Anda di halaman 1dari 28

CBD

“HEMORAGIC POSTPARTUM”

OLEH:

Puspita Faradita

014.06.0043

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF OBGYN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR


MATARAM 2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perdarahan postpartum merupakan penyebab utama tingginya angka kematian
ibu (AKI). Kira-kira 14 juta wanita menderita perdarahan postpartum setiap
tahunnya. Perdarahan postpartum menyebabkan kematian sebanyak 25-30% di
negara berkembang (Sosa, 2009).
Menurut data di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh
kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari
10 persen sampai hampir 60 persen (PP dan KPA, 2010). Setiap tahunnya paling
sedikit 128.000 perempuan mengalami pendarahan sampai meninggal. Lebih dari
separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah
melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah.
Pada tahun 2013, perdarahan yaitu terutama perdarahan postpartum
menyebabkan kematian ibu sebanyak 30,3% di Indonesia. Selain perdarahan,
penyebab kematian ibu tertinggi lainnya adalah hipertensi dalam kehamilan,
infeksi, partus lama dan abortus (Kemenkes RI, 2015).
Perdarahan postpartum merupakan penyebab tersering dari keseluruhan
kematian akibat perdarahan obstetrik. Perdarahan postpartum adalah perdarahan
yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir pada persalinan per vaginam dan
melebihi 1000 ml pada seksio sesarea (Chunningham, 2012), atau perdarahan
yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan tanda vital, seperti
kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi <
90 mmHg dan nadi > 100/menit (Karkata, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan postpartum yaitu umur,
jumlah paritas, jarak antar kelahiran, riwayat persalinan sebelumnya, lama partus,

2
lama lepasnya plasenta, anemia, pengetahuan dan faktor fasilitas pelayanan
kesehatan (Pardosi, 2006).
Menurut Ahonen et al. (2010) faktor-faktor yang dapat menyebabkan
perdarahan postpartum yaitu atonía uteri, retensio plasenta dan laserasi jalan lahir.
Atonia uteri dapat terjadi pada kasus overdistensi uterus seperti hidramnion,
gemelli, persalinan lama, induksi oksitosin, multiparitas, dan retensio plasenta.
Ahonen et al. (2010) juga menyebutkan bahwa berdasarkan pada studi dilakukan
terhadap 154.311 kasus persalinan terjadi 666 kasus perdarahan postpartum yang
disebabkan oleh retensio placenta, persalinan kala II lama, plasenta akreta,
laserasi jalan lahir, ruptur uterus, tindakan vakum ekstraksi, makrosomia,
hipertensi dalam kehamilan, induksi dan augmentasi persalinan dengan oksitosin.
Selain penyebab tersebut Ahonen et al. (2010) juga mengatakan bahwa faktor
riwayat perdarahan postpartum, obesitas, paritas tinggi, intrauterin fetal death
(IUFD), ras Asia, persalinan presipitatus, pembedahan endometriosis dan riwayat
persalinan sesar sebelumnya menjadi penyebab terjadinya perdarahan postpartum

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Postpartum

A. Definisi
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefmisikan sebagai
kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan
pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.
Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor
(>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml)
atau berat (>2000 ml) (POGI,2016).

B. Etiologi
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu
kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi
plasenta (tone), robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus
(trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus
yang adekuat (tissue), dan gangguan factor pembekuan darah (thrombin)
(POGI,2016).

C. Klasifikasi
Perdarahan pasca-salin diklasifikan menjadi PPS primer {primary post
partum haemorrhage) dan PPS sekunder (secondary post partum
haemorrhage). Perdarahanpasca-salin primer adalah perdarahan yang terjadi
dalam 24 jam pertama pasca-salin,sedangkan PPS sekunder merupakan
perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jamtersebut (POGI,2016).

4
Pada umumnya, PPS primer/dini lebih berat dan lebih tinggi tingkat
morbiditas dan mortalitasnya dibandingkan PPS sekunder/lanjut (POGI,2016).

D. Diagnosis
Beberapa teori telah menyatakan bahwa pengukuran kehilangan darah
saat persalinan bertujuan untuk memastikan diagnosis PPS pada saat yang
tepat dan memperbaiki luaran.

