosis Vagina
Adenosis vagina diduga karena adanya efek dari hormone serupa estrogen
tambahan. Gambaran kliniknya berupa penebalan dinding vagina dengan
permukaan yang kasar serta ditutupi oleh eksudat lender yang melapisi permukaan
tumor.

39
Tumor jinak Serviks Uteri

Penyebab serviks (mulut rahim) menjadi lebih rentan, karena bagian serviks adalah
bagian yang paling sering terkena rangsangan yang dapat menyebabkan perlukaan pada
serviks.

Permukaan serviks yang normal dilapisi jaringan epitel skuamos berbatas dengan epitel
kolumnar (skuamokolumnar junction). Epitel kelenjar endoserviks tersusun dari kolumner
tinggi yang sangat rentan terhadap infeksi. Gangguan lanjut infeksi atau proses
restrukturisasi endoserviks menyebabkan metaplasia skuamos yang menyebabkan muara
kelenjar ekndoserviks akan tertutup. Penutupan muara duktus kelenjar menyebabkan
lender tertahan dan berkembang menjadi kantong kista.

Tumor jinak yang sering mengenai serviks :

 Polip Serviks
Polip serviks bervariasi dari tunggal hingga multiple, berwarna merah terang,
rapuh, dan strukturnya menyerupai spons. Kebanyakan polip ditemukan berupa
pernjuluran berwarna merah terang yang terjepit atau keluar dari ostium serviks.
Walaupun sebagian besar polip berdiameter kecil, tapi pertumbuhannya
mungkin saja dapat mencapai beberapa centimeter. Panjang tangkai polip juga
bervariasi dari ukuran dibawah 1 cm (protusi melalui osteum serviks) hingga
mencapai beberapa sentimeter sehingga memungkinkan ujung distal polip
mencapai atau keluar dari introitus vagina.
Bila polip serviks berasal dari ektoserviks maka warna polip akan tampak
lebih pucat dan strukturnya menjadi lebih kenyal dari polip endoserviks. Ukuran
polip ektoserviks dapat mencapai ukuran yang sama dengan jari kelingking.
 Papilloma Serviks
Papilloma serviks tergolong sebagai neoplasma jinak serviks yang tumbuh
pada parvaginalis serviks.

Tumor jinak Rahim (uterus)

Tumor jinak uterus terdiri dari otot polos dan jaringan ikat uterus. Sering disebut
sebagai mioma, fibroid, fibromioma.

Berdasarkan letaknya, mioma uteri dibagi menjadi :

40
a) Mioma intramural : tumbuh didalam dinding uterus (lapisan myometrium)
b) Mioma subserosum : dibawah lapisan serosa uterus / peritoneum, tumbuh kearah
rongga peritoneum
c) Mioma submukosum : dibawah lapisan mukosa uterus / endometrium, tumbuh
kearah kavum uteri
d) Mioma parasitic : mioma yang terlepas dari jaringan induknya kemudian melekat
pada jaringan lainnya (misal omentum/ligament) kemudian mendapatkan
vaskularisasi dan tumbuh parasitik
e) Mioma peduncularis :mioma yang tumbuh menjadi massa sendiri dalam rongga
perut

Tumor jinak Ovarium

Tumor kistik : kistoma ovarii simpleks, kistoma oarii serosum, kista ovarii musinosum,
kistoma dermoid

Tumor solid : fibroma ovarii, tumor brener, tumor sisa adrenal

41
MIOMA UTERI

A. Definisi

Mioma Uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat sehingga
disebut juga leiomioma, fibromioma, atau fibroid. (Mansjoer, 2001). Mioma uteri adalah tumor
jinak otot rahim, disertai jaringan ikatnya. (www. Infomedika. Htm,2004) Dari berbagai
pengertian dapat disimpulkan bahwa Mioma Uteri adalah suatu pertumbuhan jinak dari otot –
otot polos, tumor jinak otot rahim, disertai jaringan ikat, neoplasma yang berasal dari otot
uterus yang merupakan jenis tumor uterus yang paling sering, dapat bersifat tunggal, ganda,
dapat mencapai ukuran basar, biasanya mioma uteri banyak terdapat pada wanita usia
reproduksi terutama pada usia 35 tahun.

B. Klasifikasi

Mioma uteri pada daerah korpus, sesuai dengan lokasinya dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

Gambar.2.1 Mioma Uteri (Yatim, Faisal, 2005)

a. Mioma Uteri Subserosa


Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat pula
sebagai satu masa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai. Pertumbuhan ke
arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut sebagai mioma
intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga peritonial sebagai suatu
masa. Perlengketan dengan usus, omentum atau mensenterium disekitarnya
menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari tangkai ke omentum. Akibatnya
tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga mioma akan terlepas dari uterus sebagai

