Disusun Oleh :
Pembimbing :
dr. Rhomy Leokrishna
Menyetujui
Kepala Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Mengetahui,
Ka.Dep IKK/IKM FK UNMAL Bandar Lampung
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan pembuatan evaluasi program yang
berjudul “Evaluasi Program Presentase Deteksi Dini Hepatitis Pada Ibu Hamil
UPT Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar Lampung Periode Januari-
September 2022” ini.
Evaluasi program ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Malahayati di Puskesmas Way Kandis Kota Bandar Lampung.
Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kepala puskesmas dr. Rhomy Leokrisnha atas bimbingannya selama
berlangsungnya pendidikan di Puskesmas Way Kandis ini sehingga penyusun
dapat menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal kemampuan penyusun.
Penyusun menyadari bahwa evaluasi program ini masih jauh dari
sempurna, maka penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk memperbaiki evaluasi program ini dan untuk melatih kemampuan
menyusun evaluasi program untuk berikutnya.
Demikian yang dapat penyusun sampaikan, mudah-mudahan evaluasi
program ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang
sedang menempuh pendidikan.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN..............................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah............................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3. Tujuan Evaluasi.........................................................................................5
1.4. Manfaat Evaluasi.......................................................................................5
1.5. Ruang Lingkup..........................................................................................6
iii
5.8. Memilih Prioritas Jalan Keluar.................................................................69
BAB VI PENUTUP............................................................................................69
6.1. Kesimpulan.............................................................................................. 69
6.2. Saran........................................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................70
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium CDC Untuk Orang Dewasa dan Remaja Terinfeksi HIV..............25
Tabel 2.2 Klasifikasi Stadium WHO Untuk Orang Dewasa dan Remaja Terinfeksi HIV.............26
Tabel 2.3 Rekomendasi Panduan Lini Pertama Untuk Orang Dewasa Yang Belum Pernah
Mendapat Terapi ARV (Depkes)....................................................................................................30
Tabel 2.4 Rekomendasi Regimen ARV Lini Pertama, Kedua, dan Ketiga (WHO, 2015)............31
Tabel 2.5 Rekomendasi Terapi ARV pada Populasi Khusus.........................................................33
Tabel 2.6 Beberapa jenis infeksi oportunistik, obat yang dipakai dan waktu memulai ARV........35
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Way Kandis.............................................55
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Tanjung Senang Tahun 2021.........................................55
Tabel 4.3 Pendidikan Tahun 2021..................................................................................................55
Tabel 4.4 Sumber Daya Manusia Puskesmas Way Kandis............................................................56
Tabel 4.5 Sarana dan Prasarana Puskesmas Way Kandis..............................................................59
Tabel 5.1 Daftar Program Puskesmas Panjang yang Belum Mencapai Target Bulan Januari –
September Tahun 2022...................................................................................................................60
Tabel 5.2 Penentuan Prioritas Masalah dengan Metode USG.......................................................61
Tabel 5.3 Analisis Masalah Program Ibu Hamil yang di tes HIV di Puskesmas Rawat Inap Way
Kandis.............................................................................................................................................62
Tabel 5.4 Analisis Masalah Program Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil di Puskesmas
Rawat Inap Way Kandis.................................................................................................................62
Tabel 5.5 Distribusi Karakteritik Responden Berdasarkan Kelompok ujia...................................63
Tabel 5.6 Distribusi Karakteritik Responden Berdasarkan Pekerjaan...........................................63
Tabel 5.7 Distribusi Karakteritik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir..........................64
Tabel 5.8 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Triple Eliminasi.........................64
Tabel 5.9 Distribusi Tingkat Peran Petugas Kesehatan Tentang Triple Eliminaasi.......................64
Tabel 5.10 Penetapan Prioritas Penyebab Masalah........................................................................66
Tabel 5.11 Menyusun alternatif pemecahan masalah.....................................................................68
Tabel 5.12 Prioritas Pemilihan Pemecahan Masalah.....................................................................69
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Indonesia dapat disebabkan karena ibu hamil mengalami gangguan status gizi
yang dapat berpengaruh pada imunitas ibu hamil (Kemenkes RI, 2019).
Dampak yang ditimbulkan apabila ibu hamil positif HIV yaitu dapat
beresiko menularkan HIV kepada janin yang dikandungnya. Persentase
penularan ibu positif HIV kepada bayinya yaitu lebih dari 90%. Penularan
HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama hamil, persalinan, dan saat
menyusui. Ibu hamil cenderung merasa aman dari HIV/AIDS karena mereka
merasa hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya, sedangkan
mereka tidak mengetahui bahwa kemungkinan suami mereka menderita
HIV/AIDS. Selain itu kebanyakan ibu rumah tangga menghabiskan waktu
dirumah yang kemungkinan mereka tidak terjangkau oleh informasi tentang
HIV/AIDS. (Kemenkes RI, 2015)
Pemeriksaan HbsAg merupakan hal penting untuk mendeteksi Hepatitis B
pada ibu hamil, sehingga perlu dilakukan pada saat kunjungan pertama
ditenaga kesehatan, sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) merupakan intervensi
yang sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut. Konseling dan Tes
HIV merupakan pendekatan utama dalam mendeteksi dini HIV. Tes HIV
dapat dilakukan di Fasilitas Kesehatan di tingkat Puskesmas, Pustu, Polindes,
dan Posyandu oleh semua tenaga kesehatan melalui pelatihan KTIP. Salah
satu keuntungan yang didapatkan apabila Konseling dan Tes HIV dilakukan
secara rutin yaitu terjadi penurunan stigma dan diskriminasi karena
masyarakat akan melihat bahwa hal tersebut merupakan kegiatan rutin
(Kemenkes RI, 2016).
