Anda di halaman 1dari 16

Priscilla Tulong 10-032

Leonardo Bayu 11-128


Yoko Caterine 10-051
F.R.
11-133
Putu Ayu Puspitasari 10-063
Andrea Bianca 11-1158
Lidya Alexandra Latumahina 10-073
F.Purba 11-160
Reni Astuti 11-176

Sarah

Maria

Laras

Maharkesti

Intan Permata Syari 10-097


Chairunisa

10-082
Adella

11-115

Wangi Oktaviani Ginting 11-119Lamhot

Reformasi Kesehatan Sebagai


Landasan Kebijakan Kesehatan
Pasca Krisis Multidimensi

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

Kesehatan adalah modal utama dalam membangun bangsa. Dengan adanya


masyarakat yang sehat, maka bangsa pun ikut menjadi kuat. Tidak berlebihan jika
didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Namun demikian, kesehatan
seharusnya tidak ditinjau dari sisi kesehatan manusianya saja. Kesehatan harus
komprehensif, seperti halnya diterapkan diberbagai negara didunia, konsep satu
kesehatan benar-benar diwujudkan. Terlebih bangsa ini telah banyak menimba
pengalaman bahwa penyakit baru yang muncul pada manusia adalah bersifat
zoonosis. Tidak tanggung-tanggung, zoonosis flu H1N1 oleh WHO (Badan
Kesehatan Hewan dunia) telah dideklarasikan sebagai pandemi. Artinya, tidak bisa
tidak, jika pemerintah ingin menyehatkan bangsa ini seutuhnya, harus
menyelenggarakan reformasi kesehatan yang berbasis komprehensif. Baik
kesehatan manusia, hewan dan lingkungan.
Reformasi kesehatan adalah rubrik umum yang digunakan untuk membahas
pembuatan kebijakan utama kesehatan atau perubahan-untuk sebagian besar,
kebijakan pemerintah yang mempengaruhi penyediaan layanan kesehatan di
tempat tertentu. Reformasi perawatan kesehatan biasanya berusaha untuk:
* Memperluas cakupan penduduk yang menerima perawatan kesehatan
melalui program asuransi baik sektor publik maupun perusahaan swasta asuransi
* Memperluas berbagai penyedia layanan kesehatan konsumen
* Meningkatkan akses ke spesialis perawatan kesehatan
* Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
* Mengurangi biaya perawatan kesehatan

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

Di berbagai negara berkembang terutama Afrika dan Asia Tenggara,


pelayanan kesehatan masyarakat tumbuh sebagai respon terhadap gagasan
pemerintah pusat untuk menyediakan pelayanan kesehatan di area pedesaan dan
perkotaan. Pemerintah daerah tidak banyak berperan dalam hal ini. Pengambilan
keputusan dalam hal pelayanan kesehatan pada saat itu sangat bersifat sentralistik,
sehingga daerah mempunyai kemampuan administrative serta manajerial yang
rendah. Namun demikian, pemerintah tidak memonopoli dalam kepemilikan
pelayanan kesehatan. Banyak terdapat pelayanan kesehatan yang bersifat sukarela,
terutama yang dirintis oleh lembaga swadaya masyarakat atau keagamaan. Pada
masa itu, perumusan kebijakan kesehatan banyak dipengaruhi oleh kalangan elit
medis. Namun kemudian dominasi paradigma medis (misalnya kebijakan yang
terlalu terfokus pada obat dan pelayanan kesehatan kuratif) dalam kebijakan
kesehatan mulai dipertanyakan dari segi epidemiologi dan ekonomis.