E. Tatalaksana
Meskipun telah dilakukan usaha untuk mencegah PPS, akhirnya
beberapa perempuan tetap memerlukan terapi untuk perdarahan yang
berlebihan. Intervensi multipel (medis, mekanik, invasif pembedahan, dan

5
non-pembedahan) yang memerlukan teknik dan keahlian yang berbeda-beda
mungkin diperlukan untuk mengontrol perdarahan. Terapi PPS yang efektif
sering memerlukan intervensi multidisiplin yang simultan. Tenaga kesehatan
harus memulai usaha resusitasi sesegera mungkin, menetapkan penyebab
perdarahan, berusaha mendapatkan bantuan tenaga kesehatan lain, seperti ahli
obstetri, anestesi dan radiologi. Menghindari keterlambatan dalam diagnosis
dan terapi akan memberikan dampak yang bermakna terhadap sekuele dan
prognosis (POGI,2016).
Bila PPS terjadi, harus ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian
penatalaksanaannya dilakukan secara simultan, meliputi perbaikan tonus
uterus, evakuasi jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan
persiapan koreksi faktor pembekuan. Tahapan penatalaksanaan PSS berikut
ini dapat disingkat dengan istilah HAEMOSTASIS (POGI,2016).
Perdarahan biasanya disebabkan oleh tonus, tissue, trauma atau
thrombin. Bila terjadi atonia uterus, lakukan perbaikan pada tonus uterus. Bila
kausa perdarahan berasal dari tissue, lakukan evakuasi jaringan sisa plasenta.
Lakukan penjahitan luka terbuka bila terjadi trauma dan koreksi faktor
pembekuan bila terdapat gangguan pada thrombin.
Penatalaksanaan dilakukan dengan prinsip “HAEMOSTASIS”, yaitu
(POGI,2016)

1. Ask for HELP


Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila
persalinan di bidan/PKM. Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan
hematologis menjadi sangat penting. Pendekatan multidisipliner dapat
mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan. Monitoring elektrolit dan
parameter koagulasi adalah data yang penting untuk penentuan tahap tindakan
berikutnya.
2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
6
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat
mungkin dan menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik
overestimate jumlah darah yang hilang dan bersikap proaktif daripada
underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai tingkat kesadaran, nadi,
tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen harus
dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera
diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan
darah, elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT =
Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah,
Oksigen, dan Teamapproach). Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara
cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin,
Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya
menentukan etiologi PPS. Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di
abdomen, bila ada risiko trauma (bekas seksio sesarea, partus buatan yang
sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada jumlah darah yang keluar.
Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta yang telah
berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent
placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi
arteri hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae
sering terjadi pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal
ini sudah diketahui sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte
Hospital (Labour ward course) menyarankan untuk tidak berupaya
melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin dan kemudian dilanjutkan
dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan abdominal. Bila
retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam, dapat
digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan
operasi/laparotomi.
7
4. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera
ditangani dengan masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila
uterus tetap lembek harus dilakukan kompresi bimanual interna dengan
menggunakan kepalan tangan di dalam untuk menekan forniks anterior
sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar melakukan penekanan
pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal
salin dengan kecepatan 125 cc/jam (peringkat bukti IA, rekomendasi A).
Hindari kelebihan cairan karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga
edema otak yang pada akhimya dapat menyebabkan kejang karena
hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic hormone (ADH) - like
effect dan oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan keluaran cairan
sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan
secara intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan),
dosis lanjutan 0,2 mg setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian dapat
diulang setiap 2-4 jam bila masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg
atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada pemberian ergometrin yaitu
preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi (peringkat bukti IA, rekomendasi
A). Bila PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per
rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah,
bahkan juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk
menggantikan faktor pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan
pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg) setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit
di atas 50.000, bila perlu diberikan transfuse trombosit. Kriopresipitat
direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar fibrinogen <1
gr/dl (10 gr/L).
8
6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual
compression(konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke
ruang operasi. Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa
plasenta ata selaput ketuban. Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan
tindakan kuretase. Kompresi bimanual dapat dilakukan selama ibu dibawa ke
ruang operasi
7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)
(peringkat bukti II, rekomendasi B)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya
koagulopati yang menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat
membantu mengurangi perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi
kesempatan koreksi faktor pembekuan. Dapat dilakukan tamponade test
dengan menggunakan TubeSengstaken yang mempunyai nilai prediksi positif
87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPS. Bila pemasangan tube
tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak memerlukan
tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah.
Pemasangan tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah
dilaksanakan dan hanya memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini
dapat menghentikan perdarahan dan mencegah koagulopati karena perdarahan
massif serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini perlu dilakukan pada pasien
yang tidak membaik dengan terapi medis. Pemasangan tamponade uterus
dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan tampon balon kondom kateter.
Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk tekanan yang cukup adekuat
sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk
membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan
mendekati tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera libatkan

