Anda di halaman 1dari 26

HUBUNGAN USIA GESTASI TERHADAP KEJADIAN

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS DI RUANG


MELATI RS Prof. DR. MARGONO SOEKARJO

OLEH:
SUBRIYATI,SKep.Ners
NIP. 19650403 198511 2 001

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH


2018
PENELITIAN
HUBUNGAN USIA GESTASI TERHADAP KEJADIAN
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS DI RUANG MELATI RSUD
Prof. DR. MARGONO SOEKARJO

Oleh:
SUBRIYATI,SKep.Ners
NIP. 19650403 198511 2 001
Telah disahkan pada tanggal 15 Desember 2018

Mengetahui,
Direktur RSUD Wakil Direktur Penunjang dan
Prof. DR. Margono Soekarjo Pendidikan

dr. Haryadi Ibnu Junaedi, SpB Nurekta Yuris Trianti, DCN.M.,Kes


NIP. 19620208 198901 1 001 NIP, 19650402 198803 2 012

Kepala BidangDiklit Kepala Instalasi Maternal


Perinatal

Toto Jatmiko, SH Subriyati, S.Kep.,Ns


NIP. 19650712 199403 1 010 NIP. 19650403 198511 2 001

Tim Penilai Pengembangan Profesi


Ketua

Ariny Purnomowati, S.Kep.Ners


NIP. 19660720 198902 2 002
KATA

iii
iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Alloh SWT yang telah memberikan kesempatan
dan kekuatan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai
salah satu upaya pengembangan pelayanan keperawatan neonatus risiko tinggi,
khususnya pada kasus hiperbilirubinemia.
Selama proses penyusunan laporan penelitian ini, peneliti mendapat
dukungan dari berbagai pihak, karenanya dalam kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terimakasih dan rasa hormat kepada:
1. dr. Hariyadi Ibnu Junaedi, Sp.B, selaku direktur RSUD Prof. DR. Margono
Soekarjo yang telah memberikan ijin dalam penelitia ini.
2. Ns. Subriyati, S.,Kep., selaku kepala instalasi Maternal Perinatal yang telah
memberikan ijin serta bimbingannya kepada peneliti selama menyelesaikan
penelitian.
3. Ns. Nunik Murjantiningsih, S.Kep., selaku kepala ruang Melati yang telah
membantu, membimbing peneliti selama pelaksanaan penelitian.
4. dr. Kurniawati Arifah, SpA., yang banyak membantu peneliti dalam proses
penelitian.
5. Keluarga yang telah memberikan dukungan kepada peneliti selama menyusun
laporan penelitian ini (suami, ayah, ibu, dan ananda tercinta).
6. Semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini
dengan tanpa mengurangi rasa hormat tidak dapat peneliti sebutkan satu per
satu.

Purwokerto, 2 Desember 2018

Peneliti
iv

Hubungan Usia Gestasi Terhadap kejadian Hiperbilirubinemia


pada Neonatus di Ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono
Soekarjo

Subriyati, S. Kep.Ners

Abstrak

Latar Belakang: Salah satu penyebab kematian bayi yaitu


hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia merupakan keadaan yang umum
terjadi pada bayi preterm maupun aterm.Angka kejadian hiperbilirubinemia
di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo pada tahun 2017 sebanyak 942
neonatus.Kondisi hiperbilirubinemia yang tidak terkontrol dan kurang
penanganan yang tepat dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
bilirubin ensefalopati dan kernikterus, akibat efek toksik bilirubin pada
sistem saraf pusat, dan pada tahap lanjut dapat menjadi atheoid cerebral
palsy berat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia
gestasi terhadap kejadian hiperbilirubinemia di ruang Melati RSUD Prof.
DR. Margono soekarjo.
Metodologi: Desain penelitian menggunakan metode descriptive cross
sectional study. Penelitian ini melibatkan 793 responden yang diambil
menggunakan teknik consecutive sampling. Lokasi penelitian di ruang
Melati RS Prof. Dr. Margono Soekarjo. Hubungan usia gestasi terhadap
kejadian hiperbilirubin diuji statistik menggunakan uji korelatif koefisien
kontingensi.
Hasil Penelitian: Hasil analisis menunjukkan nilai p sebesar 0,000 (p
value< 0,05) yang berarti terdapat hubungan antara usia gestasi terhadap
kejadian hiperbilirubinemia.
Kesimpulan: Usia gestasi preterm merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus.
Kata kunci: Usia gestasi, hiperbilirubinemia.