Kemudian, deklarasi Alma Ata tahun 1978 yang berfokus pada peningkatan
peran pelayanan kesehatan primer ternyata mampu memicu proses reformasi,
sehingga arena kebijakan kesehatan bertambah. Sebelum desentralisasi, sistem
informasi merupakan bagian dari program- program vertikal, seringkali didorong
oleh badan internasional atau lembaga donor. Program pemberantasan malaria
yang kemudian berubah menjadi pengendalian malaria, imunisasi (expanded
program for immunization), pengendalian tuberkulosis, kesehatan ibu dan anak,
termasuk keluarga berencana, didukung dengan sistem informasi yang dirancang di
pusat. Sebagai upaya penyeragaman sistem informasi, telah dirancang berbagai
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

perangkat lunak yang didistribusikan secara cuma-cuma, misalnya RADIX untuk


pengelolaan obat di gudang farmasi, SIMKA untuk data tenaga kesehatan, dan
lain-lain. Sistem informasi yang mengikuti program- program vertikal menjadi
kurang terkoordinasi, sehingga dengan mudah terjadi duplikasi data atau
sebaliknya, data yang dibutuhkan tidak dikumpulkan.

REFORMASI KESEHATAN DI INDONESIA


Hingga saat ini, sebagai sebuah negara berkembang Indonesia masih
dihadapkan pada persoalan rendahnya akses masyarakat terutama masyarakat
miskin terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Thabrani (2005) menyatakan bahwa 10 persen
penduduk kaya di Indonesia memperoleh kemudahan dalam mengakses kesehatan
12 X lebih besar diandingkan 10 persen penduduk miskin. Sementara pengeluaran
out of pocket bersifat regresif sehingga semakin menambah berat beban biaya yang
harus di tanggung oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Pembebasan biaya pelayanan di puskesmas di beberapa wilayah kabupaten
dan kota, ternyata tidak memperbesar akses masyarakat miskin terhadap pelayanan
kesehatan. Riset yang dilakukan oleh Susilowati (2004) menemukan bahwa akses
ini lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk perkotaan besar (34,4%)
dibandingkan dengan penduduk pedesaan (26,9%). Sementara pada kenyataannya
kelompok yang paling rentan terhadap kesehatan ada di pedesaan (25,2%) daripada
perkotaan (17,7%). Artinya telah terjadi ketidakadilan dalam pembiayaan
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

kesehatan karena subsidi yang dilakukan pemerintah justru dinikmati oleh


masyarakat mampu.
Walaupun pemerintah telah berupaya mengembangkan berbagai program
kesehatan masyarakat, peningkatan investasi ada pelayanan kesehatan, peningkatan
kualitas pelayanan, desentralisasi sistem kesehatan, namun akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan tetap menjadi persoalan utama yang berkontribusi
pada kemiskinan. Penyebab utama seluruh persoalan ini terletak pada terbatasnya
akses masyarakat terhadap sistem jaminan kesehatan. Persoalannya sekarang
adalah sejauh mana kesehatan dan jaminan sosial ini dipahami sebagai sebuah alat
dan prasyarat untuk mengatasi persoalan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan dan sejauh mana persoalan ini diselenggarakan dalam kebijakan
yang efektif dan koheren.
Untuk mendukung reformasi kesehatan di Indonesia maka pemerintah
membuat sutau kebijakan yang bernama Sistem Kesehatan Nasional (SKN) . SKN
adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna
menjamin

tercapainya

tujuan

pembangunan

kesehatan

dalam

kerangka

mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. SKN


berguna untuk 1) Mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka
pemenuhan hak asasi manusia, 2) Memperjelas penyelenggaraan pembangunan
kesehatan sesuai dengan visi dan misi RPJPK Th 2005-2025, 3) memantapkan
kemitraan dan kepemimpinan yang transformatif, 4) Melaksanakan pemerataan
upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu, 5) Meningkatkan investasi
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

kesehatan untuk keberhasilan pembangunan nasional.


