Oleh :
Erika Irawanie ( D3E613002)
Nuraini
( D3E613007)
Berat anak
< 500 gram
500-1000 gram
1000-2500 gram
>2500 gram-4500 gram
Istilah
Abortus
Partus Immaturus
Partus Praematurus
Partus Aterm (maturus)
Partus Serotinus
1.1. Abortus
Berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar disebut
abortus. Anak baru mungkin hidup di dunia luar kalau beratnya telah mencapai 1000
gram atau umur kehamilan 28 minggu. Ada juga yang mengambil batas untuk abortus
berat anak yang kurang dari 500 gram. Jika anak yang lahir beratnya antara 500-999
gram disebut partus immaturus2.
Abortus adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari 500 g, dan / atau
panjang badan kurang dari 25 cm, dan / atau usia gestasi kurang dari 20 minggu.
Angka harapan hidup amat sangat kecil, kurang dari 1%. (Banyak kepustakaan
menetapkan batasan berbeda tentang abortus dari segi usia kehamilan, antara 18-24
minggu.) (WHO : 22 minggu)
Istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Berdasarkan variasi berbagai batasan yang ada tentang usia / berat lahir janin
viable (yang mampu hidup di luar kandungan), akhirnya ditentukan suatu batasan
abortus sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 g atau usia
kehamilan 20 minggu3. Dibawah ini dikemukakan beberapa definisi para ahli tentang
abortus4
Jeffcoat : Abortus adalah pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum usia kehamilan
1. Etiologi
Faktor faktor yang menyebabkan kematian fetus adalah faktor ovum sendiri,
faktur ibu dan faktor bapak.
1. Kelainan Ovum
2. Kelainan genitalia ibu
3. Gangguan sirkulasi plasenta
4. Penyakit penyakit ibu
5. Antagonis Rhesus
6. Terlalu cepatnya korpus luteum menjadi atrofis
7. Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi
8. Penyakit Bapak
1.1.2. Frekuensi
Diperkirakan frekuensi keguguran spontan berkisar antara 1015%. Namun
demikian, frekuensi seluruh keguguran yang pasti sukar ditentukan, karena
abortus buatan banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila terjadi komplikasi.
Menurut Siegler dan Eastman, abortus terjadi pada 100% kehamilan. Menurut
Eastman, 80% dari abortus terjadi pada bulan ke 2-3 kehamilan, sementara
Simens mendapatkan angka 76%.
1.1.3. Patologi
Pada permulaan, terjadi pendarahan dalam desidua basalis, diikuti oleh
nekrosis jaringan sekitarnya. Pada kehamilan dibawah 8 minggu, hasil
konsepsi dikeluarkan seluruhnya, karena vili korealis belum menembus
desidua terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8-14 minggu, telah masuk
agak dalam sehingga sebagian keluar dan sebagian lagi akan tertinggal, karena
itu akan banyak terjadi pendarahan.
1.1.4. Klasifikasi
dengan
alat-alat
dengan
alasan
bahwa
kehamilan
1.1.5. Klinis
Abortus Spontan dapat dibagi atas:
1. Abortus Kompletus (Keguguran lengkap)
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada abortus
dianggap
corpus
allenium,
maka
uterus
akan
berusaha
Pengobatannya:
Karena boleh dikatakan pasti terjadi abortus, maka pengobatan berlainan
dengan pengobatan abortus imminens.
Untuk mempercepat pengosongan rahim diberi oksitosin 2,5 satuan tiap
ini
baru
mempertahankannya.
mengancam
Jika
dan
masih
ada
seseorang
wanita
yang
harapan
untuk
hamil
muda
Pengobatan
Karena ada harapan bahwa kehamilan dapat berlangsung terus, pasien
disuruh:
a. Istirahat rebah
Pengobatannya10
Sekarang kecenderungan untuk menyelesaikan missed abortion lebih
aktif karena adanya oksitosin dan antibiotika. Segera setelah kematian
janin dapat dipastikan diberi pitocin misalnya 10 satuan dalam 500 cc
glucose.
Kalau tidak terjadi abortus dengan pitocin infus ini, sekurang-kurangnya
terjadi pembukaan yang memudahkan curettage.
Dilatasi juga dapat dihasilkan dengan pemasangan laminaria stiff.
6. Abortus Habitualis (Keguguran berulang)
Ialah abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi; sekurangkurangnya 3x berturut-turut.