Di Provinsi Lampung, jumlah sasaran ibu hamil yang melakukan
pemeriksaan HbsAg adalah sebanyak 166.924 ibu hamil (100%). Sedangkan
jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan HbsAg sebanyak 82.786 ibu
hamil (67,13%) sehingga belum mencapai target pemeriksaan HbsAg pada
ibu hamil.
Untuk Pemeriksaan HIV pada ibu hamil di Provinsi Lampung, jumlah
sasaran ibu hamil yang melakukan pemeriksaan HIV adalah sebanyak 93.492
ibu hamil (100%). Sedangkan jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
4
HIV sebanyak 62.386 ibu hamil (66,73%) sehigga belum mencapai target
pemeriksaan HIV pada ibu hamil. (Pemprov Lampung, 2020)
Menurut data dari Puskesmas Rawat Inap Way Kandis pada tahun 2022,
dengan melihat data P2M (Pengendalian Penyakit Menular), Capaian
Pemeriksaan Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu Hamil dari Bulan Januari
hingga September 2022 adalah 36.4% dengan target seharusnya 75,0%
sehingga terdapat kesenjangan sebesar 38,6%. Untuk Capaian pemeriksaan
HIV pada ibu hamil dari bulan Januari hingga September 2022 adalah 37,0%,
dengan target seharusnya 75,0%, sehingga kesenjangan sebesar 38,0%.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi kesenjangan pada 9
bulan terakhir sampai bulan September di tahun 2022, sehingga belum
mencapai target. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya masalah dalam
pelaksanaan program persentase deteksi dini hepatitis B dan HIV pada ibu
hamil UPT puskesmas rawat inap way kandis bandar lampung periode
Januari- September 2022 di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis.
Puskesmas diharapkan dapat melakukan evaluasi untuk menilai sejauh
mana pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan serta
mengurangi angka kesenjangan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang analisis faktor yang mempengaruhi ibu hamil dalam
pemeriksaan dini Hepatitis B dan HIV di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Kota Bandar Lampung Tahun 2022, dengan mengambil sampel darah ibu
hamil di wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Way Kandis.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B
2.1.1. Definisi
Hepatitis adalah peradangan hati (CDC, 2016) Hati adalah organ
metabolik terbesar dan terpenting di tubuh; organ ini dapat di pandang
sebagai pabrik biokimia utma tubuh (Sherwood, 2014) Penggunaan
alkohol berat, racun, beberapa obat dan kondisi medis tertentu dapat
menyebabkan hepatitis. (CDC, 2016) Hepatitis B diklasifikasikan
sebagai suatu hepadnavirus . Hepatitis B menyebabkan infeksi kronis,
terutama mereka yang terinfeksi ketika masih bayi; hal ini merupakan
faktor utama timbulnya penyakit hati dan karsinoma hepatoseluler
dikemudian hari (JL dan Adelberg, 2012)
2.1.2. Etiologi
Penyebab penyakit Hepatitis B menurut Susan Smeltzer (dalam Brunner
and Suddarth, 2015), yaitu :
1) Penularan melalui cairan tubuh
Hepatitis B dapat ditularkan melalui cairan tubuh yang terinfeksi
virus hepatitis B. Cairan tubuh yang dapat menjadi sarana penularan
hepatitis B adalah darah, cairan vagina, dan air mani. Karena itu,
berbagi pakai jarum suntik serta berhubungan seksual tanpa kondom
dengan penderita hepatitis B dapat menyebabkan seseorang tertular
penyakit ini. bu yang menderita hepatitis B dan C juga dapat
menularkan kepada bayinya melalui jalan lahir.
2) Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan akan merusak sel-sel hati secara
permanen dan dapat berkembang menjadi gagal hati atau sirosis.
3) Penggunaan Obat obatan melebihi dosis
4) Autoimun
7
8
2.1.3. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 257 juta
penduduk hidup dengan hepatitis B kronik dan sebanyak 887 ribu kematian
akibat kanker hepar. Padatahun 2016, sekitar 10,5% penduduk hidup
dengan hepatitis B, hanya 4,5 miliar (16,7%) pasien yang mencari
pengobatan. Virus hepatitis B (VHB) telah menginfeksi2 milyar orang di
dunia, 240 juta di antaranya menjadi hepatitis B kronik, sebanyak 1,5 juta
penduduk meninggal dunia setiap tahun karena hepatitis.
Di Indonesia Prevalensi Persentase Ibu hamil HBsAg reaktif yaitu
sebanyak 2,21 % (Kemenkes, 2017). Cara penularan HBV penting
secara global adalah dari ibu ke bayinya. Jika seorang wanita hamil
pembawa HBV dan juga HBeAg positif, bayinya yang baru lahir
memiliki 90% kemungkinan terinfeksi dan menjadi karier. Dari anak-
anak ini, 25% akan meninggal akibat kanker hati (WHO. 2002).
2.1.5. Patogenesis
Beberapa penelitian melaporkan bahwa HBV bukan merupakan
suatu virus yang sitopatik. Kelainan sel hati akibat infeksi HBV
disebabkan karena reaksi imun tubuh terhadap sel hepatosit yang
terinfeksi HBV tersebut Selain transmisi vertical, virus hepatitis B dapat
ditransmisikan dengan efektif melalui cairan tubuh, perkutan dan melalui
membrane mukosa. Hepatitis B terkonsentrasi dalam jumlah tinggi
dalam cairan tubuh berupa darah, serum, dan eksudat luka. Sementara itu
10
konsentrasi yang sedang terdapat pada semen, cairan vagina dan air liur.