SKN memiliki azas antara lain perikemanusiaan, pemberdayaan &
kemandirian, adil & merata, dan pengutamaan & manfaat yang secara ringkas
dapat dikemukakan bahwa pembangunan kesehatan harus diupayakan secara
terintegrasi antara Pusat dan Daerah dengan mengedepankan nilai-nilai
pembangunan kesehatan, yaitu: a) Berpihak pada Rakyat, b) Bertindak Cepat dan
Tepat, c) Kerjasama Tim, d) Integritas yang tinggi, e) Transparansi dan Akuntabel.
Terdapat 7 subsistem SKN antara lain upaya kesehatan; pembiayaan kesehatan;
SDM kesehatan; sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan dan minuman;
manajemen dan informasi kesehatan; dan pemberdayaan masyarakat.
Realisasi paradigma sehat yang sebagian besar tertuang di dalam Visi
Indonesia Sehat 2010, masih cukup jauh dari harapan. Bahkan tidak berlebihan jika
mengatakan pembangunan kesehatan kita saat ini terancam gagal. Sebagai
gambaran, indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI)
Indonesia tahun 2004 berada di peringkat 111, sementara sebagai perbandingan,
Vietnam yang tahun 1995 lalu HDI-nya di peringkat 117, justru melejit ke urutan
95 pada tahun yang sama. HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan
nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari
tiga aspek, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Setidaknya, terdapat dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan
program kesehatan di negara kita. Pertama, kebijakan kesehatan kita masih
terjebak dalam level kuratif (pengobatan). Ini sangat bertolak belakang dengan
Paradigma Sehat yang lebih menomorsatukan terbangunnya kesadaran sehat di
masyarakat. Kesadaran sehat akan banyak berpengaruh terhadap status kesehatan
setiap

orang.

Sementara

status

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

kesehatan,

sebagaimana

H.L.

Blum
6

mengutarakannya, erat tergantung dari empat hal, yakni perilaku, lingkungan,


pelayanan kesehatan, dan genetika.
Lewat level kuratif, pemerintah masih euphoria dengan menghabiskan uang
banyak dan waktu berpikir tentang bagaimana mengobati penyakit dan
menanggulangi wabah epidemik yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, secara
struktural, hingga institusi pelayanan kesehatan paling bawah, Puskesmas, telah
terjadi kesalahan kategorial dalam memetakan problem kesehatan di negara kita.
Program-program

pengobatan

penyakit

berjalan

paralel

dengan

semakin

meningkatnya angka kematian akibat penyakit bersangkutan. Fenomena ini, jika


dikaji secara rasional mestinya lebih difokuskan pada upaya penanggulangan
penyakit melalui strategi promosi dan prevensi kesehatan di semua lini.
Masih relevan kiranya mengkaji dan mengaplikasikan parameter status
kesehatan H.L. Blum dalam konteks kita. Yang paling penting dalam hal ini adalah
soal perilaku masyarakat. Upaya kuratif yang selama ini menjadi primadona
pembangunan kesehatan tidak cukup beralasan dapat mengubah banyak perilaku
hidup masyarakat. Justru semakin memperparah kondisi. Realitas ini makin
runyam jika melihat realisasi pembangunan kesehatan yang cenderung sumir,
mengagung-agungkan kemoderenan pelayanan kesehatan di atas kemampuan
personal manusia yang serba pas-pasan.
Alasan kedua yang mendasari kegagalan pembangunan kesehatan di negara
kita adalah elitisme pengelolaan kesehatan yang banyak disebabkan oleh
sentralistiknya mekanisme pengambilan kebijakan. Jika memandang bahwa
kesehatan merupakan bangunan universal yang konstruksinya terdiri dari semua
elemen dasar kehidupan, maka pelibatan masyarakat dan elemen lainnya menjadi
kemutlakan.
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

Secara fenomenal, Gus Dur pada tahun 1999 pernah mengatakan: Kalau
mau mengikuti kata hati, seharusnya juga tidak perlu ada Departemen Kesehatan.
Urusan kesehatan, termasuk masalah jamu, adalah urusan masyarakat. Karena itu,
penanganannya cukup oleh masyarakat. Selama ini masyarakat telah mampu
menyelenggarakan pelayanan kesehatan, mulai dari menjual jamu gendongan
hingga rumah sakit yang moderen. Selain itu, tak ada setiap individu pun yang
ingin menderita sakit, sehingga secara sendiri-sendiri atau bekerja sama, orang
pasti akan berusaha untuk tetap sehat dan terhindar dari penyakit.
Dalam kenyataannya di masyarakat, pola kebijakan yang top down masih
sangat kuat membelenggu. Pelaksanaan otonomi daerah yang pada awalnya
dianggap angin segar, justru berubah jadi tornado yang meluluh-lantakkan struktur
masyarakat, termasuk kesehatan. Kesalahan kebijakan (malpolicy) justru semakin
parah dan secara kuantitas menunjukkan grafik menanjak. Pemerintah terlalu
menghegemoni dalam menentukan hak hidup masyarakatnya, tak terkecuali untuk
dapat hidup sehat secara wajar.