9
tambahan tenaga dokter spesialis kebidanan dan hematologis sambil
menyiapkan ruang ICU.
8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif)
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara
mempertahankan hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum
mencoba setiap prosedur bedah konservatif, harus dinilai ulang keadaan
pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang keluar, perdarahan yang
masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya. Keputusan untuk
melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informedconsent
terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi.
Penting sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai
kemampuan pasien bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah
upaya konservatif gagal. Apabila tindakan B-Lynch tidak berhasil,
dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi. Ikatan kompresi yang
dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan oleh
Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2,
Vicryl 0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului tes
tamponade yaitu upaya menilai efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara
kompresi bimanual uterus secara langsung di meja operasi.
Teknik penjahitan uterus metode B-lynch& B-lynch Modifikasi
(Metode Surabaya) dapat dilihat pada Lampiran 1. Prosedur Penjahitan Uterus
Metode Surabaya dan Lampiran 2. Prosedur Penjahitan Uterus Metode
Surabaya prosedur Penjahitan Uterus Metode Surabaya.
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal
iliac
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B) Ligasi a.
uterina dan ligasi a. Hipogastrika. Teknikligasi (checklist, gambar)

10
10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization
(pembedahan
konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif)
(peringkat bukti II, rekomendasi B)

Gambar 1. Rekomendasi FIGO untuk pencegahan dan pengobatan perdarahan


postpartum (PPH) (Figo, 2012).

11
12
Penjelasan dan Tatalaksana 4T (Tonus, Trauma, Tissue, Trombin)
1. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Perdarahan oleh karena
atonia uteri dapat dicegah dengan:
 Melakukan secara rurin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2 - 3 tablet (400 - 600 pg) segera setelah
bayi lahir.
Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut.
1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, arau
anak terlalu besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
3. Kehamilan grande-multipara.
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderira penyakit
menahun.
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya (Sarwono, 2014).

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih sednggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek.
Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat
itu juga masih ada darah sebanyak 5OO - 1.000 cc yang sudah keluar dari

13
pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti (Sarwono, 2014).

G. Tindakan
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum
pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikir anemis, atau sampai
syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung
pada keadaan kliniknya. Secara lengkap dapat dilihat pada Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, JNPKKR-POGI
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardj ,2OO2 dan Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kesehatan Matemal dan Neonatal,Jakana 2OO2
Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal
sebagai berikut.
. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan
oksigen.
. Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan carai
- Masase fundus uteri dan merangsang puting susu.
- Pemberian oksitosin dan tunrnan ergot melalui suntikan secara i.m.,
i.v., atau s.c.
- Memberikan derivat prostaglandin F2u (carboprost trometbamine)
yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual
muntah, febris, dan takikardia.
- Pemberian misoprostol 800 - 1.000 pg per-rektal.
- Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
- Kompresi aorta abdominalis.
- Pemasangan "tampon kondom", kondom dalam kalum uteri
disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi
cairan infus 200 ml yang akan mengurangi perdarahan dan
menghindari tindakan operarif.
14
- Catatan: tindakan mefttasang tampon kasa utero-vaginal tidak
dianjurkan dan hanya bersifat temporer sebelum
tindakan bedah ke rumah sakit rujukan (Sarwono, 2014).

2. Robekan Jalan Iahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan
rrauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan
memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin
persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir
biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forseps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan
(lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan
sampai mptur perinei totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding
vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan,
yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan
ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada
robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang
merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruprura uteri
dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus
minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas
intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat
dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan
berhenti. Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan
lampu yang cukup serta spekulum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila
penderita kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi
untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan hemostasis (Sarwono, 2014).
15
3. Retensio plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak
lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara
plasenta dan urerus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi
menembus desidua basalis dan Niabuch layer, disebut sebagai plasenta inkreta
bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta
bila vili korialis sampai menembus perimetrium (Sarwono, 2014).
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa,
bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian
kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest placenta dan
dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III
didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh
perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian
lepas tempi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai
akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang
plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
(perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta
manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam. Sisa plasenta bisa
diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta
manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat
melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah
terjahit. Untuk itu,harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara
manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai dengan
keperluannya (Sarwono, 2014).
16
4. Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi
mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan
merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan
dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu
perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation produa)
serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
diiakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku
segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon
amino caproic acid) (Sarwono, 2014).