Konsentrasi yang rendah/tidak ada dijumpai pada urin, feses, keringat,
air mata, dan ASI (Setiati et al., 2014)
Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan
karier Hepatitis B, Hemodialisis, paparan terhadap pekerja kesehatan
yang terinfeksi, alat tattoo, alat tindik, hubungan seksual, dan inseminasi
buatan. Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui transfuse darah
dan donor organ. Hepatitis B dapat menular melalui pasien dengan
HBsAg yang negative tetapi anti HBC positif, karena adanya
kemungkinan DNA virus hepatitis B yang bersirkulasi, yang dapat di
deteksi dengan PCR (10-20% kasus). Virus Hepatitis B 100 kali lebih
infeksius dengan infeksi HIV dan 10 kali lebih infeksius pada pasien
hepatits C. Adanya HBeAg yang positif mengidentifikasikan resiko
transmisi Virus yang tinggi (Setiati et al., 2014)
Patogenesis infeksi Virus Hepatitis melibatkan respons imun
humoral dan seluler. Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus
tersebut tidak bersifat sitopatik, sehingga yang membuat kerusakan sel
hati dan menefestasi klinis bukan 8 disebabkan oleh virus yang
menyerang hepatosit, tetapi oleh karena respon imun yang dihasilkan
oleh tubuh. Respon antibody terhadap antigen permukaan berperan
dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung, nukleokapsid
2.1.6. Diagnosis
Pada fase prodromal, dari anamnesa didapatkan keluhan berupa
malaise, anoreksia, mual, muntah, myalgia (nyeri otot), dan mudah lelah.
Pasien juga dapat mengeluhkan mengalami 11 perubahan rasa pada indra
pengecap, perubahan sensasi bau-bauan. Sebagian pasien mengeluhkan
nyeri abdomen bagian kanan atas atau nyeri epigastrium intermiten yang
ringan sampai sedang. Hanya 30% pasien mengalami hepatitis dengan
ikterus, gejala ikterus biasanya hilang setelah 1 – 3 bulan. Namun, pada
hepatitis B kronik, dari anamnesa sangat bervariasi. Pada banyak kasus
tidak di dapatkan keluhan ataupun gejala dan
11
2.1.8. Transmisi
Di daerah yang sangat endemik, hepatitis B paling sering menyebar
dari ibu ke anak saat lahir (penularan perinatal) atau melalui transmisi
horizontal (paparan darah yang terinfeksi), terutama dari anak yang
terinfeksi ke anak yang tidak terinfeksi selama 5 tahun pertama.
Perkembangan infeksi kronis sering terjadi pada bayi yang terinfeksi dari
ibunya atau sebelum usia 5 tahun.
Hepatitis B juga menyebar melalui luka tusuk jarum, tato, tindik
dan paparan darah dan cairan tubuh yang terinfeksi, seperti air liur dan
cairan menstruasi, vagina dan mani. Penularan virus juga dapat terjadi
melalui penggunaan kembali jarum suntik yang terkontaminasi atau
benda tajam baik di tempat perawatan kesehatan, di masyarakat atau di
antara orang-orang yang menyuntikkan narkoba. Penularan seksual lebih
sering terjadi pada orang yang tidak divaksinasi dengan banyak
pasangan seksual. (WHO, 2019)
2.1.9. Tatalaksana
Pada infeksi hepatitis B akut tidak membutuhkan terapi antiviral.
Terapi yang di berikan hanya terapi suportif dan simptomatik karena
13
sebagian besar infeksi karna hepatitis B akut pada dewasa dapt sembuh
spontan.
Tujuan utama terapi untuk pasien dengan infeksi HBV kronis
adalah untuk meningkatkan kelagsungan hidup dan kualitas hidup serta
mencegah perkembangan penyakit. Tujua terapi tambahan antivirus
adalah untuk mencegah penularan dari ibu ke anak , reaktivitas hepatitis
B dan pencegahan serta pengobatan dari hepatitis B dengan manifestasi
extrahepatic (Kemkes, 2017)
Pengobatan IFN biasanya berhubugan dengan efek samping seperti
flu like simptoms, neutropenia, trombositopenia, yang biasanya masih
dapat di toleransi, namun kadang-kadang perlu dilakukan modifikasi
dosis. Terapi interferon yang menginduksi hepatitis flare dapat
menyebabkan dekompensasi pad pasien dengan sirosis dan dapat
berbahaya bagi pasien dengan dekompensasi hati (Peneliti dan
Indonesia, 2012).
Lamivudine ditoleransi dengan baik disertai dengan angka kejadian
efek samping yang dapat diabaikan, lamivudine aman di gunakan
bahkan pada sirosis dekompensasi. Kombinasi lamivudine dan interferon
tampaknya meningkatkan angka keberhasilan serokonversi HBeAg
(Peneliti dan Indonesia, 2012).
Adefovir dipivoksil Penelitian menunjukan bahwa adefovir efektif
dan aman, dan juga efektif dalam menekan HBV dengan mutasi YMDD.
Tidak adanya potensi adefovir untuk berkembang menjadi resisten .
disamping itu adefovir merupakan rangkaian asiklik yang fleksibel yang
memudahkan adefovir untuk berinteraksi dengan HBV (Peneliti dan
Indonesia, 2012).