42
massa tumor yang bebas dalam rongga peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai
jenis parasitik.
b. Mioma Uteri Intramural
Berada di dinding uterus di antara serabut myometrium. Berubah sering tidak
memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya massa
tumor di daerah perut sebelah bawah. Kadang kala tumor tumbuh sebagai mioma
subserosa dan kadang – kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot rahim dapat
besar, dapat (jaringan ikat dominan), lunak (jaringan otot rahim dominan).
c. Mioma Uteri Submukosa
Terletak dibawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak. Mioma
bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan pada keadaan ini mudah
terjadi torsi atau infeksi. Tumor ini memperluas permukaan ruang rahim. Dari sudut
klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti yang lebih penting dibandingkan
dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri subserosa ataupun intramural walaupun
ditemukan cukup besar tetapi sering kali memberikan keluhan yang tidak berarti.
Sebaliknya pada jenis submukosa walaupun hanya kecil selalu memberi keluhan
perdarahan melalui vagina. Perdarahan sulit berhenti sehingga sebagai terapinya
dilakukan histerektomi. (Sarwono, 2005)

C. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui pasti mioma uteri dan diduga merupakan penyakit
multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoclonal yang
dihasilkan dari sebuah neoplastik tunggal. Sel – sel tumor mempunyai abnormalitas
kromosom, khususnya pada kromosom lengan. Faktor – faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tumor, disamping faktor predisposisi genetik, adalah estrogen,
progesteron dan human growth hormone.
1. Estrogen.
Mioma uteri dijumpai setelah manarke. Sering kali terdapat pertumbuhan tumor
yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan
mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Adanya hubungan
dengan kelainan lainnya yang tergantung estrogen seperti endometriosis (50%),
perubahan fibrosistik dari payudara (14,8%), adenomyosis (16,5 %) dan hiperplasia
endometrium (9,3%). Mioma uteri banyak ditemukan barsamaan dengan anovulasi
ovarium dan wanita denagn sterilitas. 17B hidroxydesidrogenase: enzim ini
43
mengubah estradiol (sebuah estrogen kuat) menjadi estron (estrogen lemah). Aktif
enzim ini berkurang pada jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah
reseptor estrogen yang lebih banyak daripada miometrium normal.
2. Progesteron
Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat
pertumbuhan tumor dengan dua cara yaitu: mengaktifkan 17B
hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada tumor.
3. Hormon pertumbuhan
Level hormon peryumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang
mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa yaitu HPL, terlihat pada periode
ini, memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leiomioma selama
kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara HPL dan Estrogen.

Ada beberapa faktor yang di duga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma
uteri, yaitu :
a. Umur

Mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar 10%
pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan gejala
klinis antara 35-45 tahun.

b. Paritas
Lebih sering terjadi pada nulipara atau wanita yang relatif intertil, tetapi sampai saat
ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya
mioma uteri yang menyebabkan infertilitas, atau apakah kedua keadaan ini saling
mempengaruhi.
c. Faktor ras dan ginetik
Pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma
uteri tinggi. Terlepasnya dan faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita
dengan riwayat keluarga, ada yang menderita mioma. (Bobak, 2004) Belum
diketahui secara pasti, tetapi asalnya disangka dari sel – sel otot yang belum matang.
Di sangka bahwa estrogen mempunyai peranan penting, tetapi dengan teori ini
sukar diterangkan apa sebabnya pada seorang wanita estrogen pada nulipara, faktor
keturunan juga berperan mioma uteri terdiri dari otot polos dan jaringan ikat yang
tersusun seperti konde diliputi pseudokapsul. Perubahan sekunder pada mioma uteri

44
sebagian besar bersifat degeneratif karena berkurangnya aliran darah ke mioma
uteri. Perubahan sekunder meliputi atrofi, degenerasi hialin, degenerasi kistik,
degerasi membantu, marah, lemak.
d. Fungsi ovarium
Diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma,
dimana uteri matang setelah menarke, berkembang setelah pertumbuhan epidermal
dan insulin – like growth kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.
Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat
mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin
berhubungan dengan respon mediasi dengan estrogen terhadap reseptor dan faktor
pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesterone,
faktor – faktor yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah
mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasikan oleh estrogen lebih
banyak pada mioma dari pada miomatrium normal mungkin penting pada
perkembangan mioma. Namun bukti – bukti masih kurang menyakinkan karena
tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana
yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang – kadang berkembang setelah
menopause bahkan setelah oforektomi bilateral pada usia dini. (Mansjoer, 2001)

D. Patofisiologi
Mioma uteri terjadi karena adanya sel – sel yang belum matang dan pengaruh
estrogen yang menyebabkan proliferasi di uterus sehingga menyebabkan
perkembangan yang berlebihan dari endometrium dan terjadilah pertumbuhan mioma.
Mioma uteri juga menyebabkan pecahnya pembuluh darah, sehingga terjadi kontraksi
otot uterus yang menyebabkan perdarahan pervaginan lama dan banyak. Dengan
adanya perdarahan pervaginan lama dan banyak akan terjadi resiko kekurangan volume
cairan dan gangguan peredaran darah ditandai dengan adanya nekrosa dan perlengketan
sehingga timbul rasa nyeri. (Price, Sylivia A, 2005). Pada post operasi akan terjadi
terputusnya integritas jaringan kulit dan robekan pada jaringan saraf perifer sehingga
terjadi nyeri akut. Terputusnya integritas jaringan kulit mempengaruhi proses
epitalisasi dan pembatasan aktivitas, maka terjadi perubahan pola aktivitas. Kerusakan
jaringan mengakibatkan terpaparnya agen infeksius yang mempengaruhi resiko tinggi
infeksi. Pada pasien post operasi akan terpengaruh obat anestesi yang mengakibatkan
45
depresi pusat pernapasan dan penurunan kesadaran sehingga pola nafas tidak efektif.
(Sarwono, 2005)