¹ Perawat perinatalogi RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo


² Perawat perinatalogi RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo
v

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. 1
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ 2
KATA PENGANTAR .................................................................................... 3
ABSTRAK ..................................................................................................... 4
DAFTAR ISI ................................................................................................... 7
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 8
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Angka kesakitan dan kematian bayi di Indonesia masih tinggi. Angka
Kematian Bayi (AKB) yaitu jumlah kematian bayi sejak lahir hingga 1 tahun
pertama per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 AKB sebesar 24 per 1000 kelahiran
hidup, hal ini terjadi penurunan dibandingkan hasil survei tahun 1012 yaitu
sebanyak 31 kematian bayi dari 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih
tinggi jika dibandingkan dengan target dari MDGs (Millenium Development
Goals) tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
kematian bayi yaitu hiperbilirubinemia.
Sebagian bilirubin secara fisiologis bersirkulasi dalam darah dengan kadar
konsentrasi normal, namun kadar bilirubin yang meningkat merupakan
indikator dari suatu proses lain dalam tubuh, baik secara fisiologis maupun
secara patologis, yang disebut dengan hiperbilirubinemia (Sukadi, 2008).
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan yang umum terjadi pada bayi preterm
maupun aterm. Peningkatan kadar bilirubin > 5 mg/dl sering ditemukan hari
pertama setelah lahir (Rinawati, 2013). Pada umumnya peningkatan kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Namun beberapa
kasus berhubungan dengan beberapa penyakit, seperti hemolitik, kelainan
metabolisme dan endokrin, kelainan hati dan infeksi.Pada kadar lebih dari 20
mg/dl, bilirubin dapat menembus sawar otak sehingga bersifat toksik terhadap
sel otak. Kondisi hyperbilirubinemia yang tidak terkontrol dan kurang
penanganan yang tepat dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
bilirubin ensefalopati dan kernikterus, akibat efek toksik bilirubin pada sistem
saraf pusat, dan pada tahap lanjut dapat menjadi atheoid cerebral palsy berat.
Bayi baru lahir di Amerika Serikat sebanyak 80% mengalami
hiperbilirubinemia yang bermanifestasi menjadi ikterus (Bhutani et.al., 2010).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2015, menyajikan data kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir di Indonesia sebesar 51,47% dari
2

kelahiran hidup. Angka kejadian hiperbilirubinemia di RSUD Prof. DR.


Margono Soekarjo pada tahun 2017 sebanyak 942 neonatus.
Pelayanan pasien neonatus dengan hiperbilirubin merupakan program
prioritas dari unit maternal perinatal sekaligus sebagai program prioritas RSUD
prof. DR. Margono Soekarjo tahun 2018-2019. Berdasarkan hal tersebut,
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo berupaya meningkatkan mutu pelayanan
pasien neonatus hiperbilirubin mulai dari skrining, assesment awal, penunjang
diagnosis, menentukan diagnosis, tatalaksana hiperbilirubinemia dan rencana
tindak lanjut perawatan di rumah. Perawat merupakan profesional pemberi
asuhan kepada neonatus yang berperan sangat besar terhadap keberhasilan
perawatan neonatus dengan hiperbilirubin, oleh karena itu perawat harus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan mengikuti
perkembangan keilmuan yang terbaru.
B. PERUMUSAN MASALAH
Apakah usia gestasi berhubungan terhadap kejadian hiperbilirubinemia di
ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo ?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubunganusia gestasi terhadap kejadian hiperbilirubinemia di
ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo periode Januari sampai
dengan September 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui jumlah neonatus dengan hiperbilirubinemia.
b. Mengetahui jenis kelamin neonatus dengan hperbilirubinemia.
c. Mengetahui usia gestasi neonatus dengan hperbilirubinemia.
d. Mengetahui hubunganusia gestasi terhadap kejadian hperbilirubinemia.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Mengetahui karakteristik neonatus yang mengalami hiperbilirubin di ruang
Melati RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo.
2. Sebagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh
professional pemberi asuhan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
kepada pasien
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Hiperbilirubinemia
a. Pengertian hiperbilirubin
Hiperbilirubin disebut juga ikterus neonatorum. (Sinclair, 2009). Ikterus
menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran
mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada
jaringan ( Rinawati, 2013). Kuning sering ditemukan pada sekitar 60%
bayi baru lahir yang sehat dengan usia gestasi > 35 minggu. Kadar
bilirubin serum total (>5 mg/dL) disebut dengan hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia umumnya normal, hanya 10% yang berpotensi
menjadi patologis (ensefalopati bilirubin).
b. Klasifikasi hiperbilirubin
1) Hiperbilirubin Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak terjadi pada hari pertama setelah
bayi dilahirkan (muncul setelah 24 jam). Biasanya peningkatan
bilirubin total tidak lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada bayi cukup
bulan peningkatan bilirubin mencapai puncaknya pada 72 jam
dengan serum bilirubin sebanyak 6 – 8 mg/dL. Selama 3 hari, kadar
bilirubin akan meningkat sebanyak 2 – 3 mg/dL dan pada hari ke-5
serum bilirubin akan turun sampai dengan 3 mg/dL (Hackel E,
2013).
Setelah hari ke-5, serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai
dengan normal pada umur bayi sekitar 11 – 12 hari. Pada Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) atau pun prematur bilirubin mencapai
puncak pada 120 jam dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10
– 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu (Mansjoer, 2013)
2) Hiperbilirubin Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus akan
timbul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahrikan. Serum
bilirubin totalnya akan meningkat lebih dari 5 mg/dL perhari. Pada
4