2.1.10. Pencegahan
Pencegahan terhadap hepatitis B dilakukan melalui vaksinasi.
Pencegahan infeksi menggunakan ummunisasi pasif yaitu pamberian
immunoglobulin tidak mencegah infeksi melainkan mengurangi
frekuensi penyakit klinis. Pemberian vaksinasi dibedakan menjadi
14
2.2 HIV
2.2.1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang
menyerang sistem imun manusia. Infeksi HIV dapat menyebabkan
kondisi yang disebut dengan Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS). (Nauly dan Romlah, 2018)
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV.
Virus HIV ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan
15
vagina, dan Air Susu Ibu. HIV merupakan jenis virus yang menurunkan
sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus ini menjadi
rentan terhadap beragam infeksi atau juga mudah terkena tumor
(Susilawati et al, 2020).
2.2.2. Etiologi
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang
merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam family
retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus. Berdasarkan
strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang merupakan kelompok
virus RNA yang mempunyai berat molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini
terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua grup tersebut, yang paling
banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah
grup HIV-1 (Yuliyanasari, 2017)
2.2.3. Epidemiologi
Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika
(25,7 juta orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika
(3,5 juta). Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9
juta orang. Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara
mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan
penularan virus ini.
Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia
mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di
regional Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun
terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.
Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa
Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada
tahun 2017 kasus HIV terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi
tersebut. Sedangkan jumlah kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah,
16
Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Kasus AIDS di
Jawa Tengah adalah sekitar 22% dari total kasus di Indonesia. Tren
kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai dengan 2019
masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa.
Kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Kasus HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan
kasus AIDS sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini
sejalan dengan hasil laporan HIV berdasarkan jenis kelamin sejak tahun
2008-2019, dimana persentase penderita laki-laki selalu lebih tinggi dari
perempuan. (Kemenkes RI, 2020)
darah pasien yang terinfeksi HIV. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk belum cukup kadarnya untuk dapat terdeteksi pemeriksaan
laboratorium. Periode masa jendela ini sangat penting karena pada
periode ini pasien sudah berpotensi menularkan HIV pada orang lain,
dapat berlangsung sampai 6 bulan sebelum terjadi serokonversi positif.
(Duarsa, 2009)
Fase Infeksi Akut
Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama 1-
3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza (flu like
syndrome) berupa demam, artralgia, malaise, anoreksia, gejala kulit
(bercak merah, urtikaria), gejala saraf (sakit kepala, nyeri retrobulber,
radikulopati, gangguan kognitif serta afektif) dan gangguan
gastrointestinal (nausea, vomitus, kandidiasis orofaringitis, diare). Gejala
tersebut diatas, merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus dan
berlangsung 1-2 minggu. (Hessol, 2005)
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Akan terjadi penurunan sel limfosit CD4 yang signifikan dalam
2-8 minggu pertama kemudian terjadi kenaikan kembali karena mulai
terjadi respon imun. Perhitungan sel CD4 biasanya masih sekitar 750-
1000 / mL. Konsentrasi virus HIV dalam plasma dan sekret genital
ditemukan sangat tinggi, namun test terhadap antibodi HIV sering
ditemukan masih negatif. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi
virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3-6 bulan sesudah infeksi. (Duarsa,
2009)
Fase Infeksi Kronis Asimptomatik (Laten)
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Setelah
terjadi infeksi primer akan timbul respon imun spesifik tubuh terhadap
virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan
sehingga sebagian besar virus hilang dari peredaran sistemik. Akan
terjadi peningkatan antibodi sebagai respon imun humoral. Setiap hari
18
akan dihasilkan virus HIV baru yang dengan cepat dihancurkan sistem
imun tubuh (dalam 5-6 jam), namun demikian sebagian virus masih
menetap dalam tubuh dan bereplikasi. (Merati, 2008)
Virus terutama terakumulasi dalam kelenjar limfe dan jarang
ditemukan dalam plasma. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar limfe menyeluruh (limfadeopati generalisata persisten / LGP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak
berpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi
penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan
tubuh penderita, tetapi biasanya masih pada hitungan 500 sel / mL. Pada
fase ini secara sporadis muncul penyakit-penyakit autoimun misalnya
lain idiopathic thrombocytopenia purpura (ITP). Juga sindrom Guillain-
Barre akut, poliomielitis idiopatik dapat muncul. (Duarsa, 2009)
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase
infeksi akut akan mencapai suatu jumlah tertentu (set point) selama fase
laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya AIDS.
Apabila jumlah virus < 1000 kopi / mL darah, periode laten
kemungkinan akan > 10 tahun sebelum terjadi AIDS, apabila jumlahnya
< 200 kopi / mL darah maka infeksi HIV tidak mengarah menjadi AIDS.
Pasien dengan set point > 100.000 kopi / mL darah akan mengalami
penurunan sel CD4 lebih cepat dah berkembang menjadi AIDS < 10
tahun. Fase laten berlangsung sekitar 3-13 tahun setelah terinfeksi HIV.
(Weinberg, et al 2010)
2.2.5. Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen dan
sekret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan
seksual. Cara seksual melalui heteroseksual maupun homoseksual
sedangkan non seksual melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik
bersama atau secara vertikal dari ibu positif HIV kepada bayinya baik
saat hamil, melahirkan atau saat laktasi. (Duarsa, 2009)
Human Immunodeficiency Virus cenderung untuk menyerang jenis
sel tertentu, terutama sekali limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan
penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh.