E. Manifestasi Klinik
Hampir separuh dari kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
pelvik rutin. Pada penderita memang tidak mempunyai keluhan apa – apa dan tidak
sadar bahwa mereka sedang mengandung satu tumor dalam uterus. Faktor – faktor yang
mempengaruhi timbulnya gejala klinik meliputi :
1. Besarnya mioma uteri
2. Lokalisasi mioma uteri
3. Perubahan – perubahan pada mioma uteri
Gejala klinik terjadi pada sekitar 35 % - 50 % dari pasien yang terkena.
Adanya gejala klinik yang dapat timbul pada mioma uteri :
1. Perdarahan abnormal, merupakan gejala klinik yang sering ditemukan (30%). Bentuk
perdarahan yang ditemukan berupa : menoragi, metroragi, dan hipermenorrhea.
Perdarahan dapat menyebabkan anemia defisiensi Fe. Perdarahan abnormal ini dapat
dijelaskan oleh karena bertambahnya area permukaan dari endomertium yang
menyebabkan gangguan kontraksi otot rahim, distorsi dan kongesti dari pembuluh
darah disekitarnya dan ulserasi dari lapisan endometrium.
2. Penekanan rahim membesar :
a. Terasa berat di abdomen bagian bawah
b. Gejala traktus urinarius : urine frekuensi, retensi urine, obstruksi ureter dan
hidronefrosis.
c. konstipasi dan obstruksi intestinal.
d. Terasa nyeri karena tertekannya saraf.
3. Nyeri dapat disebabkan oleh :
a. Penekanan saraf.
b. Torsi bertangkai
c. Submukosa mioma terlahir
d. Infeksi pada mioma
4. Infertilitasi, akibat penekanan saluran tuba oleh mioma yang berlokasi di cornu.
Perdarahan kontinyu pada pasien dengan mioma submukosa dapat menghilang
implantasi. Terdapat peningkatan insiden aborsi dan kelahiran prematur pada pasien
dengan mioma intramural dan submukosa.
46
5. Kongesti vena, disebabkan oleh kompresi tumor yang menyebabkan edema
ekstremitas bawah, hemorrhoid, nyeri dan dyspareunia.
6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan. Kehamilan dengan disertai
mioma uteri menimbulkan proses saling memepengaruhi :
1. Kehamilan dapat mempengaruhi keguguran
2. Persalinan prematurnitas.
3. Gangguan proses persalinan.
4. Tertutupnya saluran indung telur menimbulkan infentiritas
5. Pada skala III dapat terjadi gangguan pelepasan plasenta dan pendarahan. Biasanya
mioma akan mengalami involusi yang nyata setelah kelahiran.
Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri :
1. Cepat bertambah besar, mungkin karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat
dalam kehamilan.
2. Degenerasi merah dan degenerasi karnosa : tumor menjadi lebih lunak, berubah
bentuk, dan warna merah. Bisa terjadi gangguan sirkulasi sehingga terjadi pendarahan.
3. Mioma subserosa yang bertangkai oleh desakan uterus yang membesar atau setelah
bayi lahir, terjadi torsi (terpelintir) pada tangkainya, torsi menyebabkan gangguan
sirkulasi dan nekrosis pada tumor. Wanita hamil merasa nyeri yang hebat pada perut
(abdomen akut).
4. Kehamilan dapat mengalami keguguran.
5. Persalinan prematuritas.
6. Gangguan proses persalinan.
7. Tertutupnya saluran indung telur sehingga menimbulkan infertilitas.
8. Pada skala III dapat terjadi gangguan pelepasan plasenta dan perdarahan.
9. Mioma yang lokasinya dibelakang dapat terdesak ke dalam kavum douglasi dan
terjadi inkaserasi.
Pegaruh mioma pada kehamilan dan persalinan :
1. Subfertil (agak mandul) fertile (mandul) dan kadang – kadang punya anak satu.
Terutama pada mioma uteri submucosa.
2. Sering terjadi abortus. Akibat adanya distorsi rongga uterus.
3. Terjadi kelainan letak janin dan rahim, terutama pada mioma yang besar dan letak
subserusa.
4. Distosia tumor yang menghalangi jalan lahir, terutama pada mioma yang letaknya
diservik.
47
5. Inersia uteri terutama pada kala I dan kala II.
6. Atonia uteri terutama paksa persalinan : perdarahan banyak, terutama pada mioma
yang letaknya di dalam dinding rahim.
7. Kelainan letak plasenta.
8. Plasenta sukar lepas (retensio plasenta), terutama pada mioma yang submukosa
dengan intramural. (Price, Sylivia A, 2005)
Penanganan berdasarkan pada kemungkinan adanya keganasan, kemungkinan torsi dan
abdomen akut dan kemungkinan menimbulkan komplikasi obstetric, maka :
1. Tumor ovarium dalam kehamilan yang lebih besar dari telur angsa harus dikeluarkan.
2. Waktu yang tepat untuk operasi adalah kehamilan 16 – 20 minggu.
3. Operasi yang dilakukan pada umur kehamilan dibawah 20 minggu harus diberikan
substitusi progesteron :
a. Beberapa sebelum operasi.
b. Beberapa hari setelah operasi, sebab ditakutkan korpus luteum terangkat bersama
tumor yang dapat menyebabkan abortus.
4. operasi darurat apabila terjadi torsi dan abdomen akut.
5. Bila tumor agak besar dan lokasinya agak bawah akan menghalangi persalinan,
penanganan yang dilakukan :
a. Bila reposisi, kalau perlu dalam narkosa.
b. Bila tidak bisa persalinan diselesaikan dengan section cesaria dan jangan lupa, tumor
sekaligus diangkat. (Achadiat, 2004)