Sebab-sebab abortus habitualis dapat dibagi dalam 2 golongan11:
a. Sel benih yang kurang baik: pada saat ini kita belum tahu bagaimana
mengobatinya.
b. Lingkungan yang tidak baik: hal-hal yang mempengaruhi lingkungan
ialah:
Hypertensia Essentialis
Golongan darah suami istri yang tidak cocok, sistem ABO atau faktor
Rh.
Toxoplasmose
Pendarahan (hemorrhage)
Perforasi
Holmer dan De Snoo; Bayi prematur adalah Bayi yang lahir dengan kehamilan
antara 28- 38 minggu
Greenhill; Bayi prematur ialah bayi yang lahir dengan berat badan (BB) kurang
dari 2500 gram
Eastman; Bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan BB 1000-2499 gram
Faktur ovum sendiri contoh;bayi laki lebih besar dari bayi perempuan
Faktor ibu
Faktor lain, seperti tempat tali pusat pada plasenta dan derajat infark plasenta
1. Partus tidak boleh berlangsung terlalu lama tapi sebaliknya jangan pula terlalu
cepat.
2. Jangan memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap
3. Buatlan episiotomi medialis.
4. Kalau persalinan perlu diselesaikan, pilihlah porceps diatas ekstraksi vakum
5. Jangan mempergunakan narcose
6. Tali pusat secepat mungkin digunting untuk menghindarkan ikterus neonatorum
yang berat
Cairan yang keluar dari jalan lahir, dapat berupa17 :
Hidrorea amniotika; keluarnya atau pecahnya selaput ketuban dan keluarnya air
ketuban
Hidrorea hemoragika; keluar air ketuban dan darah; misalnya pada solusio plasenta
dan plasenta previa
1.3. Dismaturitas18
Adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan ketidak sesuaian tuanya kehamilan
dengan berat janin lahir. Ada dua kondisi yang berlainan, yaitu :
1. Kehamilan matur (cukup bulan) akan tetapi bayi lahir dengan berat badan lahir
rendah (small for gestational age)
2. Kehamilan prematur (kurang dari 37 minggu akan tetapi berat badan lahir melebihi
2500 gram
3. Janin dismatur dapat dilahirkan sebagai prematur, matur (cukup bulan) dan
postmatur (lewat bulan)
(serotinus)20.
1.4.1.Frekuensi
Apabila diambil batas waktu 42 minggu frekuensi 10,4-12%. Apabila batas waktu 43
minggu frekuensi 3,4-4%
1.4.2.Etiologi
Etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang dikemukakan adalah hormonal yaitu
kadar progesteron tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan, sehingga
kepekaan uterus terhadap oksitosin kurang. Faktor lain adalah faktor heriditer, karena
postmaturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu.
1.4.3.Diagnosis
1. Bila HPHT dicatat dan diketahui wanita hamil, diagnosis tidak sukar.
2. Bila wanita tidak tahu, lupa atau tidak ingat atau sejak melahirkan yang lalu
tidak dapat haid terus menjadi hamil, hal ini akan sukar memastikannya.
Hanyalah dengan pemeriksaan antenatal yang teratur dapat diikuti tinggi
dan aniknya fundus uteri, mulainya gerakan janin dan besarnya janin dapat
membantu diagnosis.
3. Pemeriksaan berat badan ibu diikuti, kapan menjadi berkurang, begitu pula
lingkaran perut dan jumlah air ketuban apakah berkurang.
4. Pemeriksaan rongenologi dapat dijumpai pusat-pusat penulangan pada
bagian distal femur, bagian proksimal tibia, os kuboid, diameter biparietal
9,8 cm atau lebih.
5. USG: ukuran diameter biparietal, gerakan janin dan jumlah air ketuban.
6. Pemeriksaan sitologi air ketuban:
Air ketuban diambil dengan amniosintesis baik transvaginal maupun
transabdominal. Air ketuban akan bercampur lemak dari sel-sel kulit yang
dilepas janin setelah kehamilan mencapai 36 minggu keatas. Air ketuban
yang diperoleh dipulas dengan sulfat biru Nil, maka sel-sel yang
mengandung lemak akan berwarna jingga:
Diagnosa hanya dapat dibuat kalau pasien diperiksa sejak permulaan kehamilan.
Disamping itu amnioskopi dapat membantu menentukkan sikap kita (air tuban sedikit,
adanya meconium).
Kalau kehamilan serotin dijadikan indikasi untuk induksi persalinan (persalinan
anjuran) maka syaratnya ialah bahwa serviks harus matang. Indikasi persalinan tidak
boleh dilakukan pada serviks yang belum matang karena hasilnya kurang baik.