Agenda Reformasi Kesehatan


Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru. Hanya saja
agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan pembangunan selanjutnya.
Jika disederhanakan, agenda reformasi kesehatan akan lebih mengedepankan
partisipasi

masyarakat

dalam

menyusun

dan

menyelenggarakan

aspek

kesehatannya dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan


masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan terhadap kaum miskin
menjadi syarat penerimaan universalitasnya.
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

Gunawan

Setiadi,

seorang

dokter

dan

master

bidang

kesehatan,

mengungkapkan beberapa alasan mengapa masyarakat dapat menyelenggarakan


kesehatannya, dan lebih baik dari pemerintah, antara lain:
(a) komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai yang digaji;
(b) masyarakat lebih paham masalahnya sendiri;
(c)

masyarakat

dapat

memecahkan

masalah,

sedangkan

kalangan

profesional/pemerintah sekadar memberikan pelayanan;


(d) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif;
(e) masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah; dan
(f) standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat dibandingkan
birokrat atau profesional kesehatan.
Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan muncul dengan
melihat kecenderungan rendahnya etos kerja birokrat dan profesional kesehatan
selama ini. Sudah saatnya penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat
sendiri, sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya baru, di
mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan atas hak hidup dan
menyuburnya norma-norma kemanusiaan lainnya. Model penyelenggaraan
kesehatan berbasis pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional
dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.
Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin lebih diarahkan
untuk masyarakat miskin mereka yang jumlahnya mayoritas dan telah banyak
terampas haknya selama ini. Untuk itu, sasaran dari subsidi pemerintah di bidang
kesehatan perlu dipertajam dengan jalan antara lain :
1.Meningkatkan anggaran bagi program-program kesehatan yang
banyak berkaitan dengan penduduk miskin. Misalnya program
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

pemberantasan penyakit menular, pelayanan kesehatan ibu dan anak,


serta peningkatan gizi masyarakat.
Selama masa reformasi, kesehatan tak pernah menjadi prioritas
kebijakan publik. Perhatian terhadap bidang kesehatan (bersama-sama bidang
pendidikan dan penegakan hukum) tenggelam oleh hiruk-pikuk reformasi. Ini
mesti diakhiri. Semestinya, kesehatan menjadi salah satu prioritas kebijakan
mengingat posisinya yang sentral dan menentukan dalam membentuk masyarakat
yang sehat dan siap melakukan perbaikan di berbagai bidang. Kesehatan bahkan
bisa diibaratkan sebagai tiang utama penyangga masyarakat. Tanpa kesehatan,
masyarakat di mana pun, di bawah sistem apa pun, akan ambruk.
2.Meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan kesehatan yang banyak
melayani penduduk miskin, yaitu Puskesmas dan Puskesmas Pembantu,
ruang rawat inap kelas III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan
biaya operasional rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari
praktik eksploitasi dan pemalakan pasien miskin atas nama biaya
perawatan.
3.Pemerintah semestinya menjalankan affirmative action di bidang
kesehatan. Affirmative action adalah program-program khusus yang
ditujukan untuk bagian-bagian dari masyarakat yang tak beruntung
dan selama ini tak mampu mengakses fasilitas kesehatan serta
membangun pola hidup sehat.
4.Mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak langsung
membantu masyarakat miskin mengatasi masalah kesehatannya.
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

10

Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran canggih, program


kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
5.Merevitalisasi program-program pendidikan publik dan fasilitas
publik berbasis komunitas, terutama yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat. Selama masa Orde Baru telah dimulai sejumlah program
seperti posyandu, Kelompencapir (Kelompok Pembaca, Pendengar,
dan

Pemirsa), dan

program-program penyuluhan masyarakat.