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


a. Nama : NKA
b. TTL :5 Desember 1996
c. Usia :31 tahun
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Alamat : Bangli
f. Pendidikan :SMP
g. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
h. Agama :Hindu
i. Suku : Bali
j. Status Perkawinan :Sudah Menikah
k. Tanggal MRS :4 November 2019
l. No RM :-
3.2 Anamnesa (Autoanamnesis)
a. Keluhan utama :
Perdarahan banyak dan kepala pusing setelah melahirkan.
b. Riwaya penyakit sekarang
Ibu mengatakan sudah melahirkan bayi laki-laki pukul 13.20 WITA di
RSUD Bangli dan saat ini ibu mengeluh perdarahan terasa sangat banyak,
kepalanya terasa pusing, perut tidak terasa mulas dan Ibu mengatakan sangat
lelah dan mengantuk.

c. Riwayat Persalinan sekarang :

18
Kala I berlangsung normal, Jam 12.00 WITA VT Ø 10 cm, eff 100%, teraba
kepala , UUK di depan , ket (+), kep turun H III, tidak teraba bagian kecil
janin dan tali pusat.

Kala II. Pada pukul 13.20 WITA bayi lahir spontan hidup, laki - laki dengan
letak belakang kepala dengan Apgar Score 1 menit setelah lahir 7 dan 5 menit
setelah lahir 9, berat badan lahir 3500 gram, panjang badan 50 cm, lika 33 cm,
lila 11,5 cm.

Kala III. Plasenta lahir lengkap secara schultze pada pukul 13.30 WITA,
terdapat laserasi derajat 2, perdarahan banyak ± 300 cc

d. Riwayat ANC
Pasien mengatakan memeriksakan kehamilannya ke bidan lebih dari 5 kali
dan ke dokter kandungan, USG (+)
e. Riwayat Haid
Menarche usia 13 tahun, siklus 28 hari, teratur, lama 3 hari, ganti pembalut 3
kali dalam sehari.
- HPHT : 12-03-2019
- HTP : 19-12-2019
f. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah sebanyak 1 kali, usia saat menikah 23 tahun, lama pernikahan
2 tahun.
g. Riwayat Obstetri
I. 2019/Atem/normal/Nakes/laki-laki/3500 gram
h. Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak pernah memakai kontrasepsi
i. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat hipertensi : disangkal

19
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat cedera kepala ringan : disangkal
j. Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
k. Riwayat sosial
 Merokok (-)
 Alkohol (-)
l. Riwayat alergi : disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70mmHg
Respiration Rate : 18 x/menit
Denyut Nadi : 80 x/menit regular
Suhu Aksila : 36,60C
Berat Badan : 75 kg
Tinggi Badan : 150 cm
IMT : 33 kg/m2
 Status Generalis
Kepala : normochepali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

20
THT :dalam batas normal
Toraks :
 Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris kiri dan kanan,
Palpasi : nyeri tekan (-/-), fremitus vocal normal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi :vaskuler di seluruh lapang paru, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

 Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung masih dalam batas normal
Auskultasi : S1 (+), S2 (+) tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : tampak perut membesar, luka bekas operasi (+), kelaianan(-)
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
Palpasi : nyeri tekan tidak ada
Ekstremitas : edema tidak ada, akral hangat di keempat ekstremitas
 Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi : luka bekas operasi (+),
Palpasi : TFU tidak teraba, CUT lembek kandung kemih kosong
Vagina
Inspeksi : vulva tidak ada edema, perdarahan aktif.
VT : tidak dilakukan
3.4 Planing Pemeriksaan Penunjang :
a. USG

21
b. Darah Lengkap
c. Homeostasis
3.5 Diagnosis Kerja
P1001 Hemoragic postpartum
3.6 Penatalaksanaan Awal :
- IVFD 30 tpm
- Drip fentanyl 300 mcg/24 jam
- Asam tranexsamat 3x1 gram
- Massage uterus

22
BAB IV

PEMBAHASAN

4. 1 Penegakan Diagnosis
Penegakkan diagnosis perdarahan postpartum (HPP) berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Beberapa teori telah
menyatakan bahwa pengukuran kehilangan darah saat persalinan bertujuan untuk
memastikan diagnosis HPP pada saat yang tepat dan memperbaiki luaran.
Perdarahan postpartum secara umum didefnisikan sebagai kehilangan darah dari
saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah
melahirkan secara seksio sesarea. Perdarahan postpartum diklasifikasikan menjadi
dua yaitu :
 Perdarahan postpartum primer : perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca-salin
 Perdarahan postpartum sekunder : perdarahan yang terjadi setelah
periode 24 jam tersebut.
Pada kasus ini pasien didiagnosis perdarahan postpartum primer karena

perdarahan terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin. Perdarahan postpartum

yang dialami pasien karena plasenta akreta. Sesuai dengan teori terdapat

beberapa faktor risiko pada perdarahan postpartumyaitu :

 Tonus : Kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari

bekas insersi plasenta (pada atonia uteri)

 Trauma : robekan jalan lahir dan perineum, vagina, sampai uterus

23
 Tissue : retensio plasenta, sisa plasenta atau bekuan darah yang

menghalangi kontraksi uterus yang adekuat

 Thrombin : gangguan faktor pembekuan darah

Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir
disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan
pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta
dan urerus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua
basalis.Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa,
bekas seksiosesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Pada riwayat
obstetric pasien dikatakan pasien pernah melakukan kuretase karena abortus 1
kali, dan melahirkan anak kedua dan ketiga melalui tindakan section caesarea
sesuai dengan teori. Pasien yang mengalami HPP umumnya akan mengalami
perubahan denyut nadi dantekanan darah karena kehilangan darah yang banyak.
Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu pasien
tampak pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas
dingin.
Pada saat tindakan seksi sesarea pasien mengalami ruptur buli-buli. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan
trauma iatrogenik pada buli-buli.

4.2 Tatalaksana
Tenaga kesehatan harus memulai usaha resusitasi sesegera mungkin,
menetapkan penyebab perdarahan. Bila perdarahan postpartum terjadi, harus
ditentukan dulu kausa perdarahan, kemudian penatalaksanaannya dilakukan
secara simultan, meliputi perbaikan tonus uterus, evakuasi jaringan sisa, dan
penjahitan luka terbuka disertai dengan persiapan koreksi faktor

24
pembekuan.Tahapan penatalaksanaan perdarahan postpartum dapat disingkat
dengan istilah “HAEMOSTASIS”.

25
BAB V

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Perdarahan postpartum (HPP) secara umum didefmisikan sebagai
kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan pervaginam
atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea. Perdarahan postpartum
dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan tonus uterus untuk menghentikan
perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan lahir dari perineum,
vagina, sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan factor
pembekuan darah (thrombin).
Pada kasus ini pasien mendapatkan tindakan partus kemudian dalam
beberpa jam setelah melahirkan mengeluhkan perdarahan aktif pervagina.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ahonen, J., Stevanovic, V. & Lassila, R. (2010) Management of post-partum


haemorrhage. Acta Anaesthesiologica Scandinavica, 54(10):1164–1178
Basuki B. Purnomo.2003.Buku Kuliah Dasar-Dasar Urologi.Jakarta.Perpustakaan
Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KTD). Hal 123-127
Chunningham FG (2012). Obstetri williams. Ed.23, Jakarta : EGC, pp: 795-838.
FIGO. Safe Motherhood and Newborn Health (SMNH) Committee / International
Journal of Gynecology and Obstetrics 117 (2012) 108 –118
Karkata MK (2010). Perdarahan postpartum (PPP). Dalam: Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Winkjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed
4, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp: 522-529
Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta : Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Pardosi M (2006). Analisis Faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan
pasca-persalinan dan upaya penurunannya di wilayah kerja puskesmas kota
Medan tahun 2005. Jurnal Ilmiah PANMED 1(1): 29-37.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2016. Perdarahan Pasca-
Salin. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran
Feto Maternal.
PP dan KPA (Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak) (2010).
Angka kematian ibu melahirkan (AKI).
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?
option=com_docman&task=doc_view&gid=290&tmpl=component&format=ra
w&Itemid=111 – Diakses Mei 2016.
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Sosa CG, Althabe F, Belizan JM, Buekens P (2009). Risk factor for postpartum
hemorrhage in vaginal deliveries in Latin-American population. Obstetric and
Gynecology Journal,113(6): 1313-19.

27
.

28

Anda mungkin juga menyukai