Kehamilan serotin merupakan indikasi untuk sectio caesarea pada primi tua terutama
kalau umurnya lebih dari 40 tahun.
Malahan sering sectio sudah dilakukan pada minggu ke-41. Partus serotinus sering
terjadi pada anencephalus22.
1.4.4. Penatalaksanaan
Setelah kehamilan lebih dari 40-42 minggu yang penting adalah monitoring
janin sebaik-baiknya.
Bila disertai riwayat kehamilan yang lalu ada: kematian janin dalam rahim,
hipertensi, preeklampsi dan ini adalah anak pertama karena infertilitas; pada
kehamilan lebih dari 40-42 minggu, wanita dirawat di RS.
2.2.1. Prognosa
Pasien dengan hypertensi essentialis dapat melalui kehamilan dalam keadaan
yang cukup baik tanpa diberati dengan preeklampsi. Kalau sampai diberati
dengan preeklampsi maka prognosa untuk ibu dan anak menjadi kurang baik,
kemungkinan solutio placenta lebih besar.
Tanda-tanda yang berikut memburuknya prognosa:
Pembesaran jantung
Faal ginjal yang kurang
Kelainan pada retina (haemorrhagi atau exudat)
Tensi permulaan 200 systolis atau 120 diastolis
Jika pada kehamilan yang lampau pernah diberati dengan preeklampsi
2.2.2. Terapi
Semua wanita hamil dengan hypertensi essentialis harus masuk rumah
sakit untuk penilaian tensi, jantung, ginjal dan pemeriksaan retinan. Kalau
keadaan kurang baik dipertimbangkan abortus therapeuticus dan sterilisasi.
Terapi hypertensi essentialis yang diberati preeklampsi pada umumnya
sama dengan yang dibicarakan pada preeklampsi.
Penyakit hipertensi dalm kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang
terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan
nifas. Golongan penyakit ini ditandai dengan hipertensi dan kadang-kadang
disertai proteinuria, oedema, konvulsi, koma atau gejala-gejala lain.
Penyakit ini cukup sering dijumpai dan masih merupakan salah satu
sebab dari kematian ibu. Di USA misalnya sepertiga dari kematian ibu
disebabkan penyakit ini. Hipertensi dalam kehamilan menjadi juga penyebab
yang penting dari kelahiran mati dan kematian neonatal.
Kematian bayi ini terutama disebabkan partus praematurus yang
merupakan akibat dari penyakit hipertensi.
Klasifikasi menurut American Committee dan Maternal Welfare.
1. Hipertensi yang hanya terjadi dalam kehamilan dan khas untuk kehamilan
ialah preeklampsi dan eklampsi.
Diagnosa dibuat atas dasar hipertensi dengan proteinuria atau oedema atau
kedua-duanya pada wanita hamil setelah minggu ke-20.
2. Hipertensi yang kronis (apapun sebabnya).
Diagnosa dibuat atas adanya hipertensi sebelum kehamilan atau penemuan
hipertensi sebelum minggu ke-20 dari kehamilan dan hipertensi ini tetap
setelah kehamilan berakhir.
3. Preeklampsi dan eklampsi yang terjadi atas dasar hipertensi yang kronis.
Pasien dengan hipertensi yang kronis sering memberat penyakitnya dalam
kehamilan, dengan gejala-gejala hipertensi naik, proteinuria, oedema dan
kelainan retina.
4. Transient hypertension.
Diagnosa dibuat kalau timbul hipertensi dalam kehamilan atau dalam 24
jam pertama dari nifas pada wanita yang tadinya non motensip dan yang
hilang dalam 10 hari postpartum.
2.3. Preeklampsi ringan dan preeklampsi berat25
Penyakit hipertensi yang has untuk kehamilan merupakan penyakit hipertensi
yang akut pada wanita hamil dan wanita dalam nifas. Pada tingkat tanpa kejang
disebut preeklampsi dan pada tingkat dengan kejang disebut eklampsi.
Preeklampsi memperlihatkan gejalaa hipertensi oedema dan proteinuria, kadangkadang hanya hipertensi dengan proteinuria atau hipertensi dengan oedema. Eklampsi
sama gejala-gejalanya dengan preeklampsi ditambah dengan kejang atau koma. Jadi
preeklampsi dan eklampsi merupaka satu penyakit hanya tingkatnya yang berlainan.