Selain limfosit T4 virus juga dapat menginfeksi sel monosit, makrofag
dan langerhans pada kulit, sel dendritik folikuler pada kelenjar limfe, sel
makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri, sel mikroglia
otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan
replikasi sehingga akhirnya menjadi banyak dan akhirnya
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. (Duarsa, 2009)
Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi generik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh
penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi
Deoxyribonucleic acid (DNA) oleh ensim reverse transcryptase yang
dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut selanjutnya diintegrasikan ke
21
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis ditujukan kepada 2 hal yaitu keadaan terinfeksi HIV dan
AIDS, karena terdapat perbedaan penting dalam menghadapi kedua
keadaan itu, baik dari sudut epidemiologi, pengobatan, perawatan,
konseling maupun prognosis.
22
2.2.8. Transmisi
Virus HIV menular melalui enam cara penularan, yaitu:
0,07%, penularan bisa terjadi pada saat persalinan, dan resiko bayi
tertular melalui ASI dari ibu yang positif HIV/AIDS (Lily V, 2004)
3) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Penyebarannya sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung
masuk ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh.
4) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat
alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang
terinfeksi HIV dan langsung digunakan orang lain itu bisa
menularkan HIV (PELKESI, 1995)
5) Alat- alat untuk menoreh kulit
Alat yang tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya
dapatmenularkan HIV sebab alat tersebut mungkin langsung
dipakaikan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6) Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh pengguna para narkoba sangat berpotensi
menularkan HIV.
2.2.9. Tatalaksana
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Anti
Retroviral (ARV)
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis,
hepatitis, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan
perlu menjaga kebersihan
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat
29
Terapi Antiretroviral
Terapi antiretroviral selama fase akut dapat secara signifikan
menurunkan penularan infeksi terhadap orang lain, meningkatkan
marker infeksi, meringankan gejala penyakit penyakit, menurunkan titer
virus, mengurangi reservoir virus, menekan replikasi virus dan
mempertahankan fungsi imunitas.
Psinsip dari terapi antiretroviral adalah pemberian obat yang
bekerja mencegah replikasi virus. Yang pertama adalah inhibitor ensim
reverse transcriptase, suatu ensim yang bekerja mengubah RNA HIV
menjadi DNA. Ensim reverse transcriptase ini dapat diblok oleh agen
analog nukleosida (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor / NRTI)
contohnya zidovudine (ZDV, atau disebut juga sebagai
azidothymidine / AZT), didanosine (ddI), stavudine (d4T), lamivudine
(3TC), zalcitabine (ddC), abacavir (ABV) emtricitabine (FTC) dan
tenofovir disoproxil fumarate (TDF).
Selain itu ensim reverse transcriptase ini juga dapat diblok oleh
agen analog non nukleosida (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor / NNRTI) contohnya nevirapine (NVP), efavirenz (EFV) atau
delavirdine (DLV). Selain itu juga terdapat inhibitor ensim protease
yang penting dalam mengolah protein HIV contohnya saquinavir,
nelfinavir, ritonavir (RTV), indinavir, amprenavir dan lopinavir (LPV).
Banyak ahli menggunakan terapi kombinasi misalnya: triple
(kombinasi ZDV 600 mg / hari, ddC 2,5 mg / hari. Dan saquinavir
1.800 mg / hari), double (kombinasi ddC + ZDV atau kombinasi ddC +
saquinavir). Terapi kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan
mengurangi timbulnya resistensi virus terhadap obat-obatan
antiretroviral.
Sekarang ini prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan
tiga jenis obat yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis
terapeutik dalam darah, dikenal dengan istilah Highly Active
30
Tabel 2.6 Beberapa jenis infeksi oportunistik, obat yang dipakai dan waktu
memulai ARV
Infeksi Oportunistik Obat yang diberikan Waktu memulai ART
35
Demam + infeksi aktif yang Terapi Standar Diagnosis dan obati dahulu;
belum terdiagnosis baru mulai ART
Diare akut Terapi Standar Diagnosis dan obati dahulu;
ART dimulai setelah diare
terkontrol
Pneumocystis carinii Trimethoprim + Obat PCP dahulu; ART
Sulfamethoksasol plus Dapson dimulai setelah pengobatan
selesai
Pneumonia bakteri Terapi standar Obati pneumonia dahulu;
ART dimulai setelah
pengobatan selesai
Toksoplasmosis Pyrimethamin plus Sulfadizain Obati toxoplamosis dahulu;
(Toxoplasma gondii) ART dimulai 6 minggu
setelah pengobatan dan
kondisi pasien baik
Kandidiasis esofagus Flukonazol / Amfoterisin B iv Obati kandidiasis terlebih
dahulu; ART dimulai setelah
pasien dapat menelan
Infeksi jamur invasive : Amfoterisin B Obati infeksi dahulu; ART
Cryptococcus neoformans, dimulai setelah kondisi baik /
Histoplasmosis, pengobatan selesai
Coccidiomycosis
Mycobacterium tuberculosis Triple drug minimal 9 bulan. Obati TB dahulu; ART
Bila double drug (tanpa dimulai dalam 2 minggu
isoniazid / rifampisin)
pengobatan minimal 18 bulan
Mycobacterium avium Klaritromisin, Azitromisin Obati infeksi terlebih dahulu;
complex ART dimulai dalam 2 minggu
Multifokal leukoensefalopati Asiklovir, Sitarabin Langsung mulai ART
progresif
Herpes Virus Asiklovir, Valasiklovir, Langsung mulai ART
Famsiklovir,
Cytomegalo virus Gansiklovir, Foscarnet Obati dahulu jika obat
tersedia; jika tidak tersedia
langsung mulai ART
Isosporiasis Trimethoprim + Langsung mulai ART
Sulfamethoksasol
Malaria Obati malaria terlebih dahulu;
ART dimulai setelah
pengobatan selesai
Salmonella Terapi Standar Langsung mulai ART
Infeksi piogenik Terapi Standar Langsung mulai ART
Anemia ringan <8gr/l Jika tidak ditemukan
penyebab anemia lainnya
langsung ART; hindari AZT
Reaksi obat keganasan Jangan mulai ART saat reaksi
akut
Sarkoma Kaposi Sitostatik sistemik / lokal Langsung mulai ART
radioterapi
Limfoma Non-Hodgkin Sitostatik regimen kombinasi Langsung mulai ART
CHOP
2.2.10. Pencegahan
Pencegahan berasal dari kata “cegah” yang artinya menangkal,
menghentikan, menolak dalam melakukan suatu kegiatan tertentu agar
tidak terjadi. Seperti yang sudah dijelaskan dalam melakukan
pencegahan harus ada bentuk-bentuk atau cara-cara untuk melakukan
pencegahan HIV/AIDS, bentuk pencegahan itu diantaranya adalah
(Mia, 2017) :
1) Abstinence : memilih untuk tidak melakukan hubungan seks
beresiko tinggi, terutama seks pranikah.