Program-program ini selayaknya direvitalisasi dengan melakukan


perbaikan di sana-sini. Program-program berbasis komunitas akan
punya peran penting bukan hanya untuk menangani berbagai wabah
penyakit hingga ke pelosok, melainkan juga menjadi pusat antisipasi,
pencegahan dan penanganan penyakit-penyakit berbahaya. Program
itu juga sekaligus bisa menjadi pusat pendataan kesehatan di tingkat
paling bawah dan riil sehingga kita pun selalu punya data kesehatan
masyarakat yang faktual dan aktual.
6.Mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana pelayanan kesehatan
yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat miskin, misalnya
pembangunan rumah sakit-rumah sakit stroke.
Agenda-agenda di atas hanya bisa berjalan baik manakala disokong
oleh perubahan atau reformasi dalam Departemen Kesehatan
(Depkes). Depkes harus dikembalikan ke karakter yang semestinya
sebagai pelayan masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
selama ini, pelayanan masyarakat kerap kali terhalangi atau terkurangi
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

11

efektivitasnya karena berbelit-belit dan panjangnya birokrasi serta


adanya jarak psikologis yang jauh di antara masyarakat atau publik
dan aparatur atau para pejabat publik. Sering kali para pejabat juga
lebih memfungsikan dirinya sebagai pejabat dan bukan pelayan.
Birokrasi Depkes sepatutnya direformasi sehingga departemen ini
bekerja sesuai dengan karakternya yang unik, yakni pelayan
masyarakat yang membutuhkan informasi, penyadaran, bantuan, dan
fasilitasi. Birokrasi Depkes sepatutnya menjadi salah satu birokrasi
yang pertama di antara berbagai departemen lainnya yang mampu
memberi layanan cepat, segera, profesional, tak pandang bulu, efisien
dan bebas suap serta korupsi.

Masalah Reformasi kesehatan di Indonesia


Paling tidak terdapat empat masalah utama dalam pengembangan jaminan
kesehatan di Indonesia : pertama, pengembangan teknologi kesehatan yang
berkolerasi dengan mahalnya biaya kesehatan. Kedua, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang ada tidak mampu lagi menjawab kompleksitas penyelenggaraan
dan pembiayaan kesehatan. Ketiga, meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut di
atas 60 tahun. Keempat, berkembangnya perhatian terhadap kesetaraan gender dan
reproduksi perempuan. Empat masalah ini menuntut dikembangkannya satu sistem
jaminan kesehatan yang tidak hanya mampu menanggulangi beban biaya yang
harus dipikul masyarakat tapi juga mampu berintegrasi dalam sistem jaminan
sosial lainnya.
Sistem jaminan kesehatan yang berintegrasi dalam sistem jaminan sosial

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

12

lainnya ini dimaksudkan untuk mengatasi ketidakadilan dalam akses sekaligus


membenahi kerumitan dalam penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan
kesehatan. Untuk itu perlu dilakukan reformasi di bidang penyelenggaraan dan
pembiayaan pelayanan kesehatan yang mengacu pada kerangka konsep yang
komprehensif dan terpadu. Keadilan dibangun dengan cara membangun satu
sistem jaminan kesehatan dan sosial yang dapat memenuhi kriteria kepesertaan
wajib dengan manfaat yang mampu memenuhi asa, tujuan dan prinsip-prinsip
sistem jaminan sosial seperti yang ditetapkan oleh UU SJSN. Ukuran sistem
pembiayaan yang adil salah satunya adalah dimana setiap orang mampu
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya; dan
membayar

pelayanan

tersebut

sesuai

dengan

kemampuannya

membayar

(Handbook of Helath Economics Vol II Oxford University Press).