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu penanganan secara
konservatif dan penanganan secara operatif.
1. Penanganan konservatif sebagai berikut :
a) Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.
b) Bila anemia , Hb < 8 g% tranfusi PRC.
c) Pemberian zat besi.
d) Pengunaan agonis GnRH leuprolid asetat 3,75 mg IM pada 1-3 menstruasi setiap
minggu sebanyak tiga kali. Obat ini mengakibatkan pengerutan tumor dan
menghilangkan gejala. Obat ini menekan sekresi gonadotropin dan menciptakan
keadaan hipoestrogenik yang serupa yang ditemukan pada periode postmenopause.
Efek maksimum dalam mengurangi ukuran tumor diobservasi dalam 12 minggu. Tetapi
48
agonis GnRH ini dapat pula diberikan sebelum pembedahan, karena memberikan
beberapa keuntungan : mengurangi kebutuhan akan tranfusi darah. Namun obat ini
menimbulkan kehilangan masa tulang meningkat dan osteoporosis pada wanita
tersebut. (Mansyoer, 2001)
2. Penanganan operatif, bila :
a) Ukuran tumor lebih basar dari ukuran uterus 12 - 14 minggu
b) Pertumbuhan tumor cepat
c) Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
d) Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
e) Hipermenorea pada mioma submukosa.
f) Penekanan pada organ sekitarnya.
Jenis operasi yang dilakukan dapat berubah :
a) Enukleasi Mioma
Dilakukan pada penderita interfil atau yang masih menginginkan anak atau
mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas. Sejauh ini tampaknya aman,
efektif, dan masih menjadi pilihan terbaik. Enukleasi sebaiknya tidak dilakukan bila
ada kemungkinan terjadinya karsinoma endometrium atau sarkoma uterus, juga
dihindari pada masa kehamilan. Tindakan ini seharusnya dibatasi pada tumor
dengan tangkai dan jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila
miomektomi menyebabkan cacat yang menembus atau sangat berdekatan dengan
endometrium, kehamilan berikutnya dengan seksio sesarea. Kriteria pre operasi
menurut American College of Obstetricians Gynecologists (ACOG) adalah sebagai
berikut :
1) Kegagalan untuk hamil atau keguguran berulang.
2) Terdapat leiomioma dalam ukuran yang kecil dan berbatas tegas.
3) Apabila tidak ditemukan alasan yang jelas penyebab kegagalan kehamilan dan
keguguran yang berulang.

b) Histerektomi
Dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi dan pada penderita yang memiliki
leiomioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Kriteria ACOG untuk
histerektomi adalah sebagai berikut :
1) Terdapatnya 1 sampai 3 leiomioma asimptomatik atau yang dapat teraba dari luar
dan dikeluhkan oleh pasien.
49
2) Perdarahan uterus berlebihan :
a. Perdarahan yang banyak bergumpal – gumpal atau berulang – ulang selama lebih
dari 8 hari.
b. Anemia akibat kehilangan darah akut atau kronis. 3) Rasa tidak nyaman dipelvis
akibat mioma meliputi :
a. Nyeri hebat dan akut
b. Rasa tertekan punggung bawah atau perut bagian bawah yang kronis
c. Penekanan buli – buli dan frekuensi urine yang berulang – ulang dan tidak disebabkan
infeksi saluran kemih.

c) Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Apabila
wanita sudah dilakukan miomektomi kemungkinan dapat hamil sekitar 30 – 50 %. Dan
perlu disadari oleh penderita bahwa setelah dilakukan miomektomi harus dilanjutkan
histerektomi. Lama perawatan :
1) 1 hari pasca diagnosa keperawatan
2) 7 hari pasca histerektomi / miomektomi
Masa pemulihan :
1) 2 minggu pasca diagnosa perawatan
2) 6 minggu pasca histerektomi / miomektomi

d) Penanganan radioterapi
1) Hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat dioperasi (bad risk patient).
2) Uterus harus lebih kecil dari usia kehamilan 12 minggu. 3) Bukan jenis submukosa.
4) Tidak disertai radang pelvis atau penekanan pada rektum. 5) Tidak dilakukan pada
wanita muda, sebab dapat menyebabkan menopause. Maksud dari radioterapi adalah
untuk menghentikan perdarahan. (Achadiat, 2004)

50
ABNORMAL UTERUS BLEEDING

A. Definisi
Perdarahan uterus abnormal merupakan perdarahan yang ditandai dengan
adanya perubahan pada siklus menstruasi normal baik dari interval atau panjang siklus,
durasi maupun jumlah perdarahan. Siklus menstruasi yang normal biasanya memiliki
interval atau panjang selama 28±7 hari, durasi selama 4±3 hari, dan jumlah perdarahan
sebanyak 30 - 80 ml. Terdapat beberapa terminologi yang menunjukkan adanya
perubahan tersebut seperti menoragia yaitu durasi menstruasi yang lebih lama dari tujuh
hari atau jumlah perdarahan lebih dari 80 ml, metroragia yaitu perdarahan
intermenstrual, menometroragia yaitu gabungan antara menoragia dan metroragia,
hipomenore yaitu perdarahan dengan durasi yang lebih pendek atau jumlah perdarahan
yang lebih sedikit dari menstruasi normal, oligomenore yaitu siklus menstruasi dengan
interval lebih lama dari 35 hari. Perdarahan uterus abnormal dapat dibagi menjadi dua
kategori yaitu perdarahan anovulasi dan ovulasi. Perdarahan anovulasi mempunyai
karakteristik perdarahan yang iregular dengan jumlah perdarahan yang bervariasi dari
sedikit hingga banyak. Yang termasuk dalam perdarahan anovulasi diantaranya
amenorea (tidak terjadinya menstruasi selama lebih dari tiga bulan), oligomenore,
metroragia, dan perdarahan uterus disfungsi (perdarahan uterus abnormal yang terjadi
tanpa adanya keadaan patologi pada panggul). Perdarahan ovulasi mempunyai
karakteristik perdarahan yang regular tetapi dengan durasi yang lebih lama dan jumlah
perdarahan yang lebih banyak. Yang termasuk perdarahan ovulasi yaitu menoragi.
Menstrual Disorders Working Group of the International Federation of Gynecology and
Obstetrics membagi parameter klinis menstruasi pada usia reproduksi berdasarkan dari
frekuensi menstruasi, keteraturan siklus dalam 12 bulan, durasi menstruasi, dan volume
darah menstruasi. Berikut parameter klinis menstruasi:

51
Klasifikasi perdarahan uterus abnormal berdasarkan jenis perdarahan:

 Perdarahan uterus abnormal akut

Perdarahan yang banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah
kehilangan darah. Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi
perdarahan uterus abnormal kronik atau tanpa riwayat sebelumnya

 Perdarahan uterus abnormal kronik

Perdarahan yang telah terjadi lebih dari tiga bulan. Kondisi ini biasanya tidak
memerlukan penanganan yang segera seperti perdarahan uterus abnormal akut

 Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding)

Perdarahan yang terjadi diantara dua siklus menstruasi yang teratur. Pendarahan dapat
terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus.

B. Epidemiologi
Perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
wanita pada usia reproduksi. Menurut penelitian Lee et al., keluhan ini banyak terjadi
pada masa awal terjadinya menstruasi. Sebanyak 75% wanita pada tahap remaja akhir
memiliki gangguan yang terkait dengan menstruasi. Penelitian yang dilakukan Bieniasz
J et al. pada remaja wanita menunjukan prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%,
52
amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan
campuran sebanyak 15,8%.8 Berdasarkan data yang didapatkan di beberapa negara
industri, sebanyak seperempat penduduk perempuan pernah mengalami menoragia,
21% mengeluh siklus menstruasi yang memendek, 17% mengalami perdarahan
intermenstrual, dan 6% mengalami perdarahan pascakoitus.

C. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal akut maupun kronis
merupakan multifaktorial. Menstrual Disorders Working Group of the International
Federation of Gynecology and Obstetrics menyatakan sistem klasifikasi dan
terminologi standarisasi untuk etiologi pada gejala perdarahan uterus abnormal.
Etiologi diklasifikasikan berdasarkan 3 penyebab yang berkaitan dengan abnormalitas
struktur uterus dan tidak berkaitan dengan abnormalitas struktur yang dinyatakan dalam
akronim PALM-COEIN : Polyp, Adenomyosis, Leiomyoma, Malignancy, dan
hyperplasia, Coagulatopathy, Ovulatory dysfunction, Endometrial, Iatrogenic, dan
tidak terklasifikasikan.
Tabel 2. Penyebab perdarahan iregular berkaitan dengan usia dan usia reproduktif10

D. Patofisiologi
Endometrium terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu lapisan fungsionalis
dan lapisan basalis. Lapisan basalis terletak di bawah lapisan fungsionalis, berkontak
langsung dengan miometrium, dan kurang responsif terhadap hormon. Lapisan basalis
berfungsi sebagai reservoir untuk regenerasi pada saat menstruasi sedangkan lapisan
fungsionalis mengalami perubahan sepanjang siklus menstruasi dan akhirnya terlepas
saat menstruasi. Secara histologis, lapisan fungsionalis memiliki epitel permukaan yang
mendasari pleksus kapiler subepitel.