2) Be Faithful : Saling setia pada pasangan
3) Condom : menggunakan secara konsisten dan benar.
4) Drugs : tolak penggunaan NAPZA
5) Equipment : jangan pakai jarum suntik bersama.
2.3 Pengetahuan
2.3.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah seluruh pemikiran, gagasan, ide konsep dan
pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya
termasuk manusia dan kehidupan. Pengetahuan mencakup penalaran,
penjelasan, dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu, termasuk
praktek atau kemauan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan
hidup yang belum dibuktikan secara sistematis (Notoatmodjo, 2007).
37
2.4 Sikap
2.4.1. Definisi Sikap
Sikap adalah kecendrungan bertindak dari individu, berupa respon
tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. Faktor yang dapat
mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri
seseorang atau masyarakat adalah sikap seseorang atau masyarakat
tersebut terhadap apa yang akan dilakukan. Sikap terhadap kesehatan
adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan yang salah satunya mencakup sikap
terhadap pencegahan penyakit menular. Notoatmodjo (2007),
menjelaskan bahwa sikap Itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek
c. Kecendrungan untuk bertindak
40
Upaya Kesehatan
Masyarakat
Penyuluhan pentingnya
Skrining Hepatitis B dan deteksi dini hepatitis B
HIV pada ibu hamil dan HIV pada ibu hamil
Mencegah penularan
vertikal Hepatitis B dan
HIV dari ibu ke anak
1.
2.
3.
3.1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer dan
sekunder:
1. Sumber data primer
a) Wawancara dengan koordinator pelaksana program P2 dan Pengelola
Program Hepatitis di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar
Lampung.
b) Kuesioner tentang triple eliminasi yang di isi oleh responden, yaitu ibu
hamil
2. Sumber data sekunder
a) Laporan penilaian kinerja Puskesmas Rawat Inap Puskesmas Rawat
Inap Way Kandis Bandar Lampung tahun 2022.
b) Profil Puskesmas Rawat Inap Way Kandis Bandar Lampung
46
menentukan tingkat urgensi, keseriusan, dan perkembangan masalah
dengan menentukan skala nilai 1–5. Masalah yang memiliki total skor
tertinggi merupakan masalah prioritas.
47
48
M × I ×V
P=
C
Keterangan :
P: priority, M: Magnitude, I: Importancy , V: Vulnerability, C:Cost
a. Penyebab Ini akan menjadi label cabang utama diagram dan menjadi
kategori yang akan berisi berbagai penyebab yang menyebabkan
penyebab utama.
b. Untuk menentukan penyebab utama seringkali merupakan pekerjaan
yang tidak mudah. Untuk itu kita dapat mencoba memulai dengan
menulis daftar seluruh penyebab yang mungkin. Kemudian penyebab-
penyebab tersebut dikelompokkan berdasarkan hubungannya satu
sama lain. Tentukan penyebab berdasarkan urutan proses yang
digunakan. Jadi, pada garis horisontal “tulang punggung ikan”,
tuliskan semua proses utama dari kiri ke kanan.
c. Tulis penyebab utama tersebut disebelah kiri kotak hasil atau akibat,
beberapa tulis diatas garis horizontal, selebihnya dibawah garis.
d. Buat kotak untuk masing‐masing penyebab utama tersebut.
4. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor‐faktor yang menjadi
penyebab dari penyebab utama
a. Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab dan tulis sebagai sub
cabang utama.
b. Jika penyebab‐penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari satu
penyebab utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.