bayi cukup bulan, serum bilirubin total meningkat sebanyak 12


mg/dL, sedangkan pada bayi prematur serum bilirubin total
meningkat sebanyak 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung lebih
dari satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu
pada bayi prematur (Imron R, 2015). Pembentukan bilirubin yang
berlebihan dapat disebabkan karena adanya hemolisis, hemoglobin
(Hb) dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit),
inkompabilitas ABO, defisiensi enzim Glucose 6 Phosphate
Dehydrogenase (G6PD), sepsis, obat-obatan seperti oksitosin,
pemotongan tali pusat yang lambat, dan sebagainya (Milla T, 2012).
c. Etiologi hiperbilirubin
Menurut Lissauer & faranof, 2009, bayi mengalami ikterus
diakibatkan oleh konsentrasi hemoglobin yang tinggi pada saat lahir
dan menurun dengan cepat selama beberapa hari pertama kehidupan,
umur sel darah merah pada bayi lebih pendek dibandingkan sel darah
merah orang dewasa, dan juga karena imaturitas enzim enzim hati yang
mengganggu konjugasi dan ekskresi bilirubin. Selain itu metabolisme
bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium janin yang
selama waktu tersebut plasenta merupakan tempat utama eliminasi
bilirubin yang larut lemak, ke stadium dewasa, yang selama waktu
tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut air diekskresikan dari
sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam saluran
pencernaan.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau diperberat
oleh beberapa faktor yaitu :
1) Menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia
hemolitik), waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat imaturitas
atau akibat sel yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi
enterohepatik, infeksi.
2) Dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim transferase
(hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia dan defisiensi tiroid).
5

3) Dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transferase


(obat-obat dan bahan lain) yang memerlukan konjugasi asam
glukuronat untuk ekskresi.
4) Menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang
diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel
hepar (cacat genetik, prematuritas).
Pemberian makan yang awal menurunkan kadar bilirubin serum,
sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum.
Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/ dl dan dapat turut
menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterophepatik pasca
dekonjugasi oleh glukuronidase usus. Obat-obatan seperti oksitosin dan
bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan dapat juga
menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. (Marcdante, 2011)
d. Patofisiologi hiperbilirubin
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang
disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika SDM
dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat
hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi, heme dan globin. Bagian
globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah
menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat yang tidak larut yang
terikat pada albumin. Dihati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan
dengan adanya enzim glukuronil transferase, dikonjugasikan dengan
adanya asam glukoronat menghasilkan larutan dengan kelarutan tinggi,
bilirubin glukoronat terkonjugasi, yang kemudian diekskresi dalam
empedu.di usus, kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi
urobilinogen, pigmen yang memberi warna khas pada tinja.Sebagian
besar bilirubin terreduksi diekskresikan ke feses, sebagian kecil
dieliminasi ke urin.
Bila terdapat keterbatasan perkembangan atau proses patologis
mempengaruhi keseimbangan ini, bilirubin akan terakumulasi dalam
jaringan dan mengakibatkan jaundis. Rata-rata, bayi baru lahir
memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin dibandingkan orang
6