53
Uterus divaskularisasi oleh dua arteri uterina. Di lateral bawah uterus, arteri
uterina pecah menjadi dua cabang yaitu arteri vaginalis yang mengarah ke bawah dan
cabang asenden yang mengarah ke atas. Cabang asenden dari kedua sisi uterus
membentuk dua arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan kavum uteri. Kedua arteri
arkuata tersebut membentuk anastomose satu sama lain, membentuk cincin yang
melingkari kavum uteri. Arteri radialis merupakan cabang kecil arteri arkuata yang
berjalan meninggalkan arteri arkuata secara tegak lurus menuju kavum uteri. Arteri
radialis memiliki fungsi untuk memperdarahi miometrium lalu pada saat memasuki
lapisan endometrium, arteri radialis memberi cabang arteri yang lebih kecil ke arah
lateral yaitu arteri basalis. Arteri basalis memiliki fungsi untuk memperdarahi lapisan
basalis endometrium dan tidak sensitif terhadap stimulus hormon. Arteri radialis
kemudian memasuki lapisan fungsionalis endometrium dan menjadi arteri spiralis.
Arteri spiralis sangat peka terhadap stimulus hormon dan bertugas untuk memperdarahi
lapisan fungsionalis endometrium.
Sebelum terjadinya menstruasi, pada arteri ini terjadi peningkatan statis aliran
darah, kemudian terjadi vasodilatasi dan perdarahan dari arteri spiralis dan dinding
kapiler. Maka dari itu darah menstruasi akan hilang melalui pembuluh darah tersebut.
Hal ini diikuti dengan terjadinya vasokonstriksi yang menyebabkan iskemi dan nekrosis
endometrium. Jaringan nekrotik tersebut lalu luruh saat menstruasi. Perdarahan uterus
disfungsional anovulasi merupakan pendarahan tidak teratur yang berkepanjangan dan
berlebihan disebabkan oleh terganggunya fungsi aksis hipotalamus hipofisis-ovarium.
Hal ini sering terjadi pada wanita dalam usia ekstrim, yaitu pada masa perimenarchal
dan perimenopausal. Pada masa tersebut terjadi perubahan siklus antara ovulasi dan
anovulasi sehingga mengakibatkan keketidakteraturan pola menstruasi serta kehilangan
darah dalam jumlah yang banyak. Mekanisme anovulasi tidak diketahui secara pasti,
tetapi diketahui bahwa estrogen dapat menyebabkan proliferasi endometrium
berlebihan dan hiperplasia dengan peningkatan dan melebar pembuluh darah dan
supresi arteri spiralis. Pembuluh darah superfisial pada permukaan endometrium yang
hiperplasia menjadi besar, berdinding tipis, dan melengkung. Perubahan tersebut yang
menjadi sumber terjadinya peningkatan kehilangan darah. Paparan estrogen secara
terus menerus memiliki efek langsung terhadap pasokan darah uterus dengan
mengurangi tonus pembuluh darah. Efek tidak langsung dari estrogen melalui
penghambatan terlepasnya vasopresin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

54
aliran darah. Estrogen juga merangsang ekspresi VEGF (Vascular Endothelial Growth
Factor) stroma yang dapat menyebabkan terganggunya angiogenesis.
Perdarahan uterus disfungsional ovulasi ditandai dengan episode reguler
kehilangan menstruasi berat, dengan 90% dari kerugian pada 3 hari pertama seperti
pada menstruasi normal. Tidak ada gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan
gonadotropin dan profil steroid tidak berbeda dengan yang terlihat pada siklus
menstruasi normal. Penurunan kadar estrogen dan progesteron pada akhir fase luteal
memicu banyak proses yang mengarah terjadinya disintegrasi diikuti epitelisasi
kembali lapisan fungsional endometrium selama menstruasi. Defek utama terdapat
dalam mengontrol proses volume darah yang hilang selama menstruasi, terutama proses
vasokonstriksi dan hemostasis. Perubahan fase folikular aliran darah endometrium pada
wanita dengan perdarahan uterus disfungsional ovulasi mempengaruhi gangguan fungsi
yang terjadi dalam jaringan. Jumlah estrogen di kelenjar dan stroma serta reseptor
progesteron di endometrium dapat meningkat saat fase sekresi akhir pada wanita yang
menderita perdarahan uterus disfungsional. Salah satu faktor yang berperan dalam
membatasi kehilangan banyak darah selama menstruasi yaitu prostaglandin. Pelepasaan
prostaglandin (PG) di endometrium dipengaruhi oleh kadar steroid yang bersirkulasi.
PGF2α merupakan salah satu substansi poten untuk mencegah agregrasi platelet dan
formasi plak hemostatik. Peningkatan reseptor PGE2 dan PGI2 menjadi faktor
predisposisi terjadinya vasodilatasi pada wanita dengan menoragia. Peningkatan
sintesis PGI2 menjadi prekursor dalam perdarahan uterus disfungsional ovulasi.
Pengobatan antiprostaglandin efektif dalam pengobatan perdarahan uterus
disfungsional dengan mengurangi sintesis PG di endometrium dan disertai
penghambatan menempelnya PGE pada reseptornya.