53
54
b. Misi
Untuk mencapai Visi tersebut UPT Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
mempunyai misi :
1. Meningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
2. Menurunkan kasus penyakit menular dan penyakit tidak menular
3. Menekan kasus kematian Ibu dan kasus kematian Bayi
4. Meningkatkan status gizi balita
5. Meningkatkan kemandirian masyarakat
6. Meningkatkan kinerja dan kerjasama lintas program dan lintas sektor
7. Meningkatkan SIK ( Sistim Informasi Kesehatan )
54
55
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Kelurahan yang paling luas
wilayahnya adalah Kelurahan Labuhan Dalam dan Kelurahan yang paling
rendah luas wilayahnya Kelurahan Pematang Wangi.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk diwilayah
Kecamatan Tanjung Senang tidak merata,kelurahan yang memiliki
55
56
56
57
57
58
58
59
59
60
60
61
BAB V
HASIL EVALUASI
61
62
2. Rendahnya presentase cakupan Ibu Hamil yang di tes HIV dengan skor
pencapaian sebesar 37,0% dalam Program Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Tahun 2022
3. Rendahnya presentase cakupan deteksi dini Hepatitis B pada Ibu Hamil
dengan skor pencapaian sebesar 36,4% dalam Program Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Tahun 2022
Cakupan Deteksi
3 dini Hepatitis B pada 5 4 4 13
Ibu Hamil
tahun 2022 sebesar 37,0%, dan pada program Deteksi Dini Hepatitis B pada
Ibu Hamil, didapatkan hasil capaian sebesar 36,4%. Analisis antara tolak ukur
program dengan pencapaian program dijelaskan pada tabel 5.3
Tabel 5.3 Analisis Masalah Program Ibu Hamil yang di tes HIV di
Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Jumlah Tolak Ukur Ibu Hamil Pencapaian Ibu Hamil Target yang belum
ibu hamil yang di tes HIV yang di tes HIV tercapai
yang di
Tes HIV
n % n % n %
909
682 75,0% 336 37,0% 346 38,0%
Tabel 5.4 Analisis Masalah Program Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu
Hamil di Puskesmas Rawat Inap Way Kandis
Jumlah Tolak Ukur Deteksi Pencapaian Deteksi Target yang belum
ibu hamil Dini Hepatitis B pada Dini Hepatitis B pada tercapai
yang di Ibu Hamil Ibu Hamil
Tes HIV
n % n % n %
910
683 75,0% 331 37,0% 352 38,6%
MACHINE METHOD
2 Method
Kurangnya sosialisasi / 3 3 2 4 4 3 4 3 2 138
penyuluhan mengenai
pentingnya Skrining
Hepatitis B dan HIV
3 Machine
Kurangnya alat bantu 5 4 3 3 5 3 5 2 3 168
promosi kesehatan (banner,
poster, leaflet) sehingga
menyulitkan nakes dan kader
dalam menyampaikan
pengetahuan mengenai
skrinning Hepatitis B dan
HIV
4 Money
68
Keterangan
terlibat dalam program ini adalah dokter, bidan koordinator, bidan desa dan
kader. Kendala ini timbul karena keterbatasan waktu yang dapat digunakan
oleh ibu hamil dalam melakukan skrining, sedangkan tuntutan pekerjaan yang
membuat ibu hamil lebih sering berada di luar rumah. Keterbatasan jam
pelayanan nakes dan kesibukan rumah tangga kader juga menyulitkan ibu
hamil yang bekerja dalam melakukan skrining, sehingga tidak tercapainya
target dari program deteksi dini Hepatitis B dan HIV pada Ibu Hamil.
Pembuatan jadwal
skrining keliling
Hepatitis B dan HIV di
poskeskel masing-masing
Membuat janji temu
antara nakes, kader dan
ibu hamil di luar jam
pelayanan
Mengajak tokoh
masyarakat setempat
untuk ikut ambil bagian
dalam mengajak ibu
hamil untuk melakukan
skrining Hepatitis B dan
HIV
Keterangan :
P : Prioritas alternatif pemecahan masalah (MIV/C)
M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang dapat diselesaikan
I : Importance, pentingnya cara penyelesaian masalah
V : Vulnerability, tersedianya cara-cara pencegahan dan
pemberantasan masalah yang bersangkutan
C : Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi program Deteksi Dini Hepatitis B dan HIV di
Puskesmas Rawat Inap Way Kandis pada tahun 2022 periode Januari -
September dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Target program Deteksi Dini Hepatitis B dan Pemeriksaan HIV pada Ibu
Hamil tahun 2022 adalah 75%, sedangkan dalam kegiatan yang telah
dilakukan pada program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Menular mendapatkan angka keberhasilan program Deteksi Dini Hepatitis
B dan Pemeriksaan HIV pada ibu hamil pada ibu hamil di Puskesmas
rawat inap Way Kandis sebesar 36,4% dan 37,0%.
2. Hal ini masih menjadi masalah dalam pelaksanaan program P2M di
Puskesmas Rawat Inap Way Kandis. Penyebab masalah angka capaian
program Deteksi Dini Hepatitis B dan HIV pada Ibu hamil adalah
sebagian ibu hamil tidak sempat melakukan skrining dikarenakan
kesibukan pekerjaan
6.2 Saran
Adapun saran dari evaluasi program Deteksi Dini Hepatitis B dan HIV di
Puskesmas Rawat Inap Way Kandis pada tahun 2022 periode Januari -
September adalah sebagai berikut :
1. Merekomendasikan ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan Hepatitis B
dan HIV ke pelayanan kesehatan lain (Rumah Sakit, Klinik, Praktek
Dokter dan sebagainya) dan melaporkan hasil pemeriksaan ke kader atau
ke petugas poskeskel
2. Pembuatan jadwal skrining keliling Hepatitis B dan HIV di poskeskel
masing-masing
3. Membuat janji temu antara nakes, kader dan ibu hamil.
4. Mengajak tokoh masyarakat setempat untuk ikut ambil bagian dalam
mengajak ibu hamil untuk melakukan skrining Hepatitis B dan HIV
72
73
DAFTAR PUSTAKA
.