dewasa karena lebih tingginya kadar eritrosit yang beredar dan lebih
pendeknya lama hidup sel darah merah (SDM) (hanya 70 sampai 90
hari, dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan orang
dewasa). Selain itu, kemampuan hati untuk mengkonjugasi bilirubin
sangat rendah karena terbatasnya produksi glukoronil transferase. Bayi
baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan-plasma terhadap bilirubin
yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi albumin dibandingkan
anak yang lebih tua. Perubahan normal dalam sirkulasi hati setelah
kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi
hati.
Secara normal, bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi
urobilinogen oleh flora normal usus dan diekskresi dalam feses. Akan
tetapi, usus bayi yang steril dan kurang motilitas yang pada awalnya
kurang efektif dalam mengekskresi urobilinogen. Pada bayi baru lahir,
enzim ß-glukoronidase mampu mengonversi bilirubin terkonjugasi
menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh mukosa
usus dan ditranspor ke hati. Proses ini, merupakan mekanisme primer
dalam patologi jaundis. (Wong, 2008)
e. Derajat Hiperbilirubin
Pengamatan hiperbilirubin paling baik dilakukan dalam cahaya
matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati
untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. Untuk
penilaian hiperbilirubin, Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam
5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat,
pusat bagian bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu
pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak tangan
(Winkjosastro Hanifa, 2010).
Di bawah ini dapat dilihat gambar pembagian derajat dan daerah ikterus:
1) Derajat I : kepala sampai leher
2) Derajat II : kepala, badan sampai umbilicus
3) Derajat III : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
4) Derajat IV : kepala, badan, paha sampai dengan lutut
7

5) Derajat V : kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari

f. Manifestasi Klinis
Marcandete, at all, 2011, pada bayi yang mengalami hiperbilirubin
terdapat beberapa tanda gejala seperti kulit akan berwarna kuning
sampai jingga, kondisi umum tampak lemah, reflek hisap kurang kuat,
urine menjadi berwarna pekat, feses bisa berwaran seperti dempul. Pada
bayi baru lahir dapat di katakan hiperbilirubinemia jika bayi baru lahir
tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin nya
sebesar 5 mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia
merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit yang mempunyai
kecendrungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Pada
hiperbilirubinemia direk biasanya menimbulkan warna kuning
kehijauan atau kuning kotor. Biasanya perbedaan ini ditemukan pada
ikterus yang kronis (Ngatisyah, 2013).
Gejala hiperbilirubinemia dapat dikelompokkan menjadi dua fase
yaitu fase akut dimana bayi merasakan letargi atau perasaan lemas,
tidak mau menghisap putting susu ibu, feses dan urin berwarna gelap.
Pada fase kronik, bayi akan mengelurakan tangisan yang melengking
(high pitch cry), mengalami kejang, perut membuncit disertai
pembesaran hati, tampak mata seperti berputar-putar, dan dapat
menyebabkan tuli, gangguan bicara, dan gangguan mental
(Suframanyan, 2014).
g. Pemeriksaan penunjang
1. Bilirubin serum
Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan hal terpenting dalam
penegakandiagnosis ikterus serta mengetahui, perlu tidaknya
penanganan lebih lanjut.Beberapa hal yang perlu di pertimbangkan
dalam melakukan pemeriksan kadar bilirubin adalah karena tindakan
ini adalah tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total,
direk dan indirek.
8

2. Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer adalah instrument spektofotometrik yang bekerja
dengancara memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan
panjanggelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan
representasi warnakulit neonatus yang sedang diperiksa, umunya
pemeriksaan bilirubintranskutan dilakukan sebelum bayi pulang
untuk tujuan skrining.
3. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak.
Metode
oksidase-peroksidase merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk mengukur bilirubin bebas. Prinsip metode ini berdasar
kecepatan aksioksidasi reaksi peroksidasi terhadap bilirubin menjadi
substansi tidakberwarna.
(Sukadi, 2010; Hansen, 2011).
h. Penatalaksanaan
1. Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktorimunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitasgolongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menurunkan kemungkinandilakukannya transfusi tukar.
2. Terapi Medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim
yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini
efektif diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital
post natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya
(letargi).
3. Fototerapi
Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu fototerapi diberikan
9

jika kadar bilirubin total terletak sekitar garis bayi risiko sedang atau
pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah untuk bayi bayi
yang mendekatiusia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total
serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37
minggu (American Academy of Pediatrics (AAP), 2004).