Pembangunan sistem jaminan kesehatan haruslah dikaitkan dengan
pembangunan kesehatan secara menyeluruh. Artinya pembangunan sistem jaminan
kesehatan tersebut haruslah terintegrasi dengan program pembangunan ekonomi
dan program penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan.
Reformasi perlu dilakukan secara bertahap untuk mengkoreksi kesenjangan
pembiayaan kesehatan dengan tujuan menciptakan sistem yang dapat memberikan
jaminan pelayanan kesehatan bagi semua. Reformasi ini bertujuan untuk : (1)
menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berkeadilan, (2) perbaikan
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, (3) peningkatan ketersediaan
pelayanan kesehatan berkualitas, (4) terselenggaranya pelayanan kesehatan yang
efisien, (5) terselenggaranya pelayanan kesehatan yang berkesinambungan.
Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan
Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

13

Reformasi pembiayaan ini perlu dilaksanakan dengan mengindahkan kaidahkaidah good governance. Dengan demikian, kesehatan bagi semua bukan lagi
menjadi mimpi yang susah untuk diwujudkan.

Rencana Pemerintah
Rencana reformasi kesehatan di Indonesia selama lima tahun kedepan adalah
membuat gebrakan mendasar untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di pusat dan
daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan pelayan kesehatan seperti bidan dan
perawat di daerah terpencil.
Selain itu, pemerintah selama lima tahun mendatang juga akan
meningkatkan fungsi pencegahan seperti program penerangan kepada masyarakat.
Di harapkan dalam lima tahun mendatang di Indonesia sudah ada rumah
sakit berkelas dunia sehingga tidak ada lagi warga negara Indonesia yang merasa
perlu berobat ke luar negeri.
Landasan kebijakan kesehatan diatur oleh UUD yag berlaku yaitu peran
pemerintahan daerah UU 32 tahun 2004 yaitu melakukan urusan wajib pemerintah,
salah satunya penanganan bidang kesehaatan dan Mempunyai kewajiban antara
lain penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan. Undang-undang tentang kesehatan
yaitu UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang berisi:
a. Memenuhi alokasi ABPD sebesar 10 %
b. Pengadaan, pendayagunaan & peningkatan mutu tenaga kesehatan melalui
pendidikan dan/atau pelatihan

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

14

c. Menyediakan informasi kesehatan yang efektif dan efisien


d. Membentuk Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah
e. Melakukan pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan
f. Mengembangkan upaya promotif dan preventif untuk mencegah
meningkatnya biaya kuratif/pengobatan
Segitiga analisis kebijakan:

Gambar 6. Segitiga analisis kebijakan


Sumber: Walt and Gilson (1994)
Keuntungan Analisis Kebijakan adalah kaya penjelasan mengenai apa dan
bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, dan piranti untuk membuat
model kebijakan di masa depan dan mengimplementasikan dengan lebih efektif.
Dari kebijakan kesehatan terbentuklah sistem kesehatan yang merupakan
jaringan penyedia pelayanan kesehatan (supply side) dan orang-orang yang

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

15

menggunakan pelayanan tersebut (demand side) di setiap wilayah, serta negara dan
organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut, dalam bentuk manusia maupun
material. Sistem kesehatan juga bisa mencakup sektor pertanian dan sektor
pendidikan yaitu universitas dan lembaga pendidikan lain, pusat penelitian,
perusahaan konstruksi, serta organisasi yang memproduksi teknologi spesifik
seperti produk farmasi, alat dan suku cadang. Definisi sistem kesehatan dari WHO
yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, maka yang tercakup di dalamnya adalah pelayanan
kesehatan formal dan non-formal seperti pengobatan tradisional, pengobatan
alternative, dan pengobatan tanpa resep. Selain itu, ada juga aktivitas kesehatan
masyarakat berupa promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, peningkatan
keamanan lingkungan dan jalan raya, dan pendidikan yang berhubungan dengan
kesehatan.

Reformasi Kesehatan Sebagai Landasan


Kebijakan Kesehatan Pasca Krisis
Multidimensi

16

Anda mungkin juga menyukai