Asdie AH, Wiyono P, Rahardjo P, Triwibowo, Marcham SN, Danawati W. 2012.
Harrison Prinsip - Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-13. Jakarta:
EGC. hlm.1638-63
Azwar, S.2007. Sikap manusia, teori dan pengeluarannya, Edisi ke 2. Cetakan ke
X, P4-10, Pustaka pelajar. Yogyakarta
Centers for Disease Control and Prevention (2016). Hepatitis B Information -
FAQs, Statistics, Data and Guidelines [cited 2022 October 30 ] Available
from https://www.cdc.gov/hepatitis/hbv/
Depkes Rl, 2000. Pedoman operasional program imunisasi di Indonesia. Ditjen
PPM & PLP. Jakarta.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
Depkes RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI
Duarsa, N. W. 2009. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili, S. F., Makes, W. I. B.,
Zubier, F., editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 4: hal. 146-159.
Gozali, A. P. 2020. Diagnosis , Tatalaksana , dan Pencegahan Hepatitis B dalam
Kehamilan. CDK Journal, 47(5), 354–358.
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/598/375
Hardjoeno UL. 2007. Kapita Selekta Hepatitis Virus dan Interpretasi Hasil
Laboratorium. Makassar: Cahya Dinan Rucitra.
Harrington, P. R., Swanstrom, R. 2008. The Biologi of HIV, SIV, and Other
Lentiviruses. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P.,
Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually
Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 5(20) : 323-341.
Hessol, N. A., Gandhi, M., Greenblatt, R. M. Epidemiology and Natural History
of HIV Infection in Women. In: Anderson, J. R., eds. A Guide To The
Clinical Care of Women With HIV. 1rst ed. Rockville: Parklawn Building;
2005; 1: p. 1-35.
Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. 2012. Buku
ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
JL, J. E. M., & Adelberg, E. A. (2012). Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 25.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Kementerian Kesehatan RI. 2014 Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta Selatan:
Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Infodatin HIV/AIDS.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/
infodatin/infodatin-aids.pdf [sitasi tanggal 19 November 2021] 2014.
Kemenkes RI. 2015. Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV
Dan Sifilis Dari Ibu Ke Anak
Kemenkes RI. 2016. Petunjuk Teknis Program Pengendalian HIV/AIDS Dan
Pims Di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Kemenkes.RI. 2017. InfoDatin Situasi Penyakit Hepatitis B di Indonesia.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/
Infodati n-situasi-penyakit-hepatitis-B-2018.pdf [sitasi tanggal 30 Oktober
2021]
Kementerian Kesehatan RI. 2020 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta
Selatan: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020 Infodatin HIV/AIDS.
https://pusdatin.kemkes.go.id/infodatin-2020-HIV [sitasi tanggal 31
Oktober 2022]
Kurniati, Anna dan Efendi, Ferry. Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. (Jakarta:
Salemba Medika, 2012), hal 3
Merati, K.T.P. 2008. HIV sebagai Penyebab AIDS dalam Buku Disertasi Subtipe
HIV-1 di Beberapa Daerah di Indonesia dan Perannya sebagai Petunjuk
Dinamika Epidemi HIV. P.14-16.
Mia, A. 2017. Strategi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Pencegahan
HIV/AIDS di Kota Samarinda. EJournal Administrasi Negara, 5(1),
5293–5306
Mubarak, W. I. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar
Mengajar Dalam Pendidikan. Graha Ilmu : Yogyakarta
Nasional Republika. 2017. Kasus HIV/AIDS Dilaporkan Meningkat Setiap Tahun
Naully, P. G., & Romlah, S. 2018. Prevalensi HIV dan HBV pada Kalangan
Remaja, 9, 280–288.
Notoatmodjo. S, 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nugroho, A. (2019). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu
Hamil Tentang Hepatitis B Pada Ibu Hamil Di Puskesmas Kecamatan
Cilincing Jakarta Utara. Skripsi.
Pemerintah Provinsi Lampung. 2020. Ringkasan Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (RLPPD) 2019. Bandar Lampung : Pemerintah
Provinsi Lampung
Peneliti, P., & Indonesia, H. (2012). Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis B di Indonesia.
Radji, M. (2015). Imunologi dan Virologi Cetakan kedua (edisi revisi). Jakarta:
PT. ISFI Penerbitan
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyono, W., & Simadibrata, S. A. F. 2014. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta : Interna Publishing
Susan C Smeltzer, (2014). Buku Keperawatan Medis Bedah edisi 12. Jakarta :
EGC
Susilawati, Tuti; Sofro, Muchlis; Sari, Ana. 2020. Faktor Risiko Yang
Mempengaruhi Kejadian Hiv/Aids Di Magelang. Prosiding" Standar
Akreditasi Rumah Sakit (Snars) Edisi 1 Terkait Rekam Medis"
Yogyakarta Tahun 2018.
Weinberg, J. L., Kovarik, C. L. 2010. The WHO Clinical Staging System for
HIV/AIDS. American Medical Association Journal of Ethics; 12(3): 202-
206.
World Health Organization (WHO). 2019. Hepatitis B [Internet] [cited 2019 Juli
18] Available from: https://www.who.int/news-room/fact
sheets/detail/hepatitis-b