Preeklampsi diketahui dengan timbulnya hipertensi, proteinuria dan oedema pada
seorang gravida yang tadinya normal. Penyakit ini timbul sesudah minggu ke 20 dan
paling sering terjadi pada primigravida yang muda. Kalau tidak di obati atau tidak
terputus oleh persalinan dapat menjadi eklampsi.
Praeklampsi adalah penyakit primigravida dan kalau timbul pada seorang
multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti hipertensi, diabetes atau
kehamilan ganda.
Pada umumnya praeklampsi dan eklampsi baru timbul sesudah minggu ke 20 dan
makin tua kehamilan makin besar kemungkinan timbulnya penyakit tersebut. Pada
mola hidatidosa penyakit ini dapat menjelma sebelum minggu ke 20 setelah
persalinan, gejala-gejalanya berangsur hilang sendiri. Untuk diagnosa praeklampsi,
pada wanita yang hamil 20 minggu atau lebih harus ditemukan hipertensi dengan
proteinuria dan oedema atau sekurang-kurangnya hipertensi dan proteinuria. Yaitu :
1. Tekanan systolis 140 mmHg atau lebih atau kenaikan 30 mmHg diatas tekanan
biasa. Tekanan diastolis 90 mmHg atau lebih atau kenaikan 15 mmHg diatas
tekanan yang biasa. Tekanan darah yang meninggi ini sekurangnya diukur 2 x
antara 6 jam
2. Proteinuria ialah protein lebih dari 0,3 g/l dalam urin 24 jam atau lebih dari 1 g/l
pada urin yang sembarangan. Urin yang diambil untuk pemeriksaan harus urin
yang bersih atau urin yang diperoleh dari penyadapan. Proteinuria ini harus ada
pada 2 hari berturut-turut atau lebih.
3. Oedema yang tetap pada jari tangan dan mata
Preeklampsi disebut berat kalau:
1. Tekanan darah systolis 160 atau lebih atau diastolis 110 atau lebih, diukur 2 x
2.
3.
4.
5.
2.3.1. Gejala-gejala26
1. Hipertensi
Gejala yang paling dulu timbul ialah hipertensi yang terjadi tiba-tiba, sebagai
batas diambil tekanan darah 140 mmHg systolis dan 90 mmHg diastolis tapi
juga kenaikan systolis 30 mmHg atau diastolis 15 mmHg diatas tekanan yang
biasa. Tekanan darah dapat mencapai 180 mmHg systolis dan 110 mmHg
diastolis tapi jarang mencapai 200 mmHg
2. Oedema
Timbulnya oedema didahului oleh tambah berat badan yang berlebihan.
Penambahan berat kg pada seorang yang hamil dianggap normal, tapi
kalau mencapai 1 kg seminggu atau 3 kg dalam sebulan preeklampsi harus
dicurigai. Penambahan berat badan yang tiba-tiba ini disebabkan retensi air
dalam jaringan dan kemudian tampak oedema. Oedema ini tidak hilang
dengan istirahat.
3. Proteinuria
Proteinuria sering diketemukan pada preeklampsi, karena vasospasme
pembuluh-pembuluh darah ginjal dan biasanya timbul lebih lambat dari
hipertensi dan penambahan berat badan
4. Gejala-gejala subjektif diantaranya:
a. Sakit kepala yang keras karena vasospasme atau oedema otak
b. Sakit di uluh hatu karena regangan selaput hati oleh haemorrahagia atau
oedema atau sakit karena perubahan pada lambung
c. Gangguan penglihatan; penglihatan menjadi kabur malahan kadang-
2.3.2. Etiologi
Sebab praeklamsi belum diketahui tapi pada penderita yang meninggal karena
eklampsi terdapat perubahan yang khas pada berbagai alat, tapi kelainan yang
menyertai penyakit ini ialah spasmus arteriole, retensi Na, dan air dan
koagulasi intravaskuler. Walaupun vasospasme mungkin bukan merupakan
sebab primer akan tetapi vasospasme ini yang menimbulkan berbagai gejala
yang menyertai.
2.3.3. Diagnosa28
Jika pada seorang yang hamil dan yang sebelum minggu ke 20 sehat timbul
hipertensi, proteinuria atau oedema maka diagnosa preeklampsi dibuat. Yang
harus dikesampingkan ialah penyakit ginjal misalnya glomerulonefritis acuta
dan hipertensi essensialis. Membedakannya dari hipertensi essensialis yaitu
dengan gejala-gejala yang menunjuk kearah hipertensi essensialis seperti:
1. Tekanan darah diatas 200
2. Pembesaran jantung
3. Multiparitas terutama kalau pasien diatas 30 tahun
4. Pernah menderita toxaemia pada kehamilan yang lalu
5. Tidak ada oedema dan proteinuria
6. Perdarahan dalam retina
2.3.4. Pengobatan29
Preeklampsi ringan
1. Rawat inap. Istirahat (tirah baring/ tidur miring ke kiri). Rawat jalan
dilakukan apabila pasien menolak rawat inap. Dilakukan pemantauan
tekanan darah dan protein urin setiap hari.