E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada perdarahan uterus abnormal adalah sebagai berikut:
 Menoragia dan metroragia
Adanya perubahan pola dalam siklus menstruasi berupa interval yang normal teratur
tetapi jumlah darah dan durasinya lebih dari normal merupakan menoragia. Interval
yang tidak teratur dengan jumlah perdarahan dan durasi yang lebih dari normal
merupakan metroragia. Banyak gangguan yang bersifat patologis yang menyebabkan
menoragia, metroragia ataupun keduanya (menometroragia).
 Perdarahan pascakoitus

55
Perdarahan pascakoitus merupakan perdarahan yang paling umum dijumpai pada
wanita berusia 20 - 40 tahun serta pada mereka yang multipara. Lesi yang dijumpai
pada perdarahan pascakoitus biasanya jinak. Berdasarkan observasi yang dilakukan
pada 248 wanita dengan perdarahan pascakoitus didapatkan bahwa seperempat dari
kasus tersebut disebabkan oleh eversi serviks. Penyebab lain yang dapat mendasari
diantaranya polip endoserviks, servisitis, dan polip endometrium. Pada servisitis,
penyebab yang paling sering adalah infeksi Chlamydia trachomatis. Menurut penelitian
Bax et al., risiko relatif infeksi klamidia pada wanita dengan pendarahan pascakoitus
adalah 2,6 kali lebih tinggi daripada kelompok kontrol tanpa perdarahan. Pada beberapa
wanita, perdarahan pascakoitus dapat berasal dari neoplasia serviks atau saluran
kelamin. Pada neoplasia intraepitel serviks dan kanker yang invasif, epitel menjadi tipis
dan rapuh sehingga mudah lepas dari serviks. Pada wanita dengan perdarahan
pascakoitus, neoplasia intraepitel seviks ditemukan sebanyak 7 – 10%, kanker yang
invasif sebanyak 5%, dan kanker endometrium sebanyak kurang dari 1%. Dalam studi
lain, Jha dan Sabharwal melaporkan bahwa sejumlah perempuan dengan perdarahan
pascakoitus memiliki lesi patologis yang diidentifikasi dengan kolposkopi. Sebagian
besar wanita dengan perdarahan yang tidak dapat dijelaskan pascakoitus harus
menjalani pemeriksaan kolposkopi jika sumber perdarahan belum dapat diidentifikasi.
 Nyeri pelvis
Adanya kram yang menyertai perdarahan diakibatkan dari peran prostaglandin.
Dismenore yang terjadi bersamaan dengan perdarahan uterus abnormal dapat
disebabkan oleh polip, leiomioma, adenomiosis, infeksi, dan komplikasi kehamilan.
Nyeri yang dirasakan saat berhubungan seksual dan nyeri nonsiklik jarang dirasakan
pada wanita dengan perdarahan uterus abnormal. Jika nyeri ini dirasakan, maka
penyebabnya adalah kelainan dari struktural atau infeksi. Lippman et al., melaporkan
peningkatan tingkat dispareunia dan nyeri panggul nonsiklik pada wanita dengan
leiomioma uterus. Sammour et al., menyatakan adanya korelasi nyeri panggul yang
meningkat seiring dengan adanya invasi miometrium dengan adenomiosis.

F. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada sifat perdarahan ditanyakan apakah pasien mengalami perdarahan setelah
berhubungan seksual atau perdarahan terjadi secara tiba-tiba. Waktu terjadinya
perdarahan ditanyakan apakah perdarahan terjadi saat sedang menstruasi dalam
56
bentuk perdarahan berlebih atau perdarahan terjadi diantara siklus haid atau saat
pasien sudah menopause. Kehamilan adalah salah satu konsiderasi utama pada
wanita usia subur yang mengalami perdarahan uterus abnormal. Beberapa hal yang
dapat menyebabkan perdarahan adalah abortus, plasenta previa, kehamilan ektopik,
dan lain-lain. Pada riwayat konsumsi obat ditanyakan apakah pasien sedang
menggunakan obat-obatan yang mengganggu sistem hormon seperti penggunaan
KB hormonal, tamoxifen atau obat-obat yang mengganggu proses pembekuan
darah. Riwayat penyakit keluarga dan riwayat penyakit sistemik dari pasien juga
perlu ditelusuri untuk mencari penyakit yang dapat berperan dalam terjadinya
perdarahan uterus abnormal seperti defisiensi faktor pembekuan darah, diabetes
mellitus, gangguan tiroid, dan lain-lain. Keganasan pada genitalia juga dapat
memicu terjadinya perdarahan uterus abnormal. Setelah melakukan anamnesis
maka pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda dari penyebab perdarahan
uterus abnormal.
 Pemeriksaan fisik untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik
 Memastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak
berhubungan dengan kehamilan
 Pemeriksaan Indeks Massa Tubuh (IMT), tanda hiperandrogen, pembesaran
kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid / hipertiroid, galaktorea
(hiperprolaktinemia) gangguan lapang pandang (adenoma hipofisis), purpura dan
ekimosis wajib diperiksa. Pemeriksaan ginekologi perlu dilakukan termasuk
pemeriksaan pap smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri,
polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari penyebab dari perdarahan
uterus abnormal. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah lengkap
serta faktor pembekuan darah untuk menilai adanya gangguan koagulasi, kadar
TSH untuk menilai adanya gangguan tiroid, kadar β-hCG untuk pemeriksaan
kehamilan, kadar estrogen, FSH, prolaktin juga perlu diperiksa untuk menentukan
apakah perdarahan uterus abnormal berasal dari gangguan hormonal. Pencitraan
pada umumnya menggunakan ultrasonography (USG) transvaginal untuk melihat
adanya kelainan struktural pada organ genitalia atau untuk mencari adanya tumor
atau anomali lainnya yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal yang
57
dialami oleh pasien. Biopsi jaringan endometrium dilakukan apabila pasien berusia
diatas 35 tahun atau berusia dibawah 35 tahun tetapi dengan faktor risiko karsinoma
endometrium yaitu:
 Siklus anovulasi kronis
 Obesitas
 Nulipara
 Diabetes mellitus
 Penggunaan tamoxifen

G. Tatalaksana
Tujuan dari terapi pada perdarahan uterus abnormal adalah menyembuhkan
penyebab kelainan yang menyebabkan perdarahan tersebut. Berdasarkan algoritma
yang ada pertama harus dibedakan terlebih dahulu perdarahan termasuk anovulasi atau
ovulasi. 8 Pada tipe anovulasi, setelah mengevaluasi derajat risiko terjadinya karsinoma
endometrium dan menentukan perlu tidaknya dilakukan biopsi endometrium maka
terapi dapat dimulai. Apabila wanita tersebut tidak memiliki faktor risiko karsinoma
endometrium dan masih berusia dibawah 35 tahun maka akan diberikan obat
kontrasepsi oral kombinasi berupa ethinyl estradiol atau medroxyprogesterone asetat
selama 10-14 hari per bulan. Bila keluhan berlanjut maka lakukan biopsi endometrium
serta transvaginal USG untuk mencari penyebab perdarahan tersebut. Apabila wanita
tersebut memiliki faktor risiko karsinoma endometrium atau berusia lebih dari 35 tahun
maka lakukan biopsi endometrium. Hasil biopsi akan menentukan tatalaksana yang
diberikan, hasil biopsi yang normal akan mendapatkan terapi yang telah disebutkan
diatas. Sedangkan hasil biopsi berupa hiperplasia tanpa atypia akan mendapatkan
medrodyprogesterone asetat 10 mg selama 14 hari per bulan atau megesterol 40 mg per
hari atau dapat juga dipasang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dengan
levonogestrel (mirena), setelah 3-6 bulan ulangi biopsi endometrium, apabila hasil
masih menunjukan hiperplasia maka pasien dapat dirujuk ke ginekologis yang lebih
berpengalaman. Untuk hasil biopsi hiperplasia dengan atipia sebaiknya pasien dirujuk
langsung ke ginekologis, sedangkan untuk hasil biopsi adenokarsinoma dianjurkan
pasien dirujuk ke ginekologis onkolog. Pada wanita dengan tipe perdarahan ovulasi
dievaluasi terlebih dahulu apakah perdarahan disebabkan oleh kelainan sistemis,
kelainan anatomis dengan menggunakan pemeriksaan lab dan pencitraan berupa USG
transvaginal, bila terdapat kecurigaan akan adanya massa maka dapat dilakukan juga
58
biopsi jaringan endometrium. Apabila tidak ditemukan kelainan anatomis dan
gambaran USG memberikan hasil yang normal maka pasien dapat diberikan 10 mg
medroxyprogesteron asetat selama 21 hari per bulan selama 3-6 bulan atau AKDR
mirena atau digunakan NSAID pada hari pertama haid sampai haid berakhir atau dapat
juga diberikan asam tranexamat sebanyak 2 kapsul 650 mg 3 kali sehari pada hari ke 1
sampai ke 5 saat haid. Bila perdarahan masih berlanjut setelah pemberian terapi selama
3-6 bulan maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan evaluasi ulang dengan biopsi
endometrium, histeroskopi atau dilakukan tindakan ablasi endometrium, histerektomi.

59

Anda mungkin juga menyukai