Gambar 2.1 Panduan Fototerapi Pada Bayi Dengan Usia Kehamilan ≥


35 minggu.Sumber : AAP

4. Tranfusi Tukar
Transfusi tukar digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit
yang rentanterhadap antibodi erirtosit maternal, menghilangkan
eritrosit yang tersensitisasimengeluarkan bilirubin serum serta
meningkatkan albumin yang masih bebasbilirubin dan meningkatkan
keterikatannya dangan bilirubin.
(Hansen, 2011)
i. Pencegahan
Ikterus sendiri dapat di cegah dan di hentikan peningkatannya dengan
(AAP, 2004) :
1. Pemberian minum sesegera mungkin
2. Sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik
3. Menunjang kestabilan bakteri flora normal
4. Merangsang aktifitas usus halus
10

2. Bayi Baru Lahir


Bayi baru lahir merupakan periode yang tersingkat dari semua
periode perkembangan. Masa ini dimulai dari bayi dilahirkan sampai
dengan tali pusar pada bayi terlepas. Pada bayi baru lahir terjadi
penyesuaian dari lingkungan dalam ke lingkungan luar. Selain itu, masa
bayi baru lahir merupakan pendahuluan dari perkembangan selanjutnya
tetapi merupakan periode yang berbahaya karena terkadang terjadi
penyesuaian yang sulit pada lingkungan yang baru (Utami, 2016).
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan
neonatus sangat rawan karena memerlukan penyesuaian fisiologi agar bayi
di luar kandungan dapat hidup dengan baik. Peralihan dari intauterin ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan fisiologi nya (Depkes, 2012).
Setelah bayi terpisah dari ibu, maka terjadi proses fisiologi, seperti:
a. Peredaran darah melalui plasenta akan digantikan oleh aktifnya fungsi
paru-paru untuk bernafas.
b. Saluran pencernaan berfungsi untuk menyerap sari-sari makanan.
c. Ginjal akan berfungsi untuk mengerluarkan bahan yang tidak terpakai
lagi oleh tubuh untuk mempertahankan homeostatis kimia darah.
d. Hati berfungsi sebagai penetralisir dan ekskresi racun yang tidak
diperlukan tubuh.
e. Sistem imun berfungsi sebagai pencegah infeksi masuk ke dalam tubuh.
f. Sistem kardiovaskular dan endokrin bayi baru lahir akan menyesuaikan
dengan perubahan fungsi organ-organ tubuh (Iesje, 2014).
Selain terjadi proses fisiologis, terjadi juga proses penyesuaian yang akan
dilakukan oleh bayi baru lahir, yaitu:
a. Perubahan suhu, dimana ketika berada di dalam rahim suhu berkisar
37,7ºC tetapi pada saat berada di luar rahim suhu dapat berkisar 15,6ºC
– 21,1ºC.
b. Saat tali pusar bayi baru lahir diputus, maka bayi baru lahir mulai
bernafas sendiri.
c. Bayi baru lahir tidak mendapat makanan dari tali pusar, tetapi dari
proses makan dengan cara menghisap dan menelan.
11

d. Alat-alat pembuangan akan bekerja saat bayi sudah dilahirkan.(Yahya,


2014).

3. Usia Gestasi
a. Pengertian
Usia gestasi (kehamilan) adalah masa sejak terjadinya konsepsi sampai
dengan saat kelahiran, dihitung dari hari pertama haid terakhir
(Muslihatun, 2010).
b. Klasifikasi
Klasifikasi usia gestasi dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Preterm : kurang dari 37 minggu (prematur)
2. Aterm : 37-42 minggu (cukup bulan)
3. Postterm : lebih dari 42 minggu (lebih bulan)
(World Health Organization (WHO), 2015).
Istilah preterm atau prematur dibuat berdasarkan usia gestasi, hal ini
berbeda dengan berat badan lahir rendah, walaupun bedasarkan ukuran,
seorang bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (Cunningham
dan William, 2010).
B. KERANGKA TEORI

Usia Gestasi 1. Pr44632


5eterm
2. Aterm

Ikterus

Etiologi Manifestsi klinis


1. Faktor maternal
Hiperbilirubinemia 1. Kuning
2. Faktor perinatal
2. Lemah
3. Faktor neonatus 3. Reflek hisap
lemah
4. Kejang

Pencegahan Tatalaksana
1. Minum sesegera 1. IVIG
mungkin 2. Medikamentosa
2. Sering menyusu 3. Fototerapi
3. Merangsang usus halus 4. Tranfusi tukar
12

Skema 2.2 Kerangka teori penelitian


C. KERANGKA KONSEP

Usia gestasi Hiperbilirubinemia

Variabel bebas Variabel terikat


Skema 2.3 Kerangka konsep penelitian

D. HIPOTESIS
Ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada
neonatus di Ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo.
13

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode descriptivecross sectional study, yaitu
penelitian yang mendeskripsikan distribusi suatu penyakit yang
dihubungkan dengan variabel penelitian dalam kurun waktu tertentu.
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono
Soekarjo, pada bulan Oktober 2018.
C. POPULASI DAN SAMPEL/SUBYEK PENELITIAN
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini yaitu seluruh neonatus yang dirawat di
ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo.
2. Sampel
Penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling, yaitu sampel
diambil berdasarkan kedatangan subyek pada tempat penelitian.
a. Kriteria inklusi
1) Neonatus usia 0-28 hari
2) Kadar bilirubin serum > 5 mg/dl
3) Ikterus mulai muncul > 24 jam pertama kehidupan
b. Kriteria eksklusi
Neonatus usia 0-28 hari yang dirawat di ruang melati dan
meninggal dunia.
14

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian tentang hubungan usia gestasi terhadap kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus dilakukan di ruang Melati RSUD Prof.
DR. Margono Soekarjo, bulan Januari sampai dengan September 2018.
Penelitian ini mendapatkan 793 responden hiperbilirubinemia dari 1187
bayi yang dirawat dan hidup, sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
yang telah ditentukan.
Tabel 4.1
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada bayi
hiperbilirubinemia di ruang Melati RSUD. Prof. DR. Margono
Soekarjo (n= 793)
Variabel Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
a. Laki-laki 435 54,9
b. Perempuan 358 45,1

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini


berjumlah 793 neonatus, 54,9% berjenis kelamin laki-laki.
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia kehamilan pada bayi
hiperbilirubinemia di ruang Melati RSUD. Prof. DR. Mrgono
Soekarjo (n= 793)
Variabel Usia Kehamilan Frekuensi (n) Persentase (%)
a. Preterm 458 57,75
b. Aterm 335 42,24

Tabel 4.2 memaparkan distribusi karakteristik responden berdasarkan


usia kehamilan. Terdapat dua kategori usia kehamilan yang ada pada
responden yaitu preterm dan aterm, dari 793 responden 57,75%
merupakan neonatus preterm atau kurang bulan.
15

Tabel 4.3
Hasil analisis korelasi koefisien kontingensi usia gestasi dengan
hiperbilirubinemia di ruang Melati RSUD Prof. DR. Margono
Soekarjo (n=1187)

Hiperbilirubinemia Koefisien Nilai p


korelasi
(r)
Hiperbilirubinemia Tidak
hiperbilirubinemia
Usia Preterm 458 140 0.205 0.000
gestasi Aterm 335 254
Total 793 394
Uji korelasi koefisien kontingensi

Tabel 4.3 menyajikan data hasil analisis korelasi koefisien kontingensi,


diperoleh nilai p 0.000 yang menunjukkan bahwa korelasi antara usia
gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus bermakna
secara statistik. Nilai korelasi sebesar 0,205 menunjukkan korelasi positif
dengan kekuatan korelasi yang kurang kuat.

B. Pembahasan
1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki pada hasil penelitian menunjukkan frekuensi
lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 54,9 % atau dengan
perbandingan 1 : 1,2. Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
hyperbilirubinemia masih belum jelas. Terdapat beberapa hal yang
dimungkinkan mempengaruhi faktor jenis kelamin laki laki lebih
dominan dibandingkan dengan perampuan, antara lain:
a. Sindrom Gilbert
Sindrom Gilbert yaitu suatu keadaan dimana hati tidak mampu
melakukan proses konjugasi bilirubin dari pemecahan sel darah
merah sebagaimana mestinya.
Insiden sindrom Gilbert terjadi sekitar 4% dari populasi, yaitu 1
banding 20 orang. Faktor risiko sindrom Gilbert antara lain jenis
kelamin laki-laki lebih berisiko mengalami sindrom Gilbert
dibandingkan dengan perempuan dan kedua orang tua membawa gen
yang abnormal. Watchko, J.F (2006) menyebutkan bahwa kelaianan
16

genetik yang mengganggu konjugasi bilirubin dilaporkan lebih dari


dua kali lipat terjadi pada laki-laki (12.4%) dibandingkan perempuan
(4,8%).
Dalam sindrom Gilbert terjadi mutasi gen yang menyebabkan
ekspresi gen dikurangi, hal ini menyebabkan produksi Uridina
Difosfat Glucoronosyltransferase (UGT) enzim berkurang. Enzim
ini berperan penting dalam proses konjugasi bilirubin bebas atau
unconjugated bilirubin yang larut dalam lemak.
b. Defisiensi Glukose 6 Phosphatase Dehidrogenase (G6PD)
Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim yang paling sering
ditemukan pada manusia yang dikaitkan dengan kromosom sex,
dimana pada umumnya terjadi pada sex laki-laki. Enzim G6PD
berfungsi menjaga keutuhan sel darah merah dan mencegah
terjadinya proses hemolitik dini (Wibowo, S., 2007).
2. Karakteristik responden berdasarkan usia gestasi
Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa frekuensi
hiperbilirubin pada neonatus preterm lebih banyak dibandingkan
hiperbilirubin pada neonatus aterm yaitu sebesar 57,75%. Hasil dari uji
statistik dengan menggunakan uji korelatif koefisien kontingensi
mendapatkan nilai p sebesar 0,000 hal ini mempunyai makna terdapat
hubungan antara usia gestasi preterm terhadap kejadian
hiperbilirubinemia. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasution,
(2017) yang menyatakan bahwa insiden hiperbilirubinemia terjadi lebih
banyak pada neonatus preterm dibandingkan dengan aterm. Salah satu
penyebab hiperbilirubinemia adalah kelahiran prematur.
Hiperbilirubinemia yang dialami oleh neonatus preterm disebabkan
karena belum matangnya fungsi hati untuk memproses eritrosit (IDAI,
2008). Penelitian ini juga searah dengan penelitian Hidayati, E., (2016)
yang menyatakan bahwa usia kehamilan preterm mempunyai peluang
0,235 kali untuk terjadi hyperbilirubinemia dibandingkan dengan usia
kehamilan aterm atau post term.
17

Menurut Glover (1993) dalam KTI Radis 2012, bayi prematur


memiliki kadar zat besi yang tinggi dalam sel darah merahnya. Proses
pemecahan hemoglobin terjadi pada akhir usia sel darah merah yaitu
120 hari, namun pada bayi prematur memiliki sel darah merah yang
usianya pendek yaitu 80-90 hari, sehingga sel darah merah harus diganti
dalam waktu yang lebih cepat. Sel darah merah yang mengalami
pemecahan akan menghasilkan substansi yang disebut bilirubin,
didalam hati bilirubin diubah oleh enzim glukoronil transferase
sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh, tetapi pada bayi preterm karena
hati yang belum matang, pada awal fungsinya bekerja secara lambat
sehingga hanya mampu mengubah bilirubin dalam jumlah kecil. Hal ini
mengakibatkan bilirubin yang tidak diubah tetap berada dalam sirkulasi
darah, kemudian diendapkan dalam jaringan tubuh yang bermanifestasi
kuning pada jaringan dan kulit bayi.
Pada bayi preterm, kondisi bakteri di dalam usus juga belum efektif
(Susan, E., J., 2013) sedangkan kerja bakteri tersebut diantaranya
adalah mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen, pigmen
yang memberi warna khas pada tinja. Bilirubin tereduksi sebagian besar
diekskresikan ke feses, sebagian kecil dieliminasi ke urin.
18

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian mengenai hubunganusia
gestasi terhadap kejadian hiperbilirubinemia di ruang Melati RSUD Prof.
DR. Margono Soekarjo, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
1. Berdasarkan karakteristik responden, jenis kelamin laki-laki lebih
banyak yaitu 54,9% , dibandingkan dengan perempuan.
2. Berdasarkan usia gestasi, 57,75% hiperbilirubinemia terjadi pada bayi
preterm.
3. Hasil uji statistik menggunakan uji koefisien kontingensi didapatkan
nilai p sebesar 0,000. Hal tersebut mempunyai makna terdapat
hubungan antara usia gestasi terhadap kejadian hiperbilirubinemia.
Prematuritas dihubungkan dengan faktor belum matangnya organ hati
dalam melakukan proses konjugasi bilirubin.
B. Saran
1. Bagi tenaga kesehatan agar terus meningkatkan kualitas pelayanan
kepada pasien, khususnya pada pasien neonatus dengan
hyperbilirubinemia.
2. Petugas kesehatan selain berperan dalam pemberi asuhan juga berperan
dalam memberikan pendidikan kesehatan, sehingga diharapkan lebih
memberikan edukasi tentang pentingnya perawatan antenatal sehingga
dapat dicegah kejadian persalinan prematur.
3. Penelitian dalam bidang ini lebih dikembangkan agar pengetahuan
mengenai pasien dan penanganannya terus bertambah dan relevan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga aplikasinya dapat
bermanfaat bagi masyarakat.
19

DAFTAR PUSTAKA

Aina, Y.T., Omoigberalle, A.I., 2012. Risk factors for neonatal jaundice in babies
presenting at the university of Benin teaching hospital, Benin city. Niger
Journal Paediatric; 39 (4).
Arief Mansjoer. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4, Jakarta: Media
Aesculapius.
Depkes. 2012. Materi advokasi bayi baru lahir. Metode Tepat Guna untuk
Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI
Donna L.Wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan pediatrik. Cetakan pertama.
Jakata: EGC.
Hackel E. Blood Factor Incompatibility In The Etiology Of Mental Deficiency.
2013.
Hidayati, E., 2016. Hubungan faktor ibu dan faktor bayi dengan kejadian
hyperbilirubinemia pada bayi baru lahir di rumah sakit umum daerah koja
Jakarta utara tahun 2015. RAKERNAS AIPKEMA.
Imron R, Metti D,2015. Peningkatan Angka Kejadian Hiperbilirubinemia Pada
Bayi Baru Lahir Dikarenakan Berat Badan Lahir Yang Rendah (BBLR).
Jurnal Keperawatan. 2015;9(1): Hal 47-49.
Lesje, M., 2014. Mengatasi Kuning pada Bayi Baru Lahir. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 6(2): Hal 21-25.
Lissauer, T.,dan Fanaroff, A., 2009.At a Glance Neonatology. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Mansjoer A. 2013. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi III. Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R. E. 2011.
NelsonIlmu Kesehatan Anak Esensial. Singapura: Saunders Elsevier.
Martiza, L., dalam Juffrie, M., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I., 2010. Buku ajar
gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Ngatisyah. 2012. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Radis, 2012. Hubungan persalinan prematur dengan hiperbilirubin di Rumah Sakit
Dr. Kariadi Semarang. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Reisa, M.T, Mustarim, Shalahudden, S., 2013. Gambaran Faktor Resiko Ikterus
Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatalogi RSUD Raden Mattaher
Jambi. Fakultas Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Universitas Jambi.
20

Rinawati Rohsiwatno, 2013. Indikasi Terapi Sinar Pada Bayi Menyusui Yang
Kuning.Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). www.idai.or.id.upnvj.ac.id
diakses tanggal 26 Agustus 2013.

Sinclair, Constance, 2009.Buku Saku Kebidanan.Jakarta : EGC


Suframanyan, 2014. Gambaran Karakteristik Neonatus dengan Hiperbilirubinemia
di RSUD H. Adam Malik Periode JanuariDesember 2012. Hal : 3-11.
Susan E., J., 2013. Probiotic effects on late onset sepsis in very preterm infants: A
Randomized Controlled Trial. Pediatrics, vol 132, no 6.
Utami,W., Ekasari, Sari, Z.,K., 2016. Hubungan Prematuritas Dengan Kejadian
Hiperbilirubinemia Pada Bayi Baru Lahir. Purwodadi.
Watchko, J.F., 2006. Hyperbilirubinemia and bilirubin toxicity in the late preterm
infant. Clin Perinatal: 33
Wibowo, S., 2007. Perbandingan kadar bilirubin neonatus dengan dan tanpa
defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase, Infeksi dan tidak Infeksi.
Wiknjosastro, Hanifa. 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Yahya T, Asmuni. 2014. Jaudience Neonatal seorang bayi baru lahir. Pakar
Perunding Pediatrik
21

Anda mungkin juga menyukai