2. Pantau tekanan darah 2 x sehari, dan protein urin setiap hari
3. Dapat dipertimbangkan pemberian suplementasi obat-obatan antioksidan
atau anti agregasi trombosit
4. Roboransia
5. Diberikan kortikosteroid pada kehamilan 24-34 minggu
6. Diberikan methyil dopa 3 x 250 mg apabila tekanan diastol diantara 100110 mmHg
7. Dilakukan pemantauan kesejahteraan janin dengan pemeriksaan USG dan
KTG
8. Jika tekanan diastol turun sampai normal, pasien dipulangkan dengan
nasihat untuk istirahat dan diberi penjelasan mengenai tanda-tanda
preeklampsi berat. Kontrol 2 x seminggu. Bila tekanan diastol naik lagi
pasien dirawat kembali
9. Jika tekanan diastol naik dan disertai tanda-tanda preeklampsi berat, pasien
dikelola sebagai preeklampsi berat
10. Bila umur kehamilan 37 minggu, terminasi kehamilan
11. Persalinan dapat dilakukan secara spontan
Preeklampsi berat
Rawat bersama dengan bagian yang terkait (penyakit dalam, penyakit syaraf,
mata, anestesi, dll)
A. Perawatan aktif
a. Indikasi
Bila didapatkan 1 atau lebih keadaan di bawah ini:
1. Ibu:
Kehamilan 37 minggu
Adanya gejala impending eklapmsi
2. Janin:
Adanya tanda-tanda gawat janin
Adanya tanda-tanda PJT yang disertai hipoksia
3. Labolatorik: adanya HELLP syndrome
b. Pengobatan medisinal
1. Infus larutan RL
2. Pemberian MgSO4
Cara pemberian MgSO4
Pemberian melalui IV secara kontinyu (dengan menggunakan infusion
pump)
a. Dosis awal
4 gr (20 cc MgSO4 20%) dilarutkan kedalam 100cc RL, diberikan
selama 15-20 menit
b. Dosis pemeliharaan
10 gr (50 cc MgSO4 20%) dilarutkan dalam 500cc RL, diberikan
dengan kecepatan 1-2 gr/jam (20-30 tetes/menit)
Pemberian melalui IM secara berkala
a. Dosis awal
4 gr MgSO4 (20 cc MgSO4 20%) diberikan secara IV dengan
kecepatan 1 gr/menit
b. Dosis pemeliharaan
Selanjutnya diberikan MgSO4 4 gr (10 cc MgSO4 40%) IM setiap 4
jam. Tambahkan 1 cc lidokain 2% pada setiap pemberian IM untuk
mengurangi perasaan nyeri dan panas
Syarat-syarat pemberian MgSO4
1. Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu Ca Glukonas 10% (1 gr dalam 10
2.
3.
4.
a.
b.
c.
a.
b.
-
2.4.
20%
perdarahan otak
Punksi lumbal, bila ada indikasi
Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca, dan Cl; kadar glukosa, urea
N, kreatinin, SGOT, SGPT, analisa gas darah, dll untuk mencari
DAFTAR PUSTAKA
1. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.7
2. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.7
3. WHO/FIGO. 1998
4. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.231
5. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.7-8
6. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.13
7. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.12
8. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.11
9. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.11
10. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.16
11. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.16
12. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.17
13. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.241
14. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.242
15. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.243
16. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.18
17. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.245
18. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.245-6
19. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.18
20. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.246
21. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. 2nd ed. Jakarta: EGC; 1989. P.247
22. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.18-9
23. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.106-7
24. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.107-8
25. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.90
26. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.92
27. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.93
28. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.94
29. Krisnadi SR, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dinekologi RSHS. 2 nd ed.
Bandung: Bagian Obgyn FK Unpad RSHS; 2005. P.61-5
30. Sastrawinata S. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar; 1984. P.99
31. Krisnadi SR, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dinekologi RSHS. 2 nd ed.
Bandung: Bagian Obgyn FK Unpad RSHS; 2